Minggu, 29 Agustus 2010

Atheis

Beberapa menit sebelum ia roboh tertembak, Hasan masih membandingkan dirinya dengan "Hamlet Si Tukang Sangsi".
Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama Atheis-sebu ah novel yang tak bisa dilupakan sejak terbit pada 1949. Penulisnya, Achdiat K. Mihardja, meninggal pekan lalu di Canberra, Australia. Pengarang kelahiran Garut ini mencapai usia 99. Tapi, seperti nasib tiap sastrawan yang punya karya yang berarti, usia sepanjang itu masih akan kalah lanjut ketimbang apa yang ditulisnya.


Terutama karena Atheis, lebih dari 60 tahun setelah pertama kali beredar, pantas jadi sebuah klasik. Prosa Achdiat masih terasa segar, cara berceritanya sama sekali tak aus, frase-frasenya masih bisa mengejutkan. Di samping itu, Hasan "Si Tukang Sangsi" tetap tokoh yang tak ada duanya dalam sastra Indonesia. Lebih lagi: ia bisa melintasi zamannya sendiri.


Mungkin karena apa yang ada dalam zaman itu, masa akhir 1930-an, belum juga mati pada hari ini: perubah an besar dalam sejarah mo dern yang terkadang tak tertanggungkan guncangannya, baik bagi seorang yang sederhana maupun pada hal-hal yang luhur dan sakral.


Hasan seorang sederhana. Di akhir cerita, ia ditembak pasukan Jepang, tapi ia bukan se orang pelawan. Pada jam malam di Bandung itu ia lari dari hotel tempatnya menginap karena ia kalap, galau, marah dan cemburu, ketika mengetahui istrinya pernah menginap di hotel itu bersama temannya, Anwar.

Ia lari. Lari terus. Di sekitarnya jalan sepi. Orang sudah diperintahkan menyingkir dan lampu-lampu dipadamkan. Ia tak peduli. Teriak hatinya bersilang selisih dengan teriak peringatan petugas keamanan.

Akhirnya tembakan dilepaskan. Paha kirinya tembus. Ia terguling. Ia ditangkap, karena disangka mata-mata. Tubuhnya yang TBC itu disiksa Kempetai. Di suatu hari pada 1945 itu ia mati di tangan pasukan pendudukan yang sudah kalah perang. Bukan sebagai pelawan.


Hasan terlampau rapuh untuk jadi pelawan. Ia seorang yang tergerus oleh, tapi juga terasing dari, proses yang membentuk dirinya. Apa mau dikata: proses itu selalu diduduki pihak lain.


Pada waktu ia muda, orang tua, Tuhan, dan horor menghuni seluruh dirinya. Putra m�nak bergelar raden dari sebuah kampung di Garut itu pada usia remaja memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya: "menganut ilmu mistik". Mungkin karena ia terpengaruh ayahnya yang alim. Tapi terutama karena ia takut.

"Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan ta kut kepada neraka," tuturnya. Dari para pembantu ru mah tangga keluarga itu ia dapatkan cerita-cerita siksa Tuhan yang tak alang kepalang. Maka, katanya pula, "Aku sangat taat menjalankan perintah Ayah dan Ibu ten tang agama."


Ia pernah berpuasa tujuh hari tujuh malam, mandi di Kali Cikapundung 40 kali dalam semalam, mengunci di ri di kamar selama tiga hari tanpa makan, tidur, dan bica ra. Tapi semua bukan tumbuh dari kerinduan kepada Yang Maha Mempesona, tapi dari kengerian kepada Yang Maha Ngeri.

Kengerian itu merundungnya sampai saat-saat akhir. Ia tenggelam dalam tata simbolik yang diwakili "Ayah" (dan "Tuhan") yang membentuk fiilnya dengan deretan kata "tidak boleh". Iman dan Islam-nya adalah rasa waswas. Agama jadi garis demarkasi. Ia memproteksi diri, dan sebagai akibatnya ia terjepit dalam liang perlindung annya sendiri. Apa yang tinggal dari dirinya bukan lagi sebuah subyek yang bebas, melainkan obyek yang tersisih, terasing, dari hidup.
Itu sebabnya ia tak mudah tegak. Ia rentan ketika berhubungan dengan dunia di luar garis itu.

Bekerja di jawatan air minum kota praja Bandung, pa da suatu hari ia bertemu dengan Rusli, sahabatnya di masa kecil. Dari Rusli ia berkenalan dengan Kartini, pe rempuan 20 tahun yang mengubah hidupnya. Atau lebih tepat, karena ia jatuh cinta kepada gadis itu, ia masuk ke sebuah kancah yang mengguncangkan hidupnya.


Rusli. Kemudian Anwar, seorang seniman anarkis. Kemudian Parta, seorang aktivis politik sayap kiri. Merekalah orang yang merasa me wakili sebuah masa depan: modernitas yang yakin, seperti diucapkan Parta, bahwa "tek nik lah Tuhan kita". Bagi mereka, tentu saja mengutip Marx, agama adalah "madat" yang dibutuhkan orang banyak karena kondisi kehidupan yang nes tapa.


Hasan tak mampu menghadapi atau me nangkis argumen seperti itu-karena ia memang tak pernah bergulat dengan pertanyaan dan keraguan tentang iman dan agamanya. Karena ia merasa tak kuasa. Karena ia sudah jadi obyek, bukan subyek, agama.


Tak terbiasa jadi diri yang merdeka dalam hati dan pikiran, ia akhirnya mengikut saja pandangan Rusli yang menyatakan diri "atheis". Tapi pergeseran pandangannya lebih didorong oleh rasa tertariknya kepada Kartini ketimbang keyakinan yang timbul-keyakinan sebagai hasil renungan yang digeluti dan menggelutinya.


Maka, sampai akhir ceritanya, ia terombang-ambing an tara memilih untuk mengingkari Tuhan dan kembali ke ajaran tarekatnya. Ia sendiri tahu ia bahkan lebih pe nge cut ketimbang Hamlet dalam lakon Shakespeare. Ia tetap kecut disebut "atheis" bukan karena ia tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi karena, sekali lagi, ia takut siksa neraka.(Goenawan Mohamad)
[..]

Minggu, 22 Agustus 2010

Orang-orang malang

Siang tadi, aku duduk di depan layar kaca. Menunggu bedug maghrib dan buka puasa, sembari melihat acara-acara Tv yang terlihat monoton sejak dulu. Tapi sore itu, ada yang berbeda dari biasanya. Sebuah stasiun Tv mewartakan berita yang bertajuk kemiskinan. Seorang wanita paruh baya mengais sisa-sisa makanan para Karyawan di sekitar kawasan pabrik. Beberapa anaknya ikut bersamanya. Tak mudah memasuki halaman pabrik, ia harus melompat lewat pagar


Nasi-nasi serta lauk bekas ia pungut, dimasukan di sebuah kantong plastik hitam. Ia tak pernah risi ataupun jijik dengan hal itu. Ini dilakukannya semata-mata karena persoalan perut yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Anak- anaknya masih kecil, sedang ia hanyalah seorang janda.


Rumahnya terletak di sekitar Tempat Pembuangan sampah, sebuah daerah di Ibukota Jakarta. Itupun bukan rumah sendiri, melainkan rumah kontrakan, karena di daerah itu kontrakan murah.. Di sana, terlihat genangan-genangan air di depan rumahnya. Kamar mandi yang digunakan bersama orang sekitar begitu tak layak, kotor, bau tak sedap, banyak lalat. Hal ini menjadi sesuatu yang sudah lazim untuknya.


Nampak wajah-wajah polos tak berdosa menunggu dengan gelisah. Adalah anak-anaknya yang masih kecil. Mereka menunggu hasil usaha ibunya mencari makanan sisa, mereka lapar, mereka butuh makan. Ketika ibunya kembali, rasanya kegelisahan itu terbayar dengan senyum tak terbatas.


“ yah gimana lagi, saya tidak punya uang untuk beli makanan. Nasi ini masih enak, dan anak-anak juga senang” pernyataannya ketika di tanyai oleh seorang reporter. kata-kata itu mengingatkan aku pada pidato Presiden kemarin. SBY mengatakan jika gaji Pegawai akan naik beberapa prosen. Dengan alasan mensejahterahkan rakyat.


Hal itu tentu menjadi sebuah pertanyaan, siapa sebenarnya rakyat Indonesia? Apakah orang seperti mereka yang keksusahan makan bukan rakyat?. Aku miris dengan hal ini, aku merasa keadilan belum bisa ditegakkan dengan baik. Masih ada pengkelasan, “mana yang Anak Tiri, mana yang Anak Mas” .Kemiskinan telah melebar di berbagai sisi Indonesia, sedang pemerintah tak kunjung memperhatikan rakyat.


Dan ironinya, mengapa masih ada orang kelaparan di antara pabrik-pabrik industri? Seharusnya mereka haruslah lebih makmur karena adanya tunjangan untuk masyarakat sekitar, baik ekonomi ataupun kesehatan yang diserahkan oleh pabrik kepada pemerintah daerah. Kemana perginya tunjangan itu?


Negara yang begitu kayanya kini diubah menjadi negara Pengemis, pabrik-pabrik besar sebagian di kuasai oleh asing, modal-modal besar serta aset di Indonesia adalah milik asing. Lalu dengan demikian rakyat yang berkualitas hanya sebagai mesin dengan upah yang murah. Bagaimana dengan rakyat yang bodoh akibat pendidikan mahal di Indonesia? Kalau yang pintar saja hanya dijadikan mesin dengan tenaga murah.


Orang-orang miskin seperti mereka hanya tahu tentang bagai mana hidup menghidupi. Tak peduli lagi dengan harga diri dan rasa malu. perasaan tentang jijik dan kotor tak lagi dipedulikan mereka. Asal bisa mengisi perut saja itu sudah cukup. Dan sudah jelaslah jika kesehatan merekapun tak bisa dijamin.


Seharusnya para Tuan-Tuan Elit politik kita harus bisa menelisik lebih dalam akan kemiskinan yang melanda bangsa ini. Seperti kata Bung Karno” Saya adalah penyambung lidah rakyat”. Itulah yang harus dilakukan para Tuan-Tuan Elit politik kita, menjadi pendengar suara rakyat. Tak perlu bertriliun-triliunan untuk mensejahterahkan rakyat.


Jika para Tuan-Tuan Elit politik kita punya hati dan rasa, pastilah mereka tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memecahkan persoalan bangsa ini yang terlampau kacau. Bukan hanya mengeluh dan mengeluh tentang segudang persoalan yang tidak jelas. Mereka yang lapar saja masih bisa untuk berpikir jenih, walau perasaan mereka kian remuk. Aku hanya bisa bersedih, ternyata para pemimpin kita tidak sayang kepada kita orang yang malang.
[..]

Selasa, 17 Agustus 2010

Peristiwa Tambun Berdarah 1869

Sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan tuan tanah. Di Bekasi, tuan tanah mendapatkan perlawanan dari para petani bahkan sampai menimbulkan korban seorang pejabat Hindia Belanda. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Petani Tambun 1869.

Kondisi tanah Bekasi yang subur dan memberikan harapan yang besar telah menarik minat para pendatang yang berasal dari berbagai etnis. Kebanyakan berasal dari etnis Sunda dan Melayu-Betawi. Mobilitas penduduk dari luar Bekasi semakin banyak saat dua orang tuan tanah Cina membuka pabrik gula di daerah Tambun.


Kebanyakan lahan pertanian di Bekasi dikuasai oleh tuan tanah (kaum partikelir), yaitu sejumlah pengusaha Eropa dan saudagar Cina. Tanah partikelir ini timbul sebagai akibat dari praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda dimulai sejak VOC berkuasa. Praktek penjualan tanah ini lebih banyak merugikan bangsa pribumi. Pengalihan kepemilikan tanah lebih banyak dilakukan dengan cara perampasan atau diintimidasi agar pribumi menjual tanah dengan harga yang sangat murah.


Di Bekasi, kebanyakan tuan tanah berasal dari etnis Tionghoa, yang diberi hak istimewa berupa hak Erfack untuk melakukan pengelolaan wilayah termasuk menetapkan aturan yang diberikan oleh pemerintahan Kolonial. Setiap tuan tanah, berhak mengelola selama 75 tahun dengan mendapatkan satu perlima keuntungan hasil panen. Tuan tanah dan para anteknya juga kerap merampas harta benda rakyat yang tidak mampu membayar pajak atau hutang.
Praktik tuan tanah yang bertindak sewenang-wenang menimbulkan benih kebencian dan perlawanan di kalangan petani.

Salah satu tokoh yang menjadi motor gerakan perlawanan petani adalah Pangeran Alibasah atau biasa dipanggil Bapak Rama, pria asal Cirebon yang tinggal di Leuwicatang Depok. Bapak Rama mengorganisir para petani di sepanjang aliran sungai Ciliwung dan Cisadane mulai dari Citayem Depok, Bekasi hingga Batavia.


Bapak Rama memandang, bahwa tanah-tanah partikelir adalah milik rakyat yang dirampas secara sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Gagasan perlawanannya muncul saat ia bertemu dengan seorang petani yang memiliki tanah di daerah Cipamingkis. Berawal dari situ, Bapak Rama mulai menggalang kekuatan di kalangan para petani untuk merebut kembali tanah-tanah yang menjadi hak mereka.


Tidak tanggung-tanggung, Bapak Rama bahkan sempat menghadap ke Sultan Solo tahun 1863 untuk mengetahui sejarah kepemilikan tanah partikelir itu. Sepulang dari Solo, Bapak Rama mengumpulkan para petani di pesta perkawinan putrinya di Ratujaya Depok. Bapak Rama menyampaikan gagasannya untuk merebut tanah-tanah partikelir dari tangan para tuan tanah, bahkan pada saat itu sudah dilakukan pembagian tanah. Sejak saat itu, Bapak Rama mulai sering mengumpulkan para pengikutnya di rumahnya.


Pada tanggal 16 Maret 1986, di pesta perkawinan adik iparnya, Bapak Rama kembali mengundang para pengikutnya dari berbagai daerah, mulai dari Parung, Cibarusah, Tambun, Bekasi, Cikarang dan Kranggan. Tamu yang hadir dalam acara tersebut mencapai 500 orang, menunjukan betapa luasnya pengaruh Bapak Rama.


Pada Pada saat pesta (upacara perkawinan) Bapak Rama mengumumkan rencana untuk merebut tanah-tanah partikelir antara Citarum - Cisadane. Dia mengatakan bahwa tanah-tanah itu milik nenek moyang mereka dan hanya disewa oleh Belanda, dan sudah seharusnya mereka merebut tanah terebut. Para petani sudah lama hidup menderita di bahwa tekanan tuan tanah menyatakan kesetiannya untuk membantu pemimpin mereka.


Bapak Rama menentukan penyerangan pada tanggal 20 Bulan Haji atau 3 April 1869, bertepatan dengan gerhana bulan. Berdasarkan ramalan Bapak Rama, pada tanggal tersebut pasukan Belanda tidak bisa melihat mereka. Bapak Rama kemudian memimpin doa bersama setelah memutuskan penyerangan merebut Depok, Bogor, Bekasi dan Batavia.
Namun rencana penyerangan tersebut terendus oleh Polisi Hindia yang telah menyiapkan para pasukannya di berbagai tempat. Kendati begitu, Bapak Rama tetap melakukan serangan pada tanggal 05 April 1869, yang diramalkan akan terjadi gerhana bulan. Hanya sasaran pemberontakan dipersempit, ke Tambun Bekasi.


Pagi hari, Pangeran Alibasah memimpin 100 orang pasukan dari Depok menuju Bekasi . Dalam perjalanan, jumlah pasukannya bertambah menjadi 300 orang. Sebelum mencapai Tambun, rombongan Bapak Rama dicegat oleh pasukan Belanda yang dipimpin Asisten Residen De Kuiper dan Kepala Polisi Maayer yang berupaya melakukan perundingan.


Namun kedua rombongan tidak bisa menahan diri, dan peperanganpun pecah. Dalam pertempuran tersebut Asisten Residen dan seorang dokter Jawa yang kebetulan bertugas di Tambun terbunuh bersama tujuh orang lainnya.
Peristiwa tersebut membuat Pemerintah berang dan menetapkan Pangeran Alibasah sebagai buronan yang paling dicari berserta para pengikutnya.


Setelah sempat lolos dalam beberapa kali penyergapan, Bapak Rama akhirnya tertangkap pada 17 Juni 1869. Tidak kurang dari 302 orang pengikutnya juga ditangkap. Setelah dilakukan penyelidikan, 243 orang dilepas kembali karena dipaksa ikut menyerang Tambun. Dua hari jelang persidangan, Pangeran Alibasah meninggal. Hasil persidangan 29 September 1869 adalah, dua orang dijatuhi hukuman mati dan 19 orang hukuman kerja paksa selama 15 tahun.


Peristiwa penyerangan Pangeran Alibasah tersebut kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Petani Tambun. (Dirangkum dari Berbagai Sumber)klikM.net
[..]

Sudahi Dongeng Para Pembesar

Indonesia 65 tahun. Lalu, benarkah kita masih membutuhkan cerita para pahlawan yang sudah kita kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar: tokoh-tokoh yang termasyhur, pemimpin rakyat dan sederet komandan pasukan?. Jika masa lampau macam itu yang selalu kita kenang, bisa jadi sejarah bangsa ini selesai dengan serangkaian riwayat para pembesar dan penguasa. Atau, seperti cerita sandiwara keliling di kampung. Di panggung, yang menonjol cuma peran para raja, majikan dan hulubalangnya. Unsur lain hanya diwakili oleh para orang "suci" dan para kerabat raja. Kita pun lupa bahwa perjuangan sebesar perang kemerdekaan pastilah melibatkan jutaan manusia Indonesia: pegawai kecil, prajurit rendahan, petani, guru, santri, ustadz, tokoh rohaniawan, buruh serabutan, dan bahkan anak-anak tidak berdosa. Tidak hanya kerabat para elit waktu itu.


Tapi kita agaknya terlampau gemar mengenang dongeng para sultan dan raja-raja, hingga kita acapkali lupa bahwa Indonesia juga terdiri dari rakyat. Jika faham ini yang dibesar-besarkan terus menerus, maka jangan heran bila suatu saat nanti, ada orang percaya bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan hanya oleh para pembesar-dan bahwa rakyat hanya ikut-ikutan.


Tak heran bila para elit pembesar saat ini pun masih suka berbisik-bisik penuh sinisme, "Rakyat mudah dibikin lupa Bung!." Maka bila ada sejumlah rakyat yang mati dan terluka oleh ledakan tabung gas 3 kg, lalu segera: bikin skenario panjang dan lebar, tanpa tersangka satupun. Toh sebentar pun rakyat akan lupa." Bila ada rakyat memperotes kasus korupsi, rekening gendut, kasus "mandulnya" DPR-RI, kasus anarkisme dengan alasan agama, kasus patgulipat pajak, kenaikan TDL, dan berbagai kasus kesewenang-wenangan lainnya. Maka para elit segera menganggap: "digerakkan". Bahkan, kaget, kok rakyat pinter-pinter... ya?.


Bagaimana mungkin?. Rakyat bukan sekedar gudang suara Pilkada, Pileg dan Pilpres. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan cuma perlawanan para elit dan kalangan pembesar. Mereka ini sudah lebih dari cukup dicatat dalam lembaran sejarah dan dipublikasikan beribu-ribu kali. Padahal, sejatinya, perjuangan mereka ini hanya bagian kecil dari perjuangan rakyat yang dasyat.


Cuma karena pola feodalisme saat itu, maka rakyat dengan gampang ditipu, dikebiri jasa-jasanya, dikerjai dan dibodohi. Padahal, ribuan literatur yang tersebar di dalam dan luar negeri dengan kuat mencatat bahwa menjelang akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, yang memegang peranan penting sebagai engine of growth perjuangan Bangsa Indonesia adalah gejolak rakyat di daerah pertanian dalam menyalakan api revolusi - dan kita pun punya semangat tujuhbelas agustusan dengan gelora yang menggelegar hingga pelosok negeri.


Rakyat memang bukan sesuatu yang netral. Rakyat juga bukan sesuatu yang tanpa bekas. Sebab, sebuah sejarah umat manusia yang komplit dan konkrit adalah sejarah semua orang, bukan hanya segelintir pembesar. Karena hal itu merupakan sejarah tentang harapan, pergulatan, dan penderitaan rakyat Indonesia, semuanya!!!.
Sejarah kemerdekaan Indonesia, bukanlah sejarah kekuasaan. Dan, juga bukan sekedar sejarah tentang suksestori. Barangkali riwayat umat manusia tidak punya arti apa-apa.

Tapi jika kita harus menjelaskan ulang tentang hal ini; sejujur-jujurnya, maka, sejarah kemerdekaan Indonesia bukan sekedar para pembesar dan kekuasaaan, tapi yang lebih penting adalah keluhuran rakyat Indonesia yang mampu memaknai dirinya walaupun tanpa kekuasaan, dan bahkan penghargaan.

Sebab apakah artinya kekuasaan saat ini untuk nanti tahun 2015? Apakah artinya sukses untuk tahun 2015? Apakah yang akan kita tumbuhkan hingga kita bisa hidup sejahtera dengan jumlah penduduk yang semakin melonjak, dengan minyak dan gas yang kian menipis, dan pendapatan perkapita terendah dengan jumlah lebih sedikit dari Rp 2 juta di tahun 2011?!.


Di 65 tahun Indonesia merdeka ini, biarlah kita kian dekat dengan kenyataan itu. Tutupkan buku sejarah dan lihatlah cermin di sana kepada rakyat yang mengerti ketentraman hati meski hanya dianggap penting saat Pilkada, Pileg dan Pilpres.


Marilah kita mulai menginsafi diri dalam mensikapi sejarah sebagai sejarah rakyat yang di dalamnya terkandung: harapaan, pergulatan, penderitaan dan juga ketahanan.**** klikM.net (imam trikarsohadi)


[..]

Bendera Setengah tiang

Matahari begitu terik, di mana-mana menyuarakan sebuah yel-yel atau bahkan lagu. “merdeka”!!! semua meneriakkan itu, di sekolah, instansi-instansi pemerintah, dan sudah pasti di istana negara. Di jalan-jalan, terlihat bendera-bendera merah putih dipasang rapi. Disana, di alun-alun terlihat sekumpulan anak sekolah, pegawai, dan beberapa tentara untuk mengawal bupati ataupun pejabat lainnya. Ya, mereka akan melaksanakan upacara 17 agustusan.

Sedang ditepi sawah terlihat seorang bocah kecil duduk termangu, nampaknya dia sedih. Batu-batu kecil di ekitarnya sengaja dilemparannya ke sawah. Rambutnya pirang, Wajahnya nampak belepotan, di hidungnya ada bekas ingus yang belum sempat dibersihkan. Sedang matanya menggambarkan kesedihan mendalam. Agus, bocah kecil yang kecewa dengan keadaannya.

Dia belum juga sekolah SD, padahal umurnya sudah sangat cukup untuk sekolah. Dia yatim piatu, orangtuanya meninggal saat peristiwa jebolnya tanggul situ gintung setahun yang lalu. Kini ia tinggal bersama kakeknya yang sudah sangat renta lagi miskin. Entah kapan ia bisa sekolah, kakeknya sudah tak mampu bekerja berat lagi, dengan menjadi penyapu jalanan ia bisa bertahan hidup. Hidup yang serba kekurangan.

Agus merasa iri, teman-temannya sudah sekolah. Mereka mengenakan seragam, bersepatu, mempunyai tas, dan mulai belajar membaca dan menulis. Setiap hari, teman-temannya lewat di halaman rumahnya, saat itu pula Agus bersembunyi di balik anyaman bambu yang digunakan sebegai dinding rumahnya. Lubang-lubang kecil itulah yang mengarahkan pandangannya keluar.

Dan pagi itu adalah hari yang menyakitkan, 17 agustus. Hari kemerdekaan negaranya!! Teman-temannya lewat dengan bercericau ceria. Kali ini mereka mengenakan topi mereh putih serta dasi. Agus tahu, mereka akan mengikuti upacara kemerdekaan di sekolah. Ia ingin sekali mengikuti upacara, ia ingin memberikan hormat kepada sang saka merah putih. Ya, Indonesia tercinta. Namun apa daya, dia tidak sekolah seperti mereka.

Akhirnya agus berjalan mengendap-endap menuju jalan raya. Pandangannya ditujukan kesemua arah, seakan tak ingin ada oranng lain melihat. Sebuah bendera telah ditarik paksa olehnya, dimasukan kedalam baju serta tangannya terus memegang ke bagian perut. Ia lari menuju rumahnya.
Di belakang rumahnya telah tertancap sebuah bambu yang cukup tinggi baginya. Ia pergi untuk mandi terlebih dahulu, entah apa yang ada di benak bocah kecil itu. Setelah itu ia keluar dari rumahnya lewat pintu belakang dengan membawa bendera merah putih yang sudah di lipat rapi. Pakaiannya nampak bagus waktu itu, pakain lebaran tahun kemarin yang belum sempat ia kenakan.

Ia ikat bendera itu semampunya, pandangannya tajam, langkahnya mantap. Ia memberi jarak beberapa langkah dari bendera, diangkat tangan kanannya tepat di pelipis. Dia melakukan penghormatan kepada bendera Indonesia, bendera yang tak terpasang sempurna.

Bendera itu terpasang setengah tiang. Senyumnya mengembang, rona mukanya kini berubah ceria. Dengan cara seperti itu agus memberi hormat itu, dalam hatinya terpatri kebanggaan yang mendalam.”aku cinta Indonesia” , lirihnya.
[..]

Senin, 16 Agustus 2010

DAGING

Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus selama 12 jam, alat kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikendalikan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.

Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita dianjurkan hanya menerima yang "rohani". Sejak pukul 4 dinihari, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan, menganjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat...Kita dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak gado-gado, soto, video porno.
Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya ada yang luput dilihat di sini. Justru di bulan Ramadhan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistensi .

Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di kaki lima. Kita akan lihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadhan telah jadi sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreatifitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai 60%. Orang ramai berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.

Ramadhan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang normal, dan kita, yang merasa harus menangungkan itu, menginginkan imbalan yang memuaskan.

Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap puasa sebagai deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si korban yang dendam: mereka minta diperlakukan sebagai kelas tersendiri. "Hormatilah orang yang berpuasa!", seru pengumuman di mana-mana. Maksudnya: "jangan menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal".

Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Di bulan ini orang-orang yang mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikhlas) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim proteksi dari kekuatan di luar diri mereka: Negara.

Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan buruh industri entertainment kecil atau menengah mengeluh (ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun nafkah mereka putus selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang di hari lebaran.

Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-orang yang berpuasa bukan saja harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka.
Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap lain: puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresifitas menghadapi dunia - agresifitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.

Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan tiap orang.

Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan agresifitas tak akan meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa yang seperti itu, "aku", seperti dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan, "hilang bentuk, remuk".

Tak berarti "hilang bentuk, remuk" itu menunjukkan wajah manusia yang tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.

Marx memang pernah menganggap, dalam agama, (sebagai bentuk alienasi),wujud manusia hilang: "semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan bagi dirinya sendiri....". Tapi di situ Marx salah. Di abad ini yang kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek yang penuh dan perkasa . Dan agresif.

Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat kita sadar, kita tak pernah bisa utuh sendiri: aku selalu bersama kekuranganku. Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia. Kita yang merasakan lapar dan haus adalah kita yang seperti makhluk umumnya: terpaut pada "yang-lain", bukan cuma kesadaran kita. Kita terpaut pada pencernaan, arus darah, trauma dan nostalgia kita. Juga pada cuaca, flora, fauna, benda-benda sekitar kita. Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tuhan - sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku bisa rasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dan aku bisa damai menghilangkan ketamakan dan agresifitasku.

Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadhan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang lemah, tapi bukan untuk dikurung untuk diwaspadai.
Goenawan Mohamad

[..]

Sabtu, 14 Agustus 2010

hidup berawal dari mimpi

kujelang matahari dengan segelas teh panas
Di pagi ini ku bebas, karna nggak ada kelas
Di ruang mata ini kamar ini srasa luas
Letih dan lelah juga, lambat lambat terkuras...

Teh sudah habis, kerongkongan ku pun puas
Mulai ku tulis semua kehidupan di kertas
Hari hari yang keras, kisah cinta yang pedas
Perasaan yang was was, dan gerakku yang terbatas

Tinta yang keluar dari dalam pena
Berirama dengan apa yang kurasa
Dalam hati ini ingin kuubah semua
Kehidupan monoton penuh luka putus asa

Tinggalkanlah gengsi, hidup berawal dari mimpi
Gantungkan yang tinggi, agar semua terjadi
Rasakan semua, peduli 'tuk ironi tragedi
Senang bahagia, hingga kelak kau mati

dunia memang tak selebar daun kelor
Akal dan pikiran ku pun tak selamanya kotor
Membuka mata hati demi sebuah cita-cita
Melangkah pasti, pena dan tinta berbicara

Tetapkan pilihan tuk satu kemungkinan
Sebagai bintang hiburan, dan terus melayang
Tak heran ragaku, terbalut lebel mewah
Cerminan seorang raja dalam cerita Cinderella

Ini bukan mimpi atau halusinasi
Sebuah anugerah yang akan ku nikmati nanti
Hasil kerja keras ku terbayarkan lunas.. tuntas..
Melakoni jati diri sampe puas

Jalan sedikit tersungkur terjungkir terbalik
Melangkah menuju titik, lakukan yang terbaik
Ku ketatkan tekad dan niat agar melesat
Sperti rudal squad, mimpiku kan kudapat

Mencari tepuk tangan atas karya keringatku
Bukan satu yang ingin aku tuju
Naik ke'atas pentas, agar orang puas
Dapat applause, cek atau pun uang kertas

cari sensasi ataupun kontroversi
Bukan caraku agar hidupku rekonstruksi
Dari mimpi semua hal dapat terjadi
Maka lemparkan sayap dan terbanglah yang tinggi

Tinggalkanlah gengsi, hidup berawal dari mimpi
Gantungkan yang tinggi, agar semua terjadi
Rasakan semua, peduli 'tuk ironi tragedi
Senang bahagia, hingga kelak kau mati..(bondan fad2black)
[..]

Jumat, 13 Agustus 2010

Anak seoarang Pemulung di Bali juara foto Internasional


Kembali Sharing gan... moga gak repost yah...

Anak Pemulung di Bali Juara Foto Internasional

Metrogaya-''Ayam Ini Gantungan Hidupku'' judul dari sebuah foto yang dibuat oleh
Ni Luh Mertayani (15), anak pemulung yang hidup yatim memenangkan lomba foto internasional yang digelar Yayasan Museum Anna Frank di Belanda, mengalahkan peserta yang berasal dari 200 negara, beberapa waktu lalu. Atas prestasinya itu Ni Luh Mertayani yang masih duduk di kelas III SMPN 2 Abang, Karangasem diundang ke Belanda untuk menerima hadiahnya.

Mertayani berasal dari keluarga miskin. Dia tinggal di Bias Lantang Desa Purwakerti, Abang, Karangasem. Dia tinggal di gubuk berdinding pelepah daun kelapa, beratap asbes dengan rumah berlantai tanah. Rumahnya bisa dibilang tak layak huni. Sehari-hari, dia membantu ibunya berjualan asongan di Pantai Amed. Dia menawarkan minuman ringan kepada wisman. Pekerjaan rutin itu dilakoni tiap sore atau saat libur hari Minggu. Guna menambah bekal sekolah, dia nyambi memungut rongsokan, sampah rumah tangga dari plastik atau besi. Dia nyambi mulung -- mengumpulkan barang bekas yang bisa dijadikan uang. Pekerjaan ini juga dilakukan ibunya, selain berjualan asongan.

Karena tiap hari berjualan asongan di pantai, dia akrab dan bisa berkomunikasi dengan wisman. Melihat kehidupannya yang sederhana dan cukup memprihatinkan, dia pun menarik perhatian seorang wisman. Dia diberi sebuah kamera oleh seorang wisman Belanda Mrs. Dolly. Dia mencoba belajar memotret dilatih wanita Belanda itu. Sebuah karya foto cukup indah yakni ayam kampung yang hendak tidur menjelang senja di ketela pohon sebagai pohon perindang di halaman gubuknya, dipotret sebanyak 15 jepretan. Sebelumnya, dia sudah ke sana-ke mari mencari objek foto.

Ternyata fotonya itu yang dikirim, dan berhasil menyisihkan karya foto lainnya dari peserta 200 negara. Karyanya menjadi juara, tak lepas dari latar belakang kehidupan Mertayani dan keluarganya yang serba kesulitan.

Perjuangan Hidup
Dia bertahan hidup di tengah kesusahan, mirip perjuangan hidup seorang Anna Frank. Tokoh ini seorang bocah Jerman keturunan Yahudi. Saat pembantaian bagi kaum Yahudi oleh rezim Hitler, Anna Frank berhasil lari, selamat dan bersembunyi di sebuah kamp. Saat itu umurnya sekitar 12 tahun.

Di dalam persembunyian, dia rajin menulis catatan harian bagaimana dia lari dan bertahan hidup di tengah kejaran tentara Nazi yang kejam. Pada akhirnya, Anna Frank terkenal berkat tulisan-tulisan dalam buku hariannya itu, sementara seluruh anggota keluarganya tewas dibantai tentara Nazi.

Mertayani, anak pemulung itu atas karyanya yang dipandang cukup spektakuler, dia diundang ke Belanda selama sepuluh hari yakni sejak 28 April sampai 8 Mei. Selain mendapatkan hadiah keliling Negeri Kincir Angin, dia juga mendapatkan beasiswa, hadiah kamera, dan laptop serta biaya hidup bersama keluarganya.

Saat ditemui di gubuknya, Mertayani mengaku bahagia atas hadiah itu. Dia pun mengaku kian bersemangat belajar dan nantinya melanjutkan ke SMA, dengan harapan menjadi anak yang sukses, sehingga bisa membantu hidup keluarganya.

Narasi sang juara tentang fotonya:
The chickens in the tree are our little investment to earn some money for our daily needs. This place in front of our little house at the beach is a lovely placeIf only we could stay at this place... If only we would have a house of stone instead of bamboo which can collapse by strong winds...If only we would have more than one bedroom for the three of us and where the wind and rain stays outside our bedroom...If only we will have the money to continue school to make our ambitions come true.

After reading The diary of Anne Frank it is my ambition to be a journalist. So I take this opportunity to tell a piece of my life story. I want to tell the world how it is to be poor. I hope my story will help to get a better live for everyone. I hope that as a journalist I also can earn money and make our dream of our own lovely place come true. Source Here

Terjemahan :
Kutip:Ayam-ayam di pohon adalah investasi kecil kami untuk mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Tempat ini ada di depan rumah kecil kami di suatu pantai yang indah ... Jika saja kita bisa tinggal di tempat ini ... Jika saja kami memiliki rumah dari batu, bukan bambu yang dapat runtuh oleh angin yang kuat ... Jika saja kami memiliki lebih dari satu tempat tidur untuk kami bertiga dan di mana angin dan hujan terjadi di luar kamar tidur kami ... Jika saja kami punya uang untuk melanjutkan sekolah untuk mengubah ambisi kami menjadi kenyataan.

Setelah membaca "buku harian Anne Frank" ambisi saya adalah untuk menjadi seorang jurnalis. Jadi saya mengambil kesempatan ini untuk menceritakan sepotong kisah hidupku. Saya ingin memberitahu dunia bagaimana rasanya menjadi miskin. Saya harap cerita saya akan membantu untuk kehidupan yang lebih baik bagi semua orang. Saya berharap nanti sebagai jurnalis saya bisa mendapatkan uang dan membuat impian kami tentang tempat yang indah menjadi kenyataan.
(yc/bali.post)
[..]

Minggu, 08 Agustus 2010

Tentang Hidup,Cinta,dan Perbedaan

Aku berbicara tentang hidup
Tentang semua yang terikat oleh waktu
Tentang apa saja didalam lingkup ruang2
Dalam pembedaan2 yang menyakitkan..

Lalu Aku berbisik tentang cinta
Dengan lirih hatiku terus berbisik
Berbisik tentang apa saja yang kumaksud cinta
Dan kutemui disana titik temu perbedaan...
[..]

Jumat, 06 Agustus 2010

Bali Studytour

menuju gilimanuk

Pagi itu begitu dingin, namun aku sudah terbangun jauh dari itu, bayangan akan keindahan tempat itu selalu menyelimuti hayalku. Gema azhan shubuh mulai berkumandang, ayam-ayam mulai berkokok pertanda bahwa pagi telah datang. Aku tak tahu mengapa setiap pagi ayam-ayam itu selalu ramai ketika pagi datang, Seakan mereka memperingatkan kepada manusia bahwa matahari akan segera turun. Di luar sana juga terdengar kicau burung-burung,suaranya tak seperti kokok ayam yang terdengar seragam, suara kicau burung terdengar lebih melengking dan kecil karena memang burung-burung itu mempunyai suara khas masing-masing.
Di kamarku, Mama sibuk mengecek ulang barang yang akan aku bawa, sedang Bapak nampaknya sudah siap mengantarkan aku, menggunakan jaket kulit tebal itulah kebiasaan Bapak ketika hendak bepergian. Pukul 05.00 aku berpamitan kepada Mama dan dengan sepeda motor aku diantarkan Bapak. Udara pagi begitu sejuk, jalan raya Pemalang masih begitu sepi, namun dinginnya pagi tak bisa lagi kuelakkan, mungkin karena aku mengenakkan celana pendak yang sengaja aku pakai agar gerakku longgar.


Kucium tangan Bapak untuk berpamitan, nampak di sekolahku sudah ramai tentunya anak2 yang hendak mengikuti Studitour, aku memasuki gerbang dan kutemui disana teman2 yang telah menunggu. Kami langsung menuju ke Aula untuk acara lain-lain. Sedang di luar sana telah terlihat dua buah Bus Pariwisata, dan setelah persiapan lain-lain akhirnya pukul 06.00 kami berangkat setelah pelepasan Kepala Sekolah serta doa bersama. Lambaian tangan terlihat dari balik kaca bus, kulihat Kepala sekolah serta orang tua murid yang ikut mengantar ke sekolah dengan rona muka yang haru.


Dalam hati aku berdoa, agar diperjalanan tidak terjadi apa-apa. Aku duduk di bagian tengah, bersama temanku Ari dan Aris, keduanya nampak girang sekali. Ari yang biasanya murung nampak lebih ceria, sedang Aris termangu di dekat kaca melihat keluar. Aku sendiri diam, dalam benakku kubayangkan pulau Dewata yang indah bersama para Turisnya. Rasanya sudah tak sabar menantikan indahnya pulau itu.Aku masih saja kikuk, maklum saja aku baru pertama kali hendak menginjakkan kaki di Bali sedang gambaran Bali hanya biasa aku lihat di layar kaca. Hatiku terus berbisik, ”Bali aku akan datang padamu.”


Bus tetap melaju, tak perduli dengan segala macam perasaan penumpangnya, yang kulihat bus telah melewati batas kota Pemalang. Di depan sana, terlihat teman-teman wanita, ada yang sibuk makan makanan ringan, mendengarkan musik bahkan ada yang sedang asyik dengan pacarnya. Mereka terlihat sangat menikmati perjalanan, diperkirakan perjalanan akan sampai dini hari. Sungguh lama perjalanan ke-Bali, rasanya kita dituntut menghibur diri didalam bus. Entahlah, kami merasa sangat menikmati ini.

Sebenarnya aku cukup gelisah, aku yang tak satu bus dengan dia membuatku resah. Sesekali aku ingin melihat wajahnya walau hanya di tempat peristirahatan, dia tak tahu aku selalu mengamatinya. Semenjak masuk Sma aku memang telah mengaguminya, tapi hatiku yang teramat kecil membuatku semakin gelisah tanpa seorangpun tahu. Aku berharap perasaannya sama dengan yang aku rasakan, senyum yang kadang tertuju padaku membuatku semakin gelisah. Arggh.. masa aku jatuh hati?


Sepanjang perjalanan kami hanya ngobrol ngalor-ngidul, sesekali Pemandu wisata berceloteh dengan gaya khasnya. Tak terasa sudah sampai di Jawa Timur waktu maghrib, kamipun beristirahat sejenak dirumah makan. Temanku Derta tergesa-gesa mengajakku turun untuk makan.” Ah dia selalu yang di pikirkankan perut saja”bisikku dalam hati dan dengan kepala kugeleng-gelengkan, katanya takut tak mendapat bagian, ada2 saja. Akhirnya kamipun turun bersama-sama, teman-teman sekelasku memang sangat kompak terlebih urusan isi perut.


Setelah makan, kami hendak menuju kedalam bus, rasanya sudah puas melahap kudapan malam waktu itu. Entah kenapa kami merasa sering lapar walaupun di dalam bus kita sering sekali makan jajan. Namun di sela2 waktu aku gelisah mencari sesuatu, pandanganku kuarahkan kesemua sudut berharap bisa melihatnya, sayang sekali pandanganku tak menemukannya. Kuayunkan kakiku menuju bus,l ampu penerangan yang redup membuat suasana menjadi sangat romantis. Mataku terasa lelah, pandanganku mulai kabur, dan saat itu aku terlelap.

“Res bangun, dah nyampe Pelabuhan” suara Ari membangunkanku,mataku masih terasa berat untuk terbuka, kulihat jam sudah menunjukan waktu dini hari. Akhirnya kami pun turun,walau mataku masih terasa berat untuk terbuka. Pandanganku terhenti pada lampu-lampu yang menyala diseberang laut sana. Saat aku berdiri di kapal untuk menyeberang di pelabuhan Gilimanuk, saat itulah aku melihat pulau Dewata diseberang sana.


Menyeberang ke pulau Dewata

Angin begitu kencang, suara ombak terdengar menderu-deru, bulanpun tak malu untuk tetap bersinar. Di seberang sana pulau Dewata telah memancarkan sinarnya lewat lampu-lampu yang dari kejauhan terlihat seperti taburan bintang, di sisi lainnya pulau itu nampak seperti pulau angker,bukit2 yang tanpa lampu serta pepohonan besar terlihat bergunung-gunung tanpa penyinaran. Sehingga yang nampak seperti batu karang besar di tengah samudra lepas. Suasana Gilimanuk sangatlah nyaman, walaupun di sana sini banyak orang untuk menyeberang, suasana Pelabuhan yang ramai kami nikmati dengan perasaan senang.


Aku berjalan kearah depan kapal, terlihat di bawah banyak kerumunan orang, berenang dan sesekali berteriak-teriak. Mereka adalah Perenang Koin, mereka berebut uang koin dengan para perenang lainnya, koin-koin yang diberikan oleh para penumpang dengan cara dilemparkan ke laut. Dengan gayanya yang khas mereka terlihat mahir dalam berenang, liukan badan serta gerakan kaki serasa berpadu menopang badan hingga terapung ditengah derasnya ombak. Mungkin inilah salah satu budaya orang pelabuhan, disamping mencari uang mereka sangatlah menghibur para penumpang.


Aku lihat teman-teman asyik memotret, namun aku masih saja termangu didepan kapal. Sedikit demi sedikit kapal mulai menjauh dari daratan, para Perenang Koin mulai bangkit dari air, kembali bergabung dalam kerumunan orang dan hilang dari penglihatan. Angin menjadi bertambah kencang, maka aku putuskan untuk masuk kedalam kapal bersama teman-teman. Duduk bersama di dalam kapal serta menikmati ayunan ombak yang begitu terasa.


Di sudut sana pandanganku terhenti pada sosok yang rasanya telah beberapa waktu tak terlihat dari pencarianku, itulah dia, ya,, Dia yang selalu aku cari dan aku kagumi. Dia duduk sendiri, ada gejolak batin ingin mendekat namun hatiku kembali mengecil tak berani.D alam keraguanku tak sadar Dia telah mengamatiku, dia berikan senyum indah itu. Oh tuhan, ,aku begitu tersipu, kualihkan pandanganku dan kembali bergabung dengan temanteman walau senyumnya masih jelas melekat dalam ingatanku.


Waktu di kapal kami gunakan untuk bercanda dengan teman2, dan membayangkan akan pulau Dewata yang sebentar lagi akan segera sampai. Terkadang aku masih tak percaya akan menginjakkan kaki diBali, Bali yang hanya aku lihat dalam hayal dan terekam dalam ingatan ketika aku melihat pulau Bali dalam layar kaca. Suara kapal terdengar mendengung, deru ombak menjadi semakin pelan, bintang-bintang yang tadi aku lihat kini telah menjadi lampu-lampu yang terang. Pohon-pohon yang menggunung kini jadi bukit hijau yang indah. Disana aku lihat orang beraktivitas, para Penjaja makanan dan minuman serta pengamen nampak terlihat bersorak-sorai.


Kami, dari kapal yang kami tunggangi telah terlihat aktivitas di daratan, matahari mulai membuka celah cahaya,sepertinya menyambut kedatangan kami. Wajah-wajah kusam kini terlihat bersinar, bahkan sebagian temanku ada yang berlari kegirangan seperti anak kecil. Aku, dan teman2ku tersenyum bangga, kakiku tergerak semangat menuruni tangga kapal, melewati jembatan tua, manyusuri lorong-lorong pelabuhan. ”Akhirnya aku menginjakkan kaki di Pulau Dewata”bisikku dalam hati penuh kemenangan
[..]