Senin, 29 November 2010

Baca !!!

Nabi Muhammad; sebuah simbol umat Islam. Ia lahir di tengah suasana yang kacau, pada jaman penuh kegelapan—Jahiliyah. Ia terima wahyu pertamanya dalam keheningan, menyepi di gua. “Baca!!” perintah pertama dari Tuhannya, namun ia masih diliputi dengan kebingungan. Saat itu, Muhammad tak bisa membaca, tak tahu pula apa yang mesti ia baca. Dan pada waktunya ia mengerti, parintah “baca” bukan hanya berarti memasang mata pada sebuah tulisan, namun mengandung makna luas; mendalami, meneliti, megetahui, dan membaca apa saja yang bisa dijangkau.

Begitulah awal mula Muhammad mengubah peradaban masyarakatnya. Hingga kini, ajarannya masih relevan untuk diterapkan. Ia telah menjadi tokoh, menjadi bentuk pencerahan dunia. Michael Hart, dalam bukunya, memposisikan Muhammad pada urutan pertama, diantara 100 orang besar yang berpengaruh di dunia. Hal itu bukan sesuatu yang tak mungkin bagi Hart, meski ia bukan seorang Muslim. Sebab, dari beberapa tokoh yang ada, Muhammadlah yang berpengaruh kuat pada masyarakat dunia hingga kini.

Dari membaca, sebuah pencerahan lahir. Peradaban dibentuk, untuk menciptakan sebuah ilmu dan teknologi. Maka, tak aneh jika peradaban dunia yang mampu bertahan lama, berpegang pada sebuah kitab. Di Yunani misalnya, berawal dari Iliad karya Homer pada abad ke-9 Masehi, lalu berakhir pada Kitab Perjanjian Baru. Di Eropa, karya-karya Newton mengawali peradaban yang lebih baik. Begitupun Alqur’an untuk Islam, ia menjadi sebuah pedoman hidup.

Perkembangan dunia tumbuh pesat dengan menyandarkan pada bacaan. Karya-karya para filsuf dan ilmuan, menjadi penerang jaman yang gelap. Irasional mulai tergusur oleh rasionalitas, ilmu pengetahuan alam mulai berkibar. Begitu pun penemuan sejarah, para arkeolog mencoba mengartikan simbol-simbol yang tak lazim pada jaman sekarang. Mau tak mau mereka dituntut untuk membaca tulisan purba berupa gambar-gambar. Hal itu menandakan, bahwa pada masa lampau pun, manusia jaman dulu sudah mulai merintis budaya membaca.

Para pemikir besar, misalnya, tokoh-tokoh Indonesia, mereka insyaf dengan penjajahan karena sebuah bacaan. Kartini, Wanita Jawa yang penuh dengan teka-teki, ia pun besar karena sebuah tulisan. Goresan penanya mampu mengoyak nurani para pembacanya, namun tentu saja buah pikirannya bukan murni dari dirinya. Dengan jelas jika Kartini terinspirasi oleh Multatuli; seorang Belanda yang berani mengungkap kekejaman penjajahan di Hindia Belanda. Kritik Kartini lahir karena “membaca”.

Begitu pun dengan tokoh-tokoh pergerakan nasonal; Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan para tokoh besar lainnya pada waktu itu, berpegang pada sebuah bacaan ketika dalam pengasingan. Mereka habiskan waktu dengan membaca, sehingga dalam keadaan yang terbatas pun mereka masih bisa melahirkan pemikiran yang “jitu”. Tan Malaka, dalam Madiognya, mengaku jika sebuah buku baginya adalah separuh jiwa. Maka, walaupun dalam keadaan “buron” ia selalu membawa buku-bukunya kemana-mana, meski akhirnya terpaksa harus meninggalkan bukunya ketika ada pemeriksaan.

Semakin tinggi budaya membaca suatu bangsa, maka semakin tinggi pula peradabanya. Begitulah seseorang mengatakan. Kalimat itu, tentu masih bisa diartikan lebih luas—ketika semua bangsa telah menggeliatkan budaya membaca—maka ada sebuah pertanyaan lagi; apakah dengan begitu, lantas semua bangsa telah maju? Seiring dengan pertanyaan itu, maka timbullah sebuah peryataan baru—semakin tinggi kualitas bacaan suatu bangsa, maka semakin tinggi pula peradabaannya.

Begitulah budaya membaca mempengaruhi peradaban manusia. Maka tak aneh lagi, jika suatu saat manusia mendapatkan sebuah definisi baru; manusia adalah mahkluk yang membaca. Membaca, telah menjadi “identitas”manusia yang membedakannya dengan mahkluk lain di dunia. Pada akhirnya, membaca pun sejajar dengan berpikir, berbudaya, dan lain sebagainya yang mencirikan sifat manusia. Tetapi, seperti sifat lainnya, membaca juga akan membawa dampak; buruk ataukah baik.

Seperti yang dilakukan Muhammad, maka “membaca” itu pun memiliki banyak arti. Sebab, setelah peradaban begitu cepat melaju, membaca telah menemui titik buntunya. Artinya, ketika membaca yang kita artikan memicingkan mata pada deretan kata, ia pada akhirnya mengalami sesuatu yang “ajek”. Manusia ternyata tak hanya butuh teori, begitu seseorang mengatakan. Maka, kata “baca” itu, harus kita kembalikan pada tempatnya; manusia dituntut untuk bisa membaca keadaan, membaca alam, memahami, mendalami, meneliti, menciptakan, memperbaiki, dan membaca “manusia” sendiri.
Saya kira, keadaan bangsa Indonesia sekarang ini, mungkin terbentuk karena masyarakatnya hanya bisa “membaca” pada deretan kata. Atau, boleh jadi, mereka tak punya budaya membaca sama sekali.

[..]

Antara Ada dan Tiada

Adakah Tuhan? Ah, pertanyaanku terlalu lancang. Tak hanya itu, mungkin orang akan menanyakan tentang kesehatanku. Gila? Aku rasa itu berlebihan, sebab sampai detik ini aku masih bisa menulis, masih bisa menggunakan otakku untuk bertanya-tanya. Memang, pertanyaanku terdengar mengacau, tapi bagiku inilah pertanyaan seriusku.


Setiap waktu kita berhubungan dengan Tuhan, dengan menyebut namaNya maka semua akan menjadi berkah. Atau, ketika para artis sinetron berkomentar tentang bencana alam, ia hanya bisa mengatakan “Ini cobaan Tuhan”, dengan raut muka sedih—tapi bagiku itu sikap naïf. Dan begitulah adanya, Tuhan menjadi perbincangan dalam kekalutan.

Lalu begitukah kita menganggap Tuhan? Dalam kekacauan yang menyedihkan dan kehancuran alam. Seolah Tuhan menjadi kata yang ampuh untuk memandang kesakitan, menelisik derita manusia. Barangkali hal ini tak seimbang, maka Tuhan pun di ucapkan pada suasana bahagia. Dengan itu, Tuhan pun ramai dalam suasana kemenangan.

Tapi adakah orang menjelaskan tentang Tuhan? Mungkin ada, bisa jadi dari obrolan guru agama atau para filsuf terkemuka. Pernah ada yang mengatakan, jika Tuhan laksana tukang ukir. Membentuk sebuah kayu menjadi patung orang, binatang, atau apa saja yang dekat dengan kehidupan kita. Lalu seperti itukah kita menggambarkan Tuhan?

Ah, pernyataan itu agaknya terlalu ringan—kata seorang intelektualis. Baik, kita masukkan kekacauan pikiran pada hal rasional atau tidak rasional. Sebagian orang, memandang Tuhan adalah dengan rasionalitas, dan selebihnya adalah irasonalitas atau mistik. Ada yang mencoba mengungkap Tuhan, ada pula yang begitu takut menelaahnya karena dianggap terlalu suci.

Jika masuk dalam ranah rasionalitas, maka kita akan temui hal apa yang kita namakan filsafat. Filsafat, secara garis besar, akan dibagi menjadi tiga unsur; tentang ada(Ontologi), pengetahuan(epistemologi), dan tentang nilai(Aksiologi). Maka jelas, kita akan mengacu pada hal ada dan tak ada, atau yang kita sebut Ontologi. Adakah Tuhan? Itulah pertanyaan yang begitu nakal.

Dengan demikian, seorang Scientis, akan meminta bagiannya tentang hal ini. Sebab, dalam Science, “ada” itu menjadi hal penting dengan pengertian sebagai benda. Benda inilah tadi yang kita jadikan sebuah objek, dan yang jadi pertanyaan besar lagi, adakah objek ini? Untuk meneliti objek, harus ada metode yang sistematik. Terakhir, hasilnya harus disetujui semua manusia—universal.

Kita lihat saja pada air dan minyak. Para ahli dengan gigihnya meneliti air, dari jaman nenek moyang kita yang menganggap air sesuatu ajaib, sampai pada akhirnya ditemukannya oksigen dan hydrogen. Tak sampai situ saja, kini telah kita temui juga unsur yang sangat banyaknya. Begitu pun minyak bumi, mereka teliti dan diuji terus menerus hingga pada fungsinya.

Syahdan, orang bijak mengatakan ” seperti air dan minyak yang tak pernah bisa bersatu”. Satu kolam air, jika kita tuangkah segelas minyak saja, maka minyak dengan sekejap memenuhi bagian atas. Hukum itu tetap, tak dapat satu ahli pun yang bisa menyatukan air dan minyak. Jika ada, boleh jadi ia akan menjadi orang kaya mendadak. Tapi dari manakah hukum itu? dari mana datangnya kuasa itu?

Kalau pernyataan itu dianggap terlalu sempit, kita alihkan pada yang luas. Semua benda di dunia ini adalah tetap kodratnya, ia akan selalu berjalan dalam siklus yang tak pernah bisa putus. Seseorang ketika hidup, ia akan meminum banyak air dan makan dengan porsi yang banyak, maka saat itu ia akan bertubuh gemuk. Lalu, jika ia mati, dan dikubur, akan kemanakah tubuh itu? kemanakah jiwanya?

Mungkin, kodrat yang tetap akan kita benarkan dalam hal ini. Tubuh itu lenyap dijarah oleh mahkluk tanah, lalu semua zat yang ada di dalamnya akan kembali ke tanah. Siklus itu, takkan pernah ada putus-putusnya, cairan yang ada dalam si mayat tadi pun akan kembali ke permukaan bumi ini. Bisakah manusia membuat siklus yang maha ampuh itu? menyimpan jiwa yang lepas dari jasad?

Pada pemahaman itu, Tuhan pun ramai untuk diagungkan, menjadi penguasa alam semesta. Memang, Tuhan tak bisa dibentuk, namun ia “ada” ketika kuasaNYA ada. Seseorang filsuf mengatakan “Tuhan ada karena tak ada” artinya, Tuhan ada ketika manusia tak ada ide menciptakan sebuah karya ilmiah.

Pada saat itulah Tuhan menjadi Universal, semua manusia mengakui adanya Tuhan. Meski pun Tuhan diartikan dan dinilai dengan berbagai sisi pandang, namun dalam hal ini, kita bisa tarik sebuah benang merah yang mengaitkan berbagai sisi tadi. Dan Tuhan pun dimiliki semua manusia. Seperti itulah orang merasionalisasikan Tuhan.

Lalu bagaimanakah dengan Tuhan yang dipandang sebagai irasionalitas atau mistik? Sebenarnya, ketika seseorang tak mampu bertanya tentang Tuhan, saat itulah manusia berpikir mistik. Ia memandang jika Tuhan terlalu suci untuk dipertanyakan, atau ketika manusia tak lagi bisa menemukan yang “rasional”. Pada akhirnya, sebenarnya, kaum rasionalis pun dengan batas tertentu akan menemui sesuatu yang irasional atau mistik.

Kita pun kembali bertanya-tanya, jadi sebenarnya Tuhan ada atau tidak ada?
Jawabnya, “Tuhan ada karena tak ada, dan Tuhan tak ada karena ada”.
Duh, kawan, aku terlalu lancang…
[..]

Ketika Alam Tak Lagi Punya Wibawa

Setelah beberapa saat aku pandangi sebuah mobil hiasan, yang terbuat dari kayu, ingatanku mulai bereaksi menuju masa kecil. Mobil itu, terpampang dengan gagahnya di lemari besar, yang juga tempat meletakkan televisi. Dengan indahnya, mobil itu dibentuk sedemikian rupa, dari bahan yang mungkin disebut limbah.

Dulu, ketika kecil, aku senang sekali bermain di sawah, karena memang rumahku dekat dengan sawah. Kucomot tanah liat, kukantongi dalam plastik, kemudian aku bawa ke rumah. Aku kelola tanah liat itu bersama teman-teman, kita bentuk semaunya.

Biasanya, aku membuat patung kecil, berbentuk Superman, atau Popeye yang pada lengannya terdapat tonjolan besar. Ada lagi temanku, membuat bola dunia, dengan garis-garisnya yang khas tak teratur. Dan yang paling mengesankan, adalah temanku yang membuat macam-macam kursi. Dari mulai kursi biasa, sampai kursi para raja.

Kita bukan pematung yang handal, atau lebih tepat dibilang sebagai orang yang lancang. Bagaimana tidak lancang, patung itu dibuat kemudian dihancurkan semau kita, bahkan membuatnya dengan bentuk yang berbeda. Kita seolah menjadi penguasa yang dengan mudahnya membuat bentuk, yang menurut kita bisa difungsikan.

Begitulah bumi kita, ia dibentuk untuk dihancurkan. Manusia, seolah-olah memandang bumi, yang baru mereka lihat, dengan kagumnya, dan ia tunduk dengan pesonanya. Kemudian mereka teliti, mencoba menelaah apa yang dianggapnya ajaib. Dan pada saat itu, manusia gandrung padanya—bumi.

Jaman dahulu, nenek moyang kita, begitu terkagum-kagumnya dengan air. Air menjadi benda yang menurutnya ajaib, air menjadi hal yang mistik. Manusia menggolongkan air menjadi bagian dari alam, lalu mereka agungkan. Tapi manusia tak sampai di situ saja, ia teliti air itu, ia amati waktu demi waktu, dan akhirnya diketahuilah apa yang dinamakan hydrogen dan oxigen.

Tak lama kemudian, manusia menemukan fungsi air. Ia mengetahui begitu banyaknya yang bisa kita manfaatkannya. Mulai dari untuk menghilangkan dahaga, sampai pada fungsinya untuk hewan dan tumbuhan. Manusia tak hanya tahu tanah, air, udara, dan api saja, melainkan telah menemukan berbagai zat yang ada di alam ini.
Ketika air yang menjadi milik alam telah diketahui manusia, termasuk berbagai macam fungsinya, saat itu ia telah menjadi milik manusia. Air bukan zat milik alam yang ajaib, ia tak lagi punya mistik yang mengagumkan, namun ia telah menjadi bagian manusia. Dan manusia telah terikat dengan air, tak bisa hidup dengannya, kemudian dikelola oleh manusia untuk mencukupi kehidupannya.

Manusia tak cukup mengambil, ia lebih daripada itu. Air dengan mudahnya dibentuk, dicampur, dan dijual. Air yang nenek moyang kita dahulu tahu adalah air biasa—seperti yang kita manfaatkan—sekarang telah berubah berbagai bentuk, akibat penelitian manusia. Bukan saja berubah bentuk, kini ia telah berubah nama—seperti minyak bumi. Perubahan nama itu telah menyebabkan pertikaian antarnegara, menjadi monopoli manusia-manusia sekarang. Dan manusia, telah kehilangan kendalinya memandang alam.

Alam dianggap sebagai benda mati, dijarah semau manusia, diperdagangkan sekehendak lubang celana mereka. Akhirnya, alam benar-benar kehilangan wibawa, tak lagi dipandang ajaib dan mistik, alam telah menjadi milik manusia yang bebas untuk dibentuk. Manusia benar-benar menjadi penguasa.

Memang, manusia sebelum menemukan sesuatu yang ilmiah, ia lebih percaya dengan mistik. Manusia menggunakan mitos sebagai alat untuk menutupi keterbatasannya untuk mengetahui apa yang ada di alam ini. Namun, manusia justru lebih tunduk terhadap nilai spiritualis ini, ia memandang bahwa alam itu hidup.

Dari pandangan itu, manusia menghormati alam. Mereka junjung tinggi spiritual, dan begitu taatnya terhadap alam. Ketika terjadi bencana, mitos kembali kuat terangkat pada masyarakat. “Alam telah murka” begitulah manusia mengatakannya, mereka percaya alam marah. Untuk itu, alam mereka jaga, mereka hargai sedemikian rupa.

Tapi kini jaman telah berganti, waktu begitu cepat menderu, dan peradaban manusia semakin bergeser. Kepercayaan mistik maupun mitos telah dinalarkan, bencana yang datang bukan karena murka alam, tapi telah dianggap menjadi hukum Tuhan, dan kemudian datang era ilmiah. Manusia meneliti, mencoba, menggunakan, dan mengambilnya banyak-banyak.

Peradaban manusia berkembang begitu cepatnya, teknologi menjadi hal yang telah biasa, dan cerita nenek moyang hanya dianggap lelucon menjelang tidur. Semua itu melupakan manusia sebagai kodrat yang bersenyawa dengan alam, menginjakkan kaki di alam. Akhirnya, alam benar murka, bencana di mana-mana, tanah tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

Untuk itu, Tuhan menjadi ramai disembah, menjadi perbentengan terakhir kegalauan manusia. Bencana, dianggap hanya teguran Tuhan, hanya kekuasaan Tuhan, tapi manusia sendiri telah lupa kendali. Manusia lupa dengan apa yang diperbuat, mereka telah alpa dengan ketamakan, keserakahan, ketakutannya dengan alam. Manusia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya, namun ia tidak bisa meneliti perbuatannya sendiri.

Ah, aku kembali tegugah dengan lamunanku yang begitu mengacau ini. Tapi bagiku, ada kesadaran yang terdorong dengan logika. Manusia, seperti aku ini, ternyata bisa dengan mudahnya membentuk alam ini, tapi juga dengan mudahnya merusak. Seperti kita membentuk tanah liat menjadi berbagai wujud, dan kemudian dengan sekejap menghancurkannya, lalu membuatnya dengan bentuk lain.
[..]

Jiwa

“Ah, guru itu membosankan, dia terlalu bertele-tele” kata seorang murid ketika sedang asyik berbincang dengan teman sekelasnya. “Pak Anu sangat menyenangkan jika mengajar, dia baik tetapi tegas” kata seorang murid lainnya yang juga sama-sama ngobrol. Dan sudah menjadi hal yang lazim jika seorang murid membicarakan seorang guru perihal cara ia mengajar, atau tentang kebiasaan seorang guru, yang diam-diam merangsang murid untuk “menilai”.

Ketika kita berada dalam angkutan umum, acapkali kita mendengar teman-teman membicarakan guru. Atau ketika sedang berada di kantin, obrolan pun mencuat dengan sendirinya; obrolan tentang situasi di dalam kelas. Kita dan mereka, terkadang telah tersihir dengan cara seorang guru mengajar. Kita, akan merasa senang jika sang guru itu baik; tidak suka marah, mudah memberikan nilai.

Sebaliknya, kita akan merasa malas jika seorang guru terlalu membosankan; tidak pernah senyum, sulit memberikan nilai, banyak tugas. Walaupun guru itu—yang kita anggap membosankan—sebenarnya sangat lugas dan cakap dalam mengajar. Hanya karena alasan yang tidak menguntungkan, kita tak berpikir panjang lagi untuk mengatakan ”Pak Anu gag pengertian, dia sering ngasih tugas”.

Mungkin, cara pandang seorang pengajar dengan seorang yang diajar berbeda. Di satu sisi, seorang pengajar menginginkan mereka yang diajar mampu dan cakap dalam mencerna ilmu; walau terkadang seorang guru terlalu memaksakan kehendak. Sisi lain, mereka yang diajar menginginkan apa yang menurutnya tidak membebani mereka. Hal ini, terkadang menimbulkan salah tafsir yang berakibat pada efektifitas pembelajaran.

Tapi agaknya kita luput dengan satu hal, yaitu jiwa kita—rohani. Kita tak pernah tahu batin seorang guru seperti apa, apakah ia sedang kalut ataukah bahagia. Sebaliknya, guru tak pernah tahu apa yang dirasakan seorang murid, apalagi murid yang begitu banyaknya; satu kelas, atau bahkan beberapa kelas. Maka, kita dipaksa untuk menyesuaikan batin kita ketika masuk dalam kelas.

Tak banyak pendekatan secara emosional dilakukan dalam pembelajaran. Mereka, seorang guru hanya memainkan peran sebagai “pentransfer”. Sedang seorang murid pun memainkan peran yang lebih konyol lagi, ia merasa menjadi benda mati yang diombang –ambingkan si pemakai—guru. Sehingga, seberapa baiknya “transaksi” itu, ia hanyalah sesuatu yang canggung.

Padahal pendekatan emosional adalah cara yang paling efektif dalam pembelajaran. Guru, bukan lagi sebagai pengajar yang memindahkan ilmu kepada si murid. Namun guru adalah pendidik yang mampu membidik muridnya untuk menjadi lebih baik, tentu ada kenyamanan. Sehingga kerap kali kita mendengar celoteh seorang murid yang ditujukan kepada guru. Jika guru itu baik—secara emosional, maka seorang murid pun merasa senang dengannya, meski mata pelajarnnya susah.

Itulah mengapa kita diharuskan sekolah secara formal, sebab hal itulah yang menjadi dasar antara mereka yang sekolah dengan yang tidak sekolah. Kita, diajarkan untuk mengetahui ilmu, namun kita juga mendapat sentuhan rohani dari seorang guru; sehingga kita mengerti untuk apa ilmu itu, dan untuk apa kita mempelajarinya.

Maka lahirlah generasi yang disebut “Kaum Intelektual”, di sini artinya adalah orang-orang yang terdidik. Seorang bisa dikatakan intelektual, jika ia mampu memberikan ilmu itu secara baik kepada orang lain. Seorang guru, bisa dikatakan intelektual jika ia bisa memberikan ilmu yang dimilikinya kepada murid dengan baik. Artinya, sesuatu yang esensial itu bisa terjangkau; sesuatu yang dasar dari ilmu itu bisa didapatkan.

Dari pengajaran seperti itu, kita akan menemukan siklus pendidikan. Dengan kata lain, kita bisa mengaplikasikan ilmu itu dengan tepat guna. Ilmu yang kita dapat akan bisa tercurah untuk masyarakat, untuk bangsa ini. Dan pada akhirnya, kita telah mengabdi kepada bangsa. Sebab, berpendidikan adalah sebuah pengabdian.

Tentu pengabdian itu didasarkan pada jiwa, pada batin kita. Karena dalam pendidikan itu sendiri telah mengandung pengajaran emosional. Sebab—seperti apa yang dianjurkan Ki Hajar Dewantara, pendidikan haruslah mengandung nilai “Tut Wuri Handayani” yang artinya adalah; dari belakang kita/guru memberi daya-semangat dan dorongan bagi murid.

[..]

Sebuah Pesan

Anak kecil itu, menggelesot dan tersedan-sedan di trotoar. Tangan kanannya memegang segumpil roti, sedang tangan kirinya menekan perut. Tak lama kemudian, seorang wanita memberinya selembar uang, nampaknya bocah itu kelaparan. Dipunggunginya tembok yang terdapat graviti— bergambar para calon presiden. Mungkin, graviti itu dibuat pascapemilu.


“kita semua bahagia” seperti itulah kiranya tulisan yang ada di bawah gambar. Dari gambar itu, agaknya si pembuat ingin memberikan pesan kepada elit politik kita. Bunyi tulisan itu pun sudah jelas, si pembuat ingin agar para elit politik kita rukun—memecahkan permasalahan negeri ini bersama-sama—bukan mementingkan kelompoknya sendiri.

Ah, tapi aku tak suka bicara tentang politik, dari dahulu hingga sekarang ternyata masih sama saja. Siapa pun presidennya, pasti di sana ada protes. Kita lihat saja dari masa ke masa, ada saja permasalahan, padahal sudah jelas, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Semestinya, masyarakat lebih merasa puas dengan presiden yang dipilihnya. Tapi kenyataannya? Mengapa banyak protes? Darimana datangnya protes itu? Apa memang benar, jika para elit politik hanya mementingakan kelompoknya?

Melihat suasana itu, maka pandanganku pun lebih kupicingkan pada bocah itu. Sebab, tak ada guna pula memperhatikan mereka, kalau pun aku melihat, itu karena kekagumanku pada si pembuat gambar—dengan mudah kita tahu siapa gambar itu. Karena aku naik kendaraan umum, maka terpaksa aku harus sedikit royal, agar bisa melihat dengan jelas bocah kecil itu. Untung saja jalanan macet, jadi aku bisa cukup lama mengamati.

Memang benar, bocah itu menangis tersedan. Awalnya, aku tak yakin jika anak itu kelaparan. Yang aku tahu, ia memegang segumpil roti sembari tangan lainnya menekan perut. Namun, sayup-sayup terdengar suara “lapar…” diiringi dengan tangisnya yang memilukan. Jika melihat ada roti di tangannya, boleh jadi bocah itu belum makan nasi. Tapi siapa dia? Dimana orangtuanya? Kenapa sampai kelaparan? Ah, Jakarta, kau hanya penghasut!!

Dari pakaian yang ia kenakan, sepertinya ia bukan anak jalanan yang biasa aku lihat. Aku sering sekali melihat anak jalanan meminta-minta di kendaraan umum. Biasanya, anak-anak jalanan itu nongkrong di perempatan jalan. Ketika lampu menyala merah, anak-anak itu segera menyambangi kendaraan umum, ia membagikan amplop kosong kepada para penumpang, kemudian ia bernyanyi dengan alat dan suara seadanya.
Di bagian belakang amplop, tertulis “kami anak jalanan, ingin makan, sekolah, dan hidup senang. Mohon bantuan bapak, ibu, dan kaka seikhlasnya.” Terkadang, ada beberapa orang yang mengisi amplop itu, mungkin karena membaca tulisan di belakang amplop. Tapi ada juga orang yang acuh, menerima amplop itu pun agak enggan. Sedang aku, kalau memang ada uang lebih, pasti aku isi.

Tak terasa mobil semakin menjauh, bocah itu masih menggelesot di trotoar sambil menangis. Sedang gambar-gambar itu, masih saja tersenyum, tapi bagiku senyum itu nampak hambar dan tak menarik lagi. Dari kejauhan, kulihat ada orang yang menghampiri bocah itu, seperti mengingatkan, tapi aku berharap orang itu membujuk.

Kendaraan pun terus bergerak pelan. Tak sengaja, aku melihat spanduk bertuliskan “Diskusi Sumpah Pemuda!!” Dan aku baru menyadari bahwa hari ini adalah hari sumpah pemuda. Sejenak, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri; Bagaimana Indonesia akan maju? Jika anak bangsa, yang notabene pemuda, banyak yang terlantar? Apa peran para elit kita?
Ah, aku berharap ini hanya pertanyaan nakalku saja…
[..]

Sabtu, 27 November 2010

Cerita Lalu

Aku mengerti kawan, kau dan aku tak terpisahkan
Tapi bukan hati, namun nasib yang mengatakan
Ah, tapi aku tak suka kita menyerah pada nasib
Kau dan aku dulu, bersama mengangkangi nasib kita yang memang malang..

Kita pernah duduk untuk bicara serius
Dengan mata tajam, dengan dahi berkerut
Kita keluhkan cerita hidup yang seirama
Ya, tentang nestapa ataupun cinta

Kadang kita juga mentertawakan kesusahan
Kita tanggalkan kemiskinan sejenak yang melekat
Kita sandarkan kepala pada seonggok bantal
Kemudian kita bercericau tentang mimpi-mimpi..

Tapi sekarang kita jauh, kawan
Mungkin kau sekarang sibuk mencari pekerjaan
Bukankah kau sering ceritakan itu padaku?
Tentang kehidupan, tentang keserakahan, dan keluh kepayahan..
[..]