Sabtu, 19 Maret 2011

Pancasila Itu Apa Sih?


Ini sebuah kesan yang menyentak hati saya, kadang-kadang menggelitik jiwa keterpelajaran saya. Ya, dengan bangga saya memaklumatkan diri saya sebagai kaum terpelajar. Alasannya jelas dan ringkas, yaitu karena saya belajar di sebuah institusi pendidikan tinggi.

Ketika liburan usai dan semester baru dimulai, maka seperti biasanya para mahasiswa di kampus saya melakukan daftar ulang. Mahasiswa berkewajiban membayar beberapa pundi rupiah untuk menyatakan dirinya, disertai sebuah lembar, bahwa ia terdaftar kembali menjadi mahasiswa. Dalam lembaran itu, terpampang Pancadharma pendidikan, atau sangat boleh jadi mirip dengan Pancasila.

Awalnya saya sangat bangga, tentu saja saya merasa nyaman dengan keterlibatan Pancasila dalam lembar daftar ulang itu. Kita tahu, Pancasila merupakan warisan Bapak Bangsa yang sangat monumental, itu diakui negara-negara di dunia. Dengan Pancasila, negeri yang begitu beragam suku dan budayanya, mampu terlebur dalam sebuah bangsa yang satu; Indonesia.

Tetapi yang terpenting bagi saya, yang statusnya adalah mahasiswa berkantong cekak, maka sila kerakyatanlah yang saya dambakan. Masuknya Pancasila bersama kerakyatannya tadi ke dalam dunia pendidikan, pikiran logis saya menyimpulkan bahwa pendidikan di negara saya, menghormati segala bentuk kesetaraan, termasuk menerima mahasiswa dari semua golongan.

Tak bisa dipungkiri, sebuah institusi pada dasarnya memang memiliki unsur kapital; Ada transaksi keuangan untuk menghasilkan keuntungan. Namun apakah hal itu bisa disamakan dengan bisnis? Saya rasa tidak. Bila pendidikan menjunjung tinggi Pancasila, berarti ia juga menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan; ada pencerdasan, bukan semata-mata pencarian keuntungan.

Dengan besar hati saya membayar daftar ulang, juga mengajukan penundaan pembayaran—saya ada tunggakan. Jauh dari harapan, ternyata surat itu justru dimentahkan dan saya dimaki-maki oleh petugas keuangan. “Tidak ada keringanan,” bentaknya. Saya berpikir keras, dugaan saya ini hanya “gertak sambal” saja. Akhirnya saya sadar, kampus memang tak memberikan keringanan.

Pada puncaknya, dengan pikiran sinting, saya menyimpulkan kejadian tadi; bila saya ingin kuliah, berarti saya harus bayar—kalau hutang tentu tidak boleh, semua harus dibayar tuntas. Jika saya analogikan, mungkin kejadian ini sama seperti kejadian yang dialami orang-orang yang kelaparan karena tak punya uang, orang-orang yang mati di antrean rumah sakit akibat tak ada uang. Nah, pendidikan kita seperti bisnis, bukan?

Kertas daftar ulang saya pandangi lagi lebih detail, saya perhatikan benar-benar tulisan Pancasila itu. Saya pun menghela nafas, sambil berbisik, “Pancasila itu apa sih?”
[..]