Minggu, 30 Oktober 2011

Untuk Secangkir Kopi di Taman Ismail Marzuki


Seperti biasa, bila bosan, aku dan temanku, Sumitro, pergi menjelajah Jakarta. Siang tadi kami pergi ke Taman Ismail Marzuki. Tak ada rencana sebenarnya. Tapi kami tahu, setiap Sabtu, aktivitas lengang. Sumitro meluncur dari Depok ke Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan. “Aku tunggu di halte depan stasiun,” kataku. Aku segera angkat kaki dari kampus.

Lama aku menunggu, kira-kira setengah jam lebih. Jalanan macet. Parade kendaraan, bunyi klakson, kepul asap. Baragkali ada demonstrasi di perempatan jalan sana, aksi Sumpah Pemuda. Aku tak peduli. Seorang lelaki berbadan kurus kecil dan rambut keriting panjang terurai terlihat turun dari angkot. Itu Sumitro. Aku sudah di muka stasiun, ia di seberang jalan, melambaikan tangan. Aku membalas. “Ya..!” teriaknya.

Kereta ekonomi jurusan Jakarta Kota melintas setengah jam lagi. Kereta AC sepuluh menit lagi. Biarlah, kami pilih yang ekonomis saja. Kami duduk di bangku tunggu, sulut rokok, ngobrol ngalor-ngidul. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya menghampiri dan menengadahkan tangan. Kutatap mata si Ibu itu, masih sehat. Kuberi dua keping uang lima ratusan.

“Aku sering kepergok orang semacam ini. Ngomongnya kesasar, ujung-ujungnya minta duit. Bukan aku pelit, bila dibiarkan jadi kebiasaan. Tak ada pekerjaan yang hina, mengemis bukan pekerjaan. Itu menghinakan diri,” kata Sumitro.

“Aku ingat Ibuku. Semoga jangan sampai kita menelantarkan orangtua,” timpalku.

Sumitro menatapku dengan agak kecut. Ia seolah memendam cerita buruk yang serupa adegan tadi. Rokok diisap dalam-dalam dan diembuskannya dengan tidak teratur. Ia kembali bicara.

“Kemarin di bus aku hampir kecopetan. Telepon genggam sudah setengah terangkat di saku celana. Tangan itu milik pemuda gagah, rapi, berkemeja. Kudekati dia, kubisikkan kata di dekat telinganya, ‘tangannya hati-hati, Mas’. Si pencopet ganteng itu lekas turun. Ada-ada saja!”

Itu cerita klasik di ibukota ini. Perampokan secara terang-terangan pun kian marak. Kadang pelakunya TNI, membawa senjata api, dan korban banyak yang mati. Kemarin beredar kabar seorang sopir memerkosa penumpang perempuan, dibunuh, dikuras barang-barangnya pula. Gubernur mengelurkan suara kontroversial “makanya perempuan jangan mengenakan pakaian seksi”. Banyak pihak yang memprotes pernyataan itu lewat media, Gubernur dianggap tidak paham persoalan. Tapi bagiku itu wajar, sebab budaya buka-bukaan di Indonesia memang belum lazim.

Aku pun mengatakan pada Sumitro tentang pemberitaan media massa yang terlampau berlebih. Masyarakat dibuat bodoh, keblinger, dan akhirnya mengikuti suara sumbang.
“Kemarin aksi Sumpah Pemuda dikerubuti wartawan, padahal jumlahnya sedikit,” ucap Sumitro mengalihkan pembicaraan.

“Itu pun cuma diliput dampak macetnya saja, Tro. Tuntutannya tidak dimuat.”
“Matinya Khadafi juga beritanya tragis. Semua media menyerang dia. Itu menyedihkan. Padahal Khadafi sudah minta jangan ditembak, kok malah dihabisi. NATO jelas melanggar hukum internasional.”

“Ya, Tro. Media bisa memanipulasi fakta. Tergantung kepentingan.”

Perang di Libya penuh tanda tanya. AS dituding terlalu jauh mengintervensi. Bisa saja kepentingannya karena minyak dan kekayaan lain. Bisa juga karena ideologi. Khadafi dianggap terlalu keras menentang AS. Seharusnya, dalam situasi konflik seperti ini, media mesti hati-hati meliput. Jangan sampai ada kesan memihak salah satu kubu. Di Indonesia, berita di beberapa koran menukik tajam menyerang Khadafi.

Namun ada koran yang justru condong pada Khadafi. Koran Tempo menulis, pascapemberontakan di Libya, proyek pembangunan pesantren/ universitas bantuan, masjid, dan pusat kesehatan masyarakat dari World Islamic Call Society (WICS) di Indonesia terhenti. WICS merupakan perkumpulan lebih dari 250 organisasi Islam yang didirikan dan didanai Libya pada pemerintahan Khadafi. Di berita itu disebutkan pula syarat dari pemerintah Libya: “ jangan gunakan fasilitas itu untuk kepentingan kelompok radikal.”

“Kalau Indonesia bandel pada AS, bisa jadi SBY dijewer juga,” seloroh Mitro.
Setengah jam tak terasa terlewati. Petugas stasiun memberitahu kereta hampir tiba. Sebentar kemudian kereta itu benar datang. Sesak. Penumpang ada pula yang nekat duduk di atas. Kami menuju perron.

“Mari naik!”

***

Tak ada yang berbeda suasana di kereta ekonomi. Tetap riuh-kumuh dan berdesakan. Pedagang lalu lalang, tunanetra bertembang, si pincang mengangkat tangan dengan tenang. Menyedihkan. Tapi apa boleh buat, pemerintah kita ‘kan’ tidak bisa melihat.
“Sssssttt...depan jam 12. Angka 3,” kataku.

Sumitro paham dan tertawa. Di sebelah kanan kami ada gadis berambut panjang. Pakaiannya ketat serupa ketupat. Kami sengaja menggunakan sandi ‘jarum jam’ setiap di dalam gerbong kereta. Angka jarum jam itu petunjuk arah. Bila kami menyebut angka, berarti ada seseorang luar-biasa. Ini cukup mengusir kebosanan kami selama perjalanan. Kami juga kerap bercanda menyaksikan macetnya Jakarta.

“Kalau macet harus dinikmati. Siapa tahu besok tak ada macet lagi. Bisa jadi kenangan,” ucap Mitro polos.

Stasiun Cikini. Kami turun. Stasiun ini memang agak besar, untuk keluar penumpang harus melewati terowongan dan menuruni tangga. Kami dikejutkan dengan minimarket Indomart di dekat pintu masuk. Indomart PT KAI. Tanpa basa-basi tiba-tiba Sumitro masuk, membeli minuman, dan menyodorkan padaku. Aku melihat raut muka pedagang kecil di sekitar pintu stasiun murung. Dagangan mereka tidak laku.

“Harusnya aku tidak beli minuman di situ,” Mitro menyesal.

Keadaan pedagang ini mengingatkanku pada film berjudul American Gangster. Film ini diawali potret Amerika era 60-an. Bumpy, pejuang rakyat jelata yang akhirnya meninggal, melakukan adegan membagi sembako pada warga miskin. Ia terkejut ketika kapitalisme bangkit. Minimarket-minimarket dibagun di mana-mana. Tempat nyaman, harga murah. Ia berkata, “kalau terus seperti ini, warga AS banyak yang menganggur. Toko modern itu langsung dikirimi dagangan dari produsen, distribusi semakin pendek, tidak butuh banyak tangan. Pedagang kelontong bisa gulung tikar.”

Kami menginjak Jalan Pegangsaan Timur, meninggalkan pedagang-pedagang kecil itu dengan melas. Kaki ini melangkah ke arah kanan stasiun. Tak jauh, terlihat gedung kampus kedokteran UI. Aku berceloteh serupa pendongeng pada sahabatku ini, bahwa jaman Belanda gedung itu bernama STOVIA. Bapak Pers Nasional, RM Djokomono Adhi Soerjo, pernah sekolah di sini. Ia dikeluarkan pihak sekolah tanpa alasan, ia pun akhirnya mendirikan koran Melayu pertama bernama Medan Prijaji.

“Daerah di sekitar sini sering disinggung pengarang-pengarang besar dalam karyanya, seperti Abdoel Moeis dan Pramoedya,” kataku menggurui.

Setelah berjalan cukup lama, kami tak menemukan TIM. Aku agak bingung (mungkin karena aku belum pernah masuk, hanya lewat saja). Saat bertanya pada penyapu jalan, TIM ada di arah sebelah kiri stasiun. Kami balik arah.

“Lumayan bikin pegel kaki,” canda Sumitro.

***

Sebuah patung menyambut kami, itu dia Ismail Marzuki. Pelataran TIM dipenuhi mobil dan bendera merek rokok. Kami memasuki daerah yang dikenal sebagai ‘sarang’ seniman. Tapi aku tak menyerap energi seni di sini. Hanya terpampang tulisan Graha Bhakti Budaya dan Pds. Hb. Jassin, itu pun sekadar terkesan tua. Kami mulai mendekat.

Orang bergerombol menatap papan pengumuman. Kami turut nimbrung, papan itu berisi pengumuman jadwal pentas. Tiketnya cukup mahal, Rp 75 ribu di balkon. Di samping gedung itu ada gedung bioskop: aku merasakan aroma hedonisme sangat kuat di sini. Di sampingnya lagi ada toko buku, menjual buku lawas tentang seni-budaya.

“Kita lihat-lihat buku saja” Mitro bersemangat.

Ada paradoks di TIM. Di satu sisi ia menawarkan nilai-nilai kebudayaan berupa pentas teater atau pentas seni lainnya, tetapi di sisi lain ada kapitalisme: bioskop, cafe, dll. Aku tak menemui sosok yang ‘nyeni’, justru kebanyakan dari mereka ‘modis’.

Kami memasuki toko buku. Mataku ‘jelalatan’ memandang ke sana- ke mari. Toko buku ini seperti toko buku emperan di Pondok Cina Depok dan Kwitang Pasar Senen. Tapi meskipun bekas, harganya cukup mahal: mungkin karena langka. Aku sibuk mencari buku berjudul ‘Prahara Budaya’ yang disusun Taufiq Ismail & D.S. Moeljanto, tidak ketemu. Akhirnya, setelah minta tolong, seorang penjaga yang baik hati mau menunjukkan letak buku itu.

Lembar demi lembar aku baca secara acak. Sementara Sumitro masih asyik membaca majalah. Di daftar isi, terdapat beberapa ‘nama’ seperti Manikebu, Lekra, PKI. Tentu saja ada nama sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Buku ini menceritakan perang ideologi para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan anti-Lekra. Anggota Lekra, seperti Pram, menginginkan kebudayaan nasional mesti dikembangkan—termasuk dengan menutup rapat-rapat celah budaya luar masuk. Tetapi para pelajar atau cendekia menentang itu. Mereka berpendapat, kebudayaan adalah sesuatu yang bukan hanya berkaitan dengan memberi, tetapi juga menerima: tidak mengutamakan salah satu sektor budaya. Beberapa penandatangan Manifes Kebudayaan ialah Goenawan Mohamad Arif Budiman, Toufik Ismail, Hb. Jassin, dll.

Beberapa saat, aku memukan pidato Pram pada sidang Pleno Lekra di Palembang. Pidato itu kurang lebih ditutup dengan paragraf ini:

Saya menyampaikan sekali lagi pada kawan-kawan sekalian, bahwa tak mungkin kita membangun kebudayaan nasional pada satu pihak tanpa menjebol kebudayaan imperialis Amerika Serikat pada lain pihak. Mungkin ada yang bertanya, mengapa imperialis Amerika Serikat, mengapa bukan hanya Inggris dengan proyek neokolonialisnya yang bernama'Malaysia?' Karena kita tahu betul, kawan-kawan, bahwa tanpa imperialisme Amerika Serikat, imperialisme-imperialisme lain itu akan rontok tanpa daya, juga imperialisme Inggris plus proyek neokolonialismenya baik di 'Malaysia'maupun Rhodesia.
Maka yang paling tepat kita serukan sekarang ini ialah:
Ganyang imperialisme Amerika Serikat!
Ganyang kebudayaan imperialisme Amerika Serikat!
Ganyang kebudayaan komprador Amerika Serikat di Indonesia!
Ganyang AMPAI!


Aku panggil Sumitro, ia ikut membaca. Namun harus kutaruh kembali buku itu di raknya. Duitku tak cukup membelinya.

“Ayo ngopi,” ajak Sumitro.

Dari pelataran, kami mengamati kembali gedung Graha Budaya yang bersanding dengan gedung XXI, sepaket cafenya. Barangkali isi Manifes Kebudayaan benar-benar berhasil diterapkan di TIM: kebudayaan yang memberi dan saling menerima. Tapi kami merasa budaya asing lebih kuat melingkupi tempat ini.

“Kita ngopi di cafe?” kataku.

“Jangan, di depan sana saja, di pinggir jalan.”
[..]

Sabtu, 29 Oktober 2011

Proses


Hari ini aku dipaksa kecewa lagi. Tulisanku tak berhasil masuk 20 besar di lomba esai mahasiswa. Memang, pesertanya cukup banyak: 937 naskah masuk meja juri. Padahal beberapa kali telah kukoreksi tulisan itu, aku cukup optimis. Entah, barangkali aku orang yang punya optimisme tinggi. Optimisme untuk gagal. Optimisme untuk remuk redam.

Setahun lalu aku mengikuti lomba itu, gagal. Hari ini gagal pula. Aku sempat berpikir jangan-jangan aku tak punya bakat menulis dan menuangkan gagasan. Aku berpikir aku tak piawai merangkai kata, kalimat, dan paragraf dengan baik. Tidak hanya itu, tulisan yang kerap aku kirim ke surat kabar juga mengalami hal serupa. Gagal.

Aku cemburu pada mereka yang bisa. Aku cemburu pada mereka yang belajar di kampus berkualitas. Mereka seolah punya ‘sandi’ setiap memasuki gelanggang kompetisi. Sesekali aku bangga ketika tulisanku dimuat di Harian Kompas. Tetapi kebanggaan itu bukan untuk diriku sendiri. Aku girang karena nama kampusku bisa bersanding dengan kampus-kampus itu. Kastanisasi. Ah, betapa bodoh aku memelihara pikiriran ini.

Tidak ada baiknya menyemai benih kedengkian. Penulis besar pasti mengalami apa yang aku alami ini. Proses. ‘Menjadi’ itu berbeda makna dengan ‘jadi’. Menjadi adalah proses pergulatan panjang, melelahkan, bahkan menyakitkan. Tetapi ‘jadi’, ibarat barang ajaib si pesulap tangkas. Aku berproses? Ya, tetapi menyakitkan, kawan.

Sebaiknya aku akhiri saja keluhan ini. Barangkali menulis bukan pekerjaan ‘narsis’. Menulis adalah tugas untuk keabadian. Menulis adalah kepribadian. Aku menikmati ini, aku puas menggantikan getar mulut dengan gerak jari. Aku bisa tertawa bila menyadari betapa jauh jarak otak ke jari ketimbang otak ke mulut. Dan aku pun tersenyum: sebab di antara otak dan jari ada hati.

Aku kira ceritaku juga sama seperti cerita mereka: merangkak, gagal, merangkak, gagal, berdiri, berpegangan, berjalan, berlari....duh, nikmatnya berproses.
[..]

Jumat, 28 Oktober 2011

Perlawanan dari Balik Lukisan

Oleh: Denny Bratha Affandi




Rambutnya sudah memutih dan terlihat jarang-jarang. Keriput kulitnya menjalar dari ujung kaki hingga wajah. Bola matanya kelabu di balik kacamata minus tebal. Tapi suara yang keluar dari rongga mulutnya masih jelas dan tegas. Ia seorang perupa. Pakde Mardadi Untung, begitu aku memanggilnya.

Malam itu aku datang ke rumahnya, di Pemalang Jawa Tengah. Kebetulan Pakde satu kota denganku. Perbincangan itu bermula ketika aku minta bapakku mengirimkan foto Kakek ke Bekasi, tempat tinggalku. Namun, ia justru menyarankan agar potret Kakek dilukis saja. “Minta Pakde Untung buat lukis,” katanya. Akhirnya ketika aku datang ke Pemalang, aku sempatkan sowan ke rumah Pakde. Sebenarnya aku sudah tahu beliau sejak kecil dari cerita Bapak, tetapi baru kali ini aku lihat sosoknya secara dekat.

Pakde duduk di kursi malas tua, barangkali perabot kenangan muda. Sebatang rokok kretek terselip di sela-sela jemarinya, sesekali dihisap perlahan dan dijentik-jentik, seakan ada beban berat hendak dihempaskan bersama kepulan asap.

“Yah, beginilah penampilan saya,” katanya, sambil melihat kaus oblong dan sarung lawasnya yang melekat di tubuh.

Dalam rumah kontrakan yang sumpek, kini ia menghabiskan masa tua. Orang mulai mengubur kisah kelamnya di masa silam. Mimpi buruk yang dilalui selama puluhan tahun di Pulau Buru itu, akibat ia terlibat aktif dalam Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang berafiliasi kuat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di era 1966.

“Rumah saya sempit, Den,” ucap Pakde.

Dengan berat hati, Pakde mulai membongkar memori sebagai orang buangan politik. Semasa di pengasingan, ia satu pondokan dengan penulis besar, Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, desain grafis Bumi Manusia terbitan pertama merupakan hasil karyanya. Dari dia pula, aku tahu bahwa Pram seorang sastrawan sekaligus intelektual brilian. Pram, kata Pakde, tidak pernah salah dalam mengetik naskah yang dibuat. Jari-jari Pram seakan punya mata yang menunjukkan letak huruf dalam mesin tik. Pram seorang imajener sejati, ia mampu menggambungkan antara dongeng dan fakta sejarah dalam karya tetraloginya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

”Tokoh Soendari dalam Rumah Kaca, adalah sosok imajinasi yang diciptakan oleh Pram, dengan mengambil seting latar kampung halaman saya,” kenangnya sambil mengusap butiran bening yang menggelayut di sudut matanya.

Lepas dari Pulau Buru, Pakde melanjutkan profesinya sebagai seorang seniman dan mencoba peruntungan dengan menjadi pengusaha. Namun, tangannya memang tidak dingin mengelola uang. Hanya bertahan sepuluh tahun, ia bangkrut. Dan Kini hanya mengandalkan hidup dari melukis dan membuat taman.

“Bakat saya memang melukis. Ndak cocok jadi pengusaha,” ungkapnya sambil tersenyum.

Pakde menyebut lukisan-lukisannya beraliran Surealisme. Yakni lukisan yang mengambil objek asli, namun diubah menjadi dalam bentuk abstrak. Menurutnya, dengan lukisan ia tetap melakukan perlawanan. Maka tidak mengherankan, jika lukisan-lukisannya kebanyakan mengandung muatan kritik dan pemberontakan terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Tapi menjadi pelukis idealis tidaklah mudah. Ia juga mesti menafkahi diri dan keluarga.

“Menjadi seniman itu kudu tahan lapar. Istri dan anak mesti sabar,” keluhnya.

Kini, ia menghabiskan masa tua di Pemalang sembari merawat galeri lukisannya. Ia tak pernah menyerah dan meninggalkan jalan hidup sebagai perupa. Baginya, melukis adalah perlawanan. Cita-citanya yang belum kesampaian sampai hari ini yaitu membuat pameran tunggal di Jakarta. Dan Pakde berharap betul aku bisa mewujudkan mimpi itu. Tapi sampai hari ini, aku belum bisa berbuat banyak.

Malam semakin dingin, aku cium tanganya dan pamit pulang. Hingga catatan ini selesai, pemberontakannya masih terasa sampai ke dada.

Gambar 1: Derita Petani (Mardadi Untung)
2: Pembalakan Hutan (Mardadi U.)
3: Mata Duitan (Mardadi U.)

[..]

Lepas


I
Aku pulang. Sayur bening, ikan laut, tempe, sambal, ada di di meja makan. Masakan Ibu untuk makan siangku. Aku senang semua telah disediakan. Ibu tak begitu kerepotan menjamuku setiap hari dengan menu seperti ini. Sebab, semua murah, semua ada. Tetapi diam-diam aku sudah merasa gentar. Barangkali suatu saat nanti aku kehilangan semua itu.

“Cepat-cepatlah kamu makan. Ibu buatkan spesial untukmu,” katanya menyambutku pulang sekolah.

Ibu girang bukan kepalang. Masak siang habis diganyang. Aku. Aku yang mengganyang. Dengan lahap aku gurisi tulang-tulang ikan laut kesukaanku. Dengan pongah aku sikat sayur dalam cawan. Tempe di piring habis. Sambal di layah ludes.
“Lekas tidur, malam belajar.”

Selesai. Aku lompat dari kursi di ruang makan. Menuju dapur bersihkan tangan dan mulut. Ibu mengiringiku dari belakang membawa peralatan makan yang habis aku pakai. Aku melangkah mundur, Ibu melilitkan kain di pinggangnya, menyalakan kran, lalu menyuci.

Hampir setiap hari seperti itu. Ibu, begitu memperlakukanku dengan manja penuh kasih sayang. Aku bahagia berdua dengan ibuku, tak pernah aku sesalkan ayahku yang pergi entah kemana setelah usahanya hancur.

Orangtua ibuku mengusirnya. Selama ini ia hanya memanfaatkan kekayaan Ibu saja. Lalu diam-diam mendua dengan wanita lain yang aku tahu itu adalah ibu teman lelakiku. Janda. Suaminya kabur lantaran istrinya kegatelan dengan pria lain. Mungkin ayahku masuk daftar garapannya.

Mana mau aku dengan anak janda itu. Biar dia gagah dan rupawan aku tak peduli. Biar dia bilang cinta setengah mati aku tak ada urus. Yang aku tahu ibunya merebut ayahku. Terlebih menyakiti ibuku yang pendiam dan tak pendendam. Ibuku yang tentu lebih cantik dari si janda.

Aku tak pernah mencari keberadaan ayahku yang lari bersama wanita lain. Bila aku merindukan ayahku berarti sama saja aku menyakiti hati ibuku. Dan, setelah waktu berjalan serta orangtuaku resmi bercerai, nyatanya kami bisa hidup bahagia. Meski berdua. Meski tanpa keluarga yang utuh.

Satu tahun berlalu.

Tiba usiaku enam belas tahun. Sekolah menengah pertama tutup sudah. Seragam putih abu-abu menyambutku penuh kehangatan. Sekolah favorit. Tak sia-sia ibuku mengatur sedemikian rupa perihal sekolahku. Rewel. Bawel. Itu hal yang biasa bagiku. Makan ini. Makan itu. Bergizi katanya, bikin otak tambah cerdas.

Awas. Jangan pacaran dulu, nanti bahaya mengancammu. Pesannya.

Aku nurut. Dan bukankah dalam sebuah perjuangan besar dibutuhkan kefokusan yang besar pula? Maka, pergaulan benar-benar aku perhatikan. Mana teman, mana lawan, dan mana sahabat sejati. Kadangkala teman bisa jadi ancaman, sebab ia diam-diam tahu segala yang aku impikan dan strategi seperti apa yang hendak aku lakukan.

Naik kelas. Peringkat pertama. Ibu yang mengambil raportku. Pujian dari wali kelas menghujani ibuku. Ia puas aku pun puas. Nah, ini baru anak Ibu. katanya memujiku sekaligus membanggakan diri sendiri.

Bukan anak Ayah, Bu? celetukku. Ah, ayahmu tak pernah merasakan sakitnya mengandung selama sembilan bulan, melahirkan, dan membesarkanmu. Jawabnya mantap.
Setahun aku lalui lagi dengan baik. Kelas tiga. Tak lama lagi ujian. Ibu semakin semangat mendukung dalam pelajaranku. Kesehatanku juga diperhatikan benar-benar. Katanya, aku harus bisa masuk sekolah dokter.

“Dokter, Nak. Nanti kamu bisa mengobati banyak orang. Bisa bermanfaat buat orang lain. Barangkali bila Ibu sakit kamu yang mengobati Ibu.”

“Kenapa harus dokter, Bu?” tanyaku.

“Selain mengobati secara fisik, kamu juga bisa mengobati pasienmu secara psikis. Kamu, Nak, akan banyak menghadapi kenyataan batin yang mencekam ketika melihat sebuah realitas di dunia kesehatan kita. Itu yang lebih penting. Kepedulian. Toh apa gunanya mengobati badan seseorang tapi jiwanya masih ancur. Kamu mesti lakukan itu kelak.”
Ucapannya masih tak aku mengerti. Begitu polos, tapi menyiratkan teka-teki hidup yang pelik.

Sebenarnya aku ingin menjadi pendidik. Aku bisa mengajarkan ilmuku kepada anak-anak bangsa yang sebenarnya pintar, tetapi miskin. Itu cita-citaku di masa depan. Membangun sekolah yang berkualitas, dengan biaya semurah mungkin. Gratis kalau bisa. Namanya juga cita-cita. Asal aku mau meningkatkan kualitas, bukankah mimpi itu akan cepat menjadi realitas?

Waktu bergulir. Ujian beberapa bulan lagi. Dan, kumatangkan bahwa menjadi dokter adalah targetku sehabis lulus. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa merasionalisasikan keinginan ibuku. Menjadi dokter sebenarnya juga menjadi pendidik, sebab tanpa badan dan jiwa yang sehat aku yakin generasi muda di bawahku terpelanting dalam impian absurd.

Tetapi jalan tak semulus yang aku duga. Kakek, ayah ibuku, membawa seorang lelaki ke rumah kami. Ia mengenalkan kepada ibuku. Aku taksir umurnya sepadan dengan ayahku. Perkiraanku tepat, ia hendak dijodohkan dengan ibuku. Alasannya klasik sekali: ibuku harus punya pendamping hidup agar tidak kesepian setelah aku tak lagi di rumah. Tambah kakekku, lelaki itu konglomerat.

Puh! Sekenario macam apa ini? Aku coba tak peduli. Tetapi aku juga kasihan pada ibuku. Aku rasa Ibu masih trauma dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Ibuku sempat mengeluh di hadapanku, dan…menangis. Tapi Ibu, apalagi aku, tak bisa mengelakkan keadaan ini.

Ibu luluh. Bukan luruh pada lelaki itu, tetapi pada kakekku, ayahnya. Negosiasi diajukan Ibu kepada kakek.

Biar Rinjani lulus sekolah dulu, agar ujiannya tak terganggu. Kata ia pada kakek. Namun lagi-lagi usaha itu kandas.

Sebulan lagi aku ujian. Ibu benar dinikahkan dengan lelaki itu.
Tetap fokus, Nak. kata Ibu padaku. Aku tambah tak peduli, lebih tepatnya tak mau cita-cita masa depanku raib.

Ha? Punya anak?

Baik. Aku tetap sabar. Lelaki itu membawa anaknya—seorang gadis di bawah umurku. Mereka tinggal di rumah kami.

“Kamar kamu pindah di belakang ya, Nak. Seminggu lagi kamu ujian, agar tidak terganggu,” kata ibuku cemas.
“Kamarku?”
“Buat Zumi, adik barumu.”

II
Seminggu tersalip. Ujian terlampaui tertib. Dua minggu awal mereka masih ramah padaku. Aku angkuh. Hatiku belum luruh. Sebulan terlewati, ujianku lulus dengan nilai memuaskan, Ibu bangga. Dua minggu selanjutnya, aku diterima di sekolah incaranku. Pintu gerbang menjadi dokter terbuka sudah. Tinggal menunggu waktu, aku hidup sendiri. Mandiri.

Beberapa hari lagi aku menjelajahi dunia baru. Segalanya baru. Biarlah yang terjadi terjadilah. Aku hanya punya Ibu, ayah tak punya, adik tak punya. Hanya Ibu. Titik.
Menjelang keberangkatanku ke Ibu Kota aku mendapat sepucuk surat khusus. Pengirimnya dari Jakarta. Aku baca sendiri di kamar dan Ibu tak tahu.

Ayahku!. “Kamu tinggal bersamaku atau kamu tinggal dengan ayah barumu?” sepotong kalimat dalam suratnya. Ia sekarang tinggal di Jakarta, menikah dengan bule dan mempunyai seorang anak. Biasa saja bagiku. Aku ingin bebas dari siapa pun. Bebas dan lepas.

III
Lingkungan baru. Dunia baru. Iklim baru. Ai, alangkah indahnya bumi intelektualku ini. Akhirnya jalan awal keinginan ibuku telah kupijak. Jaga keseimbangan, hemat tenaga, jalan masih panjang.

Seminggu berjalan aku mendapat cukup teman. Tetap ingat pesan Ibu, mana kawan mana lawan. Beberapa waktu aku pun asyik dengan duniaku sendiri. Seolah-olah, tempat di mana aku dibesarkan telah moksa, ia remuk hilang bentuk. Tapi ternyata Ibu muncul dalam tidur malamku. Aku bertemu Ibu, membawa raut wajah kesukaran. Dalam mimpi itu juga aku dipeluknya erat-erat, bagai induk ayam yang tak rela itiknya tersentuh oleh tangan manusia. Lalu ia tatap tajam kedua bola mataku, mengangguk, dan tersenyum rapuh.

Pagi menjelang. Kuambil hanphone di samping badanku. Ada pesan singkat.

“Ibu hendak ke tempatmu hari ini, Nak.”

Sebelum berangkat kuliah aku titipkan kunci pintu pada ibu kost. Pikirku, sore hari tepat aku pulang pasti Ibu sudah ada di rumah. Tapi dengan siapa? Lupakan. Berdoa saja, semoga Ibu selamat dalam perjalanan. Sebenarnya aku cemas. Aku takut ayahku menghadangnya di Soekarno-Hatta.

Kecemasan itu ternyata tak beralasan. Aku menemui Ibu dalam kondisi baik-baik saja. Aku lihat ia masih bersua dengan ibu kost yang lebih dulu aku kasih tahu bahwa ibuku dari Solo hendak datang ke Jakarta.

“Nak..duh, kamu baik-baik saja kan?” ia mendaratkan ciuman di pipi. Memeluk, melepas, pegang wajahku, diciumnya lagi, lalu peluk lagi.

“Ah, Ibu, aku baik-baik saja kok,” Jawabku.

Ibu sangat senang bertemu dengan anaknya ini, anaknya yang sudah lepas dan bebas. Sebentar lagi terbang. Petik mimpi ini, petik mimpi itu. Seperti di taman Firdaus. Maka, setelah kami menumpah kangen, makan malam berdua, tibalah saatnya bercurah rasa.

“Ibu kini sendiri, Nak.”

“Maksud Ibu?”

“Sudah cerai dengan dia. Pembantu kita hamil dan minta pertanggungjawabannya,” wajahnya berubah layu.

Belum selesai juga permainan Rahwana-Rahwana modern ini. Bangsat! Umpatku dalam hati. Dulu baik, sekarang buruk. Dulu teman, sekarang lawan. Benar juga ucapan ibuku. Dan lebih benar lagi ibuku yang membuktikan sendiri.

“Tanah Bapak dijual olehnya,” tambahnya lagi. Ibuku meratap pilu. Mataku menyala. Hatiku panas. Ingin kuluapkan angkara-murkaku ini agar semua orang tahu bahwa lelaki memang brengsek. Tapi aku ingat ucapan seorang dosenku ,”Cendekia harus bisa menghadapi segala permasalahan dengan kecendekiaannya juga.”

Mari Bu. Mari kita lepaskan diri sebagai hamba-hamba mimpi buruk. Mari Ibuku, kita mesti bangkit.

IV
Enam bulan kulangkahi. Ibu mengabariku: ia hamil empat bulan. Aku kaget. Tapi, pikirku, lebih baik aku punya adik dari darah ibuku. Daripada punya adik yang sama sekali tak ada hubungan darah denganku. Keduanya memang buruk, tapi lebih baik kami dengan keadaan seperti ini.

Tiga bulan kali enam.

Aku tak mendapatkan perhatian lagi seperti dua tahun silam. Ibu berubah. Ia membagi kasihnya pada adikku, ia curahkan penuh kerepotannnya untuk si kecil itu.
Biarlah. Aku harus mulai berpikir bahwa bukan lagi aku yang menuntut hak kepada Ibu. Tapi berpikir bagaimana aku bisa membaktikan diri padanya. Aku harus lulus kuliah dengan prestasi yang gemilang!

***
Aku tak berani menatapnya, di hadapan wanita tangguh ini aku begitu gentar. Tidak. Tidak garang. Tapi matanya. Ya, mata itu sangat tajam menusuk hingga segala-gala keterpelajaraanku runtuh dalam sekejap. Aku masih ingat.

“Padahal satu tahun lagi kau lulus. Ah, Nak, adikmu pun bakal mengelak bila nanti dipanggil Bibi. Masih sekecil itu,” aku tahu ia begitu terluka.

Kurasai tubuh ini rubuh dalam kenang. Suara itu masih menggema dan tak mau hilang. Sepuluh tahun yang lalu, di negeriku nun jauh di sana. Dan ternyata sampai di kepala tiga usiaku aku belum bisa berbuat apa-apa untuknya: negeri yang pertama kali mengenalkan penderitaan padaku.

Juga Ibu, aku tak pernah tahu kabarnya lagi.
***

“Sayang, sudah siuman kau?” Jack memelukku dari belakang, lelaki yang bukan suamiku. Lelaki yang mau mendengarkan ceritaku.

Bekasi, 2010.
[..]

Rabu, 26 Oktober 2011

Djakarta


Djakarta, 17-XII-1955. Almanak Seni 1957

Sekarang tiba gilirannja: dia djuga mau pergi ke Djakarta.

Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin djadi wargakota Djakarta pula. Besok atau lusa keinginan dan tjita itu akan timbul djuga. Engkau di pedalaman terlampau banjak memandang ke Djakarta. Engkau bangunkan Djakarta dalam anganmu dengan segala kemegahan jang tak terdapat di tempatmu sendiri. Kau gandrung padanja. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.

Ah, kawan, biarlah aku tjeritakan kau tentang Djakarta kita.

Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinja aku indjak tanah ibukota ini, stasiun Gambir dikepung oleh del man. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota —hanja tudjubelas tahun kemudian! Betjak jang menggantikannja. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia mendjadi kuda dan sopirnja sekali: begini tidak ada ongkos pem beli rumput! Inilah Djakarta. Demi uang manusia se dia djadi kuda. Tentu sadja kotamu punja betjak djuga tetapi sudah djadi adat daerah meniru kebobrokan ibu kota.

Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau djuga, orang-orang ini mengumpulkan tekat segumpil demi segumpil perawan-perawan sawah, ladang dan pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani sendiri jang bidang tanahnja telah didih di dalam perasaannja, warga-warga dusun jang dibuat porak poranda oleh gerombolan, peladjar-peladjar jang hendak meneruskan peladjaran, djuga engkau sendiri —dan dengan penuh kepertjajaan akan keindahan nasib baik di ibukota.

Kemudian bila mereka sampai di Djakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman jang datang kemari sekedar tjari makan, dia dapat makan, lupa tjari makan, dia kepingin kesenangan, dan tiap malam berderet di depan gedung tempat kerdjanja masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat pekerdjaan, dan achirnja mendjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini mendjadi begitu penuh sesak dengan otot jang ter lampau banjak dipaksa kerdja. Tiap minggu mereka menelan telur ajam mentah. Dan djalan raja memberinja kemerdekaan penuh. Bila datang bahaja ia lepas betja berdjalan sendirian, dan ia melompat ke kaki lima. Djuga tanggung djawab delman hilang di tangan kuda-kuda ini. Beberapa tahun kemudian ia ‘ngedjengkang’ di balenja karena djantungnja mendjadi besar, desakan darahnja meninggi: ia invalid —puluhan! ratusan ribu! kembali ke kampung sebagai sampah. Bila ada kekajaan, adalah kekajaan membual tentang kepele siran. Tetapi untuk selama-lamanja ia telah mati, su dah lama mati. Djumlah kurban ini banjak daripada kurban revolusi bakalnja.

Djadi engkaupun ingin djadi warga Djakarta!

Djadi engkaupun ingin djadi sebagian kegalauan ini.

Dari rumah masing-masing orang bertekat mentjari uang di Djakarta. Djuga orang-orang daerah jang kaja mengandung maksud: ke Djakarta —hamburkan uang nja. Dan djuga badjingan-badjingan daerah: ke Dja karta —menangguk duit. Demi duit ini pula Djakarta bangun. Sebenarnja sedjak masuknja kompeni ke Dja karta, Djakarta hingga kini belum djuga merupakan kota, hanja kelompokan besar dusun. Hingga sekarang. Tidak ada tumbuh kebudajaan kota jang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimport dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai matjam agama.

Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk beladjar. Tetapi barangkali patut pula kau djadikan ke nangan, pusat beladjar daerah kita adalah Djakarta. Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa Djakarta kita bu kanlah pusat beladjar jang mampu menjebabkan para mahasiswa ini mendjadi perspektif kesardjanaan Indonesia di kemudian hari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai Nippon kini telah bangkit kembali dengan hebatnja. Titel akademi jang diperoleh tiap tahun beku dikantor-kantor, dan daerah mu tetap gersang menginginkan bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-gantung djauh di ang kasa biru. Semua orang asing, dengan warna politiknja masing-masing, jang memberi kau remah-remah dari pada kekajaan kita terbaik jang diisapnja.

Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman memdewakan pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku lebih dekat pada kenjataan ini. Aku tahu engkau berteriak -teriak tentang perekonomian nasional, tetapi basis ke hidupan jang didasarkan atas perdagangan eksport, bukan sadja typis negara agraria, djuga negara kolonial. Sepandjang sedjarah negara-negara petani mendjadi negeri djadjahan, dan tetap mendjadi negeri djadjahan.

Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di djaman Madjapahit, Sriwidjaja atau Mataram? Siang kepunjaan radja, malam kepunjaan durdjana! Dan radja di djaman merdeka kita ini ada lah naik-turunnja harga hasil pertaniannja sendiri. Se dang durdjananja tetap djuga durdjana Madjapahit, Sriwidjaja dan Mataram jang dahulu: perampok, pen tjuri, gerombolan, pembunuh, pembegal.

Djadi beginilah, kawan. Djakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke Djakarta. Tapi Djakarta sendiri hanja kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan jang masak tidak punja. Anak-anak men djadi terlampau tjepat masak, karena baji-baji, kanak -kanak dan orangtuanja digiring ke dalam ruangan -ruangan jang teramat sempit sehingga tiap waktu me reka bergaul begitu rapat. Masalah orangtua tak ada jang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua men djadi hilang, dan segi-segi jang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini mendjadi tum pul. Agama telah mendjadi gaja kehidupan, bukan perbentengan rohani jang terachir. Aku tjeritai kau, kemarin anakku jang paling amat besar enam umurnja, bertjerita: Orang-orang ini dibuat Tuhan. Tapi apakah randjang ini dibuat olehNja djuga? Ia pandangi aku. Waktu kutanjakan kepadanja bagajmana warna Tuhan: hitam ataukah merah? Ia mendjawab Putih! Ia pilih warna jang tidak mengandung interpretasi, tidak di warnai oleh pretensi. Sebaliknja kehidupan Djakarta ini—dan barangkali patut benar ini kau ketahui: penuh-sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di segala lapangan! Lebih mendjengkelkan daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunjaannja masing- masing kepada orang lain, kepada lingkungannja. Sungguh-sungguh tiada tertanggungkan. Barangkali kau pernah peladjari sedjarah kemerdekaan berpikir. Bila demikian halnja kau akan dikutuki tjelaka.

Tetapi djangan kaukira, bahwa kegalauan ini ber arti mutlak. Barangkali adanja kegalauan ini hanjalah suatu salahharap daripadaku sebagai perseorangan. Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa kita ini, terutama di ibukota kita, adalah sematjam kerbau jang salah mendarat di tanah tandus. Setidak-tidaknja kega lauan ini memberi rahmat djuga bagi golongan-golongan terten tu, terutama bagi para pedagang nasional, jakni jang berdjualbelikan kenasionalan tanah-airnja dan dirinja. Mungkin engkau tidak setudju. Tetapi barangkali lebih baik demikian. Sungguh lebih menjenangkan bagimu bila masih punja pegangan pada kepertjajaan akan kebaikan segala jang dimiliki oleh tanah-airmu dalam segala segi dan variasinja. Kami golongan pengarang, biasanja tiada lain daripada tenaga penentang, golongan opposisi jang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak resmi: opposisi periuk terbaik! Dengan sendi dirinja sadja begitu, karena kami bitjara dengan selu ruh ada kami, kami hanja punja satu moral. Itu pula sebabnja, bila kami tewas, tewas setjara keseluruhan. Bukannja tewas di moral jang pertama, tetapi mendjadi tambun di moral jang keempat! mendjadi melengkung di moral jang ketiga!

Aku kira terlampau djauh lantaranku ini. Padamu aku mau bitjara tentang Djakarta kita.

Sekali waktu di suatu peristiwa, Omar pernah bitjara dengan sombongnja: Bakar semua chazanah, karena segalanja telah termaktub di dalam Qur’an! Permun tjulan jang grandiues tapi tak punja kontour-kontour kenjataan ini adalah gambaran kedjiwaan Djakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan mo ral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.

Sekali waktu disuatu peritiwa, Pascal mentjatat di dalam bukunja: Manusia hanja sebatang rumput, teta pi rumput jang berakal budi. Dan rumput ini adalah golongan jang mempunjai kesadaran tanpa kekuasaan, terindjak dan termakan. Jang lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun mendjadi permulaan dari pada kehidupan, seperti jang disaksikan oleh Schweit zer, serta risalah Kan Ying Pien.

Berbagai matjam angkatan tjampur-baur mendjadi satu, seperti sambal jang menerbitkan satu rasa, tetapi dengan teropong masih djelas nampak perpisahan an tara bagian satu dengan jang lain. Namun pentypean sematjam jang tegakkan oleh Remarque tidak memper lihatkan diri.

Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian. Tjobalah ikuti tulisan-tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan jang muda mentja tji jang tua, jang muda ditjatji oleh jang lebih muda. Tetapi, kata Ramadhan KH jang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi kesempatan, dia kehilangan segala proporsi dan lemih mendjadi badut lagi. Artinja badut di lingkungan badut. Tokoh-tokoh pemi kiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan Ada tidaknja Tuhan, di dalam kekatjauan sosiologis, ekono mis dan politis, kultural dan intertual! Apakah kita mesti ikut pukul kaleng untuk membuat segala ini men djadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah demikian goiat dengan membanggakan pengeta huannja tentang para tjabul dan ‘rakjat ketjil’ plus sa duran Toto Sudarto Bahtiar Tjabul Terhormat karang an Sartre? Plus Margaretta Gouthier saduran Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? ja Hamka.

Achirnja, seperti kata A.S. Dharta, orang-orang da tang dan berkumpul ke Djakarta, mendjadi warga Dja karta, untuk mempertjepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banjak jang datang tambah tjepat lagi.

Selagi aku belum djadi penduduk Djakarta, dambaanku mungkin seperti kau punja. Impian jang indah, bajangan pada pembangunan hari depan. Diri masih pe nuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan kepertja jaan diri. Barangkali bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang takkan djadi warganegara jang 100% sebelum melihat Djakarta de ngan mata kepala sendiri.

Barangkali engkau akan bertanja kepadaku, mengapa tak djuga menjingkirkan diri dari Djakarta! Ah, kau. Golongan kami adalah sematjam kerbau jang mendarat di tanah tandus. Golongan kami reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun tandusnja penghidupan golong an kami, djustru Djakartalah jang bisa memberi, seka lipun hanja remah-remah para pedagang nasional, atau petani pasar minggu. Tambah lama nasi jang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknja. Dan anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa kanak-kanaknja sendiri. Kanak-kanak Djakarta jang tak punja lapangan bergerak, tak punja lapangan bermain, tak punja daerah perkem bangan kedjiwaan, menjurus dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa jang tertangkap oleh matanja. Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami lik widasi, di Djakarta! Tetapi njamuk meradjalela, dan tjitjak dan sampah. Djuga mereka ini hidup di alam ketaksenangan. Taman-taman hanja di daerah Menteng dan perkampungan baru. Engkau tahu, djadi orang apa ka nak-kanak sematjam ini djadinja di kemudian hari.

Engku tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: da erah jang punja taman adalah lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah jang tak punja taman. Tentu sadja bisikan ini konsekwensi daripada prinsip perdjuangan kelas. Barangkali engkau tak setu dju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran kemasjarakatan jang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin djuga hanja suatu kedengkian jang tak sehat. Tapi apakah jang dapat kauharapkan dari suatu masjarakat dimana sebahagian besar warganja hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepertjajaan pada haridepan! Sedang para pedagang nasional djuga tak punja haridepan, karena kemanisan jang diperolehnja harikini diisapnja habis harikini pula, untuk dirinja sendiri tentu, atas nama kenaikan harga tentu, sehingga mereka mendjadi para turis di daerah kehidupannja sendiri.

Segala jang buruk berkembang-biak dengan mantiknja di Djakarta ini. Segi-segi kehidupan amatlah runtjing nja dan melukai orang jang tersinggung olehnja. Tetapi wargakota jang sebelum proklamasi bersikap apatis — apatisnja seorang hamba — kini kulihat apatisnja orang merdeka dengan djiwa hambanja. Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa

sebagai penghinaan. Di dalam kehidupan jang tidak menjenangkan apakah jang tak terasa sebagai penghi naan! Dan tiap titik jang menjenangkan dianggap pudjian, atau setidak-tidaknja setjara subjektif: penga kuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa jang memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannja. Barangkali engkau menghendaki ketegasan utjapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25% bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki ketjil -ketjilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam lingkungan jang serba ketjil-ketjil pula: buang sam pah digot! bandjir tiap hudjan akibatnja; pendudukan tanah orang lain jang disadari benar bukan tanahnja sendiri menurut segala hukum jang ada, sekalipun sah menurut hukum jang dikarang-karangnja sendiri: ketimpangan hak tanah adalah ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesedjahteraan sosial. Mengapa? Kare na besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannja sendiri-sendiri. Kedjo rokan dan kelalaian jang dengan langsung menudju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan djalan-djalan raja serta segala matjam djalanan umum mendjadi me dan permainan Djibril mentjari mangsa. Djuga ini akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnja bilang: dia tak dilindungi hukum — dia, baik jang melanggar maupun jang dilanggar.

Nah demikianlah Djakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.

Barangkali engkau mengagumi kaum tjerdik-pandai jang sering diagungkan namanja disurat-suratkabar. Hanja sedikit di antara mereka itu jang benar-benar bekerdja produktif-kreatif. Jang lain-lain terpaksa mem populerkan diri agar tak tumbang dimedan penghidup an! Apakah jang telah ditemukan oleh universitas Indonesia selama ini jang punja prestasi interna sional! Di lapangan kepolitikan, apakah pantjasila telah melahirkan suatu kenjataan di mana engkau sadar di hatiketjilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari jang tak terpilih, diutjapkan limabelas kali kata pantjasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang. Sedjalan dengan tradisi pendjadjahan jang selalu dideritakan oleh rakjat kita, maka nampak pula garis-garis jang tegas dalam masa pendjadjahan priaji -pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan, kita mengulangi sedjarah ke gagalan revolusi Perantjis.

Barangkali kau menjesalkan pandanganku jang pessimistis.

Akupun mengerti keberatanmu. Asal sadja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bitjara apa-apa bagi mereka jang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bitjara tentang iblis-iblis jang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa djuga bitjara tentang iblis- iblis jang haus akan kurban, akan kaum invalid peng hidupan dan kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda jang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa jang dinamai zakelijkheid dengan pintarnja. Dan bila iblis-iblis ini tetap apa jang biasa dinamai badjingan.

Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan zakelijkheid!

Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan kehidupan kesardjanaan! kepriajian dan perdagangan!

Sardjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mentjari pegangan dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sardjanamu, sardjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanja kesumbangan, dan: titik, stop. Djuga seperti turis di dalam gelanggang kehidup annja sendiri.

Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: ke kuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu tjaranja men dapatkan dan menelannja. Sematjam kutjingmu sen diri. Sekalipun sedjak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannja daging akan dilahapnja djuga. Djadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi jang terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum lagi diwahjukan kepada ku, baik melalui inderaku jang lima-limanja ataupun jang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, djanganlah tiap hal kauanggap mengan dung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh prosen pun kau kadang-kadang dihembalang keketje waan. Djuga demikian halnja dengan uraianku ini.

Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan djiwamu, karena engkau orang daerah jang djauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Eng kau akan berdjasa bila bisa membendung tiap orang jang hendak melahirkan diri dari daerahnja hendak memadatkan Djakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat lah usaha agar tempatmu mempunjai sekolah mene ngah atas sebanjak mungkin. Dan buatlah tiap sekolah menengah atas itu mendjadi bunga bangsamu dike mudianhari: djadi sumber kegiatan sosial, sumber ke sedaran politik setjara ilmu, sumber kegiatan pentjip taan dan latihan kerdja. Pernah aku beri tjeramah di kota kelahiranku dua tahun jang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti pada masjarakatnja, untuk beladjar berbakti, untuk membelokkannja daripada intelektualisme jang hanja mengetahui tanpa ketjakapan mempergunakan pengetahuannja. Apa ilmu pasti jang mereka terima itu bagi kehidupannja di kemudianhari bila tidak berguna ?

Djangan kausangka, aku hendak mendiktekan kema uanku sendiri. Aku kira aku telah tjukup tua untuk menjatakan semua ini kepadamu—engkau jang ku harapkan djadi pahlawan pembangun daerahmu. Djuga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan prijaji—pendjadjah petani sepandjang sedjarah pendjadjahan: Djepang, Belanda, Inggris, Mataram, Madjapahit, Sriwidjaja, Mataram dan kera djaan-keradjaan perompak ketjil jang tidak mempunjai tempat chusus di dalam sedjarah.

Kawan, sebenarnja revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa jang nomogeen, bangsa jang bisa menjalurkan kekuasaan itu sehingga mendjadi tenaga pentjipta raksasa, dan bukan menjerbit-njerbit nja dan melahapnja sehingga habis sampai pada kita, pada rakjat jang ketjil ini. Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas jang benar-benar pada tempatnja hanja sedikit, dan suaranja biasa habis punah ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menjadari gentingnja situasi tanah airnja dalam lalulintas sedjarah dunia !

Kita mesti kerdja.

Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil seba gaimana mesti ia terima ?

Aku kira takkan habis-habisnja ngomong tentang Djakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknja aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Djakarta untuk menambah djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau djadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana jang lebih penting, kemer dekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme setjara sadar dianggap djuga se bagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknja aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanja kau melantjong ke ibukota untuk men­tjontoh kefatalan di sini.

Kawan, sekianlah.

Pramoedya Ananta Toer
[..]

Kenangan


Lelaki tua itu duduk di kursi panjang kayu jati
Bola matanya terbang ke langit
Kerut wajah tak bisa sembunyi, ia tak gagah lagi
Ia merasa waktu begitu cepat menenggelamkan kesenangan

Besok pagi anak-anaknya sekolah
Uang saku mesti ada, paling tidak buat ongkos saja
Tapi uang tak ada, rokok pun ia tak punya
Barang kali ia siap melihat istrinya menangis tanpa air mata

Di dalam ketiga anaknya tidur pulas
Berderet di amben serupa petek
Ia tahu, semangat mereka begitu menggebu
Ah, begitu berat beban hidup. Keluhnya.

Lelaki tua memejamkan mata
Mengenang, menimbang, menyesal…
“Dulu aku tak sesusah ini. Bapak lurah. Hidup cukup.
Ah, anakku. Cepat tumbuh, nak.
Hidup itu keberanian.
Hidup itu kepedihan.
Ya, nak. Aku baru tahu itu.
Dan kau lebih tahu daripada aku.”

[..]

Janji yang Terlupa


Oleh Saraswati Hiendarani
Untuk yang terkasih dalam hidupku

Alunan lagu yang mengalir syahdu malam ini tengah mengingatkanku pada seseorang yang waktu itu memberikan banyak sekali cinta. “Sssstttt….cinta-cinta ini kuberikan hanya untuk kau!” Kurasai bahwa cinta itu merupakan suatu hal yang indah, sangat indah. Tapi aku menjadi ingat dan tersadar, cinta bisa mengunyah, melumat kesetiaan. Ingatan itu kemudian menjadikanku lebih hati-hati ketika akan mengecup nikmatnya, cinta.

Kehati-hatianku ini membuat lubang kesendirian, yang ketika kau lemparkan batu ke dalamnya, kau tak akan mendengarkan bunyi “pluk”. Termenung sendiri tanpa ada hadirnya teman bercinta.

Belum ada setitik putih pun muncul dalam hitam pekat lamunanku. Diam menunggu dengan ketenangan. Degupan jantung masih terdengar. Aku masih hidup, bernapas dengan lega. Beberapa menit berlalu, enggan menunggu bersama. Kemudian jam mendekatiku, menawarkan perpindahan waktu. Aku terima dengan senang. Lama kelamaan jam menjadi bosan, ia juga pergi bersama menit, bergandengan tangan dengan mesra. Detik tersenyum. Dengan sabarnya terus berputar mengelilingiku dengan perlahan. Ia setia menemaniku, untuk menunggu. Detik memperlihatkan gigi-giginya yang terdiri dari baut-baut karatan padaku, ia mulai tertawa riang. Aku merasa senang dekat dengannya.

Aku menghampirinya, dan menggandeng tiap second-nya. Berputar riang tanpa kenal waktu. Detik jadi tak menghiraukan segalanya. Ia terus saja berputar dengan melingkarkan jarum detiknya pada lingkar pinggulku. Padahal udara di sekeliling kami sudah berteriak “Cukup!” Aku pusing. Detik juga tak menghiraukannya. Aku mual. Detik makin mempercepat gerakannya, mengocok-ngocok isi perutku. Anehnya, aku semakin merasa bebas. Aku senang.

Dalam diamku itu, aku menemukan titik putih berjalan menghampiri. Ia tak terlihat membawa kehidupan. Semakin dekat, semakin besar bentuk rupanya. Aku menembus melewati tubuhnya yang perkasa. Bagai seekor semut, aku diangkatnya, dimasukkannya dalam pusaka rahimnya.

Aku merayap perlahan dalam kenistaan? Kabut mulai menyusup melalui pori-pori kulit, lubang hidung, telinga, mata, dan semua lubang yang ada di bagian tubuhku ini. Aku merasa menjadi molekul-molekul kabut. Ringan. Terbang melayang. Berenang dalam keputihan wewangian jejampian. Aku memanfaatkan situasi ini. Kuhirup dengan rakusnya hidup awan itu. Kukunyah dan kutelan bulat-bulat. Ia belum datang. Dan lelaki itu tak benar-benar tahu, atau bodoh? Aku selalu menunggumu sayang!

Kubuka mata, dan ternyata pemandangan pasar segera menyadarkanku untuk berdiri dengan tegak. Ku sudah mengenakan sepatu bot sedengkul. Pasar becek. Tadi malam hujan. Bau sayu-sayur busuk menusuk penciumanku. Ikan yang akan segera dipotong tukang jagal itu memandangku dengan benci. Melotot marah. Berteriak minta tolong. Aku diam. Aku tertawa. Ia akan segera dipenggal, dibersihkan, dibumbui, digoreng, dan dikunyah.

Ikan itu teriak. Teriakkannya memekakkan telinga. Aku berputar terjengkang dalam ruang waktu. Warna-warna cerah datang untuk mendekapku, menyelimuti, melindungiku dari dingin rintikan hujan. Seorang lelaki berbadan tegap berenang dalam kolam buaian rindu tubuhku. Ia memiliki mata cinta, bola mata kerinduan. Rindu yang kunantikan sepanjang hidup. Ia mengenakan celana renang ketat hitam. Telanjang dada. Kekar. Bulu dadanya yang halus tak menjadikanku bernafsu untuk mengendus, mengecup, dan menjilatnya. Nafsuku memuncak kala ia membisikkan cinta di telinga kananku. Lelaki tampan itu menyentuh pipi kiri. Pipi kanan menjadi protes. Kemudian ia mendapat layangan cium lembut dan manis dari si bibir merah muda laki-laki itu. Hatiku bergejolak, berjingkrakan riang. Aku tersenyum. Kuberikan senyum manis padanya. Ia erat mendekapku.

Lamunan masuk dalam sukma semakin dalam. Ia terlihat manis dengan sampur oranye pinjamannya. Beberapa hari yang lalu kulihat lamunanku itu kebimbangan meminjam dengan permohonan pada kenyataan, hanya beberapa hari saja, pintanya. Kemudian ia terengah-engah berlari memasuki pekarangan rumahku. Menyeruak, merebahkan badannya di atas tubuhku dan masuk ke pikiran liar hidupku.

Ia mulai berlarian mencari di mana aku berada. Ia berteriak-teriak seperti seekor anjing gila. Doggie, anjing tetanggaku. Celingak-celinguk mencari di mana kebenaran berada, bersembunyi. Ia menemukanku setelah berkompromi dengan sang detik. Ia menyembunyikanku dalam ketiak waktunya. Ia menarik dengan kasar lengan musim jiwaku. Aku bergerak dengan gemulainya. Dengan sampur oranye pinjaman kenistaan. Tak peduli sekitar, tak peduli dengan kebaikan hati detik yang telah susah payah menjumput kekesalan sang lelaki. Aku tertawa bergembira. Mengebiri ketaklukan hati. Mengembara sepanjang pusaka nadi, telah lama ia terbaring tak sadarkan diri. Aku sebenar-benarnya merasa sedih. Tapi aku tahu, sedih tak dapat menyertakan lelaki yang kucinta untuk dapat ikut bermain dengan sampur oranye, yang sekarang menjadi teman sejawat dalam hidupku. Sampur itu berbau sperma, bau kehidupan. Aku semakin senang. Tertawa dalam bayangan badai.

Aku sendiri ketika aku berlari menapaki pasir putih. Laut biru membentang, bak permadani yang terbuai lamunan, begitu panjang. Tenggelam dalam kebimbangan. Aku rasai lembutnya pasir, hangatnya si kuning, penguasa langit memanaskan pasir yang saat ini sedang kuinjak. Aku duduk tersipuh. Kugenggam pasir. Kucium, kuhirup butiran-butirannya. Kurasakan pasir merangkak menapaki tenggorokan. Berjejalan, tak ada yang mau mengalah. Mereka bergerombol, berebutan untuk sampai jatuh masuk lubang perut usus keindahan Tuhanku. Sepoinya angin membuatku ingat akan adanya kedamaian. Aku terus berjalan. Masih ada satu kemungkinan bagiku untuk dapat menyertai kecintaannya dengan hidupku. Ia masih juga belum datang.

Aku sudah tak sabar. Aku cekoki diri laki-laki itu dengan cinta. Ia muntah. Banyak sekali yang keluar dari perutnya. Namun tak kudapati cinta padanya. Frustasi mulai menggerayangiku. Ia bersorban kekacauan. Hitam legam. Lelaki itu bingung. Khawatir. Takut nanti ketika terbangun, ia berada dalam sangkar kebetinaanku. Aku memang jelas sekali untuk memaksakannya membentuk sebongkah cinta dalam relung abstraksinya. Dan ketika itu sudah terbentuk, aku mengharap agar ia mampu dan mau untuk memetik dan memberikan padaku semuanya. Kujahit keliling kedua bola matanya. Ia diam dalam kesakitan.

Aku melanjutkannya dengan mengumandangkan dendangan lagu kita berdua. Ia jadi teringat dengan janjinya akan menyuapiku cinta, dan menunggu dengan keperkasaannya. Namun ia telah lalai. Dan membuatku terhempas, jatuh terkulai.
[..]

Kamis, 20 Oktober 2011

Jalanan


Tulisan dulu, sudah lama sekali.

Bentangan jalan raya ibarat panggung kehidupan. Ada kejahatan, keceriaan, atau keberuntungan. Namun agaknya orang lupa sejarah pembuatan dan fungsi jalan raya yang, kebanyakan, dikembangkan pada masa penjajahan.

Jalan Deandles (Anyer-Panarukan) misalnya, merenggut nyawa pribumi dalam proses pembuatannya. Keringat tak terupah, mereka dipaksa kerja serupa kerbau. Konon bila ada kuli kedapatan tidak bekerja, Deandles menggantungnya hidup-hidup di pepohonan pinggir jalan. Namun sejak dapat dipergunakan, jalan raya pos kemudian menjadi bagian infrastruktur penting, dan untuk selamanya dinikmati tanpa banyak orang yang mengetahui sejarah pembuatannya.

Jika ditelisik dari nama-nama jalan raya di Indonesia, maka orang juga tidak asing lagi mendengar nama pahlawan. Kita diajak bertamasya ke masa lalu mengenang cerita heroik para pejuang. Akhirnya kita merasakan betapa kuatnya semangat mereka, seandainya.

Namun ternyata, banyak orang tidak tahu sejarah nama jalan atau tokoh itu. Sehingga tak jarang tindak yang sangat bertentangan dengan kepahlawanan itu terjadi di jalan raya, bahkan “penjajahan” kecil-kecilan seringkali dilakukan oknum polisi. Banyak masyarakat yang mengaku mendapatkan “pemerasan” ketika sengaja atau tidak sengaja dianggap melanggar peraturan lalu-lintas. Bahkan sebagian masyarakat mengaku “berdamai”; mengeluarkan sebagian uang agar urusannya tidak sampai ke persidangan.

Selain itu, pengguna jalan raya pun kerap merasa bebas di atas aspal jalanan. Ketidakteraturan para pengemudi cukup membuat dampak serius. Kemacetan yang terjadi di ibu kota tak bisa dihindari, umpatan-umpatan pun jamak terdengar. Dan jalan raya seakan menjadi dunia lepas dan bebas.


Pada saatnya, jalan raya menjadi surga kemaksiatan. Kawasan lokalisasi tersebar di berbagai sisi kota pantura, di sanalah tempat remang-remang menawarkan pesona dunia malam. Barangkali di jalanan kota besar, perempuan di jalan raya berarti milik orang banyak. Mereka, di dalam bus kota misalnya, sering mendapat perlakuan amoral laki-laki.

Jalan raya juga menjadi wajah kemiskinan yang melanda bangsa ini. Antrean pengemis dan bocah-bocah jalanan cukup mengoyak nurani. Selain mengganggu ketertiban, hal itu juga berdampak buruk bagi mereka yang hidup di jalanan; kesehatan, mental, moralitas yang terabaikan. Padahal mereka adalah warga negara yang berhak mendapat kehidupan yang layak dan bermartabat.

Di jalanan terselip kemarahan. Mereka yang memberontak bersuara di jalanan. Oia, saya juga mau mengutip lirik lagu, “di jalanan banyak orang mengadu pada Tuhan.”
[..]

Selasa, 18 Oktober 2011

Pertemuan Singkat


I
Di suatu senja di musim kemarau aku datang ke Desa Pesalakan, sebuah desa di Kota Pemalang Jawa Tengah—rumah nenek buyutku. Desa ini selalu memikat, terutama perbedaannya dengan daerah lain yang nampak pada semua unsurnya: alamnya, masyarakatnya, juga cara hidupnya. Aku menemukan keajaiban yang tak pernah terpikirkan dalam otak seorang intelektual. Sebuah alam impian yang menakjubkan.

Aku masih satu kota dengan Uyut, begitu aku kerap menyebut. Tak jauh, hanya 10 Kilometer dari rumahku . Tapi untuk menuju ke rumah Uyut, aku mesti menerobos lebatnya hutan. Perkampungan itu terletak di tengah-tengah belantara. Kira-kira, hutan di bagian selatan kotaku terus membentang hingga Purwokerto, Cilacap, lalu Nusa Kambangan dan berakhir di Pantai Selatan.

Tetapi ketika aku datang ke sana setelah beberapa tahun menempuh studi di Jakarta dan meninggalkannya, keasrian itu memudar. Di pinggiran gapura desa terdapat tempat pembuangan akhir sampah yang kian menggunung. Sampah itu datang dari seluruh penjuru kotaku, lalu ditumpuklah di Pesalakan.

Selepas matahari tenggelam aku sampai di sebuah rumah papan tanpa listrik, rumah Uyut. Seperti rumah lainnya, beranda rumah Uyut cukup luas dan dihiasi balai-balai. Halamannya sangat lapang, biasanya di siang hari digunakan untuk menjemur hasil tanam. Suasana desa sepi.

Ketika aku mengetuk pintu, seorang wanita ringkih muncul di hadapanku. Tangannya memegang kayu untuk menopang tubuh yang bungkuk. Dan untuk melihatku saja dia mesti menengadahkan kepalanya ke atas, mengamati, lalu tersenyum. Itu Uyut.

“Mari-mari masuk, Nak,” kata Uyut dengan suara parau.

Aku mengiringi Uyut dan menuntun. Aku memasuki ruang yang luas, beralas tanah, dan bertiang kayu jati kokoh. Kami menduduki bangku kayu panjang. Di depan kursi ada meja. Kosong, tak ada sesuatu terletak di atasnya.

Uyut meletakkan tongkatnya. Tangan Uyut mulai bergerilya menggapai punggungku. Menepuk dan mengusap-usap. Lalu dia berkata:

“Kau sudah besar. Kemarin aku lihat kau kurus,” ingatannya sungguh bagus.

“Masih sama, Yut. Tak ada yang berubah,” kataku.

Uyut sibuk dengan senyumnya sendiri, mengamati cicitnya yang sudah dewasa ini. Terus tersenyum bangga sambil mengunyah-ngunyah sirih.

“Duh, kau ini. Aku senang punya keturunan sepertimu. Paras bagus, perbawa ada. Apalagi? Ah, kau hendak jadi orang, Nak!” Sambil terbatuk-batuk, dia melanjutkan,

”Percaya pada Gusti, pasti kau besar.”

“Mudah-mudahan, Yut, Doakan saja.”

“Oh, itu tentu. Bagaimana mungkin Uyutmu ini tak mendoakanmu,” Uyut terlihat semangat berbicara, agak terhuyung dan tangannya memegangi meja. Uyut menemukan kepribadianya sendiri, dan,

“Sebentar, aku ambilkan minum.”

“Ndak usah, Yut. Biar sahaya ambil sendiri saja,”


II

Senja berganti malam. Keluarga besar kami berkumpul: anak, cucu, dan cicit Uyut yang tinggal di Pesalakan. Satu demi satu makanan keluar. Teh panas yang masih mengepul dituangkan. Meja kosong itu sekarang sesak makanan. Kami duduk-duduk, tersenyum-senyum, dan mengagumi sepetak rumah reot penangkal panas-hujan.

Di samping Uyut ada seorang gadis kecil. Dia memandangiku curiga. Bila aku menatap dia, disembunyikanlah wajahnya di punggung bungkuk Uyut. Aku meriut, aku terkejut, dan aku merasa dianggap asing. Mungkin aku harus pandai menyesuaikan diri. Baiklah. Kali ini aku dekati gadis kecil itu dengan senyum ramah.

“Siapa nama kau?” tanyaku.

Dia masih menyembunyikan wajah.

“Siapa nama kau?”

Masih tidak berjawab. Seorang yang lain menimpali:

“Namanya Wilujeng, Mas” jawab bocah belasan tahun.

Aku jadi gugup. Semua pandangan terpusat padaku. Dan mengapa sedari tadi aku tidak sadar bahwa mereka berkumpul di sini karena aku datang? Duh, aku terlampau bodoh. Pikirku. Berarti, aku harus mengenalnya satu-persatu. Dulu padahal tak sebanyak ini. Ah, aku tidak tahu.

Tiba-tiba Uyut angkat bicara:

“Nah, cicit-cicitku. Ini saudara kalian. Namanya Dewandaru, nama buah Dewa! Dia datang jauh-jauh dari Jakarta. Dewandaru itu anak Ningsih, cucuku. Sekarang dia, suami, dan anaknya tinggal di Jakarta,” Uyut berdiam sebentar. Lalu,

”Dewandaru sengaja datang ke sini karena ingin bertemu dengan kita semua.”

Tak lama kemudian mereka saling berpandang-pandangan. Di antara keluargaku itu aku hanya mengenal bebarapa orang saja. Ada Lek Udin dan istrinya, Yu Yati dan suaminya, dan Yu Sri. Bocah-bocah kecil itu saling bergantain menyalamiku. Aku pun jadi tahu nama-namanya, dan, yang paling kuingat, adalah si bocah ingusan itu: Wilujeng.

Di usianya yang se-abad lebih, Uyut masih bisa berkomunikasi dengan baik. Dia masih dapat menikmati hari tuanya penuh kebahagiaan. Nenekku, anak Uyut satu-satunya, meninggal lima tahun lalu. Dan Ibuku adalah anak sulung Nenek. Setelah nenek tiada kami pindah ke Jakarta. Sedangkan saudara Ibu yang lain tinggal bersama Uyut di Pesalakan. Aku sendiri tak punya adik maupun kakak.

“Kalian baik-baiklah pada Uyut. Dia satu-satunya sesepuh kita. Kau, Damar, jaga adik-adikmu baik-baik,” kataku sebagai cicit tertua, juga pada Damar yang usianya sedikit di bawahku.

“Iya, Mas. Kami akan jaga selalu Uyut baik-baik di sini,” jawab Damar.

Uyut menganguk-anggukkan kepalanya. Berkata:

“Sudah malam. Mari, cicit-cicitku, tidurlah.”

III

Malam semakin pekat. Aku tidur satu kamar bersama Uyut. Selembar kain aku lilitkan pada tubuhnya. Uyut nampak menggigil kedinginan. Kuambil sebuah jaket hangat yang terbuat dari kain wholl, khusus aku bawakan untuk Uyut. Setelah meneguk teh panas, Uyut mulai merasa hangat.

“Aku tak bisa tidur, Nak,” katanya

“Iya Yut, akan sahaya temani,” jawabku.

Uyut meletakkan kepalanya di atas bantal. Kakinya diluruskan pelan-pelan, tapi matanya belum terpejam. Sementara, aku duduk saja di dekat Uyut.

“Bagaimana kesehatan Uyut?”

“Syukur. Baik Nak.”

“Uyut senang di sini?”

Uyut berdiam sebentar. Dia menatap hampa.

“Sekarang desa kami tak ramah lagi.”

“Mengapa?”

“Di depan. Di dekat gapura itu, Nak. Sekarang sampah kian menggunung. Itu sampah dari seluruh pelosok kota tumpah di situ,” Uyut terbatuk-batuk. Melanjutkan,

“Padahal dulu sampah tidak dibuang di desa ini. Dulu nyaman. Sekarang penduduk banyak yang pindah ke desa lain. Tak kuat Nak. Sudah puluhan orang yang meninggal terkena penyakit.”

Aku kaget. Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Juga kekecewaan atas pemerintah yang begitu tak memperhatikan masyarakatnya. Sebagai seorang mahasiswa, kecurigaan pun berhamburan. Memang ini sudah kuduga sejak aku melihat sampah tadi menggunung. Dulu tidak sebanyak itu.

“Tidak adakah uang santunan buat warga, Yut? tanyaku.
“Tidak ada.”

Aku berdiam. Lalu menerakan yang aku tahu kepadanya.

“Seharusnya ada semacam tunjangan buat warga sekitar yang desanya dipakai tempat pembuangan sampah. Seharusnya ada jaminan kesehatan, Yut. Warga tidak boleh ada yang sakit, apalagi hingga meninggal terserang penyakit.”

“Duh, cicitku. Mana tahu Uyutmu soal begituan. Warga ya ndak pada ngerti urusan pemerintah. Yang penting kita asal manut saja sama Kades. Jangankan kok dapat santunan, untuk berobat saja ya mereka bayar sendiri-sendiri. Harus keluar desa pula.”

“Uyut pernah sakit?”

“Alhamdulillah, Ndak pernah,” diam sebentar, kemudian, “Untung aku ndak pernah sakit. Mereka pada kesusahan berobat. Kalau ke kota katanya ndak diperhatikan, mentang-mentang orang desa. Yah, beginilah, rasa-rasanya orang-orang sekarang sudah mirip seperti Londo,”

Aku tak mau ketenangan Uyut terganggu dengan pembicaraan yang cukup menyebalkan itu. Dan aku tahu, orang tua selalu mengikuti arah pembicaraan kita. Maka, aku mesti pandai-pandai mengarahkan pembicaraan. Aku cukup tahu saja, tak perlu terlalu dalam menanyakan hal yang membuat Uyut gusar.

“Wilujeng itu anak siapa, Yut?” aku mengalihkan pembicaraan.

Wajah Uyut masih merah. Nampaknya ia terbawa amarah. Aku memegang tangannya erat-erat. Uyut mulai tersenyum lagi.

“Wilujeng anak siapa, Yut?” kataku menegaskan.

Tak disadari aku mengucapkan pertanyaan yang bodoh. Mengapa harus bocah itu? Pikirku. Mata Uyut membeliak mendengar pertanyaanku. Aku tahu aku salah. Itu pertanyaan yang sungguh tak perlu dijawab.

“Wilujeng.” kata Uyut.

“Iya, Yut. Wilujeng.” tanggapku.

“Dia anak khayangan.”

Aku menggaruki kepala. Tersentak. Bingung.

“Maksud Uyut?”

“Pemanmu menemukan dia saat bulan menjadi purna. Ketika itu pamanmu tengah menunggui ladang di seberang sungai sana, di sebelah timur desa, Kali Waluh. Terdengarlah suara bayi di sekitar ladang. Dia mencarinya, tapi tak ada. Setelah beberapa saat, suaranya kian nyata di sungai. Pamanmu datang ke sana.” nenek terdiam.

“Lalu?”

“Lalu pamanmu turun ke sungai mencari suara itu. Suaranya hilang. Dan, mata pamanmu tersilaukan oleh semburat cahaya di sebuah kotak yang mengalir dari arah Selatan ke Utara. Pamanmu menggigil ketakutan. Kotak itu diam di antara empat penjuru sungai yang saling memalang. Sampai di situ, kotak tetap diam, suara bayi kembali merengek. Pamanmu tak tega, dia beranikan mencelupkan kakinya ke sungai untuk mengambil bayi itu. Tapi, Nak..”

“Tapi apa Yut?”

“Tapi sungai yang dalam itu tiba-tiba hanya membasahi tumit pamanmu saja. Selebihnya tidak basah. Diambillah kotak itu. Seorang bayi cantik terbalut kain sutra berada dalam kotak itu. Pamanmu membawanya pulang ke rumah ini dan menyerahkan padaku,”

“Dan?” kataku penasaran.

“Bayi yang suci. Selendang sutra yang bagus. Dan sebilah cudrik yang sempurna. Cudrik itu, Nak, pasti dibuat oleh Maha Empu puluhan abad yang lampau. Tanganya terhias gelang-gelang emas yang menyilaukan. Perhisan menyelubungi seluruh tubuhnya! Ah, dia Dewi!”

Uyut tak kuasa menahan nafsu bicaranya. Ia amat menggebu. Aku diam memperhatikan.

“Dia aku namai Wilujeng. Keselamatan, Nak, itu artinya. Keselamatan bagi kita, bagi desa ini juga. Dan barangkali keselamatan kota ini. Tidak ada yang tahu perihal ini. Pamanmu memasrahkan itu semua padaku, karena, aku dianggap yang sepuh dan mampu menimangnya.”

Sampai di situ uyut memelankan suaranya. Wajahnya berubah layu. Dia gemetar. Seperti seorang dalang, Uyut mengeluarkan suaranya yang berbeda-beda.

“Sekian tahun aku merawatnya. Bibimu yang menyusui dia, aku yang mengeloninya. Tapi ketika usia dia menginjak tahun ke-5 di pangkuanku, perilaku aneh hinggap padanya. Aku melihatnya sendiri dia tengah makan sepotong tahah. Mengerikan.”

Keringat bermanik-manik membasahi dahi Uyut. Aku menggenggam tangannya erat-erat. Uyut mengusap keringatnya dengan setangan, dan, melanjutkan:

“Untuk pertama kalinya aku menampar seseorang. Dia aku tampar mulutnya hingga berdarah. Kuseret ia ke dalam kamar. Kutanyai dia. Kumurkai dia. Kukutuk dia. Dan, di mulutnya, mengalir darah.

Aku mendekapnya. Dia lalu berkata:

'Maafkan aku Bunda, aku hanya ingin menikmati sari emas dalam tanah itu. Kalau Bunda marah, aku tak akan mengulangi ini lagi. Maafkan aku Bunda, maafkan anakmu ini yang berdosa.'

Aku menjawab lemah dan kuciumi pipinya, Nak,

'Bunda tidak marah, Anakku sayang, anak para Dewi. Hanya, pintaku, jadilah kau manusia sewajarnya manusia.'

Setelah kejadian itu dia tak pernah melakukan hal-hal aneh lagi. Dia selalu berada di dekatku. Dia menjadi manusia sewajarnya manusia.”

Uyut tersenyum. Aku tersenyum. Ada pancaran sinar kebesaran yang menyelubungi wajahnya. Uyutku, tak pernah kuduga bila kasihnya mengalir deras, meski untuk seorang manusia yang masih dipertanyakan keasliannya sebagai manusia. Ah, gadis ingusan itu memang berbeda. Wilujeng! Dewi!

“Menurut Uyut, apa yang terkandung dalam diri Wilujeng dan perangkat Dewi yang dibawanya itu?” tanyaku tak puas.

Uyut mendeham. Ia membenarkan letak selimutnya. Lalu menjawab tenang.

“Dia adalah sejarah. Dia adalah jalan yang membentangkan antara masa lalu dan masa sekarang,”

“Maksud Uyut?” tanyaku.

“Kisah para Dewa dan Dewi selalu sama, Nak. Kau ingat cerita Mahabaratha? Karna, saudara Pandawa yang tak diaku. Dia ditemukan oleh sais kereta dalam sebuah keranjang yang mengalir di sungai. Pasti Nak, Wilujeng bukan anak sembarangan. Dan, sungai yang memalang, cudrik, perhiasan, serta kain sutra, itu adalah perlambang kejayaan sejarah. Kejayaan masa silam! Ingat-ingatlah itu, cicitku.”

“Tetapi, bila Uyut tiada, bagaimana nasib Wilujeng, cudrik, sutra, dan perhiasannya?”

“Segala yang ada di dunia ini adalah titipan. Segalanya tumbuh dan mati silih berganti. Tapi jejak masih ada, bekas masih ada, dan sejarah tak pernah mati. Barangkali Gusti menitipkan Wilujeng padaku sebagi pesan. Bila aku mati, dia pun mungkin ikut mati. Sang Gusti mengingatkan kita untuk selalu berbagi. Sebab Nak, manusia, harus pula bersikap sebagai manusia. Kita mesti menghargai sesama, sekali pun dia tak jelas asal dan usulnya. Yang penting bagiku, aku telah melakukan tugas kemanusiaan. Bukannya ini tentang kegaiban, tapi tentang kemanusiaan. Mengerti?”

Akhirnya aku jawab mengerti. Padahal aku belum juga mengerti maksud Uyut.

“Cudrik, sutra, dan perhiasan akan hilang sendiri. Tapi kita manusia ini pun tahu bahwa masa silam itu ada. Sungai memalang, itulah pangkal kota ini,” lanjut Uyut.

Tak terasa malam telah berganti pagi. Suara kokok ayam riuh penuh di desa kami.

“Tidurlah Nak, sudah pagi,” pesan Uyut.

Kami pun tertidur.

IV

Aku terbagung dari tidur. Di hadapanku, komputer masih manyala—aku ketiduran. Sederet tulisan panjang yang belum rampung terpampang membuat kepalaku berat. Bahan buat skripsiku untuk syarat menjadi sarjana sejarah masih sedikit sekali. Dan untuk membuat prasyarat itu, aku harus menelusuri jejak sejarah kota ini yang masih samar dan mengaitkan benang-benang merahnya.

Seketika, perbincanganku semalam dengan Uyut mengilhami tugas ini. Uyutku, wanita yang hanya kureka sosoknya dari cerita keluarga. Uyut menuntunku mencari empat penjuru sungai yang memalang, barangkali ini pulalah pangkal dari Pemalang.

Dan bocah ingusan itu, Wilujeng, aku jatuh cinta padanya. Meski lewat pertemuan singkat: mimpi.

Pemalang, 2011.
[..]

Hilang


Aku beradu dalam kebencianmu
Luruh dan bisu segala daya
Adalah kamu meremang menjadi petang
Terang di sana tak hendak datang

Hujan merintik menada sendu
Tanah-tanah berbau mengepul malu
Kamu berlari ditelan basah, ditelanjangi dingin angin
Aku tenggelam membawa peluh..

Hei, manusia tidak menghakimi manusia!
Karena Tuhan punya semesta, karena malaikat dapat kuasa..
Teruslah tinggi dalam ketiadaan, dengannya kamu hilang..
Dan aku tak sudi jadi hamba sesama manusia.....

Sekalipun itu, sebuah cinta..
[..]