Minggu, 27 November 2011

Pigura

“Barangkali memang aku bukan bagian dari sejarah. Atau mungkin mereka menghapusku dari masa silam. Wanita seperti kami tak pantas menyebut-nyebut kenangan. Tidak ada ruang lagi bagi kami berkeluh. Dan kami tak ubahnya wanita bejat-moral.”

Suara itu masih terdengar jelas di telinga ini. Itu sepotong percakapan Ibu denganku yang masih aku ingat-ingat. Sorot matanya tajam, menyala kebencian mendalam. Pipinya dilelehi air mata. Ia tak sanggup menceritakan lebih jauh, berhenti, lalu menangis terisak-isak.

Sekarang ia hanya tergeletak di amben. Ada guratan lembut di tampuk matanya. Seluruh kulitnya mengeriput membungkus tulang-tulang kecil. Ia semakin melemah dan tak berdaya. Mungkin kekuatannya dulu tersimpan di bola mata dan rambutnya yang hitam. Tapi sekarang ia tak memiliki warna hitam itu. Mata sudah menyipit, rambut pun memutih.

Sebuah foto tergantung di dinding, terbingkai rapi dalam pigura persegi panjang. Seorang wanita ayu duduk tenang di kursi, tubuh dibalut jarik batik, rambut rapi dikonde. Di belakangnya berdiri seorang lelaki penuh perbawa dengan blangkon tertancap di kepala. Itu foto Ayah dan Ibu ketika muda.

Seumur hidup aku tak pernah melihat Ayah, hanya lewat foto itu aku meraba-raba masa silam. Ayah meninggal sewaktu aku dalam kandungan, kata Ibu. Aku rasai wajah Ayah berbeda dengan wajahku. Hidungnya mancung khas seorang priayi. Sedang hidungku? Ya, aku lebih mirip Ibu. Orang bilang, fisik anak sering diwariskan ibunya, sifat-sifatnya diturunkan sang ayah.

Usiaku kian menua, suatu saat aku pasti seperti Ibu juga. Dua puluh lima tahun! Ah, aku bakal jadi olok-olokan segenap warga. “Hei, Perawan Tua!” Aku bayangkan mereka mencibirku. Tapi apa gunanya menyesal, toh aku bahagia berdua dengan Ibu.

Memang benar perkataan Ibu: kami bukan bagian dari sejarah. Kalau pun aku memiliki suami dan dikaruniai buah hati, anakku pasti kecewa menghadapi kenyataan. Ibunya bodoh seperti ini. Juga ia akan ikut dihujat orang-orang.

Semenjak Ibu sakit-sakitan, aku mulai bekerja di perkebunan teh Wonosari, sebuah perkebunan teh di Purwodadi. Temanku hamparan dedaunan hijau. Biarlah upahku tidak seberapa, yang penting kami bisa makan setiap hari.

Di kampung ini, jangan harap perempuan bisa melejit meraih mimpi. Jangankan kaumku, lelaki kami banyak yang tidak berani bermimpi. Kami akan tenggelam tergerus arus jaman. Keturunan kami nanti, paling banter mungkin hanya bisa menganal celurit untuk mengarit, palu untuk menukang. Bila ada yang berhasil, aku hanya berharap ia mau membagi ilmu pada saudara sekampung, melepaskan belenggu nista, dan mengangkat martabat kami sebagai manusia seutuhnya.

***
Purwodadi, 1979.
Sekian tahun lamanya, lebih tepatnya seiring laju umurku, kami tak mendapat hak sebagai warga negara. Aku tahu, mungkin keadaan ini lebih baik daripada cerita orang tua tentang perawan-perawan di jaman Jepang. Dari cerita itu aku dengar, mereka diperkosa di tempat-tempat penjagaan, atau di pos pengerjaan jalan. Jerit mereka didengar kaum lelaki, tapi mulut pendengar seolah bisu. Tidak ada keberanian menghadapi serdadu-serdadu Jepang, sebab pemuda tanggung mati digantung pun bukan hal mengejutkan. Maka, sampai kapan pun perawan desa tak bisa berkutik apa-apa. Biasanya mereka yang berparas cantik akan dengan sengaja mukanya diperburuk, dibikin cerumut, jorok, dan menjijikan. Anugerah Tuhan bagi mereka adalah kutukan.

Kadang-kadang aku merenungi nasib buruk yang menimpa mereka di jaman itu. Bagaimana dengan hubungan cinta perjaka dan perawan? Ah, bukan saja mereka tersiksa secara fisik, juga batin. Mereka dipaksa memupuskan bunga cintanya. Para perjaka bisa gila menonton si kekasih ditelanjangi, dijamah, lalu dirampas kesuciannya. Konon, seorang pemuda bernama Daslan pernah menebas kepala serdadu hingga putus dengan golok. Ia mendapati kekasihnya, Laksmi, tengah diperkosa. Namun kepala mesti dibayar kepala, serdadu lainya balas menggorok leher Daslan. Kisah ini kudengar sayup-sayup dari obrolan pemetik daun teh, tetapi setiap manusia waras akan ikut tertindas perasaannya.

Kini, di alam merdeka ini, nasib kami tak beda dengan nasib nenek-moyang kami. Pascapemberontakan komunis masih membayang jelas. Hampir semua warga di kampung kami anggota partai komunis. Tetapi mereka kebanyakan hanya simpatisan. Mereka buruh yang dengan sengaja atau tidak terdaftar namanya menjadi anggota partai komunis.

Seorang buruh yang bekerja di sebuah pabrik (atau instansi lain) jika tidak masuk SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) akan ditekan—kalau grup Sobsi kuat. Ketika ia menerima gaji, sudah dipotong untuk iuran, dan namanya secara otomatis masuk buku 'merah' dan terdaftar menjadi anggota partai komunis.

Namun cahaya cerah masih mencoba menjebol kegelapan kami.Seorang pemuda desa berhasil meraih gelar sarjana. Ia mendirikan sekolah gratis untuk orang-orang kampung yang buta huruf. Kebanyakan dari mereka pemuda-pemudi. Bahkan ada juga orang tua yang ikut belajar. Sekolah itu tak sama dengan sekolah pada umumnya—lebih tepatnya tempat belajar darurat. Yang terpenting mereka bisa menghitung, membaca, dan menulis.

Pemuda itu Dewandaru, teman kecilku. Setiap hari ia rela membuang waktunya buat warga kampung, juga aku ikut belajar di sana. Kedua orangtuanya mendukung. Terkadang mereka ikut mengajar, walau hanya sekadar bercerita dan menyemangati kami.

Kami sangat beruntung, ada keluarga yang masih baik kepada kami. Pak Affandi, ayah Dewandaru, tak pernah lelah mendorong kami agar tetap semangat. Meski ada juga orang yang terus mengolok-olok kami. Mereka dengan bengis ingin menenggelamkan kami, menghapus manusia sebangsanya dari sejarahnya sendiri.

Suatu hari, ketika aku belajar, Dewa menatapku tak biasa. Aku tak kuasa menahan gemuruh kagum padanya. Wajah Dewa memancarkan kesegaran. Ia memang orang baik, orang semacam dia seharusnya sudah hidup enak, bekerja di kantor-kantor, atau menjadi guru di sekolah pemerintah.
“Hei, kenapa melamun?” Ia menegurku dari jauh.

Aku tak menjawab. Orang-orang serentak memusatkan pandang padaku. Aku tersipu malu. Aku rasai darah ini membeku di wajah. Degub jantungku melonjak-lonjak tak teratur. Aku gugup.

“Kenapa?” Ia mendesak, kemudian tersenyum. Orang-orang riuh menertawaiku. Kemudian tenang kembali.

Tidak berselang lama pelajaran siang itu diusaikan. Pemuda-pemudi desa menyebar ke ladang masing-masing, atau ke perkebunan untuk memetik daun teh. Namun, saat aku hendak pulang, Dewa menghampiriku. Ia genggam jari-jemariku erat-erat. Sorot matanya mengisyaratkan ia ingin berbincang denganku.

“Kau hebat, Dewa,” aku memulai. Aku beranikan menatap mata tajam itu.
“Ya, aku beruntung.” jawab Dewa.
“Apa kau tak takut jika tentara tahu semua ini?”
“Mungkin ini memang menjadi tugasku, tugas kemanusiaan. Aku tak takut pada siapa pun. Kau tentu tahu, berapa banyak penduduk di kampung ini meninggal karena dibunuh. Juga banyak teman-teman kita yang yatim-piatu.”

“Aku tahu, Dewa. Ibu telah menceritakan. Tapi ia selalu menangis, aku tak tega. Ayahku meninggal, ia dibunuh dan tak seorang pun tahu di mana jasadnya. Kau tentu tahu dari dulu aku yatim.”

“Bagaimana keadaan ibumu?”
“Kondisinya semakin memburuk.”

Kami terdiam. Dewa melepaskan genggaman tangannya. Air mukanya mendadak muram. Aku tahu ia simpati dengan keadaan Ibu.

“Mari masuk ke dalam,” ajak Dewa masuk ke rumahnya.

Kedua orangtuanya masih duduk berdua. Kami menghampirinya. Aku membungkuk dan mencium tangan mereka. Ibunya memelukku, kemudian tangannya mengangkat kedua pipiku. Ia menatapku. Aku menatapnya juga. Kulit wajahnya nampak keriput. Juga rambutnya memutih seperti rambut iIbu. Ayahnya hanya mengusap-usap rambutku.

“Kau kurus, Nduk,” ujar ibunya begitu lembut. Aku hanya tersenyum.
“Ibumu sudah sehat?” Sekarang ayahnya yang bertanya.
“Masih lemah, Pak.”
“Kasihan dia. Wanita luar biasa!” Mulutnya berdecak-decak.
“Memang kenapa?” tanyaku.
“Ibumu belum pernah cerita?”
“Pernah, Pak.” Aku menunduk. Ayah Dewa tidak melanjutkan.

Aku ingat-ingat cerita Ibu. Ah, lagi-lagi aku dengar suara itu “Barangkali aku memang bukan bagian dari sejarah.” Aku tak pernah malu menjadi anak seorang komunis, aku tak pernah takut orang-orang menghujatku. Bila Ibu Pertiwi tak mengakuiku, aku masih punya ibu yang menyayangiku. Mereka yang terus menghina sebenarnyalah pendusta berkedok.

Ibu pemimpin Gerwani di kampung kami. Semua buruh tani wanita hormat belaka padanya. Sikapnya sopan, tutur katanya selalu dijaganya baik-baik. Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka, membangunkan semangat kaum wanita.

Setelah peristiwa September meledak, banyak warga desa yang hilang dan tak pernah balik lagi ke rumah. Mereka yang diketahui keberadaannya, mendekam di kamp-kamp tahanan Purwodadi. Korban yang mati di kota kami sangat banyak. Ribuan! Wanita-wanita juga ikut dijebloskan dalam jeruji besi. Memang akhirnya di kampung kami yang ada hanya para janda dan anak-anak yang tak berbapak sepertiku, juga banyak yang tak berbapak dan beribu.

Tidak hanya itu, wanita-wanita seperti Ibu, yang ingin memajukan wanita sebangsanya, pun menjadi bahan pergunjingan luar-biasa. Di pelbagai pemberitaan seperti radio dan koran, mereka dianggap sebagai wanita yang bejat moralnya, disamakan dengan para “perek-perek” yang tak tahu malu. Puh! Perek pun aku rasa terpaksa menjual tubuhnya. Kematian para jenderal dikaitkan dengan Gerwani, mereka dituduh memotong-motong anggota tubuh para jenderal. Ya, menari-nari telanjang di depannya.

Lalu ayahku? Dia pun tidak terkecuali. Ia hilang dan hingga kini tak pernah ditemukan jasadnya. Biar saja aku menanggung derita; tidak mendapat hak-hak sebagai anak bangsa selayaknya. Tapi bagaimana dengan Ibu? Ia hanya bisa mengenang wajah suaminya dalam pigura itu, tidak lebih! Jika ia berkeluh, ia pun bakal tak sanggup. Mengeluh pun tak sanggup!

***
Ibu masih sakit, penyakit tua yang tak bisa dihindari, semua orang pasti kelak merasakannya. Aku mengamatinya dari balik pintu kamar, mengamatinya dengan hati berdesir melas. Aku bisa merasakan deritanya, desau suaranya mengisyaratkan penyesalan. Lebih baik aku kubur masa lalu itu, aku tak mampu membayangkan bagaimana orang-orang di kampung ini dibantai. Siapa yang membantai? Ah, bias jadi setan-setan yang cemburu pada manusia, kemudian memaksa mereka hidup dengannya.

Tubuhnya bergerak-gerak kepayahan, tangannya merangkak pelan di amben, mulai diangkatnya tangan itu untuk menggapai meja. Ada segelas air putih di sana yang sengaja aku sediakan untuknya. juga semangkuk bubur, aku tak mungkin memberinya nasi biasa, giginya sudah melompong di sana sini.
“Hati-hati, Mak.” Aku menghampiri dan membantunya.

“Darimana, Nduk?” tanyanya pelan, sambil terbatuk-batuk.
“Dari rumah Pak Affandi, Mak. Si Dewa sekarang sudah sarjana. Dia mengajar anak-anak muda yang ndak bisa baca.”
“Di mana dia? Aku ingin melihatnya.”
“Sebentar lagi dia datang.”

Aku tak tahu, mengapa ibu begitu mengasihi Dewandaru. Ketika kami kecil dan bermain bersama, juga waktu ibu masih sehat, Dewandaru diperlakukannya seperti anak sendiri. Kami semakin tumbuh dewasa, Dewa melanjutkan sekolahnya di Semarang hingga sekarang menjadi sarjana. Ia benar-benar harapan para pemuda kampung ini. Siapa lagi jika bukan ia yang memberi pencerahan kepada teman-temannya, pemuda di sini kebanyakan tidak bersekolah karena memang tak ada sekolah buat mereka.

“Assalamualaikum.” Ada tamu datang, pasti Dewa.

“Tunggu sebentar,” jawabku keras.

Dewandaru benar datang. Aku menyambutnya. Ia membawa bermacam oleh-oleh. Sebuah becak sesak penuh dengan karung-karung, mungkin beras, mungkin juga kebutuhan pokok lainnya. Tangannya menjinjing kantung plastik berisi buah-buahan untuk Ibu. Kami pun masuk ke kamar Ibu.
Dewandaru membungkukkan badannya ke arah Ibu, mengangkat tangannya kemudian mencium hangat—tanda hormatnya pada Ibu. Dewandaru meletakkan kedua tanganya pelan-pelan di punggung dan menarik pelan juga, kemudian memeluknya erat-erat, perlakuannya seperti dengan orangtua sendiri. Aku lihat mata Ibu yang sudah sipit itu membasah, aku rasai rindu yang mendalam di antara mereka. Sudah lama mereka tidak bertemu, sepuluh tahun!

“Mak, sakit?” tanya Dewa.
“Iya, Le. Mak sudah tua, jadi ya lemah begini.” Tidak biasanya Ibu bergairah bicara.
“Dewa bawakan buah, Mak. Biar Mak cepat sembuh.”

Ada sesuatu yang ganjil ketika aku melihatnya. Mereka hanyut dalam pembicaraan panjang. Dan pertemuan pertama itu menjadi awal hubungan kami. Hubungan cinta, betapa bahagianya diri ini bisa punya kasih semacam Dewandaru. Sebentar lagi Dewa akan melamarku, pasti orangtua kami sangat senang.

***
Ibu menolak lamaran Dewandaru. Juga kedua orangtua Dewa tak merestui hubungan kami. Tak kusangka akhirnya jadi seperti ini. Aku tak tahu mengapa Ibu begitu marah ketika Dewa mengatakan padanya hendak melamarku. Kami saling mencintai, Dewa menerima semua masa kelam keluargaku.

“Tidak. Kalian tidak boleh menikah!” Ibu menjadi murka.

“Kami saling mengasihi, Mak. Kenapa Emak melarang kami?” Aku dan Dewa membantah.

Ada percikan kegelisahan yang mendera Ibu. Belum pernah aku melihat ia seperti ini. Cinta kami tak bisa merobohkan benteng-benteng keteguhannya. Tubuhnya bergetar hebat ketika aku dan Dewa berpagutan tangan di hadapannya. Apalagi ketika aku menyandarkan kepala di tubuh Dewa. Lamat-lamat kemarahannya menjadi kelemahan. Dan kelemahan itu membuatnya membisu.

Sikap orangtua Dewa pun tak berbeda dengan sikap Ibu. Mereka yang biasanya baik dan ramah, seketika amarahnya meledak-ledak.

“Kenapa Bapak Ibu tidak merestui hubungan kami? Apa salah kami!” desak Dewa pada kedua orangtuanya.

“Jangan! Apa kata orang nanti?” Ayahnya begitu marah mendengar perlawanan Dewa. Ibunya hanya bisa menangis tersedan, ada kecemasan yang berlebihan. Aku mengerti, Dewa anak satu-satunya yang mereka miliki. Mereka sudah menyekolahkannya tingggi-tinggi. Tak mungkin mereka menerimaku sebagai menantu. Menerima perempuan desa yang tak tahu adat istiadat. Paling tidak mereka menginginkan menantu yang sepadan dengan Dewa.

Akhirnya kami putuskan saling menjauh. Orangtua kami sudah sama-sama tua. Jika kami keras kepala mempertahankan keinginan kami, berarti sama saja menyiksa pelan-pelan orangtua kami. Ibu sudah cukup menderita. Aku hanya ingin membahagiakannya di sisa-sisa hidupnya. Tapi ini, hubunganku dengan Dewa, orang yang sangat Ibu sayang ditolaknya juga menjadi menantu. Apakah Ibu sudah menemukan jodoh buatku? Atau aku memang tak pantas untuk Dewa?

***
Suatu hari orangtua Dewa datang ke rumah. Aku melihat dari kejauhan mereka naik becak. Aku bergegas menata diri, merapikan rambut dan mengganti bajuku yang kumal. Di kamar terdengar Ibu terbatuk-batuk. Aku membiarkannya sendiri dulu, nanti kami yang akan datang ke kamarnya.

“Dewa!” pekik orangtuanya gugup. Aku belum sempat menyilakan mereka duduk.
“Kenapa Dewa?” Aku cemas.
“Dewa hilang!! Sudah seminggu tak pulang.”

Mendadak sekujur tubuh ini lemas. Kurasakan keringat dingin mengalir deras di sudut-sudut tulangku. Kepala ini bagai dijatuhi bongkahan batu besar. Sangat berat! Aku mengerang. Aku …..
Dan tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca di kamar Ibu. Kami segera lari ke dalam. Ibu Dewa tergopoh-gopoh menyingkap jarik yang melilitnya.

“Masyaallah!” teriak ayah Dewa.

Ibu tergeletak di lantai. Pigura itu, yang berisi foto ayah dan ibu, terjatuh dan pecah. Kami memapahnya ke atas ranjang. Ibu merintih, terus mengerang. Mulutnya bergumam menyebut-nyebut nama Dewa. Orangtua Dewa mencoba menenangkannya. Memijit-mijit kaki dan tangannya.

Kudapati sebuah kotak kecil di atas meja. Aku mengambilnya. Kotak itu sangat indah, berwarna coklat pekat khas kayu jati. Samping-menyampingnya tertoreh ukiran lembut. Aku buka kotak itu. Selembar kertas lusuh terlipat rapi di dalamnya. Kemudian aku membuka dan membacanya, mengejanya pelan-pelan. Ibu dan orangtua Dewa terperangah melihat aku membaca kertas itu.

“Untuk anak-anakku; Dewandaru dan Sruti,
Maafkan orangtuamu ini yang begitu kejam terhadap kalian. Hanya lewat tulisan ini aku bisa mengungkapkan, hingga kalian mengetahui semua yang terjadi. Mungkin kalian menemukan kotak ini jika aku sudah mati. Aku terlampau berdosa terhadap kalian.

Dewandaru, putraku. Kau darah dagingku. Kedua orangtuamu ada di pigura itu. Kami menitipkanmu pada Pak Affandi saat pemberontakan berkecamuk. Umurmu empat tahun waktu itu.

Dan kepada Sruti, putriku. Kau adalah kebisuan semesta. Kau adalah ketiadaan. Aku dijadikan budak nafsu setan-setan terkutuk. Maafkan, Nak. Maafkan ibumu. Lelaki yang selalu kau kagumi dan kau tanyakan itu bukan ayahmu.”

Tanganku gemetar. Lelaki dalam pigura itu, ayahku yang selalu aku kagumi, yang setiap malam aku belai, aku ajak bicara, dia bukan ayahku? Penderitaanku belum juga berakhir, juga penderitaan Ibu. Aku bukanlah buah penghianatan Ibu, aku hanyalah ketidaksengajaan. Aku tak boleh lemah.

Aku lihat ibu membisu, namun mata terus mencucurkan air mata.

Tak lama kemudian seorang pemuda desa datang ke rumah dengan nafas terengah-engah.

“Jasad Dewandaru ditemukan di sungai!”

Ah, kekasihku, betapa murah harga nyawamu.

***
Catatan ini kutulis 17 tahun yang lalu, namun baru sekarang bisa kaubaca. Bukan saja biar kau tahu betapa sepi rasa kemanusiaan datang padaku, tetapi juga biar kau mampu menghargai sesama manusia. Kisah ini kualami sebelum ibuku gila dan akhirnya meninggal. Juga sebelum Arya, seorang tentara, menikahiku. Tentu kau akan berpikir keras untuk mengerti mengapa tentara itu bisa menjadi suamiku, rabalah sendiri. Kini, di usia yang sangat tua, aku hidup sebatang kara, tanpa siapa-siapa.

Bekasi, September 2010
[..]

Minggu, 20 November 2011

Bumiputera dan Orang Indonesia


Majalah Tempo, 7 Nov 2011. Bandung Mawardi, Esais dan penyair

Mohammad Hatta, seorang intelektual tenar, menyuguhkan esai bertajuk “Soal Bahasa Indonesia” di majalah Pemandangan (Nomor 239/240, 26-27 Oktober 1941). Pada 1930-an dan 1940-an, bahasa Indonesia adalah soal darurat dalam dunia jurnalistik dan politik. Bahasa Indonesia memang mulai hidup, tapi riuh dengan persoalan-persoalan pelik tentang linguistik, etik, estetik, dan politik. Keributan pemakaian istilah di pelbagai surat kabar memunculkan kecaman, apologi, dan perdebatan. Para ahli bahasa menamai bahasa Indonesia di sekian surat kabar kala itu sebagai bahasa sarap alias kotoran.

Celaan itu bisa kita acukan ke Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 1938. Kongres dipicu usul Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo, wartawan di harian Soeara Oemoem, Surabaya. Sosok ini rajin membuat istilah baru dalam bahasa Indonesia untuk menandingi pemakaian bahasa di pelbagai surat kabar kalangan Cina. Kongres dilangsungkan dengan sokongan para jurnalis, sastrawan, dan guru.

Djamaloeddin (Adi Negoro) dalam kongres itu memberi seruan bahwa bahasa Indonesia bergantung pada kecerdasan dan keloeasan pikiran di kalangan jurnalistik. Pesan dari peristiwa bahasa di Solo: “Soedah waktoenja kaoem wartawan berdaja oepaja mentjari djalan-djalan oentoek memperbaiki bahasa didalam persoeratkabaran.” Situasi bahasa itu memicu Hatta turut memperkarakan bahasa Indonesia. Hatta menganggap soal bahasa adalah soal identitas dalam alur (sejarah) politik Indonesia.

Hatta mengajukan kritik soal istilah bumiputera. Istilah ini digunakan sejak 1910-an sebagai hasil pungutan dari bahasa Sanskerta. Masyarakat saat itu terus menulis dan mengucap bumiputera kendati susunan sesuai dengan prosedur kebahasaan adalah putera bumi. Kesalahan ini jadi lazim. Hatta menganjurkan kehendak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu mesti berpegang pada pokok aturan bahasa.

Urusan istilah bumiputera merembet ke sejarah nama Indonesia dan sebutan bagi orang Indonesia. Pemerintah kolonial kala itu telah memperkenankan pemakaian istilah Indonesier atau inheemsche sebagai pengganti inlander. Kalangan intelektual, jurnalis, dan masyarakat umum tergoda menggunakan istilah-istilah itu. Mereka seolah-olah tak merasa salah saat menggunakan istilah orang Indonesier, academici Indonesier, dan nona Indonesier. Semua ini menimbulkan sakit sejarah dan luka identitas.

Segala terminologi dari bahasa Belanda itu merusak kehalusan bahasa dan harga diri. Hatta marah dan kesal. Situasi politik memang pelik. Pemerintah kolonial melarang orang mengucapkan nama Indonesia melalui radio, tulisan, dan acara di ruang publik. Hatta menganjurkan mereka menggunakan istilah bumiputera jika takut menulis atau mengucap istilah orang Indonesia.

Kita bisa mundur ke sejarah Indische Vereeniging (1908) untuk memahami maksud Hatta. Indische Vereeniging memiliki tujuan: memajukan kepentingan bersama-sama dari Indiers di Negeri Belanda. Penggunaan sebutan Indiers mencakup penduduk pribumi di Hindia Belanda. Para penggerak Indische Vereeniging melakukan perombakan bahasa demi harga diri, identitas, dan kerja politik. Mereka melawan sebutan inlanders (kaum pribumi atau penduduk di negeri jajahan) dan inheemschee. Nama organisasi diganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Majalah pun berganti nama: Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Sebutan inlander diganti bumiputera. Pilihan bahasa ini mengandung utopia meski menanggung risiko politik.

Bahasa adalah napas hidup politik.

Hatta adalah sosok penggerak di Perhimpunan Indonesia. Hatta memahami relasi bahasa, politik, dan identitas. Sejarah telah mengajari Hatta bahwa harga diri bahasa adalah harga diri bangsa. Esai kecil Hatta itu mendapat tanggapan sengit dari Siti Hawa di majalah Istri Indonesia (Oktober 1941). Sanggahan Siti Hawa: “Sungguh Siti kurang mufakat kalau orang menjebutkan perkataan bumiputera untuk bangsa kita, sebab perkataan itu terlalu sangat mengingatkan Siti kepada perkataan inboorling, jang umumnja dipakai untuk bangsa jang masih biadab! Siti Hawa lebih memihak penggunaan istilah orang Indonesier ketimbang bumiputera.”

Hatta (Pemandangan, Nomor 13, 16 Januari 1942) menjawab serangan itu dengan argumentasi bahwa Siti Hawa terpengaruh bahasa Belanda dan mengidap kompleks kolonial. Hatta menganggap sebutan bumiputera tidak hina, tapi mengandung arti kemuliaan.

Jejak sejarah itu mengingatkan pemaknaan orang Indonesia dan Indonesia untuk masa kini. Kita perlahan hilang diri dalam istilah orang Indonesia karena kerap menanggung malu, minder, dan inferior oleh segala keburukan serta apes dalam aspek politik, ekonomi, teknologi, hukum, dan pendidikan. Istilah Indonesia juga rentan mengandung pengertian politik-negatif: korupsi, diskriminasi, kekerasan, dan konflik. Kita memang sekadar bernostalgia atas makna bumiputera kendati susah mengartikan diri dalam istilah orang Indonesia.
[..]

Jumat, 18 November 2011

Seandainya Saya Jadi Jurnalis

Oleh Galvan Yudistira


Mahasiswa pertanian, orang pasti berpikir: bergelut dengan ilmu pertanian. Mahasiswa pertanian biasanya sering terjun ke lapang dan berinteraksi dengan petani. Apalagi saya, mahasiswa Agronomi dan Hortikultura IPB, setiap beban sks yang diambil tidak lepas dari teknologi, kebun, tanaman dan petani.Namun, bagaimana jika kita memilih pekerjaan yang tidak sesuai dengan jurusan di kampus?

Setiap mahasiswa di jurusan tertentu, memang akhirnya akan bekerja tidak jauh dari apa yang ia pelajari . Saya sadari, pernyataan awal paragraf kedua ini tidak mutlak, tidak pakem. Ada beberapa teman dari fakultas saya bekerja jauh dari bidang ilmu pertanian yang ditekuninya di masa kuliah. Wartawan, wirausaha, bisnisman, bankir, model, penyair, organisator, event organizer, merupakan salah satu contoh kecil variasi itu. Pertanyaannya, bila pekerjaan tidak sesuai dengan bidang ilmu yang dijalani di masa kuliah, ke mana ilmu yang dipelajari selama 4 tahun?

Ironis memang, apalagi penduduk kita hampir 60% petani. Jika ditelaah lebih lanjut, jumlah mahasiswa tidak mencapai 10% dari jumlah penduduk. Seharusnya, secara logika, banyak sekali lapangan pekerjaan dan self own job bisa diciptakan mahasiswa pertanian. Dan mereka para petani pasti membutuhkan bantuan mahasiswa, terutama untuk diseminasi teknologi yang lagi in di kampus dan dunia sekarang ini. Akan tetapi, setiap orang memiliki cita dan tujuan hidup masing-masing. Tidak ada determinisme buat menggiring seseorang memasuki ranah pekerjaan tertentu.

Jurnalis. Satu kata yang sangat membekas dalam pikiran saya. Tidak hanya karena pekerjaan tersebut akrab dengan ragam realita sosial. Akan tetapi, saya melihat ada cita-cita luhur dalam pekerjaan ini.

Saya menyadari, tidak ada korelasi ilmu pertanian secara signifikan dengan bidang kewartawanan, saya mungkin tidak bisa menjadi good player: pemain handal. Sebab, ranah kurikulum pertanian dan kejurnalistikan memang berbeda. Jurnalis lebih condong ke ranah sosial, sastra dan filsafat. Sedangkan pertanian lebih mengacu pada teknik budidaya tanaman di lapangan. Namun semua tentu berbeda jika kita memiliki effort untuk itu.

Pertanyaan terakhir saya, apakah mahasiswa pertanian bisa menjadi jurnalis yang baik?
[..]

Aku


Kata Sokretes, kenalilah dirimu. Kalimat itu sangat bijaksana, Sokrates tidak menambahkan kalimat lain seperti Sun Zu yang mengatakan: “kenali dirimu, kenali musuhmu, maka kau akan menang tanpa cacat”. Seperti mereka, aku ingin mengenali diriku. Melihat ke dalam jiwa, mengapa aku lahir di dunia, dan apa yang bisa aku lakukan.

Seorang teman mengatakan, anak tidak harus berbakti pada orang tua, toh anak tidak minta dilahirkan. Temanku menggugat kebenaran, menenggelamkan hakikat. Dia memandang ‘kelahiran’ sebagai materialisme semata—menghilangkan metaphisik, rohani, atau transenden. Tapi akhirnya, bila segala hanya dipandang sebab-akibat, menjunjung tinggi benda, maka ia mengalami krisis kemanusiaan.

Dalam filsafat, setidaknya aku mengenal dua aliran: idealisme dan materialisme. Menjunjung ide di atas segalanya dan membatalkan adanya benda, itu idealis. Sedangkan mengagungkan benda lalu mengerdilkan ide sebagai bangunan awal, itu materialis. Orang idealis, di masyarakat, percaya ide mereka bisa memengaruhi keadaan sosial. Sedangkan orang materialis mengatakan, keadaan sosial itu yang memengaruhi ide seseorang.

Pertanyaan berbakti pada orang tua tidak bisa dijawab dengan logika ‘ya’ atau ‘tidak’. Temanku melihat kelahirannya sendiri merupakan buah keinginan orangtua, dia tidak menginginkan. Itu sangat badani, ia berarti membatalkan proses. Dalam proses mengandung, melahirkan, membesarkan, tentu saja ada interaksi, humanisasi, juga titik-titik tertentu di mana orangtua menjalankan laku budaya—demi keselamatan si jabang bayi. Ada zat lain dari luar diri manusia yang dianggap suci, menyatukan antara jiwa ayah, ibu, dan anak. Jiwa mereka terikat. Bukankah kita kerap mengenal firasat orangtua pada anak atau sebaliknya?

Jadi, si teman tadi, menganggap kelahirannya hanya dipengaruhi orangtua—material. Keinginan orangtua yang menentukan lahirnya si jabang bayi, bukan bayi yang menentukan ingin lahir. Namun, sekali lagi, polah bayi (ide) juga menentukan sikap orangtua: harus mengasuh, memberi susu, juga menafkahi. Keadaannya tentu berubah sebelum dan sesudah bayi lahir. Bila teman tadi berkata ‘tidak ingin dilahirkan’, orangtua semestinya juga bisa bilang ‘tidak ingin direpotkan dengan perilaku aneh’ anaknya.

Baiklah, aku tak ingin banyak membahas filsafat itu. Kata orang Jawa jelimet, ruwet, ribet atau rumit. Aku hanya ingin menceritai diri sendiri dalam garis budayaku. Ayah Ibuku menikah karena cinta, perasaan murni manusia. Mereka menghidupi keluarga dengan keringat kerja keras. Selama Ibu mengandung, orang Jawa selalu menjalani adat yang mereka yakini agung. Tentu saja ayahku tidak berani berbuat buruk. Sembilan bulan ia prihatin: memerih hati.

Aku yakin Ibu pasti kerepotan saat mengandung. Bukan saja harus menjalani pantangan ini-itu, tetapi setiap hari ia berdoa, memohon agar bila aku lahir nanti, tiada cacat sedikit pun pada tubuhku. Ibu mungkin mengasup makanan bergizi, bagaimana pun caranya, sebab ia tahu tengah dititipi roh dari Maha Pencipta. Singkatnya, aku lahir di dunia ini memang tidak minta dilahirkan, tetapi ketika aku hidup bersama orangtua, aku sudah menjadi bagian mereka. Sebagai manusia, aku tak bisa menafikkan kasih sayangnya.

Hal pertama yang dilakukan orangtua, setelah melahirkan, ialah memberi nama. Biar anaknya puluhan, tetap saja anak mesti dikasih nama. Tidak mungkin juga mereka yang punya anak puluhan hanya menandai badan si anak dengan tato angka. Setidaknya, nama berfungsi buat memanggil dan menandai identitas. Tetapi aku pernah pula dengar orang mengubah namanya, atau menyembunyikan, gara-gara nama itu memalukan atau membahayakan.

Dosen psikologisku menceritakan, teman jaman kuliahnya dulu tidak berani menyebutkan nama panjang. Waktu itu era Soeharto. Teman dosenku bernama G. Soeharto, huruf ‘G’ tak pernah dijabarkan. Ketika Soeharto tumbang, ‘G’ itu baru diketahui, yaitu ‘Gempur’, lengkapnya Gempur Soeharto. Konyol, bukan? Wajar waktu itu Gempur takut.

Di Balik Namaku

Namaku Respati Wasesa Affandi. Beberapa orang yang pernah kecewa atas kelakuanku selalu berkata, “kelakuanmu tidak sesuai dengan namamu, Nak. Sayang sekali. Namamu itu besar!” Ada apa dengan namaku? Apakah ayah-ibuku mengambil bahasa Jawa Kuno untuk mempercantik namaku saja? Tidak.

Respati artinya Kamis, gagah, dan pantas. Wasesa artiya Maha menguasai. Nama itu kuketahui ketika membaca ajaran aliran Islam kejawen: Sapta Darma. Dalam salah satu dari tujuh ajarannya, ada ‘Maha Wasesa’. Aku tidak tahu mengapa ayahku bisa memberikan ‘Wasesa’ padaku. Kemungkinannya sangat beragam. Bisa jadi karena ayahku berjiwa Jawa. Ia memang terlahir dari darah santri, kemudian mengental menjadi priyayi ketika Kakek menjabat sebagai lurah. Namun selain itu, kuketahui bahwa Ayah kerap membaca primbon. Ayah menggabungkan antara mistik Jawa dengan ajaran Islam. Belakangan ini kuketahui ia mengagumi Syekh Siti Djenar. Agak rumit memang mengupas sosok Ayah, aku menyebutnya figur yang serba paradoks. Tapi mungkin sudah sedikit terjawab pertanyaan mengapa namaku nama Jawa.

Bagaimana dengan ‘Affandi’? seorang teman di Jakarta pernah menduga aku anak seorang seniman. Ia menangkap dua huruf ‘f’ dalam Affandi. Itu tidak biasa, sebab kebanyakan nama serupa hanya mempunyai ‘f’satu. Perupa terkenal namanya persis dengan nama belakangku: Affandi dua ‘f’. Ayahku memang seorang seniman. Tetapi seniman Bonsai. Barangkali temanku tadi tak tahu banyak tentang seni Bonsai ini. Jadi tidak ada sangkut paut dengan Affandi perupa. Nama Affandi ialah nama Kakek. Ayah menyematkannya sebagai nama belakang untuk semua anaknya. Tujuannya, tentu saja, memperkukuh keluarga kami. Kebetulan Ayah adalah anak tunggal, wajarlah jika ia ingin melestarikan nama ‘Affandi’ ini.

Menurut cerita yang kuhimpun dari beberapa orang, termasuk ayahku, kakek adalah figur teladan bagi masyarakat Desa Paduraksa: daerah yang dipimpinnya ejak tahun 60an. Ini cocok dengan arti Affandi, yaitu gelar kemuliaan. Selain karena lurah, kakek dikenal santri. Masa itu santri bukan hanya dipandang sebagai orang yang pintar agama, tetapi juga punya ‘linuwih’: kelebihan. Maka tak heran jika nama Kakek selalu harum hingga kini. Hal itu bisa dibuktikan saat keluarga kami sowan ke makam. Tempat singgah terakhir Kakek selalu bersih dan rapi. Orang-orang desa dengan sendirinya ikut merawat makam itu. Jika begini adanya berarti Kakek memang masih dihargai, atau setidaknya dikenang masyarakat. Aku bangga nama kakek melekat pada namaku.

“Apalah arti sebuah nama,” kata William Shakespeare, penulis besar Inggris itu. Barangkali kutipan ini ingin menegaskan: jangan kau berhebat-hebat dengan nama, gelar, pangkat, atau sejenisnya. Tetapi buktikan apa yang bisa kau perbuat untuk kemanusiaan. Apalah arti ‘nama’ jika kelakuanmu tak segaris dengan makna namamu. Makna di sini, aku sebut sebagai doa atau pengharapan. Bila benar nama adalah doa, berarti orangtua sangat berharap agar si anak mampu mengemban doa itu.Maka, namaku yang bermakna baik ini, yang di dalamnya terkandung doa, tak akan aku menodainya.

(bersambung.....)

[..]

Minggu, 13 November 2011

Menembus Rumah Kaca


1912: Pemerintah Hindia Belanda berhasil menyingkirkan pribumi terpelajar nomor wahid, RM Tirto Adhi Soerjo, dalam roman ini akrab disapa Minke. Kegiatan Minke di lapangan jurnalistik dan pergerakan dianggap Gubermen sebagai ancaman. Sebab, bila gejolak dibiarkan, ia akan menumbuhkan bibit pemberontakan baru, menggangu pula kestabilan kolonialisme. Pergolakan di Hindia ditandai munculnya beberapa organisasi pribumi yang secara diam-diam memimpikan sebuah nasion, bangunan yang mulanya bermodalkan mulut dan pena.

Kolonialisme memang sengaja dijalankan untuk mengeruk kekayaan bumi dan manusia di daerah koloni. Setiap pembangkangan pribumi ialah pertanda adanya pergeseran pemahaman baru, dengan kata lain, terjadi perluasan pandangan. Sedangkan kemajuan berpikir ini sangat bertolak belakang dengan misi kaum penjajah: semakin kaum terjajah maju, semakin terancam pula kolonialisme. Maka pribumi pribumi maju ini mesti dikompromikan, ditahklukkan, bahkan dilumpuhkan. Semakin nyata bahwa penjajahan sama artinya dengan pembodohan.

Pascapembuangan Minke, di Hindia justru bermuculan individu-individu baru, mereka secara terang-terangan berani menantang Gubermen. Mereka lahir dari golongan muda pribumi berpendidikan Eropa. Kebanyakan anak pejabat pribumi. Pelajaran yang mereka dapat di sekolah ternyata berbeda dengan realitas di masyarakat. Mereka berontak dan bertanya-tanya, akhirnya menyimpulkan bahwa penjajahan di tanah mereka adalah bentuk kemunafikan, atau pengingkaran Gubermen terhadap nilai luhur Eropa.

Dilihat segi cerita, roman Rumah Kaca karya Pramoedya merupakan antiklimaks ketiga roman sebelumnya dalam Tetralogi Pulau Buru. Pram membekukan tokoh utama “aku”, lalu menggantikan tokoh lain sebagai pencerita. Tetapi objek pengamatan tetap Minke. Tokoh pencerita, Pangemanann dengan dua 'n', ialah sosok paradoks: Intelejen yang kagum pada target operasinya. Kegamangan Pangemanann juga bisa digambarkan lewat pergulatan batinnya, ia sadar tengah melakukan perbuatan melanggar kemanusiaan, namun ia hanya hamba Gubermen yang mesti patuh perintah.

Dalam operasi intelejen itu—sebelum dan sesudah Minke ditangkap—Pangemanann mengamati detail aktifitas Minke. Pramoedya menyebut sebagai usaha “perumahkacaan”. Pangemanann setiap hari bergelut dengan laporan-laporan, arsip-arsip, atau tindak-tanduk benih terpelajar pribumi. Menariknya, ketiga judul roman sebelumnya—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah—digambarkan di Rumah Kaca sebagai catatan perjalanan Minke sendiri. Catatan ini membuat Pangemanann tercengang, dan akhirnya sibuk memastikan: fiksi atau kenyataan?

Pangemanann gusar. Dalam penelusuran arsip itu ia menemukan tokoh-tokoh luar biasa di belakang Minke. Mereka perempuan, seperti Ibundanya, Nyai Ontosoroh, dan ketiga belahan jiwanya: Annelies, Ang San May, Princess Kasiruta. Namun Pangemanann hanya berhadapan langsung dengan tokoh terakhir, Pincess Kasiruta. Atas perintah Gubermen, Pangemanann mengusir Prinsess Kasiruta dari rumah yang ditempati bersama Minke di Buitenzorg (Bogor).

Setidaknya, pascapembuangan Minke, organisasi sebagai kekuatan dan Medan Prijaji sebagai alat bersuara ambruk. Serikat Dagang Islam (SDI) kelimpungan mencari pemimpin, padahal anggota kian menumpuk. KH. Samanhudi, tokoh penting SDI, memindahkan sekretariat pusat ke Solo, tempat tinggalnya. Tanpa proses yang jelimet, Samanhudi mengangkat terpelajar muda sebagai pemimpin, HOS. Cokroaminoto. Nama SDI kemudian berganti Serikat Islam, berpusat di Surabaya. Pergolakan di dalam organisasi terjadi, sebagian pengikut loyal Minke tak sejalur dengan pemikiran Cokroaminoto, salah satunya Marco—anak buah Minke. Gubermen memandangnya sebagai kesempatan emas, sebab dalam masa peralihan ini Serikat Islam kehilangan taring. Oetoesan Hindia, surat kabar SI asuhan Cokroaminoto, pun tak setajam Medan Prijaji.

Dua organisasi besar di Hindia, Budi Utomo dan SI, lamat-lamat melakukan kompromi-kompromi politik dengan Gubermen. Dua orgnisasi ini tidak lagi jadi ancaman. Tetapi, faham dari Eropa semakin deras menusuk Hindia. Istilah “politik” dan semacamnya yang berbau perlawanan, mulai diresapi terpelajar pribumi. Ki Hajar Dewantara beserta dua temannya Douwes Dekker dan Tjipto Mangun membentuk organisasi bernama Indij Partij. Pergerakannya ditunjang surat kabar bernama De Express. Mereka banyak bergerak di Batavia. Tulisan terkenal Ki hajar Dewantara ialah "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), berisi kritik perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Pangamanann menilai tiga serangkai itu hanya pameran intelektual belaka, sedangkan akar massa mereka lemah.

Di Solo dan sekitarnya, bermunculan nama-nama baru. Mereka diam-diam melancarkan serangan pada Gubermen melalui tulisan di surat kabar. Siti Soendari, terpelajar perempuan, hadir mengejutkan di panggung-panggung pergerakan. Disusul Semaoen, pemuda tanggung anggota SI. Di sinilah, Cokroaminoto kerap disebut pengkader masyhur tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pada saat itu, Marco yang berpendidikan rendah, pun ikut tampil: ia dianggap pembawa warna pemikiran baru dalam tubuh SI. Mereka mulai mengenal isme-isme, seperti komunisme dan nasionalisme: cikal bakal SI Merah, kemudian PKI. Namun akibat pembangkangan itu, banyak di antara mereka diasingkan. Inilah embrio lahirnya bangsa Indonesia, kemudian menjadi daging bernama Sumpah Pemuda.

Nilai Humanisme

Pramoedya menggambarkan pedalaman tokoh protagonis, Jacques Pangemanann, sangat pelik, tapi cerdas. Mendapat tugas berat merumahkacakan Minke, karir Pangemanann melejit. Namun ia mesti bergelut dengan hati nuraninya sendiri: keterpelajaran dijugkirbalikkan menjadi kedunguan. Keharmonisan keluarganya hancur, istrinya menyebut pangemanann “tidak seperti dulu lagi”. Pada waktunya, ia mesti berpisah dengan keluarga tercinta—Madame Pangemanann pulang ke negerinya, Perancis.

Pangemanann mengagumi sosok Minke. Ia menganalogikan Minke dengan Si Pitung, Pitung Modern bersenjata pena. Perasaan sebagai manusia tidak bisa dihindari, ia menganggap dirinya manusia paling keji. Tapi di sisi lain, ia mesti melaksanakan perintah Gubermen. Pergolakan batin Pangemanann tidak selesai di situ, jiwa primordialnya sebagai pribumi Menado membuncah, apalagi ketika saudara sedaerah mengajukan pertanyaan: kapan kita membentuk organisasi kedaerahan, seperi Jong Java? Pangemanann gusar, sebab, bukankah ia bertugas memberangus organisasi pribumi?

Kegelisahan Pangemanann sedikit luruh saat pemerintah Hindia memberi kebijakan, yaitu memproses hukum dan membebaskan buangan, termasuk Minke. Kebijakan itu juga membolehkan organisasi kedaerahan ada, asal tidak membangkang. Mungkin ini salah satu strategi memecah belah daerah di Nusantara, membenturkan primordial yang tengah mendidih. Atas perintah Gubernur Jendral, Pangemanann mempersiapkan pembebasan Minke, tentu saja dengan syarat: tidak membangkang.

Beberap tahun dibuang, Minke akhirnya bebas. Kapal dari Pulau Blacan berlabuh di Surabaya. Pangemanann menemani Minke melihat-lihat tempat ia dibesarkan, naik taxi. Mula-mula dituju Rumah Ontosoroh di Wonokromo, rumah itu sepi, penghuninya tak ada. Di jalan ia juga bertemu Painah, Jongos perempuannya. Painah menangis melihat Minke, majikan itu kini kurus dan nampak tua. Tapi Minke segera pergi. Kapal berlabuh lagi ke Betawi.

Tiba di Betawi Minke lepas dari pengawasan. Sebenarnya intelejen masih mengikuti Minke diam-diam. Minke pergi ke sebuah hotel, di Betawi Pusat. Minke mencari pemiliknya, anak buahnya dulu. Namun hotel itu sudah ganti pemilik, dijual pada orang Arab. Ia menuju Buitenzorg, rumahnya. Tetapi rumah tersebut telah menjadi milik pangemanann. Ia tak tahu istrinya di mana, juga ia tak tahu harus ke mana. Minke kembali ke Betawi, membawa kopor kecil tua pemberian Nyai Ontosoroh.

Pembebasan Minke sama sekali tak muncul di surat kabar, juga di Oetoesan Hindia asuhan Cokroaminoto. Minke berjalan menyusuri jalan-jalan kota serupa gelandangan. Uang padanya tak ada, pemimpin besar ini tersingkir. Dalam perjalanan yang tak menentu itu ia merasa dibuntuti seseorang. Minke semakin cepat berjalan, tetapi sejurus kemudian sejulur tangan menghentikannya. Dia Goenawan Mangunkusumo, teman di STOVIA sekaligus pendiri Budi Utomo. Di rumah Goenawan, Minke beristirahat akibat sakit berkepanjangan. Penyakit Minke semakin parah, Goenawan membawanya ke seorang dokter Jerman di Jakarta. Pramoedya menuliskan, sebelum Minke datang dokter itu diinterogasi orang tak dikenal. Ia diancam agar tidak mengobati Minke. Minke tak bisa diselamatkan, ia meninggal dunia dalam kesendirian, tepatnya pada 17 Agustus 1918.

Beberapa bulan kemudian, seorang perempuan datang ke duta besar Perancis di Hindia. Ia ingin mencari anaknya, Minke namanya. Perempuan ini Nyai Ontosoroh, membawa bayi dan seorang gadis kecil bernama Rono Mellema, keponakan Annelies. Ontosoroh menikah dengan Jean Merais, sahabat Minke. Duta besar itu memanggil Pangemanann agar menunjukkan di mana Minke berada. Pangemanann gugup, ia membawa Ontosoroh ke tempat tinggal terakhir ‘anak’ emasnya itu.

Di makam, Ontosoroh sangat terpukul. Pangemanann tak bisa berkata-kata, ia gemetar menghadapi perempuan agung di balik Minke. Manusia luar biasa pada zamannya itu kini tidur terasing dari sebangsanya. Pesan Ontosoroh pada Minke di masa lalu seolah-olah terucap dalam hatinya lagi: Setidaknya kau telah melawan, Nak. Melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.


[..]

Sabtu, 12 November 2011

Perempuan dan Dunianya

Oleh Diah Ayuningtyas


Tuhan menciptakan makhlukNya yang paling sempurna menjadi dua gender berbeda. Laki-laki dan Perempuan. Lebih dari separuh manusia di bumi adalah perempuan. Mereka diciptakan dari tulang rusuk sang laki-laki. Selama ribuan tahun, apakah sudah sempurna perlakuan yang diterima kaum perempuan?

Sebagai perempuan, saya merasa perlakuan terhadap kaum saya masih jauh dari kesempurnaan. Mengapa demikian? Perempuan kadang dianggap makhluk lemah. Selalu berada di bawah naungan laki-laki. Atau mungkin perempuan dinilai sekadar pelengkap sempurnanya hidup seorang laki-laki. Sudah banyak kasus di Indonesia, bahkan di dunia, yang melibatkan perempuan sebagai korbannya. Seperti diberitakan dewasa ini. Perempuan dirampas paksa kehormatannya di angkutan umum, dianggap tabu jika membicarakan perihal seks, menjadi korban penganiayaan, kekerasan atau sebagai pelaku utama penyebaran penyakit HIV/AIDS.

Diskriminasi terhadap perempuan semakin terlihat jelas saat beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan, pemerkosaan yang dilakukan sopir angkot kepada perempuan muda dikarenakan cara berpakaian perempuan terlalu minim. Padahal jika ditelaah secara adil, pihak laki-laki (re: sopir angkot) terbukti bersalah karena tidak mampu menghilangkan niat jahatnya terhadap penumpangnya, perempuan. Selain itu, seperti dilansir Jurnal Perempuan, nampak permasalahan perempuan yang terjangkit HIV/AIDS kental dengan diskriminasi gender. Kasus perempuan yang terjangkit HIV/AIDS ialah karena lelaki lebih mendominasi, perempuan dan anak-anaklah yang akhirnya menjadi korban, menyandang stigma seumur hidup terutama dari lingkungannya, kehilangan masa depan, dan kehilangan hak bereprpduksi. Sebab, terinfeksinya perempuan bukan hanya karena kurangnya pemahaman tentang penyakit tersebut, melainkan karena perempuan tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi, serta posisi tawar yang memadai untuk melindungi diri mereka.

Lalu ada hal lain yang membuat diri seorang perempuan menjadi beda dari laki-laki. Perempuan lebih dianggap tabu dalam pembahasan mengenai seks. Padahal, di Indonesia sendiri, ada beberapa kaum perempuan yang ahli di bidang seksologi. Salah satunya Zoya Dianaesthika Amirin. Beliau yang merupakan lulusan dari Universitas Indonesia jurusan Psikologi, kini menjadi seorang Psikolog Seksual. Kepedulian Zoya terhadap kaumnya, membuat ia bertekad memilih profesi sebagai Psikolog Seksual dan memberikan pendidikan kepada kaumnya agar tidak dimanfaatkan orang lain, menjadi korban pelecehan seksual, atau pemerkosaan (Kompas edisi Minggu, 2 Oktober 2011). Perempuan kelahiran Jakarta ini kerap berada di tengah pusaran kontroversi. Tapi hal tersebut tidak membuatnya berhenti untuk tetap berani membela kaumnya dan menyamaratakan kedudukannya dengan kaum lawan jenis.

Selain peningkatan pemahaman akan kesetaraan gender dalam masyarakat perlu ditingkatkan, ketahanan perempuan dalam melawan diskriminasi bagi diri perempuan itu sendiri juga perlu dukungan lebih dari berbagai pihak. Yang saya ketahui dari berbagi sumber, para perempuan muda sering tidak kuasa menolak permintaan pacarnya untuk berhubungan seks sebagai bukti cinta, atau perempuan muda juga tidak memiliki kekuatan bernegosiasi dalam pemakaian alat kontrasepsi. Maka penyebaran virus HIV/AIDS dengan mudahnya terjadi.

Tidak mudah menjadi seorang perempuan. Mengatasi masalah dalam diri sendiri atau masalah yang bersumber dari luar dirinya. Perempuan terbiasa dengan kucuran air mata jika sesuatu menimpanya. Tapi tidak menutup kemungkinan, ada rasa syukur terpatri dalam tiap diri perempuan. Mendapatkan hak absolut untuk dilindungi, diberi kasih sayang lebih, dan diperlakukan lebih lembut dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun hal tersebut belum sepenuhnya sempurna dalam kehidupan nyata seorang perempuan. Lihatlah perempuan-perempuan hebat di luar sana, Mother Theresa, Ibu Kartini, Fatimah Az Zahra, Ibu yang melahirkan kita, dan pembaca perempuan. Perlulah kita memahami lebih bentuk-bentuk diskriminasi gender dan kekerasan serta bagaimana mengatasinya seorang diri atau menjadi perempuan yang mampu bertahan dan bisa menularkan kesadaran tersebut kepada perempuan lain juga untuk saling menguatkan rasa kepedulian sesama perempuan.
[..]

Jumat, 11 November 2011

Baik/Buruk Ini Bangsaku


Untuk Indonesia, saya hanya ingin bercerita.

Di pagi hari sebelum memulai aktifitas, saya selalu menyempatkan baca koran pagi. Awalnya saya begitu antusias mengamati rubrik politik dan hukum, tetapi saya jadi bosan dan meninggalkan rubrik itu di hari selanjutnya. Alasannya, pertama, rubrik itu memerlihatkan cerita karut-marut negara ini. Sementara berita pengangguran, kemiskinan, kerusakan lingkungan, bencana alam, krisis moril, hingga ketegangan sosial, memadati hampir setiap lembar koran. Kedua, jangan-jangan ada motif kepentingan dari pemberitaan tersebut, sebab beberapa media massa di Indonesia milik tokoh politik. Saya sulit meraba kekuatan karakter Negara ini: sejarah seolah kehilangan pesan. Ada pesimisme sekaligus kejengkelan yang sebenarnya ingin saya luapkan. Namun saya berpikir, saya mesti bagaimana?

Begitulah, semakin saya tahu semakin resah. Mungkin hal serupa dirasakan orang lain. Permasalahan yang dihadapi selalu pada bagaimana kita bertindak: kita jengah dengan diskusi-diskusi politik yang juntrungnya agitasi-propaganda. Saling menyalahkan, namun tidak ada solusi yang ditawarkan. Saya jadi ingat tentang kehadiran saya di kantor pusat sebuah partai besar di Jakarta pada acara peringatan Hari Pahlawan tahun lalu. Saya tertarik mengikuti: paling tidak ada wawasan baru tentang patriotisme yang saya dapat. Beberapa tokoh terkenal partai yang namanya kerap muncul di media massa hadir sebagai pembicara. Tetapi waktu materi pertama diterangkan, saya tersentak—saya salah tempat. Hujatan demi hujatan terlontar, tanpa risih, tanpa “tedeng aling-aling”. Mereka asyik mengeluarkan kalimat-kalimat yang menurut saya tidak pantas diungkapkan kaum cerdik pandai.

Mungkin kita patut marah jika di Negara ini para elite politik, yang mestinya menyambung lidah rakyat, malah saling serang dan tuduh. Sedangkan di luar sana rakyat Indonesia dirampas haknya. Banyak anak bangsa tidak sekolah, mereka rela bekerja banting-tulang meski umur belum cukup melakukan itu. Banyak rakyat miskin yang terpaksa tersiksa penyakit lalu meninggal lantaran biaya berobat di rumah sakit mahal. Dan banyak pula pemuda menganggur: dari desa mereka ke kota, tapi di kota jutru hidup semakin kacau—mereka ambruk ditelan gelombang ketidakpastian. Saya sangat beruntung bisa menjadi mahasiswa walau sebenarnya saya iri dengan mahasiswa di Negara lain.

Lalu apakah benar pemerintah gagal menjalankan tugas seperti yang digambarkan di koran? Memang bila dilihat dari indikator kegagalan pemerintah, Indonesia mendekati itu. Dari mulai Ekonomi, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, infrastuktur, hingga pemerataan dan perencanaan pembangunan, semua berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Di sisi lain korupsi merajai, penegakan hukum seolah tebang-pilih, serta payung kebhinekaan yang gencar digaungkan gagal meneduhi antargolongan: agama, suku dan ras.

Masih Terjajah

Selain politik yang tidak santun di internal, Indonesia dalam dunia global juga berada di titik lemah. Pasar bebas mencengkram semua lini dengan kedok modernisme, yang secara tidak langsung pesannya terus diselipkan lewat media massa. Barang produksi dari luar membajiri Indonesia, padahal ekspor Indonesia tidak seberapa bila dibandingkan impor yang masuk (tentu saja ini mendukung perusakan alam). Anak muda dijajah gaya hidup, dan, mereka pun mengenal budaya baru berupa hidup konsumtif. Modernisme tidak bisa disalahkan, tetapi pemaknaan modernisme itu sendiri yang “salah kaprah”. Kemajuan semacam ini bukanlah kemajuan yang sesungguhnya, ia hanya bersifat fisik dan material. Tetapi perilaku dan pola pikir masyarakat, justru mengalami kemunduran. Semestinya modernisme bisa diterima baik bila filter kebudayaan kita benar-benar kukuh.

Saat saya masih di desa, di Pemalang Jawa Tengah, gejala itu mulai terlihat. Banyak tetangga saya yang rela menjual sawah pada pengusaha agro buat beli sepeda motor untuk anaknya (saya pikir anak-anak itu tidak/belum membutuhkan sepeda motor). Akhirnya petani-petani itu beralih profesi—jadi apa saja. Saat menyadari mereka tidak punya keahlian selain bercocok tanam, mereka kembali lagi menjadi tani, tetapi kali ini jadi buruh tani, yang tentu, penghasilannya jauh lebih sedikit dibanding menggarap sawah sendiri. Buruh-buruh tani itu pun hidup dalam kondisi yang tidak lebih: cukup untuk hidup saja, bahkan sebagian besar dari mereka terjerat lintah darat. Lambat laun, pekerjaan bertani jadi semacam peringatan bahwa menjadi petani tidak akan bisa kaya. Maka anak-anak mereka dianjurkan mencari kerja di kota: jadi buruh pabrik. Setiap tahun anak muda yang tidak bisa kuliah berbondong-bondong datang ke kota, urbanisasi meningkat, ibukota semrawut. Saya kira itu juga terjadi di kalangan nelayan. Bukankah sektor pertanian dan kelautan merupakan tulang punggung negeri ini?

Gejala yang lain ialah terkikisnya budaya-budaya daerah . Waktu saya kecil banyak sekali permainan tradisional yang turut mengisi hari-hari kami sebagai anak desa. Semua permainan itu selalu menjunjung tinggi kekreatifan, sama sekali tidak butuh biaya besar. Juga tontonan seperti teater, wayang, tari-tarian, gending, dll. Tetapi waktu menginjak remaja, permainan dan tontonan tradisional itu semakin hilang digantikan permainan baru yang serba elektronik dan berbau modern. Bila yang tradisional mengunggulkan kepiawaian bermain, yang modern justru mengunggulkan “kepunyaan”. Setiap malam Minggu anak muda berparade motor ke keramaian kota, desa pun sepi. Sikap individual lamat-lamat menjangkiti kami.

Kini, setelah saya hidup di ibukota, saya ingin hidup di desa lagi. Betapa penat merasakan kekacauan lalu-lintas, gerah merasakan panas luar biasa, pusing melihat gedung dan pabrik berdiri: saya rindu hijaunya desa. Saya ingin rasakan lagi jernih dan segarnya air, dan di kota besar ini air semakin sulit, untuk mendapatkannya mesti beli. Tetapi desa tak menjajikan apa-apa, otonomi daerah jadi ladang untuk mengeruk keuntungan bagi para “penguasa kecil”: ujung-ujungnya saya kesal pada pemerintah yang gagal mengaitkan antara tujuan nasional dan daerah. Dari koran, saya dengar pula bahaya mengancam daerah di luar Jawa. Eksploitasi sumber daya alam menggila, aset penting Negara untuk hajat rakyat banyak dikuasai asing. Anak Papua sulit bersekolah, sementara setiap hari uang perusahaan asing di tanah moyangnya terus bergerak. Kekayaan dan letak strategis Indonesia yang tercatat di buku-buku sekolah mendadak seperti dongeng, pemangku kebijakan pun jadi tokoh-tokoh lucu di dalamnya.

Agustus kemarin rakyat Indonesia mencoba menyemangati diri, bendera berkibar di mana-mana. Rakyat tahu, para elite politik tengah menjalani drama tahunan yang seolah-olah kaku dan serius. Tetapi bagi kami ini protes, kami buka lagi buku catatan utang pemerintah pada rakyat yang tidak lunas-lunas (kebetulan saya ikut diskusi pada forum mahasiswa di Bekasi pada malam 17 Agustus). Tetapi kemudian saya merenung, apakah saudara kita yang lain juga menagih janji? Malam itu juga pertanyaan tersebut terjawab. Saat pulang, di jalan saya bertemu pemulung, saya tanya, “Apakah Bapak memperingati hari kemerdekaan? Kenapa malah memulung?” Dia menjawab, “Saya tidak memperingati, percuma Mas. Saya pilih memulung. Biasanya banyak barang pulungan.”

Tidak bisa dipungkiri, banyak rakyat Indonesia yang masih terpenjara kebodohan, kemiskinan, dan diskriminasi. Padahal kita dilahirkan dari akar dan nasib yang sama. Tentu, dengan tidak pedulinya pemerintah terhadap rakyat, rakyat akan semakin apatis. Mungkin itu berdampak pula pada mata saya yang hingga kini enggan melirik berita politik dan hukum di koran pagi.

Reorientasi Menjadi Indonesia

Bila ditanya bagaimana saya mesti bangga menjadi manusia Indonesia, pertama kali yang saya lakukan mungkin mengaca diri, menggali, dan merenungi betapa berat bangsa ini mengangkat kepala untuk merdeka (meskipun ini dirasa terlalu klise). Coba tanyakan diri kita, seperti apakah Indonesia? Sebenarnya di sana kita akan temui sepercik optimisme: kita adalah bangsa yang ramah-menerima (plural) dan berbudaya tinggi—persatuan dan gotong royong identitas kita—sebuah bentuk pengejawantahan Pancasila. Saya sedih ketika orang mengatakan “lebih baik tidak menjadi Indonesia”. Saya prihatin bila Indonesia hanya di-seolah-kan dan disamakan dengan Indonesia yang ada di televisi atau di Taman Mini Indonesia Indah. Perlu dicatat, Indonesia lahir lebih dulu sebagai bangsa daripada Negara.

Dalam kondisi bagaimana pun, bangsa ini ditautkan oleh ciri dan tujuan yang sama: Bhineka Tunggal Ika. Dari Sabang hingga Merauke, dari pulau ke pulau, dari suku ke suku, saudara kita yang hidup jauh dari modernisme (masyarakat adat/pedalaman) justru menjunjung tinggi nilai-nilai luhur peradaban besar. Mereka memerhatikan benar keselarasan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan (hampir semua dalam pelaksanaannya selalu dipadu dengan unsur seni: semacam tradisi). Semua kental dengan identitas itu. Mungkin itulah mengapa ungkapan “tanpa pemerintah rakyat Indonesia dapat hidup” dirasa cukup relevan.

Dewasa ini, misalnya, Negara maju di dunia tengah bergerak ke arah idealisme. Mereka “menyadari” bahwa di balik kemajuan pembangunan yang dicapai ternyata melupakan kearifan budi sebagai manusia. Tehknologi yang mereka buat membawa dampak baik sekaligus buruk bagi bumi seisinya. Ketika alam mulai bergejolak, mereka kualahan mengatasinya: perubahan iklim, kerusakan alam, bencana, kekurangan pangan dan energi, hingga pergeseran nilai-nilai budaya. Mereka insyaf, hakikatnya manusia mahkluk tukang: selalu membuat dan membuat. Tetapi semakin manusia merekayasa, alam semakin murka. Memang jalan yang mesti ditempuh adalah naturalisasi alam. Negara maju mulai melakukan, seperti penghijauan, pengurangan emisi karbon, dan pembudayaan hidup bersih (lalu kegiatan industri mereka bergeser ke negara berkembang seperti Indonesia, sepaket dengan dampaknya?). Kesadaran ini sejatinya hanya buatan untuk mengatasi gejolak alam tadi, namun sampai kapan pun negara maju khususnya Barat, tetap dihantui krisis kebudayaan. Sedangkan suku adat di seluruh Nusantara mampu merawat pedoman menghormati alam, manusia, dan Tuhannya hingga kini. Bahkan banyak pula dari mereka yang menolak modernisme karena dianggap merusak tatanan kehidupan mereka.

Tetapi bahaya saat ini di Indonesia adalah, masyarakat adat (agraris) tidak diberdayakan secara benar. Mereka tidak diberi hak penuh untuk menjaga alam, justru dilarang, seperti yang terjadi di perkebunan di luar Jawa. Tanah adat mereka diambilalih Negara untuk perkebunan dan pertambangan. Atau seperti yang terjadi di Papua, pemerintah hendak menjadikan kawasan hutan adat sebagai hutan lindung, tetapi suku adat sendiri dilarang memasuki hutan itu. Kalau toh pun itu atas kesepakatan negara-negara dunia, bukankah yang membuat alam rusak adalah negara industri?(Kompas.com, 20/05/2011). Ini dapat menjadi potensi konflik pemisahan diri seperti di Aceh bila pemerintah memarjinalkan mereka, apalagi bila tanah moyang mereka dieksploitasi terus-menerus. Bagi masyarakat adat, hutan tidak hanya tempat hidup, namun hutan memiliki nilai historis suku-suku tersebut. Mereka paham benar ketika hutan turun-temurun mereka dirusak, mereka akan terkena bencana dan hidup miskin. Tanpa dijadikan hutan lindung pun mereka akan melindungi hutan itu.

Kearifan semacam itu dapat kita temui di semua suku adat di Nusantara dengan penalaran yang berbeda-beda. Dan suku-suku adat yang tersebar di seluruh Nusantara ialah representasi manusia Indonesia. Di sinilah seharusnya kita bisa berkata “ Aku bangga menjadi manusia Indonesia”.

"Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian,Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta . Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi.”

Pesan Bung Hatta itu selalu membikin saya bergetar setiap mengingat Indonesia. Saya sadar, baik maupun buruk inilah bangsa dan Negara saya. Dengan kepedulian, setidaknya kita telah berusaha untuk tak lupa pada mandat sejarah. Sebab, sejarah adalah lonceng yang membuat kita selalu waspada.***
[..]

Mahasiswa dan Pers


Akhir-akhir ini saya dibuat terkejut surat kabar kita. Rubrik yang berkaitan dengan anak muda semakin banyak, bahkan dikemas dalam bentuk yang sangat menarik. Harian Kompas misalnya, ia membuat halaman Kompas Muda, Kompas Kampus, dll. Surat kabar lain mengikuti, tetapi kebanyakan hanya menerima opini mahasiswa. Ini merupakan perkembangan yang luar biasa di jagad jurnalistik kita. Namun, saya cemas, jangan-jangan anak muda/ mahasiswa yang dikenal kreatif, telah disetir surat kabar. Ada dua kemungkinan: mahasiswa dipandang sebagai golongan aktif, atau mungkin juga sebagai golongan pasif. Lantas apa motif surat kabar melakukan ini? Apakah surat kabar menganggap mahasiswa tidak mampu menyuarakan gagasannya secara mandiri, lantas mereka mesti difasilitasi?

Banyak alasan yang melatarbekalangi fenomena ini. Pertama, perkembangan teknologi internet semakin canggih, mahasiswa (mewakili anak muda) bisa mendapat atau membuat informasi melalui jejaring sosial dengan cakupan waktu dan ruang yang tidak terbatas. Artinya, bila kita bisa membaca informasi di internet, kenapa kita mesti baca surat kabar? Toh di televisi pun kita mendapat banyak informasi. Tetapi para pakar komunikasi dan linguistik khawatir, sebab informasi yang tersebar di jejaring sosial, media online, dan televisi hanya menitikberatkan pada sensasionalitas berita, tidak mengindahkan kaidah jurnalistik dan bahasa Indonesia. Maka surat kabar sebagai representasi jurnalistik Indonesia, ingin mengajak mahasiswa ke lintasan jurnalistik yang benar, salah satunya melalui rubrik anak muda.

Namun alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Masih banyak surat kabar yang kaidah pemberitaan dan bahasanya rancu. Seorang ahli bahasa yang saya kenal, kerap mengkritik kecerobohan wartawan dalam menulis berita. Bahkan, setiap hari, di Facebook, ia gemar menulis status yang isinya ajakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dosen jurnalistik saya juga sering mencemooh surat kabar nasional yang tidak becus membuat karya jurnalistik, misalnya tidak berimbang, mengangkat dan menjatuhkan salah satu pihak, atau menulis berita dengan opini bertaburan di mana-mana. Nah, jadi bila surat kabar dianggap penghasil karya jurnalistik terbaik, saya belum bisa mengiyakan.

Terlepas dari segi teknis pembuatan karya jurnalistik, surat kabar didirikan atas dasar tujuan yang berbeda-beda. Sebagai perusahaan bisnis, surat kabar bertahan hidup dari sirkulasi oplah dan iklan. Mau tidak mau surat kabar mesti bersaing dengan jurnalisme elektronik seperti televisi dan internet. Surat kabar dituntut untuk berimprovisasi seiring dengan perubahan jaman. Bila tidak, boleh jadi usia surat kabar tinggal menunggu waktu. Mungkin itu menjadi alasan mengapa surat kabar membuka halaman khusus dengan tema yang lebih segar dan inovatif. Dengan begitu, surat kabar tidak akan kehilangan kebaruannya di mata pembaca. Keberhasilan cara ini dapat dilihat dari kebanggaan mahasiswa ketika tulisannya dimuat di surat kabar (surat kabar berhasil meningkatkan gengsi).

Selain itu, surat kabar juga mengusung misi idealisme yang mesti disebarkan pada masyarakat, sebagai usaha untuk mencerahkan. Namun, menjumpai surat kabar semacam ini sangat sulit di masa sekarang. Arah penyebaran ide tersebut tidak jelas, bahkan kadang-kadang malah terkesan usang. Beberapa media massa (tidak hanya suratkabar) yang di mata saya mempunyai kekuatan idealisme ialah Harian Kompas dengan budayanya, Harian Republika dengan religinya, Majalah Tempo dengan seninya, dan National Geographik dengan ekologinya. Lewat berbagai cara, mereka terus menyelipkan pandangan tadi pada pembaca, termasuk mahasiswa.

Namun yang membahayakan ialah, bila surat kabar digunakan sebagai alat politik. Lewat surat kabar, mereka melakukan pencitraan dan menyudutkan lawan politknya. Tujuan yang sangat kentara berupa pembentukan opini publik. Contoh sederhana, surat kabar ini menerima opini dari mahasiswa, tetapi tema tulisan tersebut ditentukan. Biasanya berupa tema-tema politis, sehingga, mahasiswa kerap terjebak untuk mengkritik politikus atau kinerja instansi yang bersangkutan, tanpa disadari mereka sedang ditunggangi kepentingan. Hal ini terjadi di surat kabar nasional maupun lokal dengan ciri khas milik tokoh politik. Surat kabar yang sarat kepentingan ini kadang malah disebut media yang kritis, padahal tidak berimbang.

Pada dasarnya, setiap informasi yang disebarkan lewat surat kabar membawa dampak di masyarakat. Bila penyampaian informasi itu tidak sehat, pikiran masyarakat pun tidak jernih. Padahal, surat kabar atau media massa lainnya di masa lalu merupakan alat perjuangan menyuarakan kebenaran atas kekuasaan penjajah. Mahasiswa yang pada waktu itu dianggap golongan intelektual paling depan, menjadi ancaman bagi penjajah. Namun sekarang keadaan berubah, mahasiswa tinggal slogan sebagai agen perubahan. Mahasiswa dijadikan target kepentingan media, dan, kita tak bisa berkutik apa-apa. Bahkan sebagian besar aktivis mahasiswa justru sering membuat analisa berdasarkan wacana di surat kabar. Apakah kita sebagai mahasiswa hanya dijadikan pemanis bisnis dan politik? Di sinilah kemandirian dan independensi mahasiswa mendapat tantangan.


Pers Perjuangan

Membaca roman Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya, saya mendapat pelajaran banyak tentang nasionalisme. Nilai kemanusiaan dan patriotisme diceritakan sangat cerdas dan menarik. Beberapa kawan saya memandang roman ini dengan sudut yang berbeda-beda, mulai dari hukum, organisasi, budaya, sosio-kultur, sastra, dan barang tentu jurnalistik. Mungkin saya tidak punya gambaran kuat sosok R.M. Djokomono Titro Adhi Soerjo bila Pramoedya tidak membuat tetralogi ini. Tirto Adhi Soerjo kemudian baru-baru ini saya kenal sebagai Bapak Pers Nasional: Pemerintah menyematkan gelar Pahlawan Nasional pada 2006 lalu. Ia mahasiswa kedokteran STOVIA (kini menjadi kedoteran Universitas Indonesia).

Pada Januari 1907 di Bandung, terbit sebuah surat kabar pribumi berbahasa Melayu pertama bernama Medan Prijaji, didirikan Tirto Adhi Soerjo. Medan mempunyai motto:“Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O (Hindia Olanda). Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia". Ini adalah pertanda di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 kaum muda terpelajar mulai bangkit melawan, tidak menggunakan senjata, tapi melalui mulut dan pena.

Surat kabar pada waktu itu mampu memantik semangat pribumi. Beberapa mahasiswa mulai terang-terangan bersuara. Menariknya, mereka mengelola surat kabar secara mandiri. Perkembangan itu pun dibarengi tumbuhnya organisasi pribumi. Antara organisasi dan surat kabar mampu sinergis, ia saling berpadu untuk kepentingan yang sama: merdeka. Lamat-lamat, misi organisasi, Serikat Dagang Islam (SDI) misalnya, bisa dijangkau dan dipahami masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya pedagang yang tergabung dalam SDI. Pada akhirnya di masyarakat terjadi pencerahan pandangan, dan, motif surat kabar pun tersalurkan.

Selain sebagai alat konsolidasi organisasi, surat kabar juga berperan di bidang bahasa. Penggunaan bahaya Melayu dalam Medan turut membangun kesamaan bahasa bagi pembacanya. Kesamaan bahasa ini menjadi titik awal adanya rasa kebersamaan di pelosok Nusantara. Pascatutupnya Medan telah merangsang terpelajar lainnya membikin surat kabar berbahasa Melayu. Pada saatnya, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, bahasa Melayu menjadi bahasa pemersatu bangsa: bahasa Indonesia.

Pesatnya perkembangan bahasa Indonesia juga memengaruhi kemampuan masyarakat dalam menerima informasi secara nasional. Bahasa Indonesia melepaskan batasan kasta bahasa daerah, sentimen antar-golongan kasta pun semakin hilang. Misalnya, sebelum mengenal bahasa Indonesia, masyarakat jelata di Jawa mesti menggunakan krama inggil pada priyayi, sedangkan priyayi menjawabnya dengan bahasa Jawa kasar. Tentu, bahasa Indonesia bukan hanya sebagai pemersatu, tetapi ia berhasil menghilangkan batasan klas sosial. Akhirnya dengan bahasa yang sama, surat kabar mampu menyatukan persepsi kolektif pada suatu permasalahan. Di sinilah surat kabar dapat mengejawantahkan persamaan nasib.

Dari jejak tersebut sangat jelas bahwa kaum terpelajar sebenarnya mampu mencerdaskan masyarakat lewat media massa. Bila sekarang kita mesti berkaca lagi, barangkali jurang perbedaan itu semakin lebar. Motif surat kabar kebanyakan bukan untuk kemajuan bangsa, melainkan untuk kepentingan golongan tertentu. Mahasiswa kehilangan alat bersuara, kita pun hanya bisa menunggu fasilitas dari kapital media dan para politikus. Lalu kita mesti berbuat apa?

Menghidupkan Pers Mahasiswa (Persma)

Beberapa bulan lalu saya menulis berita di persma di kampus saya, kebetulan saya tergabung dalam organisasi independen ini (bukan UKM). Epicentrum namanya. Saya mengangkat topik tentang fasilitas kegiatan mahasiswa yang tidak diperhatikan kampus. Beberapa kali mahasiswa menuntut, tapi tidak ditanggapi. Sehari setelah berita terbit, saya mendapat informasi dari pemred bahwa kami dipanggil rektor terkait pemberitaan tersebut. Hari itu juga kami (pemred, redaktur, dan saya sebagai reporter) menghadap. Di sana ada sejumlah dosen jurnalistik. Pertemuan ini membuat kami agak kecewa: kampus tidak suka dengan media kami.

Ada pelajaran penting dari insiden kecil ini. Pertama, seorang dosen jurnalistik mengkritik tulisan saya yang terlalu banyak dibumbui opini. Ia juga mengomentari bentuk fisik media kami yang hanya memuat 16 halaman dan menggunakan kertas ukuran folio, fotocopy pula. Saat mengetahui kami mencetak 100 eksemplar sekali terbit dalam seminggu, ia tertawa. “Ini selebaran, bukan media massa,” katanya. Secara tidak langsung itu cukup jadi gambaran permasalahan yang dihadapi sebagian besar persma di kampus Indonesia saat ini.

Kemarin, di warung kopi pinggir kampus, seorang teman juga menyuguhi pembicaraan tentang pers mahasiswa. Anak-anak di tempat ini hendak membikin pers kampus. Mereka begitu menggebu memaknai kata ‘idealisme’. Saat kudengar konsepnya, ternyata mereka abai pada kaidah pemberintaan dan penulisan (aku juga melihat kerangka medianya). Berat, pikirku dalam hati yang pernah mengalami interogasi pihak kampus. Ini akan menjerumuskan mereka ke ranah agitasi.


Terlepas dari hal tadi, mengapa kita mesti membuat pers mahasiswa?

Kita tentu tak mau dianggap sebagai golongan pasif yang difasilitasi kaum kapital media dan politikus. Pada dasarnya, mahasiswa memang butuh alat untuk bicara, berekspresi, dan menuangkan gagasan. Surat kabar umum, meskipun telah merambah dunia mahasiswa, ia tetap tidak mampu memahami masalah mahasiswa yang begitu kompleks. Misalnya, bila mahasiswa mengeluhkan fasilitas kampus tapi dia tidak bisa menyuarakannya, persma bisa memediasi keluhan itu. Atau bila ada komunitas mahasiswa yang memiliki talenta dalam bidang tertentu, sedangkan khalayak tidak tahu, persma bisa memberitakan potensi tersembunyi tersebut. Tidak mungkin surat kabar umum menampung aspirasi mahasiswa di setiap kampus, bukan?

Lantas bagaimana membuat pers mahasiswa yang baik?

Pertama sekali, pelaku media mesti bersikap profesional. Persma juga harus memerhatikan kaidah pemberitaan dan bahasa Indonesia dengan baik: persma bisa mengundang praktisi media untuk memberi pelatihan jurnalistik. Selain itu, persma mampu menjaga kontinuitas (periode waktu) tersiarnya berita, baik media cetak, online, atau radio mahasiswa. Terbatasnya sumber dana justru merupakan tantangan mahasiswa untuk mengubah sumber daya menjadi sumber dana yang manfaat. Di era teknologi ini, mahasiswa bisa membuat media online sederhana, dengan begitu, informasi antarkampus dapat diakses tanpa batas: ini memungkinkan adanya isu nasional dari berbagai kampus di seluruh Nusantara dengan sudut pandang murni mahasiswa.

Dalam membuat karya jurnalistik, kekreatifan adalah unsur terpenting. Isu yang segar dan inovatif akan membuat pembaca tertarik. Selain itu, berita harus punya unsur kedekatan dengan pembaca: persma mewakili suara setiap mahasiswa. Mahasiswa sebagai tokoh sentral bisa dikaitkan dengan perkembangan global, nasional, maupun antarkampus. Namun yang paling penting, persma menjunjung tinggi idealisme dan independensi sebagai representasi kaum terdidik. Fungsi mengubah budaya buruk dengan yang baik merupakan tugas yang tidak bisa ditawar.

Kesimpulannya, prinsip-prinsip jurnalistik yang menjadi tanggung jawab persma ialah: mengusung kebenaran, loyalitas utama persma adalah pada mahasiswa, disiplin verifikasi, menjaga independensi pada sumber berita, memantau kekuasaan kampus, menyediakan forum mahasiswa untuk kritik dan dukungan, membuat berita penting yang menarik dan relevan, menjaga agar berita tetap komprehensif dan proporsional, serta memperbolehkan praktisinya mengikuti nurani mereka .

Pada akhirnya, diharapkan persma mampu merawat semangat jurnalistik sebagai corong perjuangan dan obor nasionalisme kaum muda. Dari kampus, mari kita bangun Indonesia!

[..]

Kalah


Kamu murung hari ini. Kamu gelisah. Kadang-kadang teman-temanmu bingung, atau bahkan mengumpat karena ulahmu aneh. Kamu seringkali terbang tanpa pamit, tiba-tiba melayang di angkasa. Mereka melihatmu. Tapi kamu juga sering menghilang dalam keramaian, kamu menyendiri di tempat sunyi, rumahmu.

Kamu kalah hari ini. Kemarin menang. Tetapi ini hari bukan kemarin. Sumpah serapah keluar dari bibir burukmu, karunia Tuhan ini selalu kamu gunakan untuk menggunjing. Kamu berkilah, usia masih muda seperti kembang tengah merekah. Kamu hiraukan keseharian, kamu kacaukan lagi bangunan hidupmu. Kamu geragapan, meraba-raba gelisah. Mungkin hari ini kamu juga buta dan tuli.

Kamu tak coba melawan penindasan mereka atas pikiran dan hatimu. Kamu lebih memilih mengalah lalu duduk manis dengan kecamuk tak berujung. Tubuhmu masih bagus, tapi pedalaman hancur-lebur. Nampaknya kamu menikmati kebodohanmu sendiri, menikmati bayang-bayang musuhmu menari mengejek. Kamu tersenyum serupa orang gila. Senyummu yang sungguh rapuh.

Kemarin mereka menggodamu, mengajak, lalu memaksamu mengikuti dunia yang bukan duniamu. Kamu nurut, seolah terpedaya bisikan absurd iblis cantik. Gerak tangan dan kakimu bukan gerakmu dulu. Sorot matamu sayu, tak lagi tajam seperti sembilu. Kamu mengawang tiada batas, kemudian tenggelam tanpa aras.

[..]

Rabu, 09 November 2011

Anggrek Kuburan


Aku ingin menulis tentangmu. Kamu bukan siapa-siapa, bagiku. Kerena memang aku tak mengenal jauh, dekat, dalam, atau detail. Aku mengenalmu cukup dari sudut matamu. Aku meraba pikiranmu cukup dari bicaramu. Aku tahu suka-senang hidupmu, keluh-kesahmu, cukup lewat syairmu. Aku merasakan getar tangan dan hatimu.

Tapi kamu memang bukan siapa-siapa bagiku. Kamu juga pernah bilang, aku mengenalmu belum lama. Aku tak berani menduga, diam. Kamu mengelak membuka siapa kamu, aku tahu. Seperti seorang jago mabuk, kau meniriskan tetes demi tetes airmu dalam sloki, aku meneguknya. Aku terbang dengan caramu yang tenang, teratur, tidak terputus. Aku mabuk.

Kini, seperti aku katakan tadi, aku mulai mampu merangkai sosokmu. Tapi aku masih mabuk karenamu, aku mengejar kamu menghindar, aku berlari kamu sembunyi. Dalam keadaan seperti ini, kamu ajak aku bicara apa saja, kau ajak aku menulis apa saja. Kata dan makna terhambur. Semuanya melebur campur. Kamu aduk, kamu kacaukan, hiraukan. Aku mabuk. Aku ambruk.

Kemarin kamu perempuan biasa saja. Kemarin kamu seuntai bunga, mekar lalu layu. Kamu hilang aku tak peduli, kamu hadir aku tak gugup. Kamu gerimis di kota gersang, sesekali datang setiap hari hilang. Ada atau tidak sama saja keadaannya. Tak berpengaruh. Tak bergemuruh. Namun kini kamu datang membawa kekerasan yang sangat santun dan bisu.

Namamu Anggrek, menjalar di pohon kamboja. Di kuburan, mengembang mewangi dalam sepi. Barangkali memang kamu liar, gemar menyendiri di rerimbunan kematian. Bila manusia datang, sekadar menyentuhmu pun tak mau. Kamu mengerikan. Memetikmu sama saja menimbun kematian.

Kamu merindui ketiadaan. Mati muda menjadi impian. Entah apa kamu renungkan, lamat-lamat wajahmu sungguh menakutkan. Setiap saat, di mana pun aku, bayanganmu datang membawa aku ke alam hayalan. Kamu tetap mengikutiku. Kadang-kadang kamu tersenyum hambar, atau memelotot dengan tangan berkacak pinggang. Aku meringkuk, tapi kamu terus mendekat menyekat ruang gerak. Dalam keadaanku yang mengenaskan ini kamu lantas tertawa menang.

Anggrek, tak bisakah kamu lebih lembut mengoyak perasaanku? Kamu terlalu kasar, Anggrek. Kamu membuatku takut. Kau mencanduiku misteri. Sungguh bila keberanian ini terkumpul, kau akan kupetik kubawa pulang. Aku tak ingin kamu di kuburan tanpa teman. Aku tak percaya kamu bisa bicara dengan mayat-mayat. Bukankah jika aku taruh kamu di dinding rumahku, kengerianmu akan hilang? Mari, bunga kuburan. Mari ke rumahku.

Kamu menolak. Kamu lebih suka melekat di pohon kamboja. Ini duniaku, katamu.

Baiklah, Anggekku. Dunia kita memang berbeda. Lagi pula kamu juga takut masuk ke duniaku. Duniaku yang mungkin aneh bagimu. Aku suka keramaian, tapi aku rindu kesepian. Kamu cinta kesendirian, tapi kamu pasti butuh suasana kegaduhan. Dunia ini seimbang, bungaku. Kamu tak bisa menolak segala kericuhan ini, kamu mesti hadapi. Tak bisakah kamu ikut merasakan kekacauanku agar aku merasakan keteduhanmu?

Anggrek, aku lelah pada keras hatimu. Jika begitu, lepaskan lilit akarmu di kaki-tanganku. Aku akan tinggalkan sajalah kamu di tempat terakhir manusia ini. Bukankah perjumpaan kita karena aku telah mengunjungi tanah mayat ini tanpa sengaja? Ah, Anggek, kamu memang bukan siapa-siapaku.
[..]

Selasa, 08 November 2011

Media di Ujung Konflik


Saya cemas terhadap Pers Indonesia. Idealisme media terkungkung, para wartawan dipaksa mengikuti misi perusahaannya. Saya yakin, tidak semua wartawan keblinger. Masih banyak dari mereka yang punya tekad kuat menjunjung tanggung jawab pers. Konflik yang terjadi beberapa hari ini, baik di luar maupun dalam negeri, menunjukkan bahwa media ceroboh menyajikan informasi. Sekali lagi, saya tidak menunjuk hidung wartawan, tetapi lembaga.

Media kita, satu sama lain seolah memegang ‘kartu’. Sama-sama tahu. Sama-sama paham pemiliknya juga punya agenda, baik politik, sosial, budaya, maupun agama. Memprihatinkan, ketika pemodal media ialah politikus. Media A menutupi kasus ini, media B menutupi kasus itu. Atau saling buka-bukaan masalah. Masyarakat akhirnya bingung.

Kasus Lapindo di Porong Sidoarjo misalnya, sama sekali tidak dikupas TV-One. Masyarakat tahu, pemilik Lapindo dan Tv-One ialah Aburizal Bakrie. Namun ketika ada kasus yang tidak ada sangkut paut pemiliknya, media ini beringas serupa banteng ketaton. Begitu juga Metro-TV dan Media Indonesia milik Surya Paloh. Di kedua media Paloh, berita dimuat amat tajam, terkesan tendensius. Saya tentu terkejut waktu membaca Media Indonesia, dan menemui komentar-komentar orang di Facebok yang terpampang jelas di bawah halaman berita politik. Komentar itu berupa kalimat kasar yang menurut saya bernada melecehkan.

Baru-baru ini saya pun kecewa pada Grup Tempo. Mereka, lewat beritanya, sangat mencolok mendukung figur baru Sri Mulyani. Bahkan kerap disebutkan (dipamerkan), pendukung Partai Sri para wartawan, politikus PSI jaman Soekarno, dan cendekiawan yang selama ini dianggap idealis. Padahal sebelumnya Sri Mulyani ramai disebut dalam Kasus Bank Century. Itu sah saja. Tapi bukankah media milik rakyat? Ketika sebuah media massa hadir, ia mesti berpihak sebaik-baiknya untuk rakyat. Bukan kepentingan golongan tertentu. Media harus menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan.

Kemarin, kematian Khadafi juga diberitakan secara subjektif. Pers Indonesia bergerombol mengeroyok berita miring tewasnya pemimpin Libya itu. Pers mengamini, bahkan sangat yakin Khadafi seorang otoriteris. Di media lokal Radar Bekasi, Grup Jawa Pos, saya baca judul “Khadafi Modar”. Judul tersebut memvonis, secara teknis salah. Apakah Pers bertugas menghakimi?

Harian Kompas, yang sangat teliti terhadap teknis pemberitaan, pun melakukan agenda setting menyerang Khadafi. Sudut pandang berita diambil dari sudut pandang kelompok oposisi, maka seolah-olah Khadafi manusia paling keji di dunia. Sedangkan di sisi lain, Khadafi sebenarnya ikut andil dalam pembangunan dunia, seperti pembangunan rumah sakit dan sekolah di kawasan Asia Pasifik. Kita tak tahu seberapa besar kepentingan Barat terhadap Timur Tengah. Kompas pernah memberitakan, IMF ikut campur ekonomi Libya. Namun saya tak pernah dengar lagi.

Kadang-kadang saya marah bila pertentangan prinsip jurnalistik terjadi di lapangan. Medan konflik merupakan ranah rawan dan berbahaya bagi wartawan. Bukan bahaya secara fisik, tapi pemberitaan. Peliputan konflik kerap memengaruhi emosi wartawan, sehingga yang terjadi adalah subjektifitas penulis. Tak mengejutkan jika pengamat media mengatakan, peliputan konflik membutuhkan kecermatan dan kehati -hatian.

Beberapa hari ke depan, kita akan dihujani berita perang Israel dan Iran. Israel dan Barat menganggap Iran memproduksi bom nuklir. Iran membantah itu, ia menanggapi tantangan perang tersebut. Kita tahu, Ahmadinajed sangat keras menentang Barat. Dan kita tahu, Barat tidak suka. Media luar menyebutkan, target Barat yaitu menggulingkan kepemimpinan Ahmadinajed, seperti revolusi di negara Timur Tengah belakangan.

Baik Iran maupun Barat sudah mempersiapkan pertempuran, termasuk pertempuran informasi. Iran, belum lama, mengumpulkan media Islam seluruh dunia dan menggalang kekuatan untuk menghadapi gempuran media yang dianggap terlalu banyak memanipulasi fakta. Islam diserang media, kata Ahmadinajed. Sedangkan Barat tak diragukan lagi dengan perang media, operasi intelejen dilakukan di mana-mana.

Bagaimana Pers Indonesia memandang ini? Apakah kita akan tetap terjebak pada subjektifitas? Saya berharap Pers Indonesia mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Memberitakan secara proporsional, independen, dan tidak membodohi/memprovokasi rakyat. Sebab, kita tahu, teori jarum suntik masih relevan di negara ini. Rakyat terpedaya tanpa bisa apa-apa menerima badai informasi media massa.
[..]

Rabu, 02 November 2011

Bulan Seperempat Purnama


Oleh Ari Sumitro

Cerita ini aku mulai dari Jakarta. Aku tahu ini akan terjadi. Sebuah kebetulan yang sudah kurencanakan bersama temanku, salah satu mahasiswi Universitas Pancasila fakultas filsafat semester dua. Aku ingin merebut sedikit kebahagiaan darinya dengan menjadi bagian dari dirinya, lagi.

Tapi dengan apa aku membahagiakannya? Untuk mengarahkan masa depan saja aku bingung, sebab sejak dari taman kanak-kanak hingga sekarang, aku selalu menutup mata atau menundukkan kepala jika kudengar perkataan “apa cita-citamu?” atau “kalau besar nanti kau ingin jadi apa?”

Tapi itu pertanyaan dulu, waktu masih banyak anak-anak kecil telanjang: bukan karena malas memakai baju, tapi karena memang tak punya apa yang harus dipakai untuk menutupi aurat si kecil, buat makan saja kurang apalagi beli baju. Sekarang pertanyaan itu berbeda kalimat, “Mau melanjutkan kejurusan apa?” Terkadang pertanyaan itu keluar bersama tusukan sikut sebayaku. Sebenarnya aku juga masih ingat betul bahwa aku pernah mengingikan menjadi seorang dalang wayang kulit karena ayah dan kakek (dari pihak ayah), seorang dalang.

Aku juga sering mendengar percakapan seorang ibu dengan anaknya yang masih balita sambil mengayun-ayun menidurkan dalam peluknya, “anakku kalau besar jadi presiden” atau “anakku kalau besar jadi pilot” walaupun mereka dari keluarga tukang becak atau buruh miskin. Monolog itu terdengar seperti tembang pengantar tidur, lebih romantis dari melodi Mozart atau Beethoven, lebih indah dari melodi kontrapun Bach, bahkan lebih merdu dari walsa Strauss. Barangkali setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya, sekalipun harus menjilat pantat orang.

Lima belas menit lagi dia berjanji datang ke tempat yang kami janjikan, membawakanku buah tangan dari Jogja. Mungkin ia mampir dulu di kantin kampusnya, membeli minuman dan makanan kecil. Hari ini matahari galak. Aku tahu, dia sangat menjaga kebersihan tapi ia juga lebih mengutamakan menggunakan produk dalam negeri, lantas ia mesti membelinya entah di mana. Aku lebih suka makan, minum, atau sekadar melepas penat di warung rokok pinggir jalan—ini lebih ‘ke-Indonesiaan’ ketimbang di KFC atau mcDonald’s—de ngan ekspansi agresifnya ke seluruh penjuru dunia, McDonald's dijadikan sebagai simbol globalisasi dan penyebar gaya hidup orang Amerika. Tak tahu kenapa aku sangat membenci Negara adidaya itu. Mereka mencekoki kita dengan budayanya, tapi toh nyatanya kita tak muntah-muntah. Ah sudahlah, aku mual memikirkan kebinalan mereka.

Aku mulai gelisah karena Hawa memuaikan jam besi hingga menjelma karet, padahal ia berjanji datang pukul lima sore. Senja sudah jauh melipat kebarat, menyimpan cahayanya untuk kehidupan esok. Aku meraba-raba kantong celana, mengambil handphone yang kuharap berdering dan mendamaikan kegelisahan. Ah, tak ada kabar juga. Kuputuskan memencet nomor teleponya. Tak ada jawaban. Ini membuatku semakin gusar. Aku buka halaman buku yang kutandai dengan selipan daun, daun yang aku tak tahu namanya, yang jelas jika daun itu kering menebarkan aroma kedamaian dan uratnya tampak menjulur-julur indah. Aku menikmatinya. Tak berselang lama terasa tepukan lembut menjatuhi pundakku.

“Sori aku tadi terjebak macet, sedikit menahan kesabaran tak apa, kan?”
“Oke, tak masalah,” jawabku gugup menatap sorot matanya.
“Jadi dari mana bisa kita mulai percakapan yang hari ini, heee?” katanya, sambil menyodorkan sebungkus kado berbungkus kertas warna biru bertabur bunga mawar. Hanya kujawab dengan senyum tipis saat kulihat gingsul indah pada giginya.

“Kemarin aku sempat lihat aksi di HI, mereka menggunakan almamater warna biru, hijau, merah dan kuning. Aku rasa itu dari beberapa kampus. Aku hampiri salah satu yang berdiri paling belakang, ia mengatakan aksi kali ini memeringati tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998,” Hawa bercericau, aku hanya melihat bibirnya yang terus bergoyang memberi penjelasan, seolah menjadi pendengar yang baik. Andai saat aksi itu aku di belakang, mungkin orang yang dihampirinya aku.

Itu rangkaian aksi yang diadakan beberapa kampus di Jakarta, mengingatkan pemerintah pada peristiwa Semanggi: dua aksi protes yang berujung tewasnya mahasiswa dan sipil. Kejadian pertama dikenal dengan “Tragedi Semanggi I ” pada 11-13 November 1998 pada pemerintahan transisi Indonesia. Mahasiswa bergolak karena mereka tidak mengakui pemerintahan B.J. Habibie dan tidak percaya kepada para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru. Kejadian kedua dikenal “Tragedi Semanggi II” pada 24 September 1999 yang menewaskan seorang mahasiswa dan 11 di seluruh Jakarta, serta melukai 217 orang.

Tiba-tiba, dengan gemas, Hawa menarik lenganku untuk segera naik minibus berwarna ungu yang setiap hari mondar-mandir Depok-Lebak Bulus. Sikapnya memang selalu begitu sejak pertama aku mengenal.

“Kita ke Margo,” katanya, menjawab kebingunganku.

Kami duduk di bangku deret ketiga, berjarak kira-kira dua bangku dari pak sopir. Di depan kami ada seorang kakek bersama gadis kecil yang asyik menikmati es krim.
“Kek, kok mobil bisa jalan sih?” ia berhenti mengulum es krim cokelatnya.
“Iya dong, kan ada mesinnya.”
“Mobil punya kaki kayak kita yah kek?”
“Tidak. Namanya bukan kaki, tapi roda.”
“Kata Ibu yang bisa jalan cuma yang punya kaki, berati mobil kan punya?”
“Roda itu kakinya mobil buat jalan.”
“Oh…eh, Kek Kek, kok Nenek punya kaki tidak bisa jalan, malah naik kursi roda?”
Gadis kecil itu menunggu dengan bingung jawaban dari kakeknya. Aku lihat si kakek merapikan topi kodok yang agak miring ke kanan, dibarengi senyum kesabaran.
“Sudah, lanjutkan makan es krimnya!”

Tak terasa sepuluh menit berlalu, minibus berhenti di depan Margocity Kota Depok. Suara riuh calo, kernet dan klakson mobil terdengar seperti bunyi hujan ketika kita menutup kedua kuping. Dari pinggir jalan ini pikiranku melayang pada sebuah café ─The Old House Cofee─. Pasti ada band yang tampil membawakan tembang pengantar malam. Tanpa ragu hawa menyetujui menyempatkan singgah sebentar di café itu sekadar minum kopi, nanti. Bangunan kuno berwarna putih berarsitektur khas Belanda. Menurut catatan sejarah, bangunan tersebut dimiliki dan didirikan oleh seorang arsitek Belanda, tetapi dibeli totok Cina Lauw Tek Lock pada pertengahan abad 19 dan diwariskan kepada puteranya, Kapitan Der Chineezen Lauw Tjeng Shiang. Rumah ini sempat menjadi tempat persinggahan seorang tuan tanah Depok jaman VOC, Cornelis Chastelein, atau akrab dikenal ‘Belanda Depok’ karena menguasai tanah swasta di Depok.

Pada Maret 1714, tanah itu diserahkan pada keturunan dan budak beliannya yang beragama Kristen, dengan syarat tidak boleh dijual untuk selama-lamanya. Budak yang dibebaskannya itu berjumlah kira-kira 200 orang dari Bali, Sulawesi, Timor, dll. Hingga tahun 1915, mereka berjumlah 748 orang. Mereka menjadi masyarakat tersendiri di tengah-tengah mayoritas muslim di kawasan Batavia. Namun, ketika Jepang masuk, disusul revolusi, kekristenan Depok mengendur dan status tanah mereka juga tidak bisa dipertahankan. Kini, Depok menjadi Kota plural dengan penduduk dari berbagai penjuru daerah. Barangkali The Old House Cofee satu-satunya pintu menuju Depok masa silam.

“Sabit, tuh kayaknya band sudah mulai. Ayo ke sana!”

Alunan lagu “Takkan Terganti” Marcell Siahaan menyambut kami, aku gamit jari lentik Hawa. Kami ambil meja paling kiri agar suasana lebih terasa romantis, capucino kami pesan. Aku menikmati lagu ini, hingga tanpa sadar bibirku terbuka-bergerak pelan: aku bernyanyi lirih.

─Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan
Semua tak 'kan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti─


Walau bukan dinyanyikan langsung Marcell, tapi cukup membuat pengunjung melupakan beban hidup, termasuk aku. Kulihat Hawa juga menyimak bait-bait itu selaras dengan gerak bibir dan ketuk jariku di meja. Ah, aku jadi semakin gemas, semakin jatuhkan cinta ini padanya, lalu secara diam-diam aku sunting Hawa menjadi pacarku, aku ungkapkan perasaan ini. Namun ia diam, dan kebisuannya membuatku kikuk, seolah ia serahkan jawabnya pada lirih tiupan angin.

“Kita harus lebih sering bertemu,” kalimat yang lebih dulu ia ucapkan dan aku mengiyai. Sebelum kami mencukupi keintiman itu, sebenarnya aku agak kecewa karena Hawa tak menjawab pernyataanku. Kami pun beranjak dari rumah sang tuan tanah.

Saat suasana hati ini seumpama pohon pisang yang dibeli lewat kantor pos, kubuka pintu kamar, dan kantongku bergetar.
“ Sabit, sebelum tidur sempatkan buka e-mail dariku,” menerima satu pesan dari Hawa ibarat memakan sambal saat kantuk.

JAKARTA, 19 September 2010
Sabit Purnama yang mulai kucinta
Mungkin aku adalah orang paling bisu di antara tunawicara. Tapi tak ada kata bisu lagi untuk ini, apalagi pada dunia maya. Karena aku bisa pinjam mulutnya tanpa ada orang lain yang tahu kecuali Tuhan. Seharusnya kukatakan ini tepat di hadapanmu. Bahwa kuterima pinang cintamu untuk menjajahi hatiku yang sebenarnya sejak lama aku menanti. Aku juga suka kamu. Love U…

JAKARTA, 20 September 2010
Hawa Indahjiwa tercinta
Terima kasih atas sambutan hangat cintamu, sudah satu setengah tahun aku tahan kata-kata itu, hanya untuk menyakinkanku bahwa aku cinta kamu dan yang lebih penting untuk meyakinkanmu akan cintaku. Aku kangen kamu Hawaku. Kangen bau tubuhmu dan nafasmu.
Love U.


Esok dan hari-hari selanjutnya (setiap libur dan sepulang kuliah) kami habiskan bersama, membuat alenia-alenia baru dalam menyusun dunia. Walau kutahu ada yang aneh dengannya. Dua bulan selanjutnya aku mulai dikejutkan kejadian-kejadian yang membuatku gugup dan kacau. Kupandangi mataku pada kaca, hati ini seperti bawang merah: ketika kebohongan telah terkelupas seperti kulit ari yang mengering, maka terbukalah lapisan kulit di bawahnya yang panas memerahkan mata. Membuat mataku seperti ingin menangis. Aku pernah lihat dia menggamit tangan seorang pejantan, aku harus berulang mengucek mata. Dia tinggi, kokoh dan kelihatanya ramah, lalu aku mulai curiga dan cemburu. Dan kini mulai kucari informasi itu, jika kutulis mungkin bisa dua puluh halaman. Sangat meyakinkan, karena sebagian besar kudapat dari teman dekat Hawa dan Dia. Aku tak mau menyebut nama lelaki yang tinggi, kokoh dan kelihantanya ramah itu, karena aku takut membenci dia dan aku sendiri. Sebab aku datang belakangan dan menjadi orang yang patut dipersalahkan karena membuat cinta Hawa bercabang.

Sejak itu jarang kutemui dan ditemui Hawa. Salah satu informasi yang kudapat langsung dari percakapan mereka adalah, Hawa mengakui bahwa dua bulan lalu ia membagi hatinya untukku, hati yang bukan seharusnya untukku.Ia hanya diam, tersenyum tipis. Kulihat binar mata hawa dan perlahan menetes. Kudengar suara lembut seorang hawa yang terbatah-batah dan sesenggukan bahwa ia mengaku bersalah padaku dan dia. Karena menghianatinya dan memberiku harapan cinta.

JAKARTA, 30 September 2010
Untuk Sabit
Aku tak tahu lagi apakah aku masih punya cinta, karena cinta yang bercabang. Bersamamu terlalu indah, barang kali karena Tuhan cemburu pada wanita sehingga mengharamkanya bersuamikan lebih dari satu: poliandri. Tapi apakah itu berlaku pada sebuah cinta? Aku mencintaimu juga Herman, tapi kamu sudah jauh terlambat sebelum akhirnya aku menerima Herman setahun lalu dan sudah terlalu baik denganku. Bahkan untuk berkata dengan nada keraspun ia belum pernah. Mungkin memang harus kuhentikan cinta kita karena aku mulai kasihan kalau lelaki sebaik Herman terluka. Dan maafkanku karena aku tak jujur padamu. Kuharap kamu tahu dan mengerti posisiku. APAKAH AKU BERDOSA? MINIMAL DENGAN HERMAN.


JAKARTA, 1 Oktober 2010
Aku tak tahu lagi apakah masih ada dosa
Cinta terlalu indah walau terlahir dari penghianatan. Barangkali karena itu Tuhan melarang sebuah perselingkuhan. Aku tak ingin kamu kehilangan semua, jadi kupikir kamu pantas mempertahankan yang lebih dulu. Dan aku juga memintakan maaf atas diriku ini yang menggodamu. Kuharap kamu bahagia dan kita bisa saling bertukar pikiran juga dengan Herman (sebenarnya aku takut menyebut nama itu, aku takut membenci dia dan aku).


Kutulis email itu penuh dengan rasa bersalah dan luka. Aku merasa tubuh ini gemetar dan lemas. Kuajak tubuh ini untuk tidur dengan boneka buah jambuku yang berwarna hijau sambil memegang handphone dan kutulis sebuah pesan untuk lelaki tinggi, kokoh dan ramah.


“Hay lelaki yang tinggi, kokoh dan ramah maafin gue yang….. lo sudah pasti tahu masalahnya. Gue dateng terlambat, jadi gue yang harus mundur dari ranah percintaan lo, gue dan Hawa. Sekali lagi gue minta maaf karena memang gue ga pernah tau kalau Hawa udah jadi milik lo. Gue percaya lo bisa jaga Hawa”

To: +628571227XXX
Message Delivered
02-10-2010 01:05
Sender: +6285742742XXX

***

Selagi Sabit malas untuk bercerita tentang dirinya, mungkin sekarang giliranku untuk menceritakan hari esok yang ia lalui. Tapi alangkah baiknya kuceritakan yang malam saja, biar yang pagi siang sore menjadi rahasianya. Seperti ini:

Sabit memperhatikan titik embun pada kaca jendela dengan senyum kecut sebelum ia melempar handphone di kasur karena ia mengharap sms atau telfon untuk sekadar menghibur. Menutup kembali rekahan jendela setelah angin mulai meniup kencang. Embun itu masih ada. Sabit mengecupkan bibir pada kaca, ia merasakan dingin malam sambil mengosok-gosok kedua telapak tangan. Mengharap kehangatan. Menajamkan bola matanya pada embun di kaca yang kini terlukis cupang bibirnya. Keheningan lantas menyergapnya. Menggoda pada bayang-bayang sesosok perempuan yang kini masih ia kenang. Lalu angin menghantarkan lagi nyanyian binatang malam yang sempat permisi karena suara dari batu yang ia lempar ke semak halaman rumah. Titik embun perlahan menutup kecupan bibir pada kaca. Terdengar semakin keras tiupan angin menampar daun-daunan di luar, membuat hawa dingin makin menusuk tulang. Sabit melipat kaki ke dalam dada dan mengikat tanganya. Kegelisahan kini menghantarkan ia pada keraguan akan keberuntungan menemukan cinta lain.

Perlahan ia buka lebar-lebar daun pintu itu. Seolah tak peduli galaknya angin malam. Ia ambil pot bunga pada tubir jendela yang lembab. Kulihat ia bicara di depan bunga yang baru merekah.

“Hai, siapa namamu perempuan, bukankah aku pernah mengenalmu?”
“Aku bukan perempuan.”
“Baiklah gadis.”
“Bukan juga.” Ia mengerutkan kening
“Lalu kamu siapa?”
“Aku bukan siapa-siapa.”
Dulu aku sangat menyukai bunga mawar sepertimu. Jadi siapa kau ini?
Ia menguncang-guncang pot itu meminta jawaban dari pertanyaanya.

Setiap kali ia merasakan kepahitan hatinya Sabit mengumpat gelas-gelas kaca lalu membantingnya. Berharap memberi ketenangan. Sabit merasa bahwa kerinduan itu menyengat lagi belakangan ini. Kadang-kadang rindu itu seperti pecahan beling yang mengiris di ujung jejari.
[..]