Senin, 19 Desember 2011

Buah Bibir


Oleh Irman Syah, penyair.

1
Tek Rasidah begitu bahagia.
Begitu pula Pak Malin Sati.
Anak mereka satu-satunya,
Matrilina, segera pulang dari kota.
Telah lulus ujian sarjana,
tinggal menunggu diwisuda.
Senang hati tak berkira,
hilang penat nan diderita,
gadis cantik nan elok rupa,
pameran mata nan muda-muda.
Matrilina bakal di depan mata.

Meski anak satu-satunya,
putri tunggal badan seorang,
dibuai disayang dan dimanja,
tetap tak membuatnya teranja-anja.
Tak ada waktu yang terbuang,
apalagi menyiram bunga.
Sikap serta tingkah lakunya,
cermin kaca anak sebaya,
buah bibir yang tua-tua.

Rasidah beranjak ke beranda,
Malin Sati terduduk di kursinya.
Dibakarnya rokok daun nipah,
asap jemba-menjemba mata.
Kopi separo direguknya,
pembasah kelat kerongkongan.
Dipandangnya lagi surat di meja,
ingatan melayang kepada Sapar.
Kemenakan kandung badan diri,
yang tak berjodoh dengan anaknya.

“Jangan dipikir masa yang lama
Matrilina mungkin tlah melupkannya,”
Rasidah menawar hati suaminya.
Matanya tak lepas memandang bunga
meski ujungnya ke Malin Sati,
mengikuti gerak dan air muka.

Tidak mungkin!
Matrilina pasti masih mengingatnya,
rasa bersalah menggangu jiwa.
Barulah kini tahu Malin Sati,
makna kerasnya hati Matrilina,
menolak perjodohan dengan Sapar
guru Madrasah di Pekan Kamis.
Dengan uang bulanan yang sering kurang,
tetap kuliah dan menamatkannya.

Malin Sati tak mampu meneruskan pikirannya.
Di hati kecilnya waktu itu,
cuma membahagiakan hati anaknya,
sekalian tercapai cita-citanya.
Apalagi hidup di kota,
sebuah daerah tak teraba.
Menguliahkan anak dengan tani,
jangan-jangan putus di tengah jalan,
tapi yang terjadi waktu itu,
Matrilina menuding tanggung-jawabnya,
tamparan mendarat di pipi anaknya.

“Pak, mawar yang disukai Matrilina
kini mengembangkan kelopaknya,”
Rasidah berharap Malin Sati bangkit,
tuk beranjak ikut menikmatinya.

Keduanya kini sama di beranda,
Sama-sama memperhatikan bunga,
yang selalu dirawat Matrilina,
pabila pulang sesekali.
Mereka berdua juga tak lupa,
memperbaiki taman dan pagarnya.
Bunga-bunga pun seakan tahu,
dia menyambut kedatangan Matrilina.

“Sudahlah, semua akan segera selesai,
persoalan lama pastikan hilang.
Apalagi cita-citanya telah tercapai,
ia kan sudah sarjana pula,”
kembali Rasidah menenangkan hati suaminya
tak ingin Malin Sati tekanan batin.

Sore mulai merengkuh senja.
Burung-burung pipit bercericit di pohon pinang.
Angin berhembus dari Tilatang,
kelelawar yang bergerombol
terbang pulang ke Bukit Kawin,
oleng-kemoleng dari bukit Kamang,
kepaknya lelah menyongsong arah,
dan anak-anak menyorakinya
“he wah he wah he wah he wah!”
kemudian senja jadi redup.
Senyap oleh panggilan nyaring
ibu-ibu yang anaknya belum pulang.
Hanya derak dan debum dari jendela.
Pintu tertutup menandai malam.


&&&

Kedai kopi Mak Raga selalu ribut,
Begitu setiap malam,
malah hingga dini hari.
Riuh rendah dari kejauhan.
Batu domimo berdentang-dentang.
Gelak dan tawa anak muda,
seakan menjadi musik warga menjelang pagi.
Mereka bertaruh, judi kecil-kecilan
Ada juga yang main kowa dengan kertas ceki,
atau song dengan kertas remi.
Cerita pun melayang sana-sini.

Entah siapa yang memulai
cerita sampai ke Matrilina.
Gadis cantik tunggal-berbeleng,
anak tek Rasidah yang bersawah di Napa,
kini tlah pulang dari kota.
Kabarnya sudah jadi sarjana.
Hempasan kartu kadang berhenti
berganti dengan gelak-tawa.
Pertengkaran kecil pun kadang muncul,
terkadang hanya persoalan mata,
atau uang taruhan yang kurang di meja.

“Orang seperti kita tidak ada artinya bagi Matrilina,
suka begadang, judi, dan mabuk,
meski pun kita punya uang banyak..”
Acin Nasir berpendapat
tentu saja dengan mengepulkan asap rokoknya.

“Apalagi kita jarang ke Jumat,”
tambah Basir.
“Belum tentu,” sanggah Cinok Nofri,
“Matrilina bukan tipe kampungan,
apalagi ke-alim-aliman. Ia itu Perempuan.
Tambahan lagi, budaya kota telah menjamahnya,”
sambung Cinok Nofri dengan butir pikirannya.
“Mobil opletmu takkan berarti di matanya!”
tuding Basir meninggi.
“Sudah-sudah.. kita belum cocok menjadi apak paja..”
Acin tertawa, kemudian mengocok batu di meja.

Bunyi terdengar menggaga-gaga,
berderak-derak di papan triplek
sebuah alas yang disengaja
dan tawa baru terhenti ketika mereka
memungut batu tujuh perorang,
ditegakkan bagai berkaca.

Parewa belum lagi mengambil batunya,
Kawan-kawannya jadi terpanah.
Dalam pikiran Parewa bermain gambaran,
anak-anak muda seperti mereka
memang belum cocok menjadi seorang Bapak
bagi anak-anak yang bakal lahir
dari rahim Matrilina.
Yah, masih sering suka berhura-hura.

Permainan terus berlangsung.
Jarak meja dengan meja,
Dengan permainan yang berbeda,
begitu pula taruhannya,
takkan sempat bertukar kata
kecuali ada cerita yang sama
maka kata melintas dan menyeberang.
Biasanya dengan cerita yang mengena
seperti halnya soal wanita,
dan pagi pun hadir tanpa diduga.

Kabar mengalir begitu saja,
kehidupan terdampar di lipatannya.
Begitulah Matrilina.
Tak banyak yang berubah dari dirinya,
masih suka menyiram bunga,
pagi sepulang dari musala.

Matrilina, cerita baru sentuhan lama,
bahan bahasa bagi yang tua
tuk berpetuah pada anaknya.
Contoh teladan elok budinya,
buah bibir siapa saja
Rasidah begitu bahagia, Malin Sati begitu pula,
menikmati bahagia dari istrinya.
Dalam kepala mereka berdua,
Selalu saja berdengung tanya:
Siapakah bakal Junjungannya?

Acin Nasir, Cinok Nofri, Basir dan Parewa,
beserta kawan-kawan sejawatnya
kini tak lagi duduk di kedai Mak Raga
kecuali Malam Minggu saja.
Kalau tidak di Karang Taruna, mungkin
di lapangan olahraga
mereka mengurus dan merumuskannya.
Setiap Kamis malam sudah pasti ke mushalla
mengikuti pengajian Wirid Remaja.
Yang membuat mereka terkesima
selalu saja tutup kepala Matrilina,
kalau tidak merah menyala tentulah berwarna
biru muda: indah bagai rangkaian bunga
buah bibir pautan suka.
Matrilina tetap biasa-biasa saja
tak membayang sombong dan bangga.

&&&

Tak ada angin tak ada badai,
semua berita dikungkung duka.
Warga tersedak, bagai makan terlambat air
dan batuk datang tiba-tiba.
Nasi tersesat naik ke hidung. Meninggal?
Matrilina meninggal dunia?

Tentu saja banyak yang meneteskan air mata,
membekukan duka para pemuda.
Bedug diguguh tiga-tiga,
orang melayat aneka rupa, rumah Rasidah
jadi sasarannya.
Dalam ramainya suasana, masih terbayang Matrilina.
Warga seakan tidak percaya.
Padahal di depan mata mereka,
tepatnya di ruang tengah rumah,
bertutupkan kain panjang
telah membujur kaku mayat Matrilina.

Tibalah saat memandikan.
Air dibawa berember-ember,
tandu dan wadah telah siap sedia.
Tentulah kuburan kan dijelangnya.
Ibu-ibu yang terpilih pada sibuk bolak-balik,
kadang masuk kadang keluar kamar.
Tempat mayatnya dipindahkan,
tempat di mana mayat dimandikan.
Tek Rasidah ada di antara mereka.
Dengan makna kehilangan di mukanya,
ia tampak sabar dan tabah.
Lain halnya Pak Malin Sati,
tak kuasa mengangkat kepalanya.
Sementara Sapar kemenakannya,
berusaha untuk menenangkan,
tapi kecamuk dalam batinnya
tetap saja tak mampu mereda.

Di ujung rumah dekat arah ke pintu masuk,
tepatnya dekat jendela, para pemuda terlihat pula.
Mereka tak banyak berkata-kata.
Acin Nasir, Cinok Nofri, Basir dan Parewa
tampaknya begitu berduka.
Mereka cuma bisa berdiri,
tempat duduk sudah tak ada.
Rumah duka disesaki tua dan muda.

Lain di luar lain di dalam,
tempat di mana mayat dimandikan
sedang terjadi upacara.
Seorang perempuan agak tua bertindak jadi Pengetua.
Rasidah berdiri di arah kepala.
Mereka memulai dengan doa,
bekerja tak bersuara.
Kalau ada yang mereka perlukan,
mereka bahasakan dengan berbisik.
Ada yang menyiram muka,
kemudian ke seluruh tubuh.
Semua sibuk dengan khusyuknya.
Ada yang memindahkan ember yang kosong
menggantinya dengan ember yang penuh,
ada pula yang meluruskan selang air
agar leluasa mengalir ke bawah kandang
dan bermuara ke kolam ikan.

Rasidah tampak begitu tabah
Membarutkan kain basah ke muka mayat anaknya.
Tak seorang pun yang menyangka
atau pun mengira-ngira.
Kejadian datang begitu tiba-tiba.
Rasidah terpekik dan menjerit:
Tattoo bergambar kupu-kupu melekat hinggap
di tubuh mayat anaknya.
Tepat bertengger di bawah pusar sang mayat.
Untung saja perempuan lain sigap menyambut,
Kalau tidak pastilah Rasidah akan tersungkur
di bawah mayat anak sendiri.

Ruang tengah jadi gemuruh.
Jeritan lengking dari dalam kamar,
tempat mayat dimandikan, membuat tamu
sontak terkejut dan berdiri.
Ada pula yang secara reflek berlari ke arah suara.
Ada pula seorang Lelaki menyeruak masuk.

“Sabar, sabar…tak apa-apa..,”
cegat perempuan Pengetua di mulut pintu.
“Kenapa? Ada apa?”
tanya Laki-laki itu beruntun,
yang tak lain adalah saudara laki-laki dari Rasidah
sambil menyambut tubuh adiknya yang pingsan,
dari tiga orang perempuan yang membopongnya.

“Dia belum siap menerima…”
jawab perempuan pengetua dengan bahasa bijaksana
sembari menenangkan wajah yang penuh tanda tanya.
Rasidah digotong ke kamar ujung,
Malin Sati dan Sapar pun ikut pula.

Setelah peristiwa itu, bahkan di bulan-bulan sesudahnya,
tak ada seorang pun ada dari masyarakat yang tahu
akan peristiwa yang sesungguhnya,
selain Rasidah dan perempuan yang memandikannya.
Matrilina tetaplah menjadi buah bibir sepanjang zaman,
tentang keelokan dan suri tauladannya…


Jakarta, Desember 2006
[..]

Senin, 12 Desember 2011

Sastra Kebebasan


Mungkin kau pernah dengar: sastra hanya milik mereka. Ya, sastra punya jarak dengan kita. Aku sebut ‘kita’, orang-orang yang baru mencintai atau merabai sastra. Lalu ‘mereka’ ialah para sastrawan yang, entah bagaimana mulanya, menyandang identitas itu. Tentu saja ini membuat kita gamang menyetubuhi sastra, bahkan kerap minder.

Mengutip teman yang biasa singgah di Bekasi, Bang Irmansyah, sastrawan adalah seorang linguis cermat. Sebab, merekalah yang mampu menguraikan pikiran ke dalam analisis bunyi, sintaksis, dan pragmatis.Sastrawan juga dibebani tanggung jawab sosial dan sejarah yang tidak ringan. Sebab, melalui karya dan totalitas kediriannya, sastrawan adalah arsitektur kemanusiaan.

Kita memandang sastrawan secara utuh dengan tanda-tanda, seperti menilai si cantik dengan ukuran tubuh molek dan paras menggiurkan. Memang, identitas sastrawan dengan sendirinya akan melekat pada mereka yang fokus di dunia sastra. Tetapi, akhir-akhir ini aku melihat sikap ke-aku-an menjadi sastrawan kian semarak. Kita sering menyebutnya ‘narsisme’.

Belum lama, kita digaduhkan dengan koin sastra peduli PDS HB Jassin. Orang berlomba-lomba tampil sebagai pahlawan kesiangan. Publik figur turut hadir, bersuara lantang ‘peduli sastra’ hingga semua orang tahu. Tak lama kemudian bermunculan buku-buku mereka secara ujug-ujug. Si publik figur dilabeli sastrawan. Aku tidak tahu mengapa para jurnalis masih memegang prinsip sensasional berita pada hal prinsipil semacam ini.

Karya sastra sendiri, baik buruknya sengaja dibentuk dengan kriteria tertentu. Siapa pembentuknya? Mereka yang punya modal dan mendominasi dunia sastra. Dalam hal ini, aku beri perhatian khusus pada surat kabar yang di dalamnya dihuni sastrawan ‘populis’. Penulis dituntut menyesuaikan selera surat kabar, bukan surat kabar menampung perbedaan gaya penulisan. Ini dapat mengacaukan para penulis muda yang belum memiliki kekuatan karakter.


Dominasi Seni Sastra
Jika sastra telah didominasi kubu-kubu tertentu, sastra semakin sulit dimiliki masyarakat. Sastra seolah-olah dunia sendiri bagi sastrawan dan tidak berkait dengan orang kebanyakan. Orang akan merasa lebih gampang melepas tanggung jawab kesusastraan. Padahal, kesusastraan merupakan tugas nasional yang harus kita pikul bersama.

Sastra adalah penyemangat hidup, ia menyimpan energi dahsyat. Bahkan, seperti dialami Ibu Kartini, melampaui batas kemampuan manusia sebenarnya. Kita harus percaya bahwa kata-kata dapat menjadi pembangkit. Tidak cukup kita mengatakan sastra hanya digerakkan, tetapi sastra mesti menggerakkan. Konon, karya-karya penulis besar Pramoedya dilarang rezim Orba karena diyakini mampu menggerakkan keberanian membela kemanusiaan.

Secara sosiopsikologis, karya sastra akan dipersepsikan berbeda-beda oleh pembacanya. Komunikasi terjadi antara penulis dan pembaca melalui medium sastra. Keduanya memiliki perbedaan latar budaya, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan kebudayaan.

Karya sastra unik karena di tubuhnya mengalir darah kebebasan. Komunikasi tulis lebih terbuka ketimbang audiovisual yang mencoba sekuat tenaga menyamakan persepsi penonton. Ini bisa kita cermati ketika karya sastra divisualisasikan ke bentuk film. Audiens yang aktif cenderung kritis jika esensi pesan tidak terpenuhi lewat film.

Setiap orang tentu bebas menulis sastra, tanpa memenjarakan nilainya dengan ‘gambaran ideal’ ciptaan penguasa modal. Sastra bukan sekadar onani intelektual para sastrawan, tetapi sastra mesti menjadi candu bagi masyarakat. Manusia pada dasarnya membutuhkan estetika hidup. Bagaimana cara mengungkapkan kegelisahan, kegembiraan, dan kekecewaan, merupakan cermin sederhana atas adab-budaya individu maupun masyarakat.

Aku ingin tegaskan sekali lagi: kesusastraan tanggung jawab bersama!

[..]

Selasa, 06 Desember 2011

Air Mata Kemarau


Ini sebuah desa kecil di pinggiran kota industri, Kuli namanya. Tak perlu kiranya menyebutkan nama kota itu. Yang jelas, sejak pertengahan abad ke-20, lahan-lahan di daerah itu mulai disisir untuk tempat dibuatnya pabrik. Sebagai ancang-ancang, kota ini terletak di pinggiran ibu kota.

Tahun demi tahun pabrik semakin banyak, lahan-lahan tandus sudah ditindihi bangunan-bangunan angkuh, tanah-tanah subur milik petani pun akhirnya dibuat pabrik, juga pemukiman penduduk yang usianya jelas lebih lama dari rencana pembuatan pabrik ikut tergusur. Para petani dan warga desa hanya bisa pasrah, pemberontakan mereka terhadap pabrik atas sengketa tanah mudah benar dipadamkan.

Kini jalan-jalan besar dibuat. Ruas-ruas jalan tertata apik dan bersih, pohon-pohon besar nan rindang mengiringi sepanjang deretan pabrik. Jalan tol mulai melewati pabrik untuk memudahkan distribusi barang-barang antarkota.

Kota industri menjelma kota multinasional; sebagian besar pemilik modal pabrik-pabrik itu orang asing. Segala yang ada di dalam kawasan seperti mesin dan gaya arsitektur bangunan diimpor dari luar, kecuali para pekerja lapangannya. Mungkin karena pekerja pribumi lebih murah upahnya sehingga pabrik-pabrik itu akan meraup bergunung-gunung laba.

Desa Kuli ada jauh sebelum kota industri ada. Syahdan, Desa Kuli dulu merupakan tempat peristirahatan pasukan Mataram yang hendak menyerang tempat pusat kekuasaan Belanda. Mereka membuat sebuah pemukiman untuk dijadikan tempat menyimpan dan meyediakan logistik perang. Akhirnya, lama- kelamaan mereka menetap dan beranak-pinak; mereka orang-orang yang bertugas menyediakan logistik perang. Cara bertani orang Jawa pun berkembang, mereka memanfaatkan lahan-lahan subur di daerah itu.

Di dalam bahasa Jawa ada kata “kuli”, artinya pekerja. Memang pada akhirnya terbukti benar bahwa mereka merupakan orang-orang pekerja keras. Mereka adalah prajurit yang mengabdi pada Mataram, orang-orang yang setia pada kerajaannya, orang-orang yang tak pernah mau dijajah. Peperangan itulah yang mengajarkan pasukan Mataram tentang arti penghianatan dan kesetiaan. Tetapi kini, makna kuli sama artinya dengan budak.

Desa Kuli berdekatan dengan sebuah sungai besar, yang mengalir dari pegunungan, melewati kota industri, Desa Kuli, dan berakhir di Pantai Utara Jawa. Di kaki gunung terdapat sebuah telaga yang menampung tujuh mata air keramat. Masyarakat percaya bahwa telaga itu adalah petilasan seorang Adipati Mataram, semasa hidupnya ia selalu bermeditasi di tempat itu.

Sepanjang sungai, warga yang desanya berdekatan memanfaatkan air sungai untuk persawahan. Pada jaman kerajaan sungai itu juga merupakan jalur perdagangan besar antarkerajaan. Desa yang berdekatannya, diyakini cenderung maju dalam pertanian.

Namun sejak kota industri berdiri air sungai mulai tercemari limbah. Air yang tadinya bersih menjadi kotor. Warnanya tidak lagi jernih, tetapi mulai kehitam-hitaman. Sampah-sampah menari bebas melewati sungai, semua itu berasal dari kota industi.

Anak-anak Desa Kuli tak lagi bermain dan berenang, perawan desa pun enggan mencuci pakaian di sungai. Para penjala ikan tak menjala lagi, ikan-ikan jarang didapati oleh mereka. Mahkluk-mahkluk air itu sudah eksodus besar-besaran atau bahkan punah. Sungai itu, tempat penghidupan warga Desa Kuli, lamat-lamat ditinggalkan.

Belum lama, di dekat kota industri dibangun sebuah waduk besar. Sebelumnya warga Desa Kuli tak pernah tahu ada apa di balik rencana itu. Namun akhirnya seorang kepala desa, saat hendak dibangun waduk, mengatakan pada warga bahwa waduk itu dibangun untuk menyaring air sehingga bisa dimanfaatkan segenap warga di kota-kota sekitar.

“Saya mendapat pemberitahuan, waduk di selatan desa kita, di dekat kota industri, dibuat untuk kepentingan bersama. Dengan waduk itu air sungai akan jernih lagi, saudara-saudara nanti bisa memanfaatkan kembali,” tutur kepala desa di hadapan warga sambil tersungut-sungut.

“Dimanfaatkan bersama maksudnya apa? Dari dulu kami memanfaatkan sungai itu secukupnya. Tapi semenjak kota industri ada sungai menjadi rusak. Ada kejahatan apa lagi ini?” seorang warga mendesak.

“Jangan gusar saudara-saudara. Kalau mereka berniat baik, kita terima saja. Bendungan itu nantinya ada yang di belokkan ke arah barat, dimanfaatkan untuk sumber air bersih di kota-kota dekat sungai itu, juga untuk desa kita,” jawab kepala desa terbata-bata.

“Tidak ada sejarahnya sungai itu belok ke arah barat, yang ada dari pegunungan langsung mengalir ke laut, termasuk melewati desa ini,” bantah warga lainnya.

Hari demi hari pembangunan waduk berjalan lancar, tak ada yang membantah perihal ini. Warga Desa Kuli tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya menunggu hasil itu, menunggu janji manis para penguasa modal.

Waktu pun berjalan tanpa kompromi, terus menderu dan tambah menggebu-gebu. Bila musim penghujan datang sungai itu meluap dan membanjiri antero Desa Kuli. Semua tanaman rusak, penyakit pun di mana-mana. Bila musim kemarau datang, Desa Kuli juga akan terkena bencana kekeringan. Sumur-sumur kering, ladang kering, hingga keuangan pun kering. Sungai itu surut, menjelma serupa selokan berbau busuk.

Warga tak pernah mengira jika akhirnya waduk itu, ketika musim hujan, dibuka dan dialirkan ke arah Desa Kuli sehingga menyebabkan banjir. Dan bila musim kemarau, air yang mengalir ke Desa Kuli ditutup, lalu dialirkan ke arah barat sehingga warga desa hanya menjumpai sungai itu kering.

***
Tatapan matanya sayu, tanpa harapan, penuh keluhan. Ia pandangi bintang yang bertaburan di antariksa. Dalam hati ia berkata, “ Andai aku bisa semandiri dia, mengeluarkan cahaya, menerangi gegap gempita dunia.” Lalu ia palingkan pandang ke bulan, kemudian ia kembali bercericau, “Kau memang indah, Rembulan. Tubuhmu sempurna dan bercahaya, tapi sayang kau akan sirna tanpa matahari.”

Ia julurkan tangannya ke meja, diangkatnya segelas kopi buatan sang istri. Bibir tebalnya mulai bergeliat, pipi kempotnya bergerak, dan akhirnya ia berdecak kenikmatan setelah meyeruput kopi itu. Ia nyalakan sebatang rokok yang dililit sendiri, ia hisap perlahan, “Huh…..,” nafasnya melenguh panjang, ia mencoba menghembuskan segala beban. Tetapi beban itu tak mau hilang dari peredaran otaknya, pada akhirnya ia pun mengelus dada, “Astagfirullah..,” bisiknya hati-hati.

“Pakai bajumu, Pak. Nanti kau masuk angin. Tidak baik malam-malam telanjang dada,” tegur istrinya dari dalam rumah, sementara ia duduk di balai-balai di beranda. “Kamu tidur dulu, Bu. Sudah malam, besok pagi kau harus jual daun ke pasar,” ia berbalik menegur istrinya. Besok pagi sang istri harus menjual dedaunan—singkong, ubi, pisang—apa saja yang bisa dijual dari hasil bercocok tanam ia dan sang istri. Namun ini yang terakhir, sebelum tanaman-tanaman itu mati kekeringan.

Mereka adalah pasangan suami istri yang tinggal di Desa Kuli. Mereka sudah renta, usianya hampir 80 tahun. Meski selama hidupnya tak pernah dikaruniai anak, mereka masih bisa berbahagia, paling tidak berbahagia dengan ketuaannya sendiri. Terkadang terlintas dalam benaknya, kalaupun punya buah hati ia pun bakal ikut sengsara. Pernah suatu kali ada seorang bayi lahir di desanya hendak dipungut sebagai anak, ibunya meninggal sewaktu melahirkan sang bayi dan tak ada yang mengakui sebagai ayahnya. Tetapi orangtua dari perempuan itu justru mencibir, “ Aku tak rela cucuku hidup nelangsa.”

Setiap kemarau datang, desa tempat tinggalnya akan dilanda kekeringan. Semua tanaman mati sendiri akibat tak ada air yang tersentuh akar-akar tanaman, kecuali pepohonan yang mampu bertahan hidup tanpa air, itu pun bakal rontok seluruh dedaunannya. Tanah-tanah di ladang akan retak, merongga lebar-lebar, tanaman pun rusak. Bila sudah begitu, berarti warga yang sebagian besar adalah petani juga mengalami krisis keuangan. Untuk menghadapi kemarau biasanya pemuda desa merantau ke kota mencari pundi rupiah.

Sumur-sumur warga menjadi kering, mereka harus membeli air bersih dalam jerigen pada pedagang air bersih keliling musiman. Bila uang sedikit berarti mereka harus merelakan tubuhnya dilekati debu. Air yang mereka beli benar-benar dihemat buat masak dan minum saja.

***
Pintu depan rumah berderit, ia menoleh ke arah pintu, bola matanya menemukan istrinya tengah berdiri. Ia tatap mata istrinya, istrinya juga menatapnya. Pandangan mereka penuh kelembutan, polos, dan jernih. Beberapa saat berpaut pandang, akhirnya mereka tersenyum.

“Kenapa kau tak tidur, Bu?” tanya ia pada istrinya. Tangannya kembali menjumput tembakau, diletakkan di atas daun jagung kemudian dipilin pelan-pelan.
“Saya tak bisa tidur, Pak. Ndak ngantuk,” jawab sang istri agak gusar. Istrinya menarik nafas dalam-dalam lalu berkata lirih , “Kalau kita meninggal, kita tak punya keturunan ya, Pak. Umur kita sudah tua begini, sudah bau tanah,” istinya melangkah menghampiri. Tangannya merambat ke punggung suaminya, lalu dengan lembut ia memijit-mijit sang suami.

“Tak usah mengeluh, Bu. Ini memang sudah digariskan olehNya,” tanggapnya menenangkan hati istrinya. Ia ambil gelas kopi lagi dan mencicipnya sedikit.

Malam yang dingin menemani mereka. Tak ada suara manusia selain suara mereka. Tak ada suara hewan selain suara mereka. Sinar rembulan dan bintang mulai meredup, barangkali sudah bosan mendengar keluh kesah pasangan tua itu setiap malam.

“Pak, sudah seminggu kita tak mandi. Air tinggal sedikit, buat makan dan minum kita besok. Kita sudah tak punya uang buat beli air,” keluh istrinya.
“Sabar, Bu. Besok kan kau jual daun itu, nanti buat beli air.”
“Tapi, Pak. Sudah dua hari ini air tak ada. Agen tutup, katanya ndak ada pasokan. Orang-orang juga pada kehabisan air.”

Malam ini dirasainya sebagai malam paling kelam dan purba. Segala perasaannya seolah diaduk-aduk, segala pikirannya berkecamuk. Akhirnya ia dan sang istri diam, seisi desa diam, semuanya diam.
****
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya ia membuka pembicaraan, “Mari tidur, Bu. Sudah larut malam,” hari sudah sangat larut, baru kali ini jam dua pagi ia dan istrinya belum tidur. “Aku tak ingin tidur, Pak. Aku masih ingin melek,” jawab istrinya lembut.

Mereka kembali diam. Dipandanginya langit-langit tanpa bintang itu. Dalam hati mereka selalu berharap semoga lekas turun hujan. Tetapi malam-malam serupa sudah biasa ia temui, toh akhirnya hujan tak turun juga dan kemarau tak berkesudahan. “Kalau kau ngantuk tidurlah dulu, Pak,” istrinya tetap tak ingin tidur. Padahal pagi benar ia harus pergi ke pasar menjual daun dan membeli air di agen.

“Biar kutemani kau, Isriku. Walau hidup semakin mencekik, aku akan selalu senang bila di sampingmu,” ia menghibur istrinya, meski sebenarnya ia tengah menghibur dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi, malam ini ia merasa sangat galau. “Tidur saja, Pak. Matamu sudah lelah,” istrinya berbisik pelan sembari mengumbar senyum.

Mereka nampak sudah tua. Kulitnya mengeriput di sana-sini. Tubuhnya kian hari kian bungkuk. Hayalnya, bila saja mereka punya keturunan mungkin mereka akan dirawat baik-baik oleh anaknya di usianya yang lanjut. Mereka akan segera punah, putus sudah mereka punya keturunan.

“Kita tidur bersama, Bu. Aku rindu lantunan tembang-tembang dari suaramu. Aku ingin di dekatmu, Bu. Kalau nanti kita meninggal, aku ingin tetap bersebelahan denganmu.” Ia genggam jemari istrinya erat-erat. Ia sadar tenaganya tak sekuat dulu, tangannya tak berotot lagi.

“Husyi, jangan bicara begitu, Pak. Baiklah, kau tidur saja dulu, nanti aku nyusul. Aku masih ingin melek, Pak.”
“Ya sudah, aku tidur dulu, Bu.” Ia meninggalkan wanita tua itu di luar. Tak lama kemudian istrinya tidur juga di sampingnya.

***
Fajar menjelang, suara kokok ayam terdengar di berbagai penjuru Desa Kuli. Ia buka matanya yang nanar, ia kepayahan mengangkat tubuhnya. Ia memandang istrinya, memandang tubuhnya yang melengkung.

Ia ingat, pagi ini istrinya harus membawa daun-daun ke pasar. Maka, tangan kering penuh tulang itu dijulurkan ke tubuh sang istri. “Bangun, Bu. Sudah pagi. Bangun,” tubuh istrinya diguncang-gunjangkan. Tubuh ringkih sang istri pun dengan mudah tergolek. Ia raba pipi istrinya, wajah istrinya pucat dan dingin. Diguncangnya sekali lagi, istrinya tetap tak bergerak. Tanpa disadari, pelupuk matanya membasah. Air mata itu meleleh di pipinya, kemudian menetes di wajah istrinya.

Hari itu, hatinya bagai diterpa badai. Pikirannya bagai dibenturkan batu besar. Wanita tunggal penyemangat hidup yang ia agungkan itu kini tiada. Siang itu juga, jenazah dikuburkan tanpa dimandikan. Barangkali hanya setetes air mata suaminya yang mengiringi.
Bekasi, 2010.
[..]

Minggu, 04 Desember 2011

Perjalanan Kawarang-Bekasi


Jangan remehkan manusia. Begitulah kiranya maksud tulisanku ini. Terkadang sesama manusia terlalu mudah meninggikan atau menjatuhkan sesamanya. Kita silau dengan nama-nama, kagum dengan benda-benda, tapi kita lupa dengan sikap. Sederhana, sebab prinsip bisa dilihat dari sikap.

Matahari mulai tenggelam. Aku duduk menunggu kereta di stasiun Klari, Karawang. Tujuanku Bekasi. Petugas berkali-kali mengingatkan bahwa kereta ekonomi tengah melaju dari Cikampek. Itu artinya kereta sebentar lagi datang. Setiap dari saudara di Karawang, memang aku pulang naik kereta.

“Tunggu di jalur tiga,” kata petugas.

Aku duduk-duduk di peron. Sebatang rokok kusulut, asap membumbung menantang mendung. Penumpang dari Klari sedikit, tak mencapai lima puluh. Mereka kebanyakan mengenakan seragam biru muda lengan panjang. Sudah kutebak: buruh pabrik. Kenapa naik kereta? Ya, lebih murah dan tidak repot.Meskipun kumuh. Naik bus tak cukup sepuluh ribu.

Dari arah timur terlihat cahaya lampu berpendaran. Disusul bunyi terompet dan desis mesin. Kereta behenti. Aku melompat naik mencangking beban. Aku mendapat tempat duduk jok tiga yang saling berhadapan. Sisanya telah penuh penumpang. Di hadapanku ada seorang lelaki muda berpenampilan dekil, mukanya menunjukkan ketidaksukaan padaku. Juga dua wanita di sampingnya. Aku dingin saja. Yang sederet denganku tak kuhiraukan.

Kereta melaju. Kuperkirakan satu jam sampai di Stasiun Bekasi. Layaknya kereta ekonomi, pedagang lalu-lalang, juga rombongan pengamen bermuka sangar tak hentinya bernyanyi, sayang suaranya sumbang. Sesekali ada orang cacat meminta-minta, atau orang tua renta menuntut belas kasihan. Untuk menghadapi ini, aku sudah menyiapkan beberapa uang receh.

Suasana cukup tersejukkan ketika kulihat seorang gadis seumuranku duduk di samping depan dari tempatku. Ia menghadap ke arahku. Aku tebak ia bukan buruh pabrik, mungkin pelajar. Ia mengenakan kaos oblong dan celana pendek setinggi lutut. Rambutnya hitam, sebahu dan berponi. Gadis ini memiliki kulit kuning langsat, tubuh bersih gemulai, serta mata sipit. Mata itu beberapa kali bertemu dengan mataku. Agaknya ia menikmati ketidaksengajaan ini.

“Turun di mana, Dik?” Penumpang di sampingku menegur. Aku baru lihat wajahnya. Sudah tua. Di sampingnya lagi wanita paruh baya, namun wajahnya hanya di arahkan ke luar kaca.

“Bekasi. Bapak?”
“Tambun.”

Aku diam sejenak. Gadis mata sipit aku lupakan. Tiba gilirannya kakek ini menyelinap ke pikiranku. Lelaki dekil dan dua wanita di depanku nampaknya sibuk sendiri dengan obrolannya. Sedangkan si kakek hanya diam. Mau tak mau aku harus mengajaknya ngobrol.

“Kakek asli Bekasi?” tanyaku.
“Bukan. Saya Padang. Anda asli mana?”
“Saya Jawa. Sempat ikut peristiwa revolusi, Kek?

Aku sengaja menanyakan revolusi. Dari cerita, aku dengar sepanjang Karawang-Bekasi pernah terjadi pertempuran dahsyat. Waktu itu Ibu Kota pindah ke Yogya. Chairil Anwar mengabadikannya ke dalam puisi. Peristiwa Rawagede dan pembantaian tentara Jepang di Kali Bekasi adalah potret nyata yang terus membekas.

“Ya, waktu itu saya masih muda. Tapi belum ke Bekasi.”
“Katanya sepanjang Karawang-Bekasi revolusi sangat membara. Ada tokoh K.H. Noer Ali.”
“Betul. Jangan lupa pula, Tan Malaka.”

Air muka kakek tua tiba-tiba berubah. Aku menatap wajahnya yang mulai memerah. Kini ia sangat terlihat berwibawa. Aku tahu, ia bukan orang biasa.

“Kakek satu daerah dengan Tan? Bagaimana orang Padang menilai?”

“Tidak. Dia di Pandan Gadang. Saya Bukit Tinggi. Tan itu Bapak Republik. Sebelum Bapak Bangsa lainnya merumuskan NKRI, Tan sudah punya konsep Republik. Pernah suatu ketika orang-orang melihat Tan salat Jumat di masjid. Orang Belanda dengar dan mengepung dia. Tetapi tak tertangkap, ia seperti menghilang.”

Tan Malaka memang dimitoskan banyak orang. Mereka mengira Tan sakti dan bisa menghilang. Apalagi, sebagai buronan internasional, ia sulit ditangkap. Apakah kakek tua ikut memitoskan? Belum jelas. Aku semakin penasaran dengan kakek tua, kugali terus.

“Bung Hatta dari Bukit Tinggi juga, Kek,” aku memancingnya.
“Oh, itu ponakan Bung Hatta dulu satu kelas dengan saya di Bukit Tinggi. Tingkat SMA kalau sekarang.”
“Bung Hatta luar biasa. Saya mengagumi beliau, Kek.”

“Dia sangat jujur. Bung Karno tidak bisa dilepaskan dengan dia. Ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatannya, Bung Karno mulai goyah, akhirnya jatuh. Bung Karno, Hatta, Sjahrir dan Tan adalah Bapak Republik. Mereka orang-orang pilihan.”

Nada bicara kakek tua kian meninggi. Matanya tajam menusuk bola mataku. Pipinya dipenuhi julur keriput. Rambutnya memutih belaka. Sesekali tangannya diangkat, menunjuk-nunjuk, atau bergerak kaku mengiringi ucapan.

“Bung Karno menurut Kakek seperti apa?” aku memulai lagi.
“Sekarang saya tanya dulu pada Anda, siapa orangtua Bung Karno?”
“Raden Soekemi dan Ibu Ida Ayu, Kek.”

“Betul. Tetapi entah boleh dipercaya atau tidak, ada yang berpendapat begini: Bapaknya Soekarno itu orang Belanda, ibundanya pribumi. Ketika baru lahir, bayi itu di letakkan di depan pintu Ibu Ida dan Raden Soekemi. Mereka kebetulan tidak punya anak. Kenapa dinamai ‘Karno’? Karno atau Karna adalah tokoh pewayangan, saudara Pandawa, anaknya Ibu Kunti. Ayah Karna ialah Batara Surya. Kunti kemudian mengalirkan bayi itu ke sungai, dan ditemukan sais kereta. Hampir sama.” Kakek 72 tahun ini tersenyum.

“Masa Kek?”
“Yah..itu rumor saja. Tetapi secara fisik, Soekarno memang mirip orang luar.”
“Lalu sepak terjang Bung Karno?”

“Dia pantas memimpin Republik. Bung Karno mampu membangkitkan spirit rakyat Indonesia. Ia mampu menaungi berbagai ideologi di Indonesia. Dulu tidak ada negara lain macam-macam sama kita. Malaysia suruh ganyang. Bahkan Bung Karno berani keluar dari PBB. Ia tidak pernah menghendaki rakyat jadi budak. Rakyat mesti Berdikari. Tapi sekarang kita seperti hidup dalam penjara saja.”

Kami diam sejenak. Ia duduk tenang sambil memandangi pepohonan di balik kaca. Sedangkan aku mencuri-curi pandang si gadis sipit. Mata kami bertemu lagi. Ia nampak tersipu malu. Ah, betapa menggemaskan otot-otot pipi itu terangkat. Namun aku hanya dapat mengagumi dari tempat duduk saja. Aku harap ia akan turun bersamaan denganku.

“Kakek percaya kalau suatu saat nanti Indonesia maju? Atau kata orang, ada ‘satria piningit’,” tanyaku.

“Ya, itu sudah diramalkan Jayabaya. Tetapi saya sangat yakin Indonesia jaya kembali. Orang-orang pendusta mesti disingkirkan dari pemerintahan. Anak muda harus pintar, mampu bersaing dengan dunia luar. Sekarang ini asing mencengkeram bumi kita begitu hebatnya. Kita tak bisa apa-apa. Kalianlah penerus bangsa ini. Bekerjalan buat Republik.”

Kereta berjalan lambat-lambat, akhirnya berhenti di Stasiun Tambun. Lelaki dekil dan dua wanita minta diri, mereka ternyata menutup pertemuan singkat ini dengan santun. Juga kakek tua, menatapku dan meminta diri. Ia membawa tas jinjing hitam, mengenakan kemeja biru lusuh dan celana panjang kain berwarna hitam. Melewati batas gerbong, ia hilang dari pemandangan. Lelaki tua itu, yang awalnya aku anggap remeh, ternyata menyimpan banyak cerita. Dia pasti bukan orang sembarangan. Paling tidak, ia berpendidikan dan berpengalaman. Dari cara bicara, tatapan mata, serta air mukanya, sungguh menggetarkan. Tentu, bukan hanya obrolan itu saja. Masih banyak lagi cerita darinya yang tak mungkin aku ceritakan semua, juga karena perkataan kakek tua cukup mengejutkan, agak menyimpang dari cerita pada umumnya. Harus kurenungkan lebih lanjut. Aku berharap suatu saat bisa berjumpa dengannya lagi.

Lalu gadis mata sipit? Ya, aku meninggalkannya ketika kereta sampai Stasiun Bekasi. Mungkin ia turun di Kranji atau Jatinegara. Ia menerbangkan senyum manis padaku. Aku membalasnya, ia mengangguk manja.




[..]