Minggu, 22 Januari 2012

Merindukan Kehadiran Ruang Kultural


Ibu kota Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bekasi, boleh dibilang jauh dari ketentraman untuk dihuni. Kejahatan, kemacetan dan banjir telah akrab dengan kita. Toh, ini tak membuat laju urbanisasi menurun. Kaum urban lebih memilih jalan hidup pragmatis dan bersikap apatis dalam menghadapi kerasnya hidup. Pusat perbelanjaan dan wisata komersial pun jadi tempat pengaduan keluh dan kesah. Namun, kita lena bahwa tidak semua masyarakat menikmati itu.

Sebenarnya, baik kaum miskin maupun kaya, membutuhkan ruang publik. Kaum urban rindu dengan tempat-tempat santai dan murah. Bila mencermati GOR Bekasi, kita akan merasakan betapa masyarakat sebenarnya amat haus hiburan. Tetapi, hiburan macam apakah yang dapat mengisi kebutuhan jiwa masyarakat? Selama ini, kita hanya dijejali komoditas-komoditas yang menawarkan kepuasan lahiriah, bukan batiniah.

Bagi masyarakat kita, asupan rohani amatlah penting, tetapi tidak pula melulu soal agama. Ini bisa diwujudkan dengan pendekatan estetik seni. Tidaklah kita boleh menafikkan bahwa seni inkorelasi dengan religi—rohani. Di Bali, kita melihat bagaimana mereka mampu memanfaatkan seni sebagai bagian dari pencapaian nilai spiritual. Seni adalah hasil pengendapan kehidupan yang telah dibauri unsur budipekerti.

Bila berkunjung ke Yogyakarta, kita menemui keunikan luar biasa. Sultan Hamengkubuwono mampu menyulap ruang publik menjadi ruang kultural. Artinya, pusat keramaian bukan saja sebagai tempat belanja atau jalan-jalan, tetapi juga menjadi tempat pengunjukkan hasil seni. Sepanjang jalan Malioboro hingga Keraton misalnya, kita dapat merasakan suasana estetik tersebut. Maka, wajar jika masyarakat Yogya dan Bali diidentikan sebagai manusia beradab-budaya tinggi.

Bekasi berbeda dengan Yogya atau Bali. Pemerintah Bekasi nampaknya ingin menciptakan keindahan kota, namun manusia sebagai subyek kearifan, justru diabaikan. Kebijakan pemerintah bernada pesimistis terhadap masyarakat miskin. Mereka hanya dianggap sampah yang menimbulkan kekotoran. Kebijakan itu, misalnya, di sepanjang bantaran KalI Malang tidak boleh ada aktifitas (bangunan) agar sungai selalu bersih (mudah-mudahan air sungai tidak diprivatisasi).

Memang, tujuan kebijakan itu benar. Tetapi, pemerintah seolah-olah menganggap masyarakat sebagai obyek pasif semata. Masyarakat tidak diberi kesempatan, sebutlah, mendapat pencerdasan tentang pentingnya sungai. Sebab biar pun kaku peraturan itu, tanpa kesadaran bersama, akan sia-sia belaka. Tengoklah Paris, sungai mampu menjadi denyut nadi kota sekaligus ruang kultural. Atau, tak usah jauh-jauh, di Yogya, Romo Mangun berhasil mengubah bantaran Kali Code serupa surga. Bukankah ada pepatah mengatakan ‘tak kenal maka tak sayang’?

Ruang kultural bukanlah sebatas gedung-gedung kesenian atau taman budaya yang dikonsep secara teratur ataupun terencana, apalagi berbau komersial. Ia seperti hujan yang jatuh dari langit: berlarik-larik dan menetes sendiri-sendiri. Tetapi tetes-tetes hujan memiliki kemauan yang sama untuk jatuh ke tanah, kemudian melebur menjadi satu dalam curah.Ruang kultural, seperti halnya kita mencontohkan suasana Malioboro, mengalir begitu saja hingga membentuk perpaduan menarik antara subyek-subyek di dalamnya. Jika ruang publik sekadar tempat bertemunya banyak orang, ruang kultural pun begitu namun dengan sedikit peningkatan: mengandung nilai kebudayaan. Memang, ruang kultural tak dapat langsung dihadirkan, ia mesti membentuk dirinya sendiri.

Kerinduan terhadap ruang kultural di Bekasi sebenarnya sudah terlihat. Desember kemarin, Komunitas Sastra Kalimalang mengadakan pentas pinggir kali dan panggung terapung: kampanye kali bersih lewat seni. Acara ini cukup menyihir banyak penonton, terbukti mereka sangat antusias mengikuti rentetan pentas hingga selesai. Saat ini, sebuah taman bacaan (perpustakaan) di pinggir kali sudah terbangun. Tanpa di sadari, setiap sore hari orang-orang duduk di tepian sungai: ada yang membaca buku, membuka laptop, bermain musik, diskusi hingga mendayung. Kegiatan itu berjalan sendiri-sendiri tanpa direncanakan untuk sesuatu motif. Tetapi jika kita mau mencermati, suasana seperti itu sebenarnya merupakan cikal-bakal ruang kultural. Semoga saja pemerintah tak memicingkan mata terhadap masyarakatnya, terhadap sesama manusia, sebagai subyek seni.*
(Telah dimuat di Harian Radar Bekasi (20/01/2012) rubrik Interaktif)
[..]

Minggu, 01 Januari 2012

Mari, Menjadi Manusia!


Kita kemarin telur ayam dalam dekapan induk, hangat di ketiak lalu menetas. Jika ada tangan mengusik, bulu-bulunya terangkat dan paruh pun mematuk. Tetapi hewan tinggallah hewan: keluarga sebadan bertikai berebut makan.

Ibu Pertiwi seumpama induk ayam, ia kini sungkan mendoakan kita yang kian tumbuh besar, apalagi memberi pelukan. Ia tak lara dan merintih, hilang rasa, sebab luka membawanya terbang mengarungi jalinan benua-benua nun jauh di sana. Barangkali nasib Ibu seperti nasib para perempuan pekerja di tetangga negeri.

Dan berkacalah, fatamorgana ada di depan mata melayangkan pandang ke belakang kita. Di sana darah tercecer tak berharga oleh tangan-tangan tak berkepemilikan, tangan saudara-sebangsa saling menikam, menghunuskan tombak yang digerakkan budak-budak keserakahan. Bagaimana mungkin, bumi dulu dipijak langit dijunjung kini porak-poranda? Tuhan tidak marah, hanya saja budi manusia hendak sepi.

Mari, torehkan cat pada jalan-raya gedung-gedung stasiun terminal bandara, pada kanvas kehidupan, agar negeri ini berubah warna. Tunjukkan pada dunia bahwa kita bukanlah hewan pandai. Tugas manusia menjadi manusia, memanusiakan manusia. Hentikan belajar bernapas, hidup: bumi dan langit merestui!

[..]