Senin, 12 Maret 2012

Menebar Budi Pekerti lewat Sastra Lokal


Menulis karya sastra bukan sekadar menuturkan bahasa indah, tetapi yang terpenting bagaimana penulis mampu menorehkan tintanya dengan ketulusan hati. Sehingga, sastra akan menjelma budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga puisi dan pantun khas Bekasi yang diusung Ridwan Fauzi dan Guntur El Mogas. Kedua penulis ini berusaha mengabadikan peristiwa yang dialaminya melalui medium aksara secara berbeda.

Sastra dengan bahasa lokal pada akhirnya dapat menjadi saksi sejarah. Jika fakta dikuatkan bahasa, apalagi mendapat penekanan dialek, maka akar budaya di dalam karya terasa kental. Sesungguhnya, penulis puisi atau pantun merupakan arsitek kemanusiaan: ia piawai menyusun butir-butir kebaikan menjadi sebuah bangunan budaya, kemudian turut mengukuhkan peradaban.
Untuk melakukan tugas kemanusiaan itu, seorang penulis harus bertanggung jawab atas karyanya. Guntur El Mogas dan Ridwan Fauzi tentu saja berusaha menjunjung kejujuran kreatif. Untuk itu, ketika menuliskan puisi atau pantun, sudut pandang mereka terhadap obyek karya pun menjadi tulus. Bahkan penulis melakukan observasi dan penggalian pustaka.

Selama ini, banyak sekali unsur lokalitas tergusur. Bekasi sebagai kota besar tak dapat menghindari ganasnya laju urbanisasi. Tanah-tanah pribumi tergantikan bangunan pabrik, mall atau rekreasi komersial lainnya. Akibatnya, kebiasaan atau budaya lama pun lamat-lamat hilang: permainan tradisional dianggap usang, pakaian daerah dipandang aneh dan dialek asli coba dibunuh atasnama Indonesia.

Pergeseran nilai budaya bergerak secara acak dan tanpa disadari perubahan terasa begitu cepat. Masyarakat pribumi, karena tak mendapat tempat, akhirnya hanya menjadi penonton di kandang sendiri. Apa yang dilakukan Guntur El Mogas dan Ridwan Fauzi mesti diapresiasi terus-menerus. Adanya wacana membuat kurikulum muatan lokal bahasa Bekasi merupakah satu langkah cerdas untuk menerangkan identitas Bekasi. Sebab Bekasi bukanlah Sunda atau Betawi, ia memiliki bahasa sendiri.

Sedikit menilik puisi Er Fauzi

Keyakinan lama bahwa sastra merupakan akar dari seni dan budaya sepatutnya diperkuat kembali. Dari sastra, masyarakat mampu mengejawantahkan petuah-petuah leluhur. Sastra berusaha mengingatkan, mengajak bahkan menggugat keadaan sehari-hari. Barangkali coretan-coretan di gua-gua di masa silam merupakan semacam kristalisasi niat guna mengabarkan pesan kebaikan pada manusia sesudahnya.

Dengan puisi-puisinya, Ridwan Fauzi ikut menggeliatkan dan mengenalkan sastra lokal pada masyarakat. Latar belakang dia sebagai pendidik, misalnya, dapat menginspirasi siswa untuk menulis. Gaya penulisan Ridwan memang berbeda dengan Guntur El Mogas, perbedaan ini justru menjadi keragaman yang membangun. Jika Kong Guntur kerap menggunakan gaya pantun, Ridwan malah cenderung seperti puisi bebas.

Ada pun tema yang diangkat Ridwan kebanyakan adalah protes sosial atas ketidakadilan. Penulis hidup di jaman ketika modernisme datang menggebu-gebu, wajar jika ia memiliki perhatian khusus pada kesenjangan sosial. Lewat puisinya yang berjudul “Masing Ada Lampu Merah Nyeng Nyala”, ia berusaha menguak tabir anak jalanan. Namun, dengan kepiawaian dia, puisi tersebut menjadi karya yang menggugah, menebar rasa percaya diri dan menampar kedigdayaan orang mapan.

Lebih menariknya lagi, Ridwan Fauzi berhasil menyelami obyek karyanya. Ia mampu membangunkan sosok-sosok anak perempatan lampu merah dengan amat lunak. Jika seorang anak kecil membaca pun, puisinya akan tetap relevan. Lampu merah baginya hanyalah analogi saja. Makna dari puisi tersebut ternyata sangat sarat api semangat dan tentu saja dilihat dari sudut mana pun pesannya tetap sampai. Dia menyajikan idiom-idiom universal. Semoga kemunculan Ridwan Fauzi dapat menginspirasi anak muda agar terus mengangkat sastra lokal Bekasi.

Demikianlah beberapa butir pikiran yang mengemuka dalam acara Bedah Karya Ridwan Fauzi, di Universitas Islam ‘45’ Kota Bekasi, (02/03/2012). Acara ini diadakan Komite Sastra Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Kota Bekasi. Turut hadir pula Sastrawan Irman Syah dan Khairil Gibran Ramadhan dari Jakarta.


MASING ADA LAMPU MERAH NYENG NYALA
Karya Ridwan Fauzi


Selagi lampu nyeng merah ntuh nyalah
Tenggorokan nyeng kering keausan ilang
Perihnya perut nyeng laper ngga kepanjangan

Kalu lampu merah ntuh nyalah
Bocah belarian jejingkrakan
Maenin kecrek dari kerop di tangan
Ngiringin nyanyian seketemunyah

Di samping kaca item mobil mobil mewah
Gegaruk tangannyah
Di kepala nyeng kaga gatel
Ngelietin kaca mobil kaga ada nyeng dibuka

Marah, putus asa, kaga ada di kamusnyah
Dia terusin di mobil blakangnyah
Cring… gopean jatoh ngegelinding di aspal
Kerna lampu ijo udah nyalah

Bocah pada ngibrit ke pinggiran
Nungguin jalanan sepian
Nyariin gopean tadi yang jatoh tau ke mana

Tenang ajah kawan
Lampu merah ntuh pasti masing nyalah
Kita kaga bakal mati kelaparan dah
Nyeng penting semangat kaga boleh kalah..

(Radar Bekasi (09/03/2012) Rubrik Budaya halaman 6)
[..]

Menimbang Karya Intelektual lewat Berkesenian


KESENIAN pada dasarnya adalah karya intelektual. Siapa pun pelakunya tetap saja sebuah hasil pemikiran. Karena seni erat berhubungan dengan rasa maka fantasi dan budi berbaur menjadi gagasan, kemudian dikongkritkan lewat lambang-lambang komunikasi.

Seorang pelukis akan mengkongkritkan gagasannya melalui gambar, pemusik dengan nada, penari lewat gerak, dan penulis menyusun makna lewat aksara. Karya seni kian menjadi penting karena ada pesan yang dikandungnya dan subyektifitas pelaku terasa sangat kental: artinya, bukan seniman yang mengikuti audiens, tetapi audiens-lah yang berusaha menemukan pesan tersebut berdasarkan persepsi masing-masing.
Dewasa ini, orang-orang mengungkapkan rasa mereka dalam berbagai bentuk. Mahasiswa, misalnya, terkadang cenderung melakukan demonstrasi di jalan untuk menyuarakan unek-uneknya: tapi apakah itu mampu memenuhi hasrat intelektualitas? Hal semacam itu bisa saja runtuh kalau aktivitas ini merupakan ‘pesanan’ dari pihak tertentu. Walaupun demikian, mahasiswa tetap berhasil melakukan komunikasi massa dan diketahui oleh banyak orang.

Seni sebagai karya intelektual menjadi pilihan bagi mereka yang tidak mau menampilkan gagasannya secara vulgar. Begitulah sastra, ia ditulis dari ruang yang sempit dan sunyi berupa puisi, cerpen atau pun catatan harian dengan harapan agar dibaca banyak orang, namun tidak memiliki banyak ruang. Untuk menerbitkan tulisan di media massa akan menempuh seleksi yang ketat dengan berbagai standarisasi: sedang jejaring sosial -- meskipun memiliki audiens -- belum bisa dianggap mampu sebagai ukuran, karena validitas data tentang berapa banyak khalayak yang membaca link tersebut sulit untuk dapat dipastikan.

Adanya ‘Sastra Kalimalang’ yang terbit setiap Jumat di Radar Bekasi telah menjadi wadah dan memudahkan masyarakat berekspresi. Tulisan mereka dibaca ribuan orang. Artinya, ide yang bukan cuma sebatas ide, tapi melalui ‘rasa dan periksa’ yang menjadikan karya itu lebih bertanggung jawab. Jika halaman sastra di media umum lainnya selalu memuat tulisan sastrawan, tapi ‘Sastra Kalimalang’ malah memuat tulisan yang datang dari berbagai kalangan: sebuah sikap yang mengarah pada penolakan dominasi seni dari seniman yang selalu kembali ke seniman.

Di sinilah letak perbedaannya, Sastra Kalimalang berupaya untuk melibatkan masyarakat agar menulis dan kemudian mengembalikannya lagi kepada masyarakat yang lebih luas. Begitu pula halnya dengan sastra lokal seperti ‘puisi pantun’ Guntur El-Mogas, bisa diapresiasi terus-menerus. Bahkan tidak hanya itu, puisi dari masyarakat pun diapresiasikan lagi dalam bentuk pementasan yang dilakukan setiap tiga bulan sekali di atas Panggung Terapung. Ini pun salah satu upaya kesenian dalam usaha pencerdasan masyarakat terhadap pembangunan Kota Bekasi.

Persoalan di atas begitu saja mengemuka dalam diskusi mingguan Komunitas Sastra Kalimalang, Jumat (21/01/2011) di Perpustakaan Pinggir Kali. Bincang-bincang santai ini sengaja diprogram untuk menampung gagasan masyarakat Kota Bekasi perihal kesenian. Beberapa praktisi seni hadir dan memunculkan butir-butir pikirannya, seperti Deddy Putra Matahari (dramawan), Irman Syah (penyair) dan akademisi Harun Alrasyid dari Unisma. Deddy sempat mengungkapkan, bahwa “geliat kesenian di Bekasi tidak begitu tertangkap oleh Dewan Kesenian. Lembaga ini terlihat serupa sanggar saja yang kesannya cuma sebagai kompetitor.”

Kritik dari dalam

Pasar untuk karya seni selalu menjadi permasalahan yang belum usai bagi sebagian kalangan, termasuk komunitas seni. Sebagai pondasi pemikiran, idealisme malah sering menutup peluang ekonomi karena dianggap ‘mencemari’ kesenian, sehingga tak sedikit komunitas seni yang muncul dan hilang oleh persoalan finasial. Seiring perjalanan waktu, para pemodal mengambil peran dalam komunitas seni yang notabene menjadi penaung para seniman: ketika pemodal mulai menyusup, seni malah berubah arah dan berorientasi pada keinginan pasar.

Kemandirian ekonomi ternyata begitu penting dalam mewujudkan eksistensi komunitas. Hal tersebut terbaca oleh beberapa komunitas seni di Yogyakarta. Mereka kemudian berinisiatif untuk membuat ruang-ruang kreatif seperti penerbitan buku, pembuatan kaos, kriya dan pernak-penik lainnya . Dengan begitu komunitas seni tidak akan kehilangan idealismenya: ruang kreatif justru mempertajam gerakan manajemen secara tepat. Dengan cara seperti itu sebenarnya komunitas telah mengantisipasi keseragaman bentuk dari industrialisasi seni yang dikuasai oleh para pemodal.

Sastra Kalimalang setidaknya diharapkan mampu membaca dan menyiasati bangunan manajemen yang tepat itu. Gagasan Sastra Kalimalang yang menempatkan kesusastraan secara ideal seharusnya ditopang pula oleh ruang kerja yang mendukung agar dapat menghasilkan karya kreatif lainnya dalam memperkokoh bangunan ruang cipta. Pola kerja Sastra Kalimalang jangan pula sampai terimbas oleh pola gerakan yang lebih dominan mengandalkan ‘proposal’.
[..]

Mengembalikan Sastra untuk Masyarakat


Anak-anak berlarian dari arah perempatan lampu merah jalan Cut Mutia-Chairil Anwar Kota Bekasi menuju ke sebuah jalan kecil, sebelah Utara Kampus Universitas Islam ‘45’ (Unisma). Mereka membawa seperangkat alat musik seperti ukulele, bongol dan kecrek. “Mari naik,” kata seorang gadis kecil bernama Raina (12) pada teman-temannya.

Pengamen-pengamen itu masuk ke Perpustakaan Pinggir Kali: sebuah taman bacaan yang sengaja dibangun Komunitas Sastra Kalimalang. Saung sastra, begitu orang menyebut, tak seberapa luas. Bangunannya pun tak seperti perpustakaan di sekolah-sekolah, hanya terbuat dari rakitan bambu. Buku-buku sengaja digantung dengan menggunakan tali dan jepitan. Sekilas, bila memasukinya, kita serasa dihujani buku-buku yang kadang kerap menabrak kepala. Konsep ini sengaja dibuat untuk, salah satunya, mengingatkan pengunjung bahwa manusia tak boleh sombong akan ilmu. Tamparan buku adalah peringatan agar kita mesti rajin membaca.

Selain pengamen, mahasiswa, anggota satpam, tukang ojek, pedagang sekitar atau orang umum bebas membaca di saung sastra. Buku-buku bertema sastra dan budaya di sini ialah sumbangan masyarakat serta para pecinta sastra. Hingga kini, telah terkumpul sedikitnya sekitar 400 buku yang terdaftar dalam katalog. Setiap hari tercatat rata-rata ada 50 pengunjung. Untuk menarik minat baca, Sastra Kalimalang menyediakan beberapa surat kabar dan majalah lokal maupun nasional.

Niat mencerdaskan masyarakat

Sastra Kalimalang awalnya hanyalah sebuah komunitas di jejaring sosial Facebook yang digerakkan kelompok teater Unisma. Mereka rutin menerbitkan puisi, esai, cerpen dan karya rupa di halaman Facebook. Siapa pun boleh menulis, seperti mahasiswa, anggota satpam, dosen, penjaga kantin, hingga tukang ojek di depan kampus. Pengelola (admin) sengaja mendatangi mereka dan mengajak untuk menulis, lalu dikurasi. Terkadang saat menunggu tukang ojek menulis puisi misalnya, pena dan kertas mesti ditinggal lantaran ada orang hendak naik ojek.

Melihat aktifitas tersebut, surat kabar lokal di Bekasi menawari sebuah halaman untuk diisi Sastra Kalimalang setiap Jumat. Dari situlah, mereka mulai berani melegitimasi sebagai komunitas seni. Kedekatan dengan para seniman, seperti Komunitas Musikalisasi Puisi yang dimotori Anne Matahari (Sanggar Matahari), membuat mereka semakin aktif di luar.

Pada 30 Oktober 2011, mereka mengadakan Workshop Apresiasi Sastra Musikalisasi Puisi selama dua hari di Gedung Juang Tambun, diikuti 250 guru bahasa dari seluruh sekolah se-Kabupaten Bekasi. Acara tersebut menghadirkan beberapa sastrawan terkemuka, seperti Jose Rizal Manua yang membawakan materi penciptaan puisi, Helvi Tiana Rosa menyampaikan materi pengajaran dongeng dan sastra untuk siswa, dan Guntur El Mogas membawakan Puisi dan Pantun Khas Bekasi.

Setelah mendapat sambutan baik, Sastra Kalimalang pun mengadakan lomba baca puisi bertema “Spirit Of Heroisme” di Kota Bekasi. Lomba tersebut menegaskan bahwa Sastra Kalimalang peduli terhadap jasa-jasa para pahlawan, terlebih kota ini mendapat julukan Kota Patriot. Pada 27 Desember 2011, Sastra Kalimalang menggelar Panggung Terapung dan Pentas Pinggir Kali di bantaran Kalimalang, tepatnya di samping kampus Unisma atau seberang Jalan Chairil Anwar Kota Bekasi. Ratusan penonton menikmati penampilan teater, musik dan pembacaan puisi dari pinggiran ditemani redup lilin, sebab panggung diapungkan di tengah sungai. Acara puncaknya ialah pembacaan puisi penyair Sutardji Coulzum Bachri dan Irman Syah. Pengendara motor bahkan rela berhenti di pinggir jalan dan macet gara-gara penampilan kedua penyair ternama itu.

Merindukan ruang kultural


Menciptakan lingkungan bersih, apalagi sungai, tidak sekadar dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat kaku. Masyarakat mesti mendapat pencerdasan akan pentingnya sungai sebagai kebutuhan hidup, serta keindahan dalam tata ruang kota. Untuk itu, setelah Pentas Panggung terapung, Sastra Kalimalang mendirikan taman bacaan.

Dengan sumber daya yang ada, mereka rela membersihkan tepian sungai. Setiap sore, akhirnya banyak orang duduk santai di pinggir kali. Ada yang membaca buku, diskusi, bermain musik atau sekadar diskusi ringan sambil menikmati secangkir kopi. Tak jarang anak Mapala Unisma melakukan kegiatan mendayung sambil membersihkan sampah. Tanpa disadari, meskipun baru di area kecil, sungai telah menjadi ruang kultural masyarakat Bekasi dan memunculkan suasana tersendiri.

Sastra Kalimalang setiap Jumat malam mengadakan diskusi publik di saung sastra dengan peserta dari berbagai kalangan. Butir-butir pikiran mereka tentang sastra dan kebudayaan dituliskan dalam bentuk rangkuman, kemudian diterbitkan di koran lokal maupun blog komunitas. Setidaknya, Sastra Kalimalang turut menginspirasi Dewan Kesenian Bekasi (DKB) melalui kegiatan dan wacana-wacana, DKB lalu mengaktualkan dalam bentuk kebijakan perihal seni di Bekasi. Misalnya, Sastra Kalimalang mencoba membuat semacam ruang kreatif: menghasilkan karya berupa kaus dan pernak-pernik. Hasil karya mereka dipajang di saung, sehingga pengunjung menikmati, komunitas pun mendapatkan profit. Anak-anak jalanan juga dilibatkan, mereka kerap latihan di saung dan membuat lagu-lagu dengan lirik puisi. Gerakan kemandirian ini merupakan salah satu penolakan terhadap anggapan bahwa dunia seni ialah dunia tidak jelas. Sastra Kalimalang ingin mengembalikan sastra pada masyarakat.

(Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas edisi 21 Februari 2012, halaman 35, rubrik Kompas Kampus)
[..]