Kamis, 03 Februari 2011

Mak Yati

Memang bukan sesuatu yang janggal jika orangtua harus merelakan anak-anaknya untuk pergi dari rumahnya; bekerja, berumahtangga—mandiri. Tapi itu hanya anggapan orang-orang saja, sebenarnya hati orangtua selalu rapuh. Ia menangis tanpa airmata, ia akan sedih bukan kepalang ditinggal oleh mereka yang belasan tahun telah dibesarkan dan dibimbing. Ah, betapa berat beban orangtua.

Mak Yati namanya, umurnya hampir 70 tahun, suaminya telah pergi mendahuluinya beberapa tahun yang lalu. Mungkin nasib masih ada padanya, suaminya meninggal ketika delapan anaknya sudah bisa hidup sendiri-sendiri. Ia tinggal di kota kecil bersama anak perempuannya yang ke-lima, Asih panggilannya. Asih adalah anak paling disayang oleh Mak Yati, sehingga dari kecil ia selalu bersamanya.

Semua anaknya sudah maklum dengan perlakuan istimewa ibunya terhadap Asih. Sejak kecil memang Asih berbeda dari saudara-saudara lainnya. Mak Yati kerap memarahi Asih dihadapan anak lainya, tapi itu hanya pura-pura saja agar anaknya yang lain tidak iri. Asih sudah punya suami, anaknya tiga. Suaminya menganggur, pun juga tinggal bersama di rumah Mak Yati.

Gaji pensiunan suami Mak Yati digunakan untuk keperluan dirinya dan keluarga Asih. Ia harus mencuci pakaian sendiri, memasak sendiri, bahkan menghidangkannya buat Asih sekeluarga. Setiap kali anak-anak nya mengirimi uang, berarti uang itu uang Asih juga. Sebenarnya ia sudah tak membutuhkan uang lagi, ia cukup bahagia dan tak berkeberatan menanggung beban hidup Asih sekeluarga. Yang terpenting ia tidak sendiri, ia tidak kesepian.

“Sudahlah Mak, Mak tinggal bersama saya saja. Biarkan Asih yang menempati rumah Mak.” Salah satu anaknya mengingatkan lewat telepon.
“Tidak, aku sudah bahagia tinggal di sini. Kalian tidak usah khawatir padaku. Aku tidak suka jika kalian membenci Asih. Kalian tahu kan? Asih itu berbeda dari kalian, dia tidak mungkin tinggal sendiri.” Mak Yati berkeberatan dengan ajakan anaknya.

“Kan sudah ada suaminya. Masa Emak harus menanggung semua beban mereka? Jika memang Emak khawatir, biarkan gaji bulanan Emak buat Asih.”
“Bukan masalah itu. Aku sudah hidup berkecukupan dengan gaji pensiunan bapak kalian. Sudah aku bilang, Asih berbeda dengan kalian.”

Anak-anaknya selalu berpikir jika ibunya memang tidak adil memberlakukan mereka. Tapi ada yang luput dari anak-anaknya, ia sebenarnya kesepian. Hanya Asihlah yang mampu menemaninya. Jika ia marah, ia tidak segan lagi untuk memaki-maki Asih, itu karena Asih selalu memaklumi dan tak pernah marah jika Mak Yati membentaknya. Lebih dari itu, Mak Yati tidak merasa risih kepada Asih.

Di mata orang banyak, suasana di rumah Mak Yati memang tidak lazim. Para tetangga merasa iba dengan Mak Yati yang telah renta, tubuhnya bungkuk, rambutnya sudah tak menyisakan kehitaman sedikit pun. Pergunjingan tentang keluarga itu rasanya sudah menjadi tema wajib di pagi hari kala ibu-ibu berbelanja pada tukang sayur keliling.

Semua anak Mak Yati sudah berunding agar Asih mandiri, setidaknya bisa menghasilkan uang sendiri dan Mak Yati tidak boleh bekerja berat. Akhirnya mereka sepakat untuk memberikan modal usaha kepada suami Asih agar tidak lagi merepotkan mertuanya. Modal pun diberikan, dan beberapa hari kemudian usaha “kaos kaki” sudah mulai dirintis oleh suami Asih, ia dibantu oleh Asih dan anaknya.

Dengan dimulainya usaha itu, suasana di rumah Mak Yati sudah cukup tenang. Anak-anaknya kembali membujuk ibunya agar mengunjungi rumah mereka di luar kota dalam satu atau dua bulan. Pikir mereka, ibunya bisa berpindah-pindah untuk mengunjungi rumah delapan anaknya itu yang kebetulan satu kota. Tapi hal tersebut lagi-lagi ditolak oleh Mak Yati.

“Kepana sih Mak? Kenapa Mak tidak mau mengunjungi kami?” Suara anaknya agak kesal terdengar dari telepon.
“Mestinya kalian datang ke mari, Asih tidak mungkin aku tinggal sendirian.” Jawab Mak Yati singkat.

“Kami sibuk Mak. Kalau Mak ke mari, nanti Mak bisa bertemu semua anak Mak. Kan Asih sudah ada kesibukkan dengan suaminya?”

“Aku tidak bisa meninggalkan Asih. Aku pun sudah tua begini, sudah tidak kuat lagi pergi-pergi.”

Gagang telepon ia letakkan pelan, ia kehilangan tenaga, tangannya bergetar hebat. Ia pergi menuju kamar, merebahkan tubuhnya di kasur empuk pemberian anaknya. Tapi kali ini kasur yang empuk itu tidak terasa sama sekali, yang terasa hanya kepedihan yang menyiksa tiada henti. Ia meneteskan airmata, entah untuk berapa kali ia harus menangis, sedang dalam senyum pun ia juga menangis.

Ia rasai kerinduan yang membuncah kepada anak-anaknya, kepada mereka yang telah Sembilan bulan dikandung dan belasan tahun diasuh. Mereka bukan lagi anaknya, bukan lagi bocah-bocah yang harus diingatkan atau dimarahi jika membandel. Mereka sudah menjadi milik suami atau istrinya, milik anak-anaknya juga, yang tak kenal dengan neneknya.

Ia rindu suasana seperti dulu kala, saat ia harus mencucikan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Atau ketika ia harus bangun lebih pagi dari mereka untuk menyiapkan sarapan pagi dan seragam-seragam sekolah mereka yang semalaman telah ia setrika. Tapi suasana itu tak lagi ia dapatkan, mungkin tak akan pernah datang kembali. Hanya Asih yang masih menghibur batinnya, masih bisa untuk menjadi tempat mencurahkan rasa keibuannya terhadap anaknya.

Uang sudah tidak akrab lagi dengan dunianya. Dulu ia pernah kesusahan untuk membiayai anaknya yang banyak itu, kesusahan untuk mendapatkan uang. Namun itulah kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang tua untuk anaknya, sehingga mau tidak mau orangtua harus banting-tulang menghidupi anak-anaknya. Tapi haruskah perjuangan itu dibalas dengan uang juga? Apakah kasih sayang hanya sebatas uang?

“Aku yang bersalah! Dari dulu aku selalu katakan kepada anak-anakku untuk rajin, agar dapat hidup bahagia dan berkecukupan. Ya, rajin bekerja!biar kaya! Tapi aku tak pernah mengatakan apa arti kasih sayang, artinya kerinduan. Ah, apa aku kurang sayang terhadap mereka, sehingga untuk sering datang padaku pun tak sempat?” Ia menangis sambil mengutuki dirinya sendiri.

Segala usaha yang dilakukan anak-anak Mak Yati sia-sia belaka. Modal telah diberikan kepada keluarga Asih, namun belum juga membuat Asih mandiri. Malah sekarang adalagi alasan Asih perihal usahanya, suaminya merasa kesusahan jika tidak ada kendaraan. Akhirnya dengan harapan yang besar, motor pun dibelikan untuk menunjang usaha suami Asih.

Sikap suami Asih semakin ngelunjak saja, ia masih saja minta rokok mertuanya. Kali ini suami Asih jarang pulang ke rumah entah untuk keperluan apa. Awalnya sehari, dua hari, sampai-sampai satu minggu baru pulang. Asih tak bisa marah terhadap suaminya, juga Mak Yati sendiri sebagai mertuanya. Mak Yati takut bila tiba-tiba saja suami Asih menceraikan, terlebih ia tahu jika Asih bukanlah wanita yang berpikiran normal. Jika Asih diceraikan oleh suaminya, bukan saja anak-anaknya yang terlantar, tetapi Asih sendiri juga bisa gila.

Suatu hari, di tengah malam, Mak Yati dikejutkan dengan kejadian yang begitu mengguncang batinnya. Orang-orang ramai di luar rumah, beberapa warga mengetuk pintu rumahnya. Pikirnya, tentu ini bukan kejadian biasa, karena tidak mungkin tengah malam ada tamu. Ketika pintu dibuka, kepala Rt hendak menyampaikan sesuatu kepada Mak Yati dengan agak gugup. Tapi belum selesai kepala Rt itu berbicara, Mak Yati telah pingsan.

Satu hari kemudian, semua anaknya pulang ke rumah Mak Yati, setelah mendengar kabar tentang kesehatannya. Mereka melihat ibunya terkapar tak berdaya di kasur. Ketika baru sadar, Mak Yati langsung memanggil-manggil Asih seperti orang ketakutan, tapi Asih tak didapatinya di rumah itu. Yang didapatinya adalah seluruh anaknya yang lain.

“Mana Asih?” Tanya Mak Yati dengan tubuh menggigil.
“Mak, Asih tinggal di rumah suaminya untuk beberapa hari ini.”
Suami Asih di usir oleh warga sekitar. Asih ikut bersama suaminya, tinggal di rumah orangtua suaminya. Ya, Asih tetap setia, meski suaminya diusir warga lantaran ketahuan berselingkuh dengan janda sebelah. Dan Mak Yati akhirnya harus menghadapi kesepian dan ketakutannya sendiri.***

0 komentar:

Posting Komentar