Minggu, 13 November 2011

Menembus Rumah Kaca


1912: Pemerintah Hindia Belanda berhasil menyingkirkan pribumi terpelajar nomor wahid, RM Tirto Adhi Soerjo, dalam roman ini akrab disapa Minke. Kegiatan Minke di lapangan jurnalistik dan pergerakan dianggap Gubermen sebagai ancaman. Sebab, bila gejolak dibiarkan, ia akan menumbuhkan bibit pemberontakan baru, menggangu pula kestabilan kolonialisme. Pergolakan di Hindia ditandai munculnya beberapa organisasi pribumi yang secara diam-diam memimpikan sebuah nasion, bangunan yang mulanya bermodalkan mulut dan pena.

Kolonialisme memang sengaja dijalankan untuk mengeruk kekayaan bumi dan manusia di daerah koloni. Setiap pembangkangan pribumi ialah pertanda adanya pergeseran pemahaman baru, dengan kata lain, terjadi perluasan pandangan. Sedangkan kemajuan berpikir ini sangat bertolak belakang dengan misi kaum penjajah: semakin kaum terjajah maju, semakin terancam pula kolonialisme. Maka pribumi pribumi maju ini mesti dikompromikan, ditahklukkan, bahkan dilumpuhkan. Semakin nyata bahwa penjajahan sama artinya dengan pembodohan.

Pascapembuangan Minke, di Hindia justru bermuculan individu-individu baru, mereka secara terang-terangan berani menantang Gubermen. Mereka lahir dari golongan muda pribumi berpendidikan Eropa. Kebanyakan anak pejabat pribumi. Pelajaran yang mereka dapat di sekolah ternyata berbeda dengan realitas di masyarakat. Mereka berontak dan bertanya-tanya, akhirnya menyimpulkan bahwa penjajahan di tanah mereka adalah bentuk kemunafikan, atau pengingkaran Gubermen terhadap nilai luhur Eropa.

Dilihat segi cerita, roman Rumah Kaca karya Pramoedya merupakan antiklimaks ketiga roman sebelumnya dalam Tetralogi Pulau Buru. Pram membekukan tokoh utama “aku”, lalu menggantikan tokoh lain sebagai pencerita. Tetapi objek pengamatan tetap Minke. Tokoh pencerita, Pangemanann dengan dua 'n', ialah sosok paradoks: Intelejen yang kagum pada target operasinya. Kegamangan Pangemanann juga bisa digambarkan lewat pergulatan batinnya, ia sadar tengah melakukan perbuatan melanggar kemanusiaan, namun ia hanya hamba Gubermen yang mesti patuh perintah.

Dalam operasi intelejen itu—sebelum dan sesudah Minke ditangkap—Pangemanann mengamati detail aktifitas Minke. Pramoedya menyebut sebagai usaha “perumahkacaan”. Pangemanann setiap hari bergelut dengan laporan-laporan, arsip-arsip, atau tindak-tanduk benih terpelajar pribumi. Menariknya, ketiga judul roman sebelumnya—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah—digambarkan di Rumah Kaca sebagai catatan perjalanan Minke sendiri. Catatan ini membuat Pangemanann tercengang, dan akhirnya sibuk memastikan: fiksi atau kenyataan?

Pangemanann gusar. Dalam penelusuran arsip itu ia menemukan tokoh-tokoh luar biasa di belakang Minke. Mereka perempuan, seperti Ibundanya, Nyai Ontosoroh, dan ketiga belahan jiwanya: Annelies, Ang San May, Princess Kasiruta. Namun Pangemanann hanya berhadapan langsung dengan tokoh terakhir, Pincess Kasiruta. Atas perintah Gubermen, Pangemanann mengusir Prinsess Kasiruta dari rumah yang ditempati bersama Minke di Buitenzorg (Bogor).

Setidaknya, pascapembuangan Minke, organisasi sebagai kekuatan dan Medan Prijaji sebagai alat bersuara ambruk. Serikat Dagang Islam (SDI) kelimpungan mencari pemimpin, padahal anggota kian menumpuk. KH. Samanhudi, tokoh penting SDI, memindahkan sekretariat pusat ke Solo, tempat tinggalnya. Tanpa proses yang jelimet, Samanhudi mengangkat terpelajar muda sebagai pemimpin, HOS. Cokroaminoto. Nama SDI kemudian berganti Serikat Islam, berpusat di Surabaya. Pergolakan di dalam organisasi terjadi, sebagian pengikut loyal Minke tak sejalur dengan pemikiran Cokroaminoto, salah satunya Marco—anak buah Minke. Gubermen memandangnya sebagai kesempatan emas, sebab dalam masa peralihan ini Serikat Islam kehilangan taring. Oetoesan Hindia, surat kabar SI asuhan Cokroaminoto, pun tak setajam Medan Prijaji.

Dua organisasi besar di Hindia, Budi Utomo dan SI, lamat-lamat melakukan kompromi-kompromi politik dengan Gubermen. Dua orgnisasi ini tidak lagi jadi ancaman. Tetapi, faham dari Eropa semakin deras menusuk Hindia. Istilah “politik” dan semacamnya yang berbau perlawanan, mulai diresapi terpelajar pribumi. Ki Hajar Dewantara beserta dua temannya Douwes Dekker dan Tjipto Mangun membentuk organisasi bernama Indij Partij. Pergerakannya ditunjang surat kabar bernama De Express. Mereka banyak bergerak di Batavia. Tulisan terkenal Ki hajar Dewantara ialah "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), berisi kritik perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Pangamanann menilai tiga serangkai itu hanya pameran intelektual belaka, sedangkan akar massa mereka lemah.

Di Solo dan sekitarnya, bermunculan nama-nama baru. Mereka diam-diam melancarkan serangan pada Gubermen melalui tulisan di surat kabar. Siti Soendari, terpelajar perempuan, hadir mengejutkan di panggung-panggung pergerakan. Disusul Semaoen, pemuda tanggung anggota SI. Di sinilah, Cokroaminoto kerap disebut pengkader masyhur tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pada saat itu, Marco yang berpendidikan rendah, pun ikut tampil: ia dianggap pembawa warna pemikiran baru dalam tubuh SI. Mereka mulai mengenal isme-isme, seperti komunisme dan nasionalisme: cikal bakal SI Merah, kemudian PKI. Namun akibat pembangkangan itu, banyak di antara mereka diasingkan. Inilah embrio lahirnya bangsa Indonesia, kemudian menjadi daging bernama Sumpah Pemuda.

Nilai Humanisme

Pramoedya menggambarkan pedalaman tokoh protagonis, Jacques Pangemanann, sangat pelik, tapi cerdas. Mendapat tugas berat merumahkacakan Minke, karir Pangemanann melejit. Namun ia mesti bergelut dengan hati nuraninya sendiri: keterpelajaran dijugkirbalikkan menjadi kedunguan. Keharmonisan keluarganya hancur, istrinya menyebut pangemanann “tidak seperti dulu lagi”. Pada waktunya, ia mesti berpisah dengan keluarga tercinta—Madame Pangemanann pulang ke negerinya, Perancis.

Pangemanann mengagumi sosok Minke. Ia menganalogikan Minke dengan Si Pitung, Pitung Modern bersenjata pena. Perasaan sebagai manusia tidak bisa dihindari, ia menganggap dirinya manusia paling keji. Tapi di sisi lain, ia mesti melaksanakan perintah Gubermen. Pergolakan batin Pangemanann tidak selesai di situ, jiwa primordialnya sebagai pribumi Menado membuncah, apalagi ketika saudara sedaerah mengajukan pertanyaan: kapan kita membentuk organisasi kedaerahan, seperi Jong Java? Pangemanann gusar, sebab, bukankah ia bertugas memberangus organisasi pribumi?

Kegelisahan Pangemanann sedikit luruh saat pemerintah Hindia memberi kebijakan, yaitu memproses hukum dan membebaskan buangan, termasuk Minke. Kebijakan itu juga membolehkan organisasi kedaerahan ada, asal tidak membangkang. Mungkin ini salah satu strategi memecah belah daerah di Nusantara, membenturkan primordial yang tengah mendidih. Atas perintah Gubernur Jendral, Pangemanann mempersiapkan pembebasan Minke, tentu saja dengan syarat: tidak membangkang.

Beberap tahun dibuang, Minke akhirnya bebas. Kapal dari Pulau Blacan berlabuh di Surabaya. Pangemanann menemani Minke melihat-lihat tempat ia dibesarkan, naik taxi. Mula-mula dituju Rumah Ontosoroh di Wonokromo, rumah itu sepi, penghuninya tak ada. Di jalan ia juga bertemu Painah, Jongos perempuannya. Painah menangis melihat Minke, majikan itu kini kurus dan nampak tua. Tapi Minke segera pergi. Kapal berlabuh lagi ke Betawi.

Tiba di Betawi Minke lepas dari pengawasan. Sebenarnya intelejen masih mengikuti Minke diam-diam. Minke pergi ke sebuah hotel, di Betawi Pusat. Minke mencari pemiliknya, anak buahnya dulu. Namun hotel itu sudah ganti pemilik, dijual pada orang Arab. Ia menuju Buitenzorg, rumahnya. Tetapi rumah tersebut telah menjadi milik pangemanann. Ia tak tahu istrinya di mana, juga ia tak tahu harus ke mana. Minke kembali ke Betawi, membawa kopor kecil tua pemberian Nyai Ontosoroh.

Pembebasan Minke sama sekali tak muncul di surat kabar, juga di Oetoesan Hindia asuhan Cokroaminoto. Minke berjalan menyusuri jalan-jalan kota serupa gelandangan. Uang padanya tak ada, pemimpin besar ini tersingkir. Dalam perjalanan yang tak menentu itu ia merasa dibuntuti seseorang. Minke semakin cepat berjalan, tetapi sejurus kemudian sejulur tangan menghentikannya. Dia Goenawan Mangunkusumo, teman di STOVIA sekaligus pendiri Budi Utomo. Di rumah Goenawan, Minke beristirahat akibat sakit berkepanjangan. Penyakit Minke semakin parah, Goenawan membawanya ke seorang dokter Jerman di Jakarta. Pramoedya menuliskan, sebelum Minke datang dokter itu diinterogasi orang tak dikenal. Ia diancam agar tidak mengobati Minke. Minke tak bisa diselamatkan, ia meninggal dunia dalam kesendirian, tepatnya pada 17 Agustus 1918.

Beberapa bulan kemudian, seorang perempuan datang ke duta besar Perancis di Hindia. Ia ingin mencari anaknya, Minke namanya. Perempuan ini Nyai Ontosoroh, membawa bayi dan seorang gadis kecil bernama Rono Mellema, keponakan Annelies. Ontosoroh menikah dengan Jean Merais, sahabat Minke. Duta besar itu memanggil Pangemanann agar menunjukkan di mana Minke berada. Pangemanann gugup, ia membawa Ontosoroh ke tempat tinggal terakhir ‘anak’ emasnya itu.

Di makam, Ontosoroh sangat terpukul. Pangemanann tak bisa berkata-kata, ia gemetar menghadapi perempuan agung di balik Minke. Manusia luar biasa pada zamannya itu kini tidur terasing dari sebangsanya. Pesan Ontosoroh pada Minke di masa lalu seolah-olah terucap dalam hatinya lagi: Setidaknya kau telah melawan, Nak. Melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.


0 komentar:

Posting Komentar