Jumat, 06 Agustus 2010

Bali Studytour

menuju gilimanuk

Pagi itu begitu dingin, namun aku sudah terbangun jauh dari itu, bayangan akan keindahan tempat itu selalu menyelimuti hayalku. Gema azhan shubuh mulai berkumandang, ayam-ayam mulai berkokok pertanda bahwa pagi telah datang. Aku tak tahu mengapa setiap pagi ayam-ayam itu selalu ramai ketika pagi datang, Seakan mereka memperingatkan kepada manusia bahwa matahari akan segera turun. Di luar sana juga terdengar kicau burung-burung,suaranya tak seperti kokok ayam yang terdengar seragam, suara kicau burung terdengar lebih melengking dan kecil karena memang burung-burung itu mempunyai suara khas masing-masing.
Di kamarku, Mama sibuk mengecek ulang barang yang akan aku bawa, sedang Bapak nampaknya sudah siap mengantarkan aku, menggunakan jaket kulit tebal itulah kebiasaan Bapak ketika hendak bepergian. Pukul 05.00 aku berpamitan kepada Mama dan dengan sepeda motor aku diantarkan Bapak. Udara pagi begitu sejuk, jalan raya Pemalang masih begitu sepi, namun dinginnya pagi tak bisa lagi kuelakkan, mungkin karena aku mengenakkan celana pendak yang sengaja aku pakai agar gerakku longgar.


Kucium tangan Bapak untuk berpamitan, nampak di sekolahku sudah ramai tentunya anak2 yang hendak mengikuti Studitour, aku memasuki gerbang dan kutemui disana teman2 yang telah menunggu. Kami langsung menuju ke Aula untuk acara lain-lain. Sedang di luar sana telah terlihat dua buah Bus Pariwisata, dan setelah persiapan lain-lain akhirnya pukul 06.00 kami berangkat setelah pelepasan Kepala Sekolah serta doa bersama. Lambaian tangan terlihat dari balik kaca bus, kulihat Kepala sekolah serta orang tua murid yang ikut mengantar ke sekolah dengan rona muka yang haru.


Dalam hati aku berdoa, agar diperjalanan tidak terjadi apa-apa. Aku duduk di bagian tengah, bersama temanku Ari dan Aris, keduanya nampak girang sekali. Ari yang biasanya murung nampak lebih ceria, sedang Aris termangu di dekat kaca melihat keluar. Aku sendiri diam, dalam benakku kubayangkan pulau Dewata yang indah bersama para Turisnya. Rasanya sudah tak sabar menantikan indahnya pulau itu.Aku masih saja kikuk, maklum saja aku baru pertama kali hendak menginjakkan kaki di Bali sedang gambaran Bali hanya biasa aku lihat di layar kaca. Hatiku terus berbisik, ”Bali aku akan datang padamu.”


Bus tetap melaju, tak perduli dengan segala macam perasaan penumpangnya, yang kulihat bus telah melewati batas kota Pemalang. Di depan sana, terlihat teman-teman wanita, ada yang sibuk makan makanan ringan, mendengarkan musik bahkan ada yang sedang asyik dengan pacarnya. Mereka terlihat sangat menikmati perjalanan, diperkirakan perjalanan akan sampai dini hari. Sungguh lama perjalanan ke-Bali, rasanya kita dituntut menghibur diri didalam bus. Entahlah, kami merasa sangat menikmati ini.

Sebenarnya aku cukup gelisah, aku yang tak satu bus dengan dia membuatku resah. Sesekali aku ingin melihat wajahnya walau hanya di tempat peristirahatan, dia tak tahu aku selalu mengamatinya. Semenjak masuk Sma aku memang telah mengaguminya, tapi hatiku yang teramat kecil membuatku semakin gelisah tanpa seorangpun tahu. Aku berharap perasaannya sama dengan yang aku rasakan, senyum yang kadang tertuju padaku membuatku semakin gelisah. Arggh.. masa aku jatuh hati?


Sepanjang perjalanan kami hanya ngobrol ngalor-ngidul, sesekali Pemandu wisata berceloteh dengan gaya khasnya. Tak terasa sudah sampai di Jawa Timur waktu maghrib, kamipun beristirahat sejenak dirumah makan. Temanku Derta tergesa-gesa mengajakku turun untuk makan.” Ah dia selalu yang di pikirkankan perut saja”bisikku dalam hati dan dengan kepala kugeleng-gelengkan, katanya takut tak mendapat bagian, ada2 saja. Akhirnya kamipun turun bersama-sama, teman-teman sekelasku memang sangat kompak terlebih urusan isi perut.


Setelah makan, kami hendak menuju kedalam bus, rasanya sudah puas melahap kudapan malam waktu itu. Entah kenapa kami merasa sering lapar walaupun di dalam bus kita sering sekali makan jajan. Namun di sela2 waktu aku gelisah mencari sesuatu, pandanganku kuarahkan kesemua sudut berharap bisa melihatnya, sayang sekali pandanganku tak menemukannya. Kuayunkan kakiku menuju bus,l ampu penerangan yang redup membuat suasana menjadi sangat romantis. Mataku terasa lelah, pandanganku mulai kabur, dan saat itu aku terlelap.

“Res bangun, dah nyampe Pelabuhan” suara Ari membangunkanku,mataku masih terasa berat untuk terbuka, kulihat jam sudah menunjukan waktu dini hari. Akhirnya kami pun turun,walau mataku masih terasa berat untuk terbuka. Pandanganku terhenti pada lampu-lampu yang menyala diseberang laut sana. Saat aku berdiri di kapal untuk menyeberang di pelabuhan Gilimanuk, saat itulah aku melihat pulau Dewata diseberang sana.


Menyeberang ke pulau Dewata

Angin begitu kencang, suara ombak terdengar menderu-deru, bulanpun tak malu untuk tetap bersinar. Di seberang sana pulau Dewata telah memancarkan sinarnya lewat lampu-lampu yang dari kejauhan terlihat seperti taburan bintang, di sisi lainnya pulau itu nampak seperti pulau angker,bukit2 yang tanpa lampu serta pepohonan besar terlihat bergunung-gunung tanpa penyinaran. Sehingga yang nampak seperti batu karang besar di tengah samudra lepas. Suasana Gilimanuk sangatlah nyaman, walaupun di sana sini banyak orang untuk menyeberang, suasana Pelabuhan yang ramai kami nikmati dengan perasaan senang.


Aku berjalan kearah depan kapal, terlihat di bawah banyak kerumunan orang, berenang dan sesekali berteriak-teriak. Mereka adalah Perenang Koin, mereka berebut uang koin dengan para perenang lainnya, koin-koin yang diberikan oleh para penumpang dengan cara dilemparkan ke laut. Dengan gayanya yang khas mereka terlihat mahir dalam berenang, liukan badan serta gerakan kaki serasa berpadu menopang badan hingga terapung ditengah derasnya ombak. Mungkin inilah salah satu budaya orang pelabuhan, disamping mencari uang mereka sangatlah menghibur para penumpang.


Aku lihat teman-teman asyik memotret, namun aku masih saja termangu didepan kapal. Sedikit demi sedikit kapal mulai menjauh dari daratan, para Perenang Koin mulai bangkit dari air, kembali bergabung dalam kerumunan orang dan hilang dari penglihatan. Angin menjadi bertambah kencang, maka aku putuskan untuk masuk kedalam kapal bersama teman-teman. Duduk bersama di dalam kapal serta menikmati ayunan ombak yang begitu terasa.


Di sudut sana pandanganku terhenti pada sosok yang rasanya telah beberapa waktu tak terlihat dari pencarianku, itulah dia, ya,, Dia yang selalu aku cari dan aku kagumi. Dia duduk sendiri, ada gejolak batin ingin mendekat namun hatiku kembali mengecil tak berani.D alam keraguanku tak sadar Dia telah mengamatiku, dia berikan senyum indah itu. Oh tuhan, ,aku begitu tersipu, kualihkan pandanganku dan kembali bergabung dengan temanteman walau senyumnya masih jelas melekat dalam ingatanku.


Waktu di kapal kami gunakan untuk bercanda dengan teman2, dan membayangkan akan pulau Dewata yang sebentar lagi akan segera sampai. Terkadang aku masih tak percaya akan menginjakkan kaki diBali, Bali yang hanya aku lihat dalam hayal dan terekam dalam ingatan ketika aku melihat pulau Bali dalam layar kaca. Suara kapal terdengar mendengung, deru ombak menjadi semakin pelan, bintang-bintang yang tadi aku lihat kini telah menjadi lampu-lampu yang terang. Pohon-pohon yang menggunung kini jadi bukit hijau yang indah. Disana aku lihat orang beraktivitas, para Penjaja makanan dan minuman serta pengamen nampak terlihat bersorak-sorai.


Kami, dari kapal yang kami tunggangi telah terlihat aktivitas di daratan, matahari mulai membuka celah cahaya,sepertinya menyambut kedatangan kami. Wajah-wajah kusam kini terlihat bersinar, bahkan sebagian temanku ada yang berlari kegirangan seperti anak kecil. Aku, dan teman2ku tersenyum bangga, kakiku tergerak semangat menuruni tangga kapal, melewati jembatan tua, manyusuri lorong-lorong pelabuhan. ”Akhirnya aku menginjakkan kaki di Pulau Dewata”bisikku dalam hati penuh kemenangan

0 komentar:

Posting Komentar