Minggu, 22 Agustus 2010

Orang-orang malang

Siang tadi, aku duduk di depan layar kaca. Menunggu bedug maghrib dan buka puasa, sembari melihat acara-acara Tv yang terlihat monoton sejak dulu. Tapi sore itu, ada yang berbeda dari biasanya. Sebuah stasiun Tv mewartakan berita yang bertajuk kemiskinan. Seorang wanita paruh baya mengais sisa-sisa makanan para Karyawan di sekitar kawasan pabrik. Beberapa anaknya ikut bersamanya. Tak mudah memasuki halaman pabrik, ia harus melompat lewat pagar


Nasi-nasi serta lauk bekas ia pungut, dimasukan di sebuah kantong plastik hitam. Ia tak pernah risi ataupun jijik dengan hal itu. Ini dilakukannya semata-mata karena persoalan perut yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Anak- anaknya masih kecil, sedang ia hanyalah seorang janda.


Rumahnya terletak di sekitar Tempat Pembuangan sampah, sebuah daerah di Ibukota Jakarta. Itupun bukan rumah sendiri, melainkan rumah kontrakan, karena di daerah itu kontrakan murah.. Di sana, terlihat genangan-genangan air di depan rumahnya. Kamar mandi yang digunakan bersama orang sekitar begitu tak layak, kotor, bau tak sedap, banyak lalat. Hal ini menjadi sesuatu yang sudah lazim untuknya.


Nampak wajah-wajah polos tak berdosa menunggu dengan gelisah. Adalah anak-anaknya yang masih kecil. Mereka menunggu hasil usaha ibunya mencari makanan sisa, mereka lapar, mereka butuh makan. Ketika ibunya kembali, rasanya kegelisahan itu terbayar dengan senyum tak terbatas.


“ yah gimana lagi, saya tidak punya uang untuk beli makanan. Nasi ini masih enak, dan anak-anak juga senang” pernyataannya ketika di tanyai oleh seorang reporter. kata-kata itu mengingatkan aku pada pidato Presiden kemarin. SBY mengatakan jika gaji Pegawai akan naik beberapa prosen. Dengan alasan mensejahterahkan rakyat.


Hal itu tentu menjadi sebuah pertanyaan, siapa sebenarnya rakyat Indonesia? Apakah orang seperti mereka yang keksusahan makan bukan rakyat?. Aku miris dengan hal ini, aku merasa keadilan belum bisa ditegakkan dengan baik. Masih ada pengkelasan, “mana yang Anak Tiri, mana yang Anak Mas” .Kemiskinan telah melebar di berbagai sisi Indonesia, sedang pemerintah tak kunjung memperhatikan rakyat.


Dan ironinya, mengapa masih ada orang kelaparan di antara pabrik-pabrik industri? Seharusnya mereka haruslah lebih makmur karena adanya tunjangan untuk masyarakat sekitar, baik ekonomi ataupun kesehatan yang diserahkan oleh pabrik kepada pemerintah daerah. Kemana perginya tunjangan itu?


Negara yang begitu kayanya kini diubah menjadi negara Pengemis, pabrik-pabrik besar sebagian di kuasai oleh asing, modal-modal besar serta aset di Indonesia adalah milik asing. Lalu dengan demikian rakyat yang berkualitas hanya sebagai mesin dengan upah yang murah. Bagaimana dengan rakyat yang bodoh akibat pendidikan mahal di Indonesia? Kalau yang pintar saja hanya dijadikan mesin dengan tenaga murah.


Orang-orang miskin seperti mereka hanya tahu tentang bagai mana hidup menghidupi. Tak peduli lagi dengan harga diri dan rasa malu. perasaan tentang jijik dan kotor tak lagi dipedulikan mereka. Asal bisa mengisi perut saja itu sudah cukup. Dan sudah jelaslah jika kesehatan merekapun tak bisa dijamin.


Seharusnya para Tuan-Tuan Elit politik kita harus bisa menelisik lebih dalam akan kemiskinan yang melanda bangsa ini. Seperti kata Bung Karno” Saya adalah penyambung lidah rakyat”. Itulah yang harus dilakukan para Tuan-Tuan Elit politik kita, menjadi pendengar suara rakyat. Tak perlu bertriliun-triliunan untuk mensejahterahkan rakyat.


Jika para Tuan-Tuan Elit politik kita punya hati dan rasa, pastilah mereka tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memecahkan persoalan bangsa ini yang terlampau kacau. Bukan hanya mengeluh dan mengeluh tentang segudang persoalan yang tidak jelas. Mereka yang lapar saja masih bisa untuk berpikir jenih, walau perasaan mereka kian remuk. Aku hanya bisa bersedih, ternyata para pemimpin kita tidak sayang kepada kita orang yang malang.

0 komentar:

Posting Komentar