Kamis, 21 April 2011

Ketidakmampuan

Sekarang 31 Desember 2010, esok tanggal sudah akan menjajaki tahun baru, 2011. Dan aku? Aku belum berani untuk melangkah ke dunia yang baru. Sekalipun Bapak terus saja menyokong dengan semangat yang tiada henti, menyuruhku untuk bergerak lagi, belajar untuk berlari, dan terbang. Ia tak mampu untuk membantu dalam hal materi, namun bagiku itu bukanlah hal yang teramat penting. Bapaklah pahlawan dalam ragaku, dia roh yang telah membangkitkan semangat hidupku. Ketika banyak temanku yang dengan perlahan mencekik urat kehidupanku, Bapaklah yang dengan “perlahan” melepaskan genggaman tangan-tangan jahat yang menempel di leherku, di sekujur tubuh molekku, agar aku dapat bernapas dengan lega. Tangan-tangan itu seperti tumbuh, berkembang, dan berakar.

Beberapa hari yang lalu, kira-kira hari Senin, tanggal 27, usiaku sudah 20, seekor lalat hinggap di pusarku. Malam itu ketika kernyap-kernyap kubuka mata sedikit dengan enggannya, kulihat beratus-ratus lalat kecil beterbangan, berputar seperti angin topan kecil. Kukira itu hanya mimpi,tidak kuhiraukan. Aku tertidur lagi. Namun beberapa detik kemudian, kurasakan pusarku geli, seakan ada yang menggelitik. Rasa geli itu tidak hanya terasa di pusarku, namun ia dengan riangnya menjalar hingga seluruh perut. Jalan terus ke atas, dan dadaku juga ikut terasa geli, rasa geli itu berakhir di bagian atas leher. Yang kuherankan, bagian bawah tubuhku tidak merasakan pengalaman ini. Aku punya kebiasaan buruk sedari kecil. Ketika tidur, tidak pernah mengenakan baju. Panas, kilahku ketika Ibu menyuruhku mengenakan baju, takut kalau anaknya masuk angin. Ternyata yang hinggap di puserku itu adalah seekor lalat muda. Kulihat wajahnya tidaklah sama dengan sekelompok lalat lainnya. Ia tampan, gagah, dan menarik. Posisinya menghadap ke wajahku. Lama aku ditatap lalat berwajah tampan itu. Aku diam dalam kantukku. Tapi aku masih sadar ketika ia mulai bersenggama dengan asyiknya, bersetubuh dengan pusarku. Aku merasa heran, aku pun dapat merasakan persenggamaan itu. Karena merasa nikmat, aku diam. Aku melanjutkan tidurku dalam kelam.
Esok paginya kulihat si lalat sudah tidak lagi bertengger di atas pusarku, namun ketika aku berbalik badan, kulihat si lalat terkapar mati di lantai. Di sebelahnya, beratus-ratus lalat, teman-teman dari lalat yang membuatku asyik tadi malam, mati juga. Mereka seperti gunungan…lalat. Di dekat pintu kulihat semprotan serangga masih mengepulkan sisa-sisa asap mematikan bagi golongan insekta. Artinya mereka baru saja dibasmi. Siapa? Bapak? Tak mungkin. Itu tak jadi masalah bagiku, aku menjadi ingat bahwa aku takut serangga. Serangga menjijikan, apalagi lalat.
Di kampus aku mulai dijauhi teman-teman, katanya tubuhku berbau busuk, bau pelacur, bau murahan. Ada yang bertanya, “Tadi malam kau bersenggama dengan lalat?” Aku diam dalam ketidakpastian. Bingung mau jawab apa. Tadi malam aku masih mengantuk, setengah sadar, namun memang merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak ada yang mau mengajakku makan siang, tak ada yang mengajakku menonton pertunjukan seni, tak ada yangt mengajakku berbicara , tak ada yang mau mendekatiku. Tubuhku bau, berbau lendir kenistaan karena telah bersenggama dengan binatang. Apa mereka menyaksikannya? Entah, aku tak peduli.

Malamnya, aku merasakan sakit luar biasa pada bagian “anuku”. Aku buka celanaku, untuk memastikan “anuku” itu baik-baik saja. Rasanya panas, perih, seperti kena raja singa. Taklah mungkin, aku belum pernah gonta-ganti pasangan. Aku menanggalkan celana, dan untuk beberapa lamanya tidak mamakainya lagi, sakit kalau tergesek. Sekitar sejam kemudian kulihat sesuatu seperti akar menjalar cepat, tumbuh dari “anu”ku, membungkus tubuhku dengan eratnya, seperti tak rela berpisah. Sesuatu itu mulai memanjat, ke pinggul, perut, dada, merajai leherku, namun berhenti, tak sampai daerah muka. Bagian tangan dan kaki bebas, hanya sebatas paha dan bahu. Ketika berjalan, aku merasakan berat. Sesuatu itu rupanya berbentuk tangan.

Tak ada yang dapat melihat tangan-tangan itu tumbuh melalui vaginaku. Tak ada yang melihat bahwa sekarang tubuhku menggumpal seperti babi. Hidupku mulai dikelilingi rasa bersalah, menyesal, malu. Tenggorokkanku sakit pula, merasa radang, kepalaku terus saja berputar , terus berputar. Badanku terasa ada yang meremuk dari dalam. Tulang keringku berdenyut, bengkak, membiru. Bibirku kering, pucat. Aku memilih mati, daripada hidup dengan rasa seperti ini, menyiksa. Hanya Bapak yang melihat keanehan ini. Dia marah. Matanya melotot garang ke arahku, merah. Otot-otot kelembutannya hilang, ia menjadi seseorang yang begitu kutakuti, aku melangkah mundur, dan ia dengan segera menangkapku dengan cekatan. Menarikku sampai dekat dengan wajahnya. Ia mendesis seperti ular. Aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Yang kutahu, saat itu tubuhku menjadi terasa terbakar. Dan memang benar-benar terbakar. Panas. Aku menjerit sejadi-jadinya. Melolong minta tolong seperti serigala melolong di kala melihat saudaranya mati ditembak pemburu. Tak ada sama sekali yang menolongku. Tak mungkin jika para tetangga tak ada yang mendengar . Enggan mungkin. Tembok-tembok rumah mulai retak karena lolonganku. Akhirnya pecah berkeping-keping. Akibatnya, ruang keluarga rumahku menjadi bersatu dengan ruang keluarga tetangga sebelah. Tetangga yang kaget, melengos melihat tubuhku terbakar, melihat Bapak sedang menjulurkan lidah ularnya yang bercabang dua, sedang menjilati sekujur tubuhku. Otot-ototnya membuat dia terlihat gagah, kuat. Aku tak berdaya dalam cekalannya. Diam dalam kesakitan yang amat sangat. Tetanggaku yang baru menikah beberapa minggu lalu ini menjerit ketakutan, lari ke luar rumah. Bapak mengangkatku tinggi, hanya dengan tangan kirinya. Mengaum seperti harimau jadi-jadian. Mengamuk, mengguncang tubuhku, ke kanan, dan ke kiri. Mengocokku dengan dahsyatnya. Aku mual, mual sekali.

Aku muntah, sesuatu benda yang ukurannya lumayan besar keluar dari mulutku, terbungkus lendir bening membungkus benda itu. Tahukah kau itu apa? Berpuluh-puluh lalat berbentuk gumpalan yang menjadi satu melambaikan tangannya, berusaha meminta tolong. Bapak menginjaknya dengan marah masih menempel dalam jiwanya. Setelah yakin makhluk-makhluk itu mati, ia menatapku dengan bangga. Bangga karena telah menyelamatkan nyawa anaknya sendiri.

Saras, Jatinangor, penghujung tahun

0 komentar:

Posting Komentar