Jumat, 28 Oktober 2011

Lepas


I
Aku pulang. Sayur bening, ikan laut, tempe, sambal, ada di di meja makan. Masakan Ibu untuk makan siangku. Aku senang semua telah disediakan. Ibu tak begitu kerepotan menjamuku setiap hari dengan menu seperti ini. Sebab, semua murah, semua ada. Tetapi diam-diam aku sudah merasa gentar. Barangkali suatu saat nanti aku kehilangan semua itu.

“Cepat-cepatlah kamu makan. Ibu buatkan spesial untukmu,” katanya menyambutku pulang sekolah.

Ibu girang bukan kepalang. Masak siang habis diganyang. Aku. Aku yang mengganyang. Dengan lahap aku gurisi tulang-tulang ikan laut kesukaanku. Dengan pongah aku sikat sayur dalam cawan. Tempe di piring habis. Sambal di layah ludes.
“Lekas tidur, malam belajar.”

Selesai. Aku lompat dari kursi di ruang makan. Menuju dapur bersihkan tangan dan mulut. Ibu mengiringiku dari belakang membawa peralatan makan yang habis aku pakai. Aku melangkah mundur, Ibu melilitkan kain di pinggangnya, menyalakan kran, lalu menyuci.

Hampir setiap hari seperti itu. Ibu, begitu memperlakukanku dengan manja penuh kasih sayang. Aku bahagia berdua dengan ibuku, tak pernah aku sesalkan ayahku yang pergi entah kemana setelah usahanya hancur.

Orangtua ibuku mengusirnya. Selama ini ia hanya memanfaatkan kekayaan Ibu saja. Lalu diam-diam mendua dengan wanita lain yang aku tahu itu adalah ibu teman lelakiku. Janda. Suaminya kabur lantaran istrinya kegatelan dengan pria lain. Mungkin ayahku masuk daftar garapannya.

Mana mau aku dengan anak janda itu. Biar dia gagah dan rupawan aku tak peduli. Biar dia bilang cinta setengah mati aku tak ada urus. Yang aku tahu ibunya merebut ayahku. Terlebih menyakiti ibuku yang pendiam dan tak pendendam. Ibuku yang tentu lebih cantik dari si janda.

Aku tak pernah mencari keberadaan ayahku yang lari bersama wanita lain. Bila aku merindukan ayahku berarti sama saja aku menyakiti hati ibuku. Dan, setelah waktu berjalan serta orangtuaku resmi bercerai, nyatanya kami bisa hidup bahagia. Meski berdua. Meski tanpa keluarga yang utuh.

Satu tahun berlalu.

Tiba usiaku enam belas tahun. Sekolah menengah pertama tutup sudah. Seragam putih abu-abu menyambutku penuh kehangatan. Sekolah favorit. Tak sia-sia ibuku mengatur sedemikian rupa perihal sekolahku. Rewel. Bawel. Itu hal yang biasa bagiku. Makan ini. Makan itu. Bergizi katanya, bikin otak tambah cerdas.

Awas. Jangan pacaran dulu, nanti bahaya mengancammu. Pesannya.

Aku nurut. Dan bukankah dalam sebuah perjuangan besar dibutuhkan kefokusan yang besar pula? Maka, pergaulan benar-benar aku perhatikan. Mana teman, mana lawan, dan mana sahabat sejati. Kadangkala teman bisa jadi ancaman, sebab ia diam-diam tahu segala yang aku impikan dan strategi seperti apa yang hendak aku lakukan.

Naik kelas. Peringkat pertama. Ibu yang mengambil raportku. Pujian dari wali kelas menghujani ibuku. Ia puas aku pun puas. Nah, ini baru anak Ibu. katanya memujiku sekaligus membanggakan diri sendiri.

Bukan anak Ayah, Bu? celetukku. Ah, ayahmu tak pernah merasakan sakitnya mengandung selama sembilan bulan, melahirkan, dan membesarkanmu. Jawabnya mantap.
Setahun aku lalui lagi dengan baik. Kelas tiga. Tak lama lagi ujian. Ibu semakin semangat mendukung dalam pelajaranku. Kesehatanku juga diperhatikan benar-benar. Katanya, aku harus bisa masuk sekolah dokter.

“Dokter, Nak. Nanti kamu bisa mengobati banyak orang. Bisa bermanfaat buat orang lain. Barangkali bila Ibu sakit kamu yang mengobati Ibu.”

“Kenapa harus dokter, Bu?” tanyaku.

“Selain mengobati secara fisik, kamu juga bisa mengobati pasienmu secara psikis. Kamu, Nak, akan banyak menghadapi kenyataan batin yang mencekam ketika melihat sebuah realitas di dunia kesehatan kita. Itu yang lebih penting. Kepedulian. Toh apa gunanya mengobati badan seseorang tapi jiwanya masih ancur. Kamu mesti lakukan itu kelak.”
Ucapannya masih tak aku mengerti. Begitu polos, tapi menyiratkan teka-teki hidup yang pelik.

Sebenarnya aku ingin menjadi pendidik. Aku bisa mengajarkan ilmuku kepada anak-anak bangsa yang sebenarnya pintar, tetapi miskin. Itu cita-citaku di masa depan. Membangun sekolah yang berkualitas, dengan biaya semurah mungkin. Gratis kalau bisa. Namanya juga cita-cita. Asal aku mau meningkatkan kualitas, bukankah mimpi itu akan cepat menjadi realitas?

Waktu bergulir. Ujian beberapa bulan lagi. Dan, kumatangkan bahwa menjadi dokter adalah targetku sehabis lulus. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa merasionalisasikan keinginan ibuku. Menjadi dokter sebenarnya juga menjadi pendidik, sebab tanpa badan dan jiwa yang sehat aku yakin generasi muda di bawahku terpelanting dalam impian absurd.

Tetapi jalan tak semulus yang aku duga. Kakek, ayah ibuku, membawa seorang lelaki ke rumah kami. Ia mengenalkan kepada ibuku. Aku taksir umurnya sepadan dengan ayahku. Perkiraanku tepat, ia hendak dijodohkan dengan ibuku. Alasannya klasik sekali: ibuku harus punya pendamping hidup agar tidak kesepian setelah aku tak lagi di rumah. Tambah kakekku, lelaki itu konglomerat.

Puh! Sekenario macam apa ini? Aku coba tak peduli. Tetapi aku juga kasihan pada ibuku. Aku rasa Ibu masih trauma dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Ibuku sempat mengeluh di hadapanku, dan…menangis. Tapi Ibu, apalagi aku, tak bisa mengelakkan keadaan ini.

Ibu luluh. Bukan luruh pada lelaki itu, tetapi pada kakekku, ayahnya. Negosiasi diajukan Ibu kepada kakek.

Biar Rinjani lulus sekolah dulu, agar ujiannya tak terganggu. Kata ia pada kakek. Namun lagi-lagi usaha itu kandas.

Sebulan lagi aku ujian. Ibu benar dinikahkan dengan lelaki itu.
Tetap fokus, Nak. kata Ibu padaku. Aku tambah tak peduli, lebih tepatnya tak mau cita-cita masa depanku raib.

Ha? Punya anak?

Baik. Aku tetap sabar. Lelaki itu membawa anaknya—seorang gadis di bawah umurku. Mereka tinggal di rumah kami.

“Kamar kamu pindah di belakang ya, Nak. Seminggu lagi kamu ujian, agar tidak terganggu,” kata ibuku cemas.
“Kamarku?”
“Buat Zumi, adik barumu.”

II
Seminggu tersalip. Ujian terlampaui tertib. Dua minggu awal mereka masih ramah padaku. Aku angkuh. Hatiku belum luruh. Sebulan terlewati, ujianku lulus dengan nilai memuaskan, Ibu bangga. Dua minggu selanjutnya, aku diterima di sekolah incaranku. Pintu gerbang menjadi dokter terbuka sudah. Tinggal menunggu waktu, aku hidup sendiri. Mandiri.

Beberapa hari lagi aku menjelajahi dunia baru. Segalanya baru. Biarlah yang terjadi terjadilah. Aku hanya punya Ibu, ayah tak punya, adik tak punya. Hanya Ibu. Titik.
Menjelang keberangkatanku ke Ibu Kota aku mendapat sepucuk surat khusus. Pengirimnya dari Jakarta. Aku baca sendiri di kamar dan Ibu tak tahu.

Ayahku!. “Kamu tinggal bersamaku atau kamu tinggal dengan ayah barumu?” sepotong kalimat dalam suratnya. Ia sekarang tinggal di Jakarta, menikah dengan bule dan mempunyai seorang anak. Biasa saja bagiku. Aku ingin bebas dari siapa pun. Bebas dan lepas.

III
Lingkungan baru. Dunia baru. Iklim baru. Ai, alangkah indahnya bumi intelektualku ini. Akhirnya jalan awal keinginan ibuku telah kupijak. Jaga keseimbangan, hemat tenaga, jalan masih panjang.

Seminggu berjalan aku mendapat cukup teman. Tetap ingat pesan Ibu, mana kawan mana lawan. Beberapa waktu aku pun asyik dengan duniaku sendiri. Seolah-olah, tempat di mana aku dibesarkan telah moksa, ia remuk hilang bentuk. Tapi ternyata Ibu muncul dalam tidur malamku. Aku bertemu Ibu, membawa raut wajah kesukaran. Dalam mimpi itu juga aku dipeluknya erat-erat, bagai induk ayam yang tak rela itiknya tersentuh oleh tangan manusia. Lalu ia tatap tajam kedua bola mataku, mengangguk, dan tersenyum rapuh.

Pagi menjelang. Kuambil hanphone di samping badanku. Ada pesan singkat.

“Ibu hendak ke tempatmu hari ini, Nak.”

Sebelum berangkat kuliah aku titipkan kunci pintu pada ibu kost. Pikirku, sore hari tepat aku pulang pasti Ibu sudah ada di rumah. Tapi dengan siapa? Lupakan. Berdoa saja, semoga Ibu selamat dalam perjalanan. Sebenarnya aku cemas. Aku takut ayahku menghadangnya di Soekarno-Hatta.

Kecemasan itu ternyata tak beralasan. Aku menemui Ibu dalam kondisi baik-baik saja. Aku lihat ia masih bersua dengan ibu kost yang lebih dulu aku kasih tahu bahwa ibuku dari Solo hendak datang ke Jakarta.

“Nak..duh, kamu baik-baik saja kan?” ia mendaratkan ciuman di pipi. Memeluk, melepas, pegang wajahku, diciumnya lagi, lalu peluk lagi.

“Ah, Ibu, aku baik-baik saja kok,” Jawabku.

Ibu sangat senang bertemu dengan anaknya ini, anaknya yang sudah lepas dan bebas. Sebentar lagi terbang. Petik mimpi ini, petik mimpi itu. Seperti di taman Firdaus. Maka, setelah kami menumpah kangen, makan malam berdua, tibalah saatnya bercurah rasa.

“Ibu kini sendiri, Nak.”

“Maksud Ibu?”

“Sudah cerai dengan dia. Pembantu kita hamil dan minta pertanggungjawabannya,” wajahnya berubah layu.

Belum selesai juga permainan Rahwana-Rahwana modern ini. Bangsat! Umpatku dalam hati. Dulu baik, sekarang buruk. Dulu teman, sekarang lawan. Benar juga ucapan ibuku. Dan lebih benar lagi ibuku yang membuktikan sendiri.

“Tanah Bapak dijual olehnya,” tambahnya lagi. Ibuku meratap pilu. Mataku menyala. Hatiku panas. Ingin kuluapkan angkara-murkaku ini agar semua orang tahu bahwa lelaki memang brengsek. Tapi aku ingat ucapan seorang dosenku ,”Cendekia harus bisa menghadapi segala permasalahan dengan kecendekiaannya juga.”

Mari Bu. Mari kita lepaskan diri sebagai hamba-hamba mimpi buruk. Mari Ibuku, kita mesti bangkit.

IV
Enam bulan kulangkahi. Ibu mengabariku: ia hamil empat bulan. Aku kaget. Tapi, pikirku, lebih baik aku punya adik dari darah ibuku. Daripada punya adik yang sama sekali tak ada hubungan darah denganku. Keduanya memang buruk, tapi lebih baik kami dengan keadaan seperti ini.

Tiga bulan kali enam.

Aku tak mendapatkan perhatian lagi seperti dua tahun silam. Ibu berubah. Ia membagi kasihnya pada adikku, ia curahkan penuh kerepotannnya untuk si kecil itu.
Biarlah. Aku harus mulai berpikir bahwa bukan lagi aku yang menuntut hak kepada Ibu. Tapi berpikir bagaimana aku bisa membaktikan diri padanya. Aku harus lulus kuliah dengan prestasi yang gemilang!

***
Aku tak berani menatapnya, di hadapan wanita tangguh ini aku begitu gentar. Tidak. Tidak garang. Tapi matanya. Ya, mata itu sangat tajam menusuk hingga segala-gala keterpelajaraanku runtuh dalam sekejap. Aku masih ingat.

“Padahal satu tahun lagi kau lulus. Ah, Nak, adikmu pun bakal mengelak bila nanti dipanggil Bibi. Masih sekecil itu,” aku tahu ia begitu terluka.

Kurasai tubuh ini rubuh dalam kenang. Suara itu masih menggema dan tak mau hilang. Sepuluh tahun yang lalu, di negeriku nun jauh di sana. Dan ternyata sampai di kepala tiga usiaku aku belum bisa berbuat apa-apa untuknya: negeri yang pertama kali mengenalkan penderitaan padaku.

Juga Ibu, aku tak pernah tahu kabarnya lagi.
***

“Sayang, sudah siuman kau?” Jack memelukku dari belakang, lelaki yang bukan suamiku. Lelaki yang mau mendengarkan ceritaku.

Bekasi, 2010.

0 komentar:

Posting Komentar