Selasa, 17 Agustus 2010

Sudahi Dongeng Para Pembesar

Indonesia 65 tahun. Lalu, benarkah kita masih membutuhkan cerita para pahlawan yang sudah kita kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar: tokoh-tokoh yang termasyhur, pemimpin rakyat dan sederet komandan pasukan?. Jika masa lampau macam itu yang selalu kita kenang, bisa jadi sejarah bangsa ini selesai dengan serangkaian riwayat para pembesar dan penguasa. Atau, seperti cerita sandiwara keliling di kampung. Di panggung, yang menonjol cuma peran para raja, majikan dan hulubalangnya. Unsur lain hanya diwakili oleh para orang "suci" dan para kerabat raja. Kita pun lupa bahwa perjuangan sebesar perang kemerdekaan pastilah melibatkan jutaan manusia Indonesia: pegawai kecil, prajurit rendahan, petani, guru, santri, ustadz, tokoh rohaniawan, buruh serabutan, dan bahkan anak-anak tidak berdosa. Tidak hanya kerabat para elit waktu itu.


Tapi kita agaknya terlampau gemar mengenang dongeng para sultan dan raja-raja, hingga kita acapkali lupa bahwa Indonesia juga terdiri dari rakyat. Jika faham ini yang dibesar-besarkan terus menerus, maka jangan heran bila suatu saat nanti, ada orang percaya bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan hanya oleh para pembesar-dan bahwa rakyat hanya ikut-ikutan.


Tak heran bila para elit pembesar saat ini pun masih suka berbisik-bisik penuh sinisme, "Rakyat mudah dibikin lupa Bung!." Maka bila ada sejumlah rakyat yang mati dan terluka oleh ledakan tabung gas 3 kg, lalu segera: bikin skenario panjang dan lebar, tanpa tersangka satupun. Toh sebentar pun rakyat akan lupa." Bila ada rakyat memperotes kasus korupsi, rekening gendut, kasus "mandulnya" DPR-RI, kasus anarkisme dengan alasan agama, kasus patgulipat pajak, kenaikan TDL, dan berbagai kasus kesewenang-wenangan lainnya. Maka para elit segera menganggap: "digerakkan". Bahkan, kaget, kok rakyat pinter-pinter... ya?.


Bagaimana mungkin?. Rakyat bukan sekedar gudang suara Pilkada, Pileg dan Pilpres. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan cuma perlawanan para elit dan kalangan pembesar. Mereka ini sudah lebih dari cukup dicatat dalam lembaran sejarah dan dipublikasikan beribu-ribu kali. Padahal, sejatinya, perjuangan mereka ini hanya bagian kecil dari perjuangan rakyat yang dasyat.


Cuma karena pola feodalisme saat itu, maka rakyat dengan gampang ditipu, dikebiri jasa-jasanya, dikerjai dan dibodohi. Padahal, ribuan literatur yang tersebar di dalam dan luar negeri dengan kuat mencatat bahwa menjelang akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, yang memegang peranan penting sebagai engine of growth perjuangan Bangsa Indonesia adalah gejolak rakyat di daerah pertanian dalam menyalakan api revolusi - dan kita pun punya semangat tujuhbelas agustusan dengan gelora yang menggelegar hingga pelosok negeri.


Rakyat memang bukan sesuatu yang netral. Rakyat juga bukan sesuatu yang tanpa bekas. Sebab, sebuah sejarah umat manusia yang komplit dan konkrit adalah sejarah semua orang, bukan hanya segelintir pembesar. Karena hal itu merupakan sejarah tentang harapan, pergulatan, dan penderitaan rakyat Indonesia, semuanya!!!.
Sejarah kemerdekaan Indonesia, bukanlah sejarah kekuasaan. Dan, juga bukan sekedar sejarah tentang suksestori. Barangkali riwayat umat manusia tidak punya arti apa-apa.

Tapi jika kita harus menjelaskan ulang tentang hal ini; sejujur-jujurnya, maka, sejarah kemerdekaan Indonesia bukan sekedar para pembesar dan kekuasaaan, tapi yang lebih penting adalah keluhuran rakyat Indonesia yang mampu memaknai dirinya walaupun tanpa kekuasaan, dan bahkan penghargaan.

Sebab apakah artinya kekuasaan saat ini untuk nanti tahun 2015? Apakah artinya sukses untuk tahun 2015? Apakah yang akan kita tumbuhkan hingga kita bisa hidup sejahtera dengan jumlah penduduk yang semakin melonjak, dengan minyak dan gas yang kian menipis, dan pendapatan perkapita terendah dengan jumlah lebih sedikit dari Rp 2 juta di tahun 2011?!.


Di 65 tahun Indonesia merdeka ini, biarlah kita kian dekat dengan kenyataan itu. Tutupkan buku sejarah dan lihatlah cermin di sana kepada rakyat yang mengerti ketentraman hati meski hanya dianggap penting saat Pilkada, Pileg dan Pilpres.


Marilah kita mulai menginsafi diri dalam mensikapi sejarah sebagai sejarah rakyat yang di dalamnya terkandung: harapaan, pergulatan, penderitaan dan juga ketahanan.**** klikM.net (imam trikarsohadi)


0 komentar:

Posting Komentar