Senin, 11 Oktober 2010

Jiwa

“Ah, guru itu membosankan, dia terlalu bertele-tele” kata seorang murid ketika sedang asyik berbincang dengan teman sekelasnya. “Pak Anu sangat menyenangkan jika mengajar, dia baik tetapi tegas” kata seorang murid lainnya yang juga sama-sama ngobrol. Dan sudah menjadi hal yang lazim jika seorang murid membicarakan seorang guru perihal cara ia mengajar, atau tentang kebiasaan seorang guru, yang diam-diam merangsang murid untuk “menilai”.

Ketika kita berada dalam angkutan umum, acapkali kita mendengar teman-teman membicarakan guru. Atau ketika sedang berada di kantin, obrolan pun mencuat dengan sendirinya; obrolan tentang situasi di dalam kelas. Kita dan mereka, terkadang telah tersihir dengan cara seorang guru mengajar. Kita, akan merasa senang jika sang guru itu baik; tidak suka marah, mudah memberikan nilai.

Sebaliknya, kita akan merasa malas jika seorang guru terlalu membosankan; tidak pernah senyum, sulit memberikan nilai, banyak tugas. Walaupun guru itu—yang kita anggap membosankan—sebenarnya sangat lugas dan cakap dalam mengajar. Hanya karena alasan yang tidak menguntungkan, kita tak berpikir panjang lagi untuk mengatakan ”Pak Anu gag pengertian, dia sering ngasih tugas”.

Mungkin, cara pandang seorang pengajar dengan seorang yang diajar berbeda. Di satu sisi, seorang pengajar menginginkan mereka yang diajar mampu dan cakap dalam mencerna ilmu; walau terkadang seorang guru terlalu memaksakan kehendak. Sisi lain, mereka yang diajar menginginkan apa yang menurutnya tidak membebani mereka. Hal ini, terkadang menimbulkan salah tafsir yang berakibat pada efektifitas pembelajaran.

Tapi agaknya kita luput dengan satu hal, yaitu jiwa kita—rohani. Kita tak pernah tahu batin seorang guru seperti apa, apakah ia sedang kalut ataukah bahagia. Sebaliknya, guru tak pernah tahu apa yang dirasakan seorang murid, apalagi murid yang begitu banyaknya; satu kelas, atau bahkan beberapa kelas. Maka, kita dipaksa untuk menyesuaikan batin kita ketika masuk dalam kelas.

Tak banyak pendekatan secara emosional dilakukan dalam pembelajaran. Mereka, seorang guru hanya memainkan peran sebagai “pentransfer”. Sedang seorang murid pun memainkan peran yang lebih konyol lagi, ia merasa menjadi benda mati yang diombang –ambingkan si pemakai—guru. Sehingga, seberapa baiknya “transaksi” itu, ia hanyalah sesuatu yang canggung.

Padahal pendekatan emosional adalah cara yang paling efektif dalam pembelajaran. Guru, bukan lagi sebagai pengajar yang memindahkan ilmu kepada si murid. Namun guru adalah pendidik yang mampu membidik muridnya untuk menjadi lebih baik, tentu ada kenyamanan. Sehingga kerap kali kita mendengar celoteh seorang murid yang ditujukan kepada guru. Jika guru itu baik—secara emosional, maka seorang murid pun merasa senang dengannya, meski mata pelajarnnya susah.

Itulah mengapa kita diharuskan sekolah secara formal, sebab hal itulah yang menjadi dasar antara mereka yang sekolah dengan yang tidak sekolah. Kita, diajarkan untuk mengetahui ilmu, namun kita juga mendapat sentuhan rohani dari seorang guru; sehingga kita mengerti untuk apa ilmu itu, dan untuk apa kita mempelajarinya.

Maka lahirlah generasi yang disebut “Kaum Intelektual”, di sini artinya adalah orang-orang yang terdidik. Seorang bisa dikatakan intelektual, jika ia mampu memberikan ilmu itu secara baik kepada orang lain. Seorang guru, bisa dikatakan intelektual jika ia bisa memberikan ilmu yang dimilikinya kepada murid dengan baik. Artinya, sesuatu yang esensial itu bisa terjangkau; sesuatu yang dasar dari ilmu itu bisa didapatkan.

Dari pengajaran seperti itu, kita akan menemukan siklus pendidikan. Dengan kata lain, kita bisa mengaplikasikan ilmu itu dengan tepat guna. Ilmu yang kita dapat akan bisa tercurah untuk masyarakat, untuk bangsa ini. Dan pada akhirnya, kita telah mengabdi kepada bangsa. Sebab, berpendidikan adalah sebuah pengabdian.

Tentu pengabdian itu didasarkan pada jiwa, pada batin kita. Karena dalam pendidikan itu sendiri telah mengandung pengajaran emosional. Sebab—seperti apa yang dianjurkan Ki Hajar Dewantara, pendidikan haruslah mengandung nilai “Tut Wuri Handayani” yang artinya adalah; dari belakang kita/guru memberi daya-semangat dan dorongan bagi murid.

0 komentar:

Posting Komentar