Senin, 29 November 2010

Baca !!!

Nabi Muhammad; sebuah simbol umat Islam. Ia lahir di tengah suasana yang kacau, pada jaman penuh kegelapan—Jahiliyah. Ia terima wahyu pertamanya dalam keheningan, menyepi di gua. “Baca!!” perintah pertama dari Tuhannya, namun ia masih diliputi dengan kebingungan. Saat itu, Muhammad tak bisa membaca, tak tahu pula apa yang mesti ia baca. Dan pada waktunya ia mengerti, parintah “baca” bukan hanya berarti memasang mata pada sebuah tulisan, namun mengandung makna luas; mendalami, meneliti, megetahui, dan membaca apa saja yang bisa dijangkau.

Begitulah awal mula Muhammad mengubah peradaban masyarakatnya. Hingga kini, ajarannya masih relevan untuk diterapkan. Ia telah menjadi tokoh, menjadi bentuk pencerahan dunia. Michael Hart, dalam bukunya, memposisikan Muhammad pada urutan pertama, diantara 100 orang besar yang berpengaruh di dunia. Hal itu bukan sesuatu yang tak mungkin bagi Hart, meski ia bukan seorang Muslim. Sebab, dari beberapa tokoh yang ada, Muhammadlah yang berpengaruh kuat pada masyarakat dunia hingga kini.

Dari membaca, sebuah pencerahan lahir. Peradaban dibentuk, untuk menciptakan sebuah ilmu dan teknologi. Maka, tak aneh jika peradaban dunia yang mampu bertahan lama, berpegang pada sebuah kitab. Di Yunani misalnya, berawal dari Iliad karya Homer pada abad ke-9 Masehi, lalu berakhir pada Kitab Perjanjian Baru. Di Eropa, karya-karya Newton mengawali peradaban yang lebih baik. Begitupun Alqur’an untuk Islam, ia menjadi sebuah pedoman hidup.

Perkembangan dunia tumbuh pesat dengan menyandarkan pada bacaan. Karya-karya para filsuf dan ilmuan, menjadi penerang jaman yang gelap. Irasional mulai tergusur oleh rasionalitas, ilmu pengetahuan alam mulai berkibar. Begitu pun penemuan sejarah, para arkeolog mencoba mengartikan simbol-simbol yang tak lazim pada jaman sekarang. Mau tak mau mereka dituntut untuk membaca tulisan purba berupa gambar-gambar. Hal itu menandakan, bahwa pada masa lampau pun, manusia jaman dulu sudah mulai merintis budaya membaca.

Para pemikir besar, misalnya, tokoh-tokoh Indonesia, mereka insyaf dengan penjajahan karena sebuah bacaan. Kartini, Wanita Jawa yang penuh dengan teka-teki, ia pun besar karena sebuah tulisan. Goresan penanya mampu mengoyak nurani para pembacanya, namun tentu saja buah pikirannya bukan murni dari dirinya. Dengan jelas jika Kartini terinspirasi oleh Multatuli; seorang Belanda yang berani mengungkap kekejaman penjajahan di Hindia Belanda. Kritik Kartini lahir karena “membaca”.

Begitu pun dengan tokoh-tokoh pergerakan nasonal; Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan para tokoh besar lainnya pada waktu itu, berpegang pada sebuah bacaan ketika dalam pengasingan. Mereka habiskan waktu dengan membaca, sehingga dalam keadaan yang terbatas pun mereka masih bisa melahirkan pemikiran yang “jitu”. Tan Malaka, dalam Madiognya, mengaku jika sebuah buku baginya adalah separuh jiwa. Maka, walaupun dalam keadaan “buron” ia selalu membawa buku-bukunya kemana-mana, meski akhirnya terpaksa harus meninggalkan bukunya ketika ada pemeriksaan.

Semakin tinggi budaya membaca suatu bangsa, maka semakin tinggi pula peradabanya. Begitulah seseorang mengatakan. Kalimat itu, tentu masih bisa diartikan lebih luas—ketika semua bangsa telah menggeliatkan budaya membaca—maka ada sebuah pertanyaan lagi; apakah dengan begitu, lantas semua bangsa telah maju? Seiring dengan pertanyaan itu, maka timbullah sebuah peryataan baru—semakin tinggi kualitas bacaan suatu bangsa, maka semakin tinggi pula peradabaannya.

Begitulah budaya membaca mempengaruhi peradaban manusia. Maka tak aneh lagi, jika suatu saat manusia mendapatkan sebuah definisi baru; manusia adalah mahkluk yang membaca. Membaca, telah menjadi “identitas”manusia yang membedakannya dengan mahkluk lain di dunia. Pada akhirnya, membaca pun sejajar dengan berpikir, berbudaya, dan lain sebagainya yang mencirikan sifat manusia. Tetapi, seperti sifat lainnya, membaca juga akan membawa dampak; buruk ataukah baik.

Seperti yang dilakukan Muhammad, maka “membaca” itu pun memiliki banyak arti. Sebab, setelah peradaban begitu cepat melaju, membaca telah menemui titik buntunya. Artinya, ketika membaca yang kita artikan memicingkan mata pada deretan kata, ia pada akhirnya mengalami sesuatu yang “ajek”. Manusia ternyata tak hanya butuh teori, begitu seseorang mengatakan. Maka, kata “baca” itu, harus kita kembalikan pada tempatnya; manusia dituntut untuk bisa membaca keadaan, membaca alam, memahami, mendalami, meneliti, menciptakan, memperbaiki, dan membaca “manusia” sendiri.
Saya kira, keadaan bangsa Indonesia sekarang ini, mungkin terbentuk karena masyarakatnya hanya bisa “membaca” pada deretan kata. Atau, boleh jadi, mereka tak punya budaya membaca sama sekali.

0 komentar:

Posting Komentar