Senin, 29 November 2010

Antara Ada dan Tiada

Adakah Tuhan? Ah, pertanyaanku terlalu lancang. Tak hanya itu, mungkin orang akan menanyakan tentang kesehatanku. Gila? Aku rasa itu berlebihan, sebab sampai detik ini aku masih bisa menulis, masih bisa menggunakan otakku untuk bertanya-tanya. Memang, pertanyaanku terdengar mengacau, tapi bagiku inilah pertanyaan seriusku.


Setiap waktu kita berhubungan dengan Tuhan, dengan menyebut namaNya maka semua akan menjadi berkah. Atau, ketika para artis sinetron berkomentar tentang bencana alam, ia hanya bisa mengatakan “Ini cobaan Tuhan”, dengan raut muka sedih—tapi bagiku itu sikap naïf. Dan begitulah adanya, Tuhan menjadi perbincangan dalam kekalutan.

Lalu begitukah kita menganggap Tuhan? Dalam kekacauan yang menyedihkan dan kehancuran alam. Seolah Tuhan menjadi kata yang ampuh untuk memandang kesakitan, menelisik derita manusia. Barangkali hal ini tak seimbang, maka Tuhan pun di ucapkan pada suasana bahagia. Dengan itu, Tuhan pun ramai dalam suasana kemenangan.

Tapi adakah orang menjelaskan tentang Tuhan? Mungkin ada, bisa jadi dari obrolan guru agama atau para filsuf terkemuka. Pernah ada yang mengatakan, jika Tuhan laksana tukang ukir. Membentuk sebuah kayu menjadi patung orang, binatang, atau apa saja yang dekat dengan kehidupan kita. Lalu seperti itukah kita menggambarkan Tuhan?

Ah, pernyataan itu agaknya terlalu ringan—kata seorang intelektualis. Baik, kita masukkan kekacauan pikiran pada hal rasional atau tidak rasional. Sebagian orang, memandang Tuhan adalah dengan rasionalitas, dan selebihnya adalah irasonalitas atau mistik. Ada yang mencoba mengungkap Tuhan, ada pula yang begitu takut menelaahnya karena dianggap terlalu suci.

Jika masuk dalam ranah rasionalitas, maka kita akan temui hal apa yang kita namakan filsafat. Filsafat, secara garis besar, akan dibagi menjadi tiga unsur; tentang ada(Ontologi), pengetahuan(epistemologi), dan tentang nilai(Aksiologi). Maka jelas, kita akan mengacu pada hal ada dan tak ada, atau yang kita sebut Ontologi. Adakah Tuhan? Itulah pertanyaan yang begitu nakal.

Dengan demikian, seorang Scientis, akan meminta bagiannya tentang hal ini. Sebab, dalam Science, “ada” itu menjadi hal penting dengan pengertian sebagai benda. Benda inilah tadi yang kita jadikan sebuah objek, dan yang jadi pertanyaan besar lagi, adakah objek ini? Untuk meneliti objek, harus ada metode yang sistematik. Terakhir, hasilnya harus disetujui semua manusia—universal.

Kita lihat saja pada air dan minyak. Para ahli dengan gigihnya meneliti air, dari jaman nenek moyang kita yang menganggap air sesuatu ajaib, sampai pada akhirnya ditemukannya oksigen dan hydrogen. Tak sampai situ saja, kini telah kita temui juga unsur yang sangat banyaknya. Begitu pun minyak bumi, mereka teliti dan diuji terus menerus hingga pada fungsinya.

Syahdan, orang bijak mengatakan ” seperti air dan minyak yang tak pernah bisa bersatu”. Satu kolam air, jika kita tuangkah segelas minyak saja, maka minyak dengan sekejap memenuhi bagian atas. Hukum itu tetap, tak dapat satu ahli pun yang bisa menyatukan air dan minyak. Jika ada, boleh jadi ia akan menjadi orang kaya mendadak. Tapi dari manakah hukum itu? dari mana datangnya kuasa itu?

Kalau pernyataan itu dianggap terlalu sempit, kita alihkan pada yang luas. Semua benda di dunia ini adalah tetap kodratnya, ia akan selalu berjalan dalam siklus yang tak pernah bisa putus. Seseorang ketika hidup, ia akan meminum banyak air dan makan dengan porsi yang banyak, maka saat itu ia akan bertubuh gemuk. Lalu, jika ia mati, dan dikubur, akan kemanakah tubuh itu? kemanakah jiwanya?

Mungkin, kodrat yang tetap akan kita benarkan dalam hal ini. Tubuh itu lenyap dijarah oleh mahkluk tanah, lalu semua zat yang ada di dalamnya akan kembali ke tanah. Siklus itu, takkan pernah ada putus-putusnya, cairan yang ada dalam si mayat tadi pun akan kembali ke permukaan bumi ini. Bisakah manusia membuat siklus yang maha ampuh itu? menyimpan jiwa yang lepas dari jasad?

Pada pemahaman itu, Tuhan pun ramai untuk diagungkan, menjadi penguasa alam semesta. Memang, Tuhan tak bisa dibentuk, namun ia “ada” ketika kuasaNYA ada. Seseorang filsuf mengatakan “Tuhan ada karena tak ada” artinya, Tuhan ada ketika manusia tak ada ide menciptakan sebuah karya ilmiah.

Pada saat itulah Tuhan menjadi Universal, semua manusia mengakui adanya Tuhan. Meski pun Tuhan diartikan dan dinilai dengan berbagai sisi pandang, namun dalam hal ini, kita bisa tarik sebuah benang merah yang mengaitkan berbagai sisi tadi. Dan Tuhan pun dimiliki semua manusia. Seperti itulah orang merasionalisasikan Tuhan.

Lalu bagaimanakah dengan Tuhan yang dipandang sebagai irasionalitas atau mistik? Sebenarnya, ketika seseorang tak mampu bertanya tentang Tuhan, saat itulah manusia berpikir mistik. Ia memandang jika Tuhan terlalu suci untuk dipertanyakan, atau ketika manusia tak lagi bisa menemukan yang “rasional”. Pada akhirnya, sebenarnya, kaum rasionalis pun dengan batas tertentu akan menemui sesuatu yang irasional atau mistik.

Kita pun kembali bertanya-tanya, jadi sebenarnya Tuhan ada atau tidak ada?
Jawabnya, “Tuhan ada karena tak ada, dan Tuhan tak ada karena ada”.
Duh, kawan, aku terlalu lancang…

0 komentar:

Posting Komentar