Senin, 29 November 2010

Ketika Alam Tak Lagi Punya Wibawa

Setelah beberapa saat aku pandangi sebuah mobil hiasan, yang terbuat dari kayu, ingatanku mulai bereaksi menuju masa kecil. Mobil itu, terpampang dengan gagahnya di lemari besar, yang juga tempat meletakkan televisi. Dengan indahnya, mobil itu dibentuk sedemikian rupa, dari bahan yang mungkin disebut limbah.

Dulu, ketika kecil, aku senang sekali bermain di sawah, karena memang rumahku dekat dengan sawah. Kucomot tanah liat, kukantongi dalam plastik, kemudian aku bawa ke rumah. Aku kelola tanah liat itu bersama teman-teman, kita bentuk semaunya.

Biasanya, aku membuat patung kecil, berbentuk Superman, atau Popeye yang pada lengannya terdapat tonjolan besar. Ada lagi temanku, membuat bola dunia, dengan garis-garisnya yang khas tak teratur. Dan yang paling mengesankan, adalah temanku yang membuat macam-macam kursi. Dari mulai kursi biasa, sampai kursi para raja.

Kita bukan pematung yang handal, atau lebih tepat dibilang sebagai orang yang lancang. Bagaimana tidak lancang, patung itu dibuat kemudian dihancurkan semau kita, bahkan membuatnya dengan bentuk yang berbeda. Kita seolah menjadi penguasa yang dengan mudahnya membuat bentuk, yang menurut kita bisa difungsikan.

Begitulah bumi kita, ia dibentuk untuk dihancurkan. Manusia, seolah-olah memandang bumi, yang baru mereka lihat, dengan kagumnya, dan ia tunduk dengan pesonanya. Kemudian mereka teliti, mencoba menelaah apa yang dianggapnya ajaib. Dan pada saat itu, manusia gandrung padanya—bumi.

Jaman dahulu, nenek moyang kita, begitu terkagum-kagumnya dengan air. Air menjadi benda yang menurutnya ajaib, air menjadi hal yang mistik. Manusia menggolongkan air menjadi bagian dari alam, lalu mereka agungkan. Tapi manusia tak sampai di situ saja, ia teliti air itu, ia amati waktu demi waktu, dan akhirnya diketahuilah apa yang dinamakan hydrogen dan oxigen.

Tak lama kemudian, manusia menemukan fungsi air. Ia mengetahui begitu banyaknya yang bisa kita manfaatkannya. Mulai dari untuk menghilangkan dahaga, sampai pada fungsinya untuk hewan dan tumbuhan. Manusia tak hanya tahu tanah, air, udara, dan api saja, melainkan telah menemukan berbagai zat yang ada di alam ini.
Ketika air yang menjadi milik alam telah diketahui manusia, termasuk berbagai macam fungsinya, saat itu ia telah menjadi milik manusia. Air bukan zat milik alam yang ajaib, ia tak lagi punya mistik yang mengagumkan, namun ia telah menjadi bagian manusia. Dan manusia telah terikat dengan air, tak bisa hidup dengannya, kemudian dikelola oleh manusia untuk mencukupi kehidupannya.

Manusia tak cukup mengambil, ia lebih daripada itu. Air dengan mudahnya dibentuk, dicampur, dan dijual. Air yang nenek moyang kita dahulu tahu adalah air biasa—seperti yang kita manfaatkan—sekarang telah berubah berbagai bentuk, akibat penelitian manusia. Bukan saja berubah bentuk, kini ia telah berubah nama—seperti minyak bumi. Perubahan nama itu telah menyebabkan pertikaian antarnegara, menjadi monopoli manusia-manusia sekarang. Dan manusia, telah kehilangan kendalinya memandang alam.

Alam dianggap sebagai benda mati, dijarah semau manusia, diperdagangkan sekehendak lubang celana mereka. Akhirnya, alam benar-benar kehilangan wibawa, tak lagi dipandang ajaib dan mistik, alam telah menjadi milik manusia yang bebas untuk dibentuk. Manusia benar-benar menjadi penguasa.

Memang, manusia sebelum menemukan sesuatu yang ilmiah, ia lebih percaya dengan mistik. Manusia menggunakan mitos sebagai alat untuk menutupi keterbatasannya untuk mengetahui apa yang ada di alam ini. Namun, manusia justru lebih tunduk terhadap nilai spiritualis ini, ia memandang bahwa alam itu hidup.

Dari pandangan itu, manusia menghormati alam. Mereka junjung tinggi spiritual, dan begitu taatnya terhadap alam. Ketika terjadi bencana, mitos kembali kuat terangkat pada masyarakat. “Alam telah murka” begitulah manusia mengatakannya, mereka percaya alam marah. Untuk itu, alam mereka jaga, mereka hargai sedemikian rupa.

Tapi kini jaman telah berganti, waktu begitu cepat menderu, dan peradaban manusia semakin bergeser. Kepercayaan mistik maupun mitos telah dinalarkan, bencana yang datang bukan karena murka alam, tapi telah dianggap menjadi hukum Tuhan, dan kemudian datang era ilmiah. Manusia meneliti, mencoba, menggunakan, dan mengambilnya banyak-banyak.

Peradaban manusia berkembang begitu cepatnya, teknologi menjadi hal yang telah biasa, dan cerita nenek moyang hanya dianggap lelucon menjelang tidur. Semua itu melupakan manusia sebagai kodrat yang bersenyawa dengan alam, menginjakkan kaki di alam. Akhirnya, alam benar murka, bencana di mana-mana, tanah tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

Untuk itu, Tuhan menjadi ramai disembah, menjadi perbentengan terakhir kegalauan manusia. Bencana, dianggap hanya teguran Tuhan, hanya kekuasaan Tuhan, tapi manusia sendiri telah lupa kendali. Manusia lupa dengan apa yang diperbuat, mereka telah alpa dengan ketamakan, keserakahan, ketakutannya dengan alam. Manusia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya, namun ia tidak bisa meneliti perbuatannya sendiri.

Ah, aku kembali tegugah dengan lamunanku yang begitu mengacau ini. Tapi bagiku, ada kesadaran yang terdorong dengan logika. Manusia, seperti aku ini, ternyata bisa dengan mudahnya membentuk alam ini, tapi juga dengan mudahnya merusak. Seperti kita membentuk tanah liat menjadi berbagai wujud, dan kemudian dengan sekejap menghancurkannya, lalu membuatnya dengan bentuk lain.

0 komentar:

Posting Komentar