Senin, 29 November 2010

Sebuah Pesan

Anak kecil itu, menggelesot dan tersedan-sedan di trotoar. Tangan kanannya memegang segumpil roti, sedang tangan kirinya menekan perut. Tak lama kemudian, seorang wanita memberinya selembar uang, nampaknya bocah itu kelaparan. Dipunggunginya tembok yang terdapat graviti— bergambar para calon presiden. Mungkin, graviti itu dibuat pascapemilu.


“kita semua bahagia” seperti itulah kiranya tulisan yang ada di bawah gambar. Dari gambar itu, agaknya si pembuat ingin memberikan pesan kepada elit politik kita. Bunyi tulisan itu pun sudah jelas, si pembuat ingin agar para elit politik kita rukun—memecahkan permasalahan negeri ini bersama-sama—bukan mementingkan kelompoknya sendiri.

Ah, tapi aku tak suka bicara tentang politik, dari dahulu hingga sekarang ternyata masih sama saja. Siapa pun presidennya, pasti di sana ada protes. Kita lihat saja dari masa ke masa, ada saja permasalahan, padahal sudah jelas, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Semestinya, masyarakat lebih merasa puas dengan presiden yang dipilihnya. Tapi kenyataannya? Mengapa banyak protes? Darimana datangnya protes itu? Apa memang benar, jika para elit politik hanya mementingakan kelompoknya?

Melihat suasana itu, maka pandanganku pun lebih kupicingkan pada bocah itu. Sebab, tak ada guna pula memperhatikan mereka, kalau pun aku melihat, itu karena kekagumanku pada si pembuat gambar—dengan mudah kita tahu siapa gambar itu. Karena aku naik kendaraan umum, maka terpaksa aku harus sedikit royal, agar bisa melihat dengan jelas bocah kecil itu. Untung saja jalanan macet, jadi aku bisa cukup lama mengamati.

Memang benar, bocah itu menangis tersedan. Awalnya, aku tak yakin jika anak itu kelaparan. Yang aku tahu, ia memegang segumpil roti sembari tangan lainnya menekan perut. Namun, sayup-sayup terdengar suara “lapar…” diiringi dengan tangisnya yang memilukan. Jika melihat ada roti di tangannya, boleh jadi bocah itu belum makan nasi. Tapi siapa dia? Dimana orangtuanya? Kenapa sampai kelaparan? Ah, Jakarta, kau hanya penghasut!!

Dari pakaian yang ia kenakan, sepertinya ia bukan anak jalanan yang biasa aku lihat. Aku sering sekali melihat anak jalanan meminta-minta di kendaraan umum. Biasanya, anak-anak jalanan itu nongkrong di perempatan jalan. Ketika lampu menyala merah, anak-anak itu segera menyambangi kendaraan umum, ia membagikan amplop kosong kepada para penumpang, kemudian ia bernyanyi dengan alat dan suara seadanya.
Di bagian belakang amplop, tertulis “kami anak jalanan, ingin makan, sekolah, dan hidup senang. Mohon bantuan bapak, ibu, dan kaka seikhlasnya.” Terkadang, ada beberapa orang yang mengisi amplop itu, mungkin karena membaca tulisan di belakang amplop. Tapi ada juga orang yang acuh, menerima amplop itu pun agak enggan. Sedang aku, kalau memang ada uang lebih, pasti aku isi.

Tak terasa mobil semakin menjauh, bocah itu masih menggelesot di trotoar sambil menangis. Sedang gambar-gambar itu, masih saja tersenyum, tapi bagiku senyum itu nampak hambar dan tak menarik lagi. Dari kejauhan, kulihat ada orang yang menghampiri bocah itu, seperti mengingatkan, tapi aku berharap orang itu membujuk.

Kendaraan pun terus bergerak pelan. Tak sengaja, aku melihat spanduk bertuliskan “Diskusi Sumpah Pemuda!!” Dan aku baru menyadari bahwa hari ini adalah hari sumpah pemuda. Sejenak, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri; Bagaimana Indonesia akan maju? Jika anak bangsa, yang notabene pemuda, banyak yang terlantar? Apa peran para elit kita?
Ah, aku berharap ini hanya pertanyaan nakalku saja…

0 komentar:

Posting Komentar