Jumat, 24 Desember 2010

Di Seberang Kali Bekasi

Malam kian pekat, dingin menusuk-nusuk tulang belulang yang kian merapuh. Yang masih hidup akan segera tumbang dan yang sudah tumbang akan segera lapuk. Tulang belulang berserakan, kata Chairil dalam sajaknya. Tapi mereka manusia terjajah, tak bisa membaca apalagi memahami sebuah prosa. Mereka hanya mendengar dari mulut ke mulut atau menyaksikan sendiri tragedi ini. Ah, Rawagede! Siapa pula akan mengenang, kampung di seberang kali sana.

Kali Bekasi menjadi tapal batas kengerian hidup, hidup yang sudah mengerikan dan tambah pula menghibakan. Kita yang di sini adalah penghianat, begitulah orang di seberang sana mencaci. Tapi kita bukan penghianat, yang penghianat adalah mereka yang menjual revolusi, mereka yang ingin mengenakan pakaian dan makan. Tapi yang di seberang sana juga manusia, butuh pakaian juga makanan. Tidak, tidak. Kita bukan penghianat.

Kita dulu adalah orang-orang yang di seberang sana, di pangkal perjuangan Indonesia. Kita adalah yang terhuyung-huyung terkena peluru panas, tersengat panasnya meriam yang setiap waktu mengancam kampung di seberang sana. Malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Siang untuk melepas lelah malam untuk bekerja. Bekerja untuk revolusi, untuk tanah air tercinta ini.

Tidak, tidak. Aku masih ingat, kita tak pernah bisa melepas lelah apalagi tidur. Kita bekerja, siang untuk mengguris makan, malam untuk menjaga nyawa. Bayi-bayi dibungkam untuk tidak menangis walaupun perut si bayi lapar. Tapi kita orang yang sembunyi dalam rumah sendiri, orang yang akan di usir dari kampungnya sendiri.

Hari demi hari hidup dililit ketakutan, hidup dalam rimbanya penjajahan tanpa kemanusiaan. Tapi waktu memang membuat lelah seperti mereka yang akhirnya lelah pada ketakutanya sendiri. Apa gunanya pula takut pada kematian bila akhirnya yang takut pun akan mati. Yang berani pun akhirnya mati. Maka ketakutan bukanlah pelindung dari kematian, ketakutan tak mengubah kekejaman.

Mereka yang di seberang kali sana bertelanjang dada. Para pemuda yang masih benar-benar muda dipaksa untuk berjuang. Bukan orang yang memaksa, tapi keadaanlah yang mengubah mereka manjadi cepat masak tambah melesak. Itulah masa ketika yang muda dituakan dan yang tua dimudakan. Semua, semua harus ikut berjuang. Yang sudah tidak bisa lagi dituakan atau dimudakan, mereka pun berjuang untuk menolong dan membohongi kontrolir keji itu.

Jakarta telah jatuh, tapi yang di seberang sana belum juga jatuh. Dan jika di seberang sana jatuh, maka yang di belakangnya pun ikut jatuh, semua akan jatuh. Mereka itulah pangkal perjuangan, maka merekalah yang akan diserang terlebih dahulu biar bisa menguasai semua-mua tanah air kita. Mereka masih haus darah setelah menumpas tentara Jepang di kali Bekasi. Air menjadi darah yang mengalirkan mayat-mayat tentara Jepang yang masih kepengin hidup. Tidak ada ampun. Penjajah harus angkat kaki.

Tapi si Kulit Putih makin terang saja nampaknya, makin kelihatan pula serakahnya. Mereka tak mau diam, yang diam maka berarti mati dan yang mati akan diam terus. Jadi mereka tidak diam, karena diam adalah kematian. Semua, semua tidak diam. Semua akan ikut berjuang.

Mereka yang belum juga masak dan sudah begitu renta akhirnya harus menghadapi kekejaman. Mereka dibariskan di pelataran, kemudian mereka di periksa, dimaki, diperlakukan bukan sebagai manusia. Senapan dilepaskan, meriam digulirkan. Meledak! Ya, meledak. Orang-orang itu ikut meledak dan tergeletak di tanah. Tapi mereka terhormat, mereka roboh di pangkal perjuangan bangsa ini.

Lantas siapa pula kita ini yang telah berdiri di seberang kematian mereka? Kita pun ikut berkabung, untuk mereka yang kini telah hidup di dunia tanpa penjajahan.

0 komentar:

Posting Komentar