Senin, 27 Desember 2010

Paradoks

Dosakah yang dia kerjakan..
Sucikah mereka yang datang..
Saya mengenang kalimat itu, sebuah sajak lagu dari Titiek Puspa, Kupu-Kupu Malam. Tapi ia hanya sebuah sajak, hanya dilantunkan dengan iringan musik dan orang menikmatinya. Tentu, menikmati cengkok lembut penyanyi, tapi mencampakkan makna lagu itu.

Ini adalah sebuah manifestasi pengarang yang, secara tidak langsung menusuk khalayak. Kata “dosa” yang ditujukan kepada “kupu malam” dibuatnya menjadi pertanyaan. Pun sama halnya dengan kata “suci” yang ditujukan kepada “yang datang”. Pertanyaan tentang sebuah kebenaran yang absah; Adakah dosa itu? Adakah suci itu?

Orang lupa bahwa ternyata paradoks sangat lekat kaitannya dengan kehidupan ini. Apa yang menurut khalayak adalah salah, ternyata belum tentu bagi sebagian orang adalah salah. Manusia selalu ingin menggolongkan, menyisihkan, mempertautkan, agar apa yang ada di masyarakat bisa dengan mudah untuk dinilai.

Tetapi, seberapapun kuat usaha manusia melakukan itu, pada akhirnya mengalami kerancuan yang tiba-tiba saja menyentak. Boleh jadi seseorang digolongkan lebih dari satu identitas, dan dari identitas yang berbeda itu ternyata saling bertolak belakang.

Singkatnya, manusia tidak mudah untuk digolongkan. Tapi terkadang kita lalai dengan hal yang seperti ini. Kita bisa saja dengan mudah menilai seseorang dan menggolongkannya pada golongan tertentu. Kemudian dengan mudah menebak identitas.

Hal ini sudah terjadi sejak lama pada kehidupan feodalisme dan kehidupan perkastaan. Maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan, nilai kemanusiaan terlupakan. Orang dilihat tinggi rendahnya derajat hanya karena sebuah penggolongan; si jelata lebih rendah derajatnya ketimbang si bangsawan atau si Paria lebih rendah dari Brahmana.

Kita bisa renungkan bagaimana manusia harus menyembah kepada sesama manusia, merangkak di hadapan sesamanya. Yang jelata menggigil mengatakan sesuatu, sedang yang diajak bicara hanya mengucap beberapa kata saja atau hanya mengangguk dan menggelengkan kepala.

Bila dipertautkan antara kehidupan wanita malam dengan kehidupan bangsawan, bukan tidak mungkin terjadi persamaan. Bukankah budaya pergundikan dan perseliran sama halnya dengan pelacuran? Namun kenapa hal tersebut dianggap sah?

Tapi kehidupan ini tidak sempit, banyak sekali kejadian seperti ini terjadi pada masyarakat kita. Bahkan, dalam masyarakat yang menggolongkan dirinya sebagai masyarakat yang beragama, ternyata sangat bertolak belakang dengan perbuatannya.

Padahal, manusia yang lebih tinggi derajatnya adalah manusia yang mengerti benar tentang kemanusian. Bukan legitimasi masyarakat tentang kedudukan, atau tentang kasta yang ada di kehidupan sosial.

Maka saya pun ikut merenung bersama Kupu-kupu malam.
osakah ia?
Sucikah mereka?

0 komentar:

Posting Komentar