Selasa, 14 Desember 2010

Jejak Langkah; Pramoedya Ananta Toer

Akhirnya ia pun pasrah, seorang agen polisi menangkapnya dengan segan. Ternyata hukum memang milik penguasa, yang kuat berbuat sekehendaknya. Bila Sang Penguasa terusik, ia hanya berbisik kepada anak buahnya untuk bertindak. Maka, yang lemah akan semakin terbungkuk-bungkuk terkena injakkan yang kuat.

Minke (R.M Tirto Adhi Soerjo); Sang Pencerah. Ia orang pertama yang menerbitkan surat kabar Melayu di Hindia Belanda pada 1907 di Bandung. “Medan Priyayi” namanya. Ia gunakan “Medan” untuk melakukan propaganda, menyuarakan organisasi lewat media. Orang berbondong-bondong meminta bantuannya, meminta perlindungan atas kekejaman para penguasa—baik Belanda maupun pribumi.

Pramoedya Ananta Toer melukiskannya dengan cermat. Menggunakan tutur “aku”, ia berhasil menyelami segi-segi pelik dari kehidupan Minke. Kita tahu, Roman itu lahir di tempat yang paling purba bagi Pram; Pulau Buru. Dalam keadaan “terasing”, Pram menuliskannya penuh gairah. Pram berhasil.

Boleh dibilang, dari keempat romannya, yang tergabung dalam Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), roman ke-tigalah yang memulai kehidupan sebenarnya seorang Minke. Pada roman pertama dan ke dua, ia hanya sebuah fase kegelisahan—pencarian jati diri. Pada roman ke-tiga—Jejak Langkah—inilah, Minke dimunculkan sebagai sosok perkasa.

Ia terlibat pada pergerakan awal di Hindia. Orang menyebutnya Kebangkitan Nasional. Oraganisasi mulai tumbuh, kaum terpelajar dilecut melakukan perlawanan secara modern terhadap Belanda. Pada mulanya, “Sarekat Priyayi” didirikan. Karena hanya beranggotakan para piyayi saja, akhirnya organisasi itu redup. Tapi sarekat berhasil mendirikan media, inilah yang menjadi cikal bakal “Medan”.

Tak lama, berdirilah Organisasi Modern pertama di Hindia; Boedi Oetomo. Organisasi ini berawal dari sekolah dokter di Batavia. Boedi Oetomo pun menjadi oraganisasi besar, ia berhasil merekrut pembesar-pembesar di Jawa. B.O mendapat sokongan dana yang tak sedikit, ia resmi diakui Pemerintah Belanda. Sayang, organisasi ini hanya untuk orang Jawa, dan ia berpihak pada para pembesar dan Gubermen yang dalam Jejak Langkah digambarkan sebagai “alat” para pembesar—banyak kepentingan di dalamnya.

Minke tak sejalur dengan B.O. Ia merasa, B.O mulai dikendalikan pembesar-pembesar pribumi, sehingga kaum muda yang seharusnya ambil peranan justru terpasung kebebasannya. Kemudian Minke membentuk SDI (Sareket Dagang Islam). Berangkat dari pengalaman “Sarekat Priyayi”, maka anggotanya tak hanya dari kalangan priyayi, melainkan para orang bebas; Dagang.

Peristiwa ini terjadi pascaperalihan abad 18 menuju 19. Inilah masa “kebangkitan”. Di mana para terpelajar sadar persatuan, masa ketika nasionalisme mulai digodok. Bukan hanya itu, masa ini adalah awal mula dunia modern tumbuh. Redupnya perang Aceh dan Jawa, ternyata menghabiskan biaya yang begitu besar bagi Belanda. Menyadari itu, Belanda melakukan “Politik Etiek” guna memanfaatkan terpelajar pribumi—mengibarkan panji-panji liberal.

Kita tentu tahu Kartini, seorang terpelajar dari Jepara. Pada masa ini ia tumbuh. Maka tak heran jika ia digambarkan sebagai sosok “pendobrak” dunia modern. Sebenarnya, ia lahir pun dari politik etiek ini. Belanda membebaskan pemuda pribumi bersekolah, dengan alasan balas budi. Namun sebenarnya, nantinya terpelajar ini dibekukan di kantor-kantor pemerintahan.

Setelah Kartini meninggal, Mr J.H Abendanon, seorang Belanda, menerbitkan surat-suratnya dalam sebuah buku; Belanda ingin menunjukkan kepada dunia, ia berhasil mencerdaskan pribumi. Surat-surat ini pun hanya berupa pujian terhadap Belanda, padahal banyak sekali surat “keras” Kartini yang tersebar kepada orang-orang terdekatnya, juga kepada kaum sebangsanya yang ingin maju, seperti Dewi Kartika yang hanya dikenalnya lewat surat saja.

Selain itu, pada waktu yang bersamaan, terjadi pergolakan besar-besaran pada negara jajahan di Asia. Cina, Jepang, Arab, melakukan perlawanan terhadap penjajah. Mereka mengirim para pemudanya ke seluruh dunia menyembarkan benih-benih perlawanan, itu terlihat dari banyaknya sekolah Tionghoa dan Arab di Indonesia, juga surat-kabar (Sin Po, Cina).

Sementara itu di Bali terjadi perang besar. Belanda mengirim pasukannya menaklukkan Bali. Konon, perang ini melibatkan seluruh rakyat Bali—mulai dari keluarga raja dan anak-anaknya, sampai seorang ibu dan bayi-bayinya. Peristiwa itu menggambarkan, masyarakat tradisional di Nusantara secara tidak langsung diwajibkan membela kerajaan, termasuk perang. Di Aceh kita bisa melihat bagaimana wanita-wanita ikut terjun dalam medan perang.

Pada penaklukkan itu, Belanda mengirimkan orang-orang Jawa memerangi Bali, menumpas saudara sendiri. Hal ini pulalah yang dilakukan Belanda terhadap Aceh; ia kirimkan orang-orang Jawa memerangi Aceh. Tapi setidaknya, lewat “Medan” Minke mencoba menghalangi orang Jawa agar tidak dikirim ke Bali, ia mengutus anak buahnya ke Jawa agar mereka menggagalkan pengiriman pasukan. Begitulah perang Bali dikenang, kita menyebutnya perang Puputan; Perang habis-habisan—tak peduli lagi kasta—semua orang sama kewajibanya membela tanah air.

Sementara itu, di Jawa perlawanan pun berkobar hebat. Bukan mengangkat senjata, tapi mengadu strategi. Pesatnya perkembangan SDI dan “Medan”, membuat gentar pemerintah Belanda. Minke selalu menyerukan pemboikotan. Bahkan terjadi pembakaran perkebunan-perkebunan tebu di Jawa—para petani mulai terang-terangan melawan. Perdagangan Belanda harus tunduk terhadap pribumi, pribumilah yang harus ambil peranan. Kemajuan SDI mendapat sorotan tajam dari dunia Internasional, namanya melambung di daratan Asia.

Segala cara dilakukan Belanda untuk menghancurkan “Medan” dan SDI. Tapi hal itu tak membuat Minke takut. Namun, pada akhirnya, ia harus mengakui kekuasaan Belanda. Pada puncaknya, Ia ditangkap ketika Medan Priyayi memberitakan kunjungan Pejabat Belanda pada pemakaman K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat (suami Kartini); dalam pemberitaan itu disebutkan, di balik pernikahan Kartini mengandung unsur kepentingan politik Belanda membungkam Kartini. Juga disebutkan, pada kunjungan itu Pemerintah mengeluarkan dana yang sangat besar karena meyewa semua Taxi di Jakarta. Medan dibredel dan Minke dibuang ke luar Jawa, di Pulau Bacan, dekat Halmahera, Maluku Selatan.

Medan Priyayi adalah manifestasi dasyat manusia pribumi. Pemberitaannya selalu memuat unsur kemanusiaan, bahkan Medan terjun langsung terjun ke bawah membela Kawula. Medan Priyayi dikenal sebagai media pergerakan, hingga berpuluh-puluh tahun istilah itu dikenal dengan nama jurnalisme advokasi (pada masa itu Medan sudah memakai pakar hukum).

Roman ini merupakan sumbangan besar untuk Indonesia, khususnya dunia pers dan pergerakan. Pram merekam kejadian sejarah yang pelik dan begitu penting. Roman ini bercerita bagaimana bangsa ini mulai bangkit dan bersatu untuk tidak takut terhadap penjajah.

0 komentar:

Posting Komentar