Kamis, 16 Desember 2010

Romusha Banten Bersama Tan Malaka

Saya bisa bayangkan, pena merayap di atas kertas, di bawah sayap pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas sebuah gubuk.Ia tulis sebuah kitab yang mengagumkan, setelah 20 tahun lebih mengembara di negeri orang. Madilog, begitulah ia menamakannya. Sejak tahun 1942 ia menghimpun ingatannya tentang ihwal yang telah ia pelajari di negeri nun jauh di sana.

Ia dalam gelisah. Setiap kali gesekan sepatu terdengar, ia sembunyikan kitabnya itu di tempat yang tidak menarik perhatian. Sesaat kemudian, seorang polisi Jepang memporak-porandakan seisi rumah. Ia memang pintar dan berpengalaman; berpengalaman menjadi bulan-bulanan. Ia menghembuskan nafasnya dengan lepas mengenang kepergian polisi itu.

Saya bisa merasakan betapa sulitnya hidup ketika uang telah menipis. Apalagi dalam beberapa bulan tidak bekerja, sedang perut tak pernah kenal kompromi. Itulah yang ia rasakan, tercekik dalam hidup yang pelik. Ia lamar pekerjaan di Tambang Arang Bayah pada pertengahan 1943. Ia diterima bukan sebagai romusha, melainkan seorang juru tulis dengan nama samaran Ilyas Hussein. Madilog ikut berlindung dengannya.

Namun saya rasa ia tidak hanya mencari nafkah dan berlindung dari kejaran polisi. Kita tahu, Banten adalah pusat berkumpulnya romusha dari berbagai daerah di Jawa. Ada tindakan eksploitasi manusia yang mengerikan di dalamnya. Ia menelisik, menusuk dalam kehidupan kaum proletar itu. Akhirnya ia bisa saksikan, ketika manusia menjadi seperti tulang-belulang yang rapuh.

Kerap kali kakinya ia langkahkan ke tempat yang menyeramkan, masuk ke pelosok menyaksikan kehidupan yang sangsi. Wabah mengganas di tempat yang ia kunjungi, segala penyakit menjangkit hebat. Tentara Jepang takut mengunjungi daerah kecil itu, mereka lebih takut dengan penyakit ketimbang panasnya api senapan. Akhirnya ia tahu, kelaparan adalah penyebab utama kematian para romusha di Pulo Manuk—nama tempat itu.

“Kita dapat mempraktekkan rasa tanggungjawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang.” Ucapnya suatu ketika. Ia masuki lorong-lorong para romusha, memberikan nasihat akan pentingnya kesehatan. Ketika ia ditugaskan untuk mendata pekerja, ia menemukan bahwa dalam setiap bulan 300-400 mati kelaparan. Ia dikenal sebagai kerani yang baik hati.

Saya bayangkan dengan hati yang miris. Pekerja hanya diberi beras 250 perhari dan 40 sen yang hanya bisa untuk membeli satu buah pisang. Tentu kelaparan tak bisa dielakkan lagi, menjadi semakin ganas menggerogoti jiwa-jiwa yang terampas. Romusha menjadi hamba negeri-negeri asing yang datang sebagai dewa maut. Semakin jelas, rakyat menjadi budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.

Ia tidak diam, ia merasakan dan melaksanakan. Para pemuda ia himpun untuk mendirikan dapur umum yang menyediakan makanan untuk seribu romusha. Mereka bangun rumah sakit di sekitar pinggiran Bayah, juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di daerah yang dekat dengan Bayah. Jelas, ia menginginkan kesehatan para romusha.

Kita tahu, romusha adalah sebuah bentuk dukungan kepada Jepang agar Indonesia kelak dihadiahi dengan kemerdekaan. Bung Karno adalah orang yang punya dosa besar dalam keadaan ini. Bung Karno yang menyetujui bentuk kerja itu, bahkan ia sendiri yang merayu masa untuk menjadi romusha.

Namun, katanya mengutuki diri “Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari seorang Panglima adalah untuk memenangkan perang, sekalipun akan mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup….” Ia bertujuan baik. Tak hanya itu, ia berani.

Suatu ketika Bung Karno dan Bung Hatta datang ke Bayah pada akhir 1944. Bung Karno berpidato, bersama Jepang kita akan mengalahkan sekutu dan kemudian mencapai kemerdekaan. Bung Karno meminta agar romusha berjuang meningkatkan produksi batu bara.

Sesi pertanyaan dibuka. Beberapa penanya angkat bicara, namun mereka hanya mendapat cibiran dari moderator. Akhirnya ia bertanya; apakah tidak lebih tepat jika kemerdekaan Indonesialah yang seharusnya lebih menjamin kemerdekaan terakhir? Ia menginginkan jika Indonesia merdeka sepenuhnya. Bung Karno jengkel. Konon, Bung Karno tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa.

Awal Juni 1945 ia pergi ke Jakarta untuk untuk membicarakan kemerdekaan, ia datang tetap dengan nama samaran. Pertemuan itu dilakukan untuk mempersatukan para pemuda Jawa. Namun pertemuan itu tidak berlangsung karena tentara Jepang membubarkan.

Ia kembali ke Bayah. Tak lama, ia berpindah tugas di kantor pusat dan bertugas mencatat data tentang romusha. Jepang berencana akan mengurangi jatah ransum untuk romusha, dialah orang yang menentang keras rencana itu. Ia berorasi di muka umum agar romusha tidak dipotong jatah ransumnya. Dampaknya luar biasa, kerusuhan terjadi, romusha mogok dan banyak melarikan diri. Sejak itu, ia diburu-buru Kamptei Jepang(polisi militer).

Saya rasa tidak benar jika ia tidak bisa menggalang masa, ia punya cara sendiri untuk menyelami rakyat bangsanya.

Hingga Indonesia memproklamasikan diri, ia adalah orang yang berperan penting di balik semua itu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dasyatt...!!

Posting Komentar