Minggu, 10 April 2011

Bahasa Indonesia: Melawan Imperialisme

Bahasa Indonesia mulai tercerabut dari akarnya. Sekolah-sekolah dibiarkan menggunakan pengantar bahasa asing. Ini tentu tak akan jadi persoalan jika pelajar Indonesia sudah piawai dan pandai berbahasa Indonesia. Namun kenyataannya, pemerintah justru bangga dengan bahasa negara lain. Presiden Indonesia, yang seharusnya memupuk nasionalisme lewat bahasa, ternyata malah mengecewakan. Kita bisa melihat bagaimana presiden SBY cas-cis-cus saat berpidato. Apakah presiden lupa dengan sejarah bangsanya?


Sekadar menilik masa lampau, Indonesia adalah salah satu negara—bekas jajahan—yang mempunyai bahasa asli. Bangsa jajahan pada umumya menggunakan bahasa resmi negara penjajahnya. Penjajah sengaja menciptakan sebuah absolutisme kekuasaannya lewat bahasa, mereka yang terjajah tak mempunyai kedaulatan berbahasa. Indonesia patut bangga, sebab bahasa Indonesia merupkan manifestasi perlawanan terhadap imperialsme.

Ada yang sedikit janggal penjajahan Belanda di Indonesia, mereka justru tak membiarkan pribumi menguasai bahasa mereka. Kalau pun toh ada pribumi yang menguasai, ia tidak sembarangan menggunakannya, apalagi bila ia hanya pribumi biasa. Belanda melihat adanya kastanisasi dalam bahasa Jawa misalnya, maka dengan itu Belanda memanfaatkan agar rakyat kian terpuruk.

Dalam bahasa Jawa, penggunaan tutur disesuaikan dengan derajat sosial di masyarakat, atau berdasarkan batasan-batasan tertentu lainnya. Contoh, seorang jelata harus menggunakan bahasa Jawa halus (krama inggil) kepada sang raja, tetapi sang raja diharuskan membalas dengan Jawa kasar. Begitu pun orang tua dan anak. Dalam keadaan inilah Belanda berperan bak seorang Raja, ia bebas menggunakan bahasa Jawa kasar terhadap siapapun, tetapi rakyat tak dibolehkan berbahasa Belanda.

Ketika diadakan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia dimaklumatkan sebagai bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu. Hal ini disebabkan karena bahasa Melayu pada waktu itu merupakan bahasa yang sudah dikenal luas di dunia perdagangan, khususnya di selat Malaka. Alasan lainnya, bahasa Melayu cenderung terlepas dari bayang-bayang primordialisme atau sifat kedaerahan. Jadi, bahasa Indonesia bukan sekadar media komunikasi, ia juga sebagai benih pemersatu bangsa.

Melihat keadaan sekarang, nampaknya wajar ahli bahasa mengkritik tajam bila bahasa Indonesia mulai ditinggalkan, pemerintah justru membebani anak bangsa dengan bahasa asing. Kalau kita berbahasa Indonesia dengan baik, toh kita tidak dilarang mempelajari bahasa asing. Rasanya sangat lucu kalau anak bangsa cenderung menguasai bahasa asing namun bahasa indonesianya mentah. Kita patut curiga, jangan-jangan optimpisme kita mulai menurun terhadap bahasa Indonesia. Kedaulatan bahasa kita mulai terkikis sedikit demi sedikit. Atau malah pimpinan negara malu menggunakan bahasanya sendiri?

0 komentar:

Posting Komentar