Rabu, 13 April 2011

Kastanisasi Pendidikan: Menjajah dari Dalam

Dunia pendidikan di Indonesia nampaknya sedang “mati suri”. Entah mengapa, pendidikan seolah menjadi kebutuhan mewah bagi rakyat kebanyakan. Padahal, pendidikan adalah hal pokok yang mau tidak mau harus dijalankan dengan baik, tentu agar semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya. Tetapi kenyataannya tidak demikian, ilmu pengetahuan dijadikan semacam komoditas, sehingga bila ingin mendapatkannya, rakyat harus membayar mahal. Satu hal yang musti diperhatikan, Indonesia telah didaulat sebagai negara merdeka, pantaskah masih ada praktik-praktik pengkastaan dalam pendidikan?

Pengkastaan pendidikan sudah terjadi dan terlihat sangat kentara sejak bangsa asing menjajah Indonesia. Rakyat pribumi tidak dibiarkan bersekolah begitu saja, penjajah sengaja menutup akses pendidikan rapat-rapat. Orang Belanda misalnya, mereka datang ke Indonesia bukan sekadar menaklukkan, tetapi juga memeras sumber daya alam dan manusia Indonesia sebanyak mungkin.
Sumber daya alam berarti segala bentuk kekayaan bumi yang berpotensi sebagai mesin ekonomi, sedangkan sumber daya manusia Indonesia dimanfaatkan sebagai tenaga-tenaga murah, bahkan gratis. Jika waktu itu pendidikan dibebaskan, ilmu pengetahuan disebarkan, berarti sama saja penjajah melucuti senjatanya sendiri.

Bung Karno, dalam pidatonya, pernah mengatakan, Indonesia punya proses panjang menuju kemerdekaan. Awalnya dimulai dari tahap Perintis, Penegas, Pencoba, Pendobrak, dan Pelaksana. Tahap Perintis adalah orang-orang yang membangkitkan serta menyadarkan massa, bila rakyat ingin hidup layak maka harus merdeka, bila ingin merdeka berarti harus berusaha. Tahap Penegas adalah orang-orang yang menegaskan, Indonesia harus benar-benar punya tekad merdeka. Tahap Pencoba tak lain adalah mereka yang pandai berdiplomasi. Namun karena diplomasi dianggap gagal, maka semangat kemerdekaan itu harus benar-benar didobrak, inilah tahap Pendobrak. Dan setelah Proklamasi, generasi selanjutnya itu disebut Pelaksana.

Pertanyaannya, sudahkah Indonesia melaksanakan amanah itu dengan baik, agar rakyat hidup layak tanpa adanya penjajahan dalam bentuk apapun? Lalu siapakah yang bertugas sebagai Pelaksana? Kita pun pasti menjawab, rakyat Indonesia yang hidup dalam masa merdeka inilah yang bertanggung jawab.

Sebagai negara yang berdaulat dan menganut trias politika—Eksekutif, Legeslatif, Yudikatif—maka orang-orang yang duduk dalam ketiga golongan itu, dianggap mewakili rakyat sebagai pengatur negara. Dari gambaran itu, secara tidak langsung maupun langsung, rakyat memberikan kepercayaan kepada mereka—misalnya melalui pemilihan umum—dengan tujuan rakyat Indonesia hidup layak, yaitu sebagaimana cita-cita tokoh Perintis Kemerdekaan. Tujuan tersebut salah satunya adalah pendidikan.

Namun melihat kenyataan sekarang, rasanya dunia pendidikan kita masih dalam cengkeraman penjajahan. Kastanisasi pendidikan terlihat menonjol, pemerataan pendidikan belum bisa dilakukan dengan baik. Alasan yang dilontarkan pemerintah selalu sama, yaitu karena kemiskinan masih menjangkit di pelosok negeri dan berjanji meminimalisirnya, sehingga peningkatan pendidikan dikesampingkan.

Tetapi toh kenyataannya kemiskinan masih besar, tingkat pengangguran tinggi. Lalu kapan pendidikan di Indonesia akan maju bila harus menunggu kemiskinan terpecahkan? Manakah yang harus didahulukan, kemiskinan atau pendidikan?

Jawabannya sederhana, kalau pemerintah mau mengkaji sejarah peradaban negara-negara maju, tak lupa pula pada sejarah sendiri, maka itu bukan pilihan yang sulit. Cina dan Jepang misalnya, mereka pada masa perang dunia mengirimkan para pemudanya menyebar ke berbagai negara untuk mencari ilmu, kemudian kembali ke negaranya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang didapatnya.
Negara-negara maju selalu berpegang pada ilmu pengetahuan, sebab mereka sadar ilmu pengetahuan mampu memajukan bangsanya. Sehingga generasi sesudah mereka benar-benar didukung dalam pendidikan, segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan difasilitasi sangat baik, bahkan mereka menyambut hangat orang-orang luar yang mau belajar padanya.

Sebenarnya kesadaran berpendidikan di Indonesia sudah digembleng sejak masa Ki Hajar Dewantara, saat itu banyak tokoh pendidikan yang bermunculan. Namun mengapa sekarang semangat itu pudar? Mengapa seluruh rakyat, termasuk yang paling miskin, tidak mendapatkan hak itu? Padahal, dalam Pancasila—sebagai landasan negara—disebutkan dengan jelas tentang keadilan dan kesetaraan.

Pengkastaan pendidikan tidak selalu mengenai biaya, bisa juga berhubungan dengan fasilitas sekolah. Sebut saja sekolah di perkotaan dan di daerah pelosok, fasilitas yang diberikan sangat berbeda. Siswa di perkotaan cenderung mendapat perhatian tinggi, sedangkan di daerah sangat rendah. Apalagi bila melihat Sekolah Berstandar Internasional yang mulai bermunculan, namun nyatanya, anggaran besar yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pelaksanaannya.

Faktornya banyak, mulai dari pengawasan yang lemah, sampai tindak korupsi yang kuat. Kesenjangan ini pun bisa kita jumpai pada sekolah negeri dan swasta, khususnya pendidikan tinggi. Seharusnya, pemerintah melakukan standarisasi sekolah swasta, terutama pada masalah fasilitas. Tujuannya agar sekolah negeri dan swasta tidak terpaut jauh perbedaan fasilitasnya, meskipun biaya agak berbeda. Namun yang harus ditegaskan, institusi pendidikan bukan lahan meraup keuntungan, tetapi ada sisi pencerdasan—diakui atau tidak, negeri atau swasta, sudah bertindak sebagai kapitalis pendidikan.

Bila ditelisik lebih dalam, banyak sekali sekolah swasta di Indonesia yang abai terhadap fasilitas. Hal ini menjadi penting karena Indonesia harus menciptakan sarjana-sarjana professional di bidangnya, pada setiap tahunnya. Kaum terdidik inilah yang kelak mampu menopang negeri ini.

Pascarevolusi Mesir, beberapa mahasiswa Mesir asal Indonesia diwawancarai sebuah stasiun televisi swasta Indonesia. Mereka mengaku sangat senang belajar di Mesir, sebab fasilitas terjamin, segala akses dimudahkan. “Saya sangat dihormati di sana, meskipun saya bukan asli orang Mesir,” ungkapnya.

Pernyataan ini membuktikan, anak bangsa lebih dihargai dan mendapat hak-haknya di luar negeri ketimbang di negaranya sendiri. Jangan sampai rasa nasionalisme generasi muda tergerus, walau bagaimanapun, generasi muda adalah generasi penerus sekaligus pelurus—meneruskan cita-cita Republik, meluruskan budaya-budaya bengkok.

Sudah saatnya Indonesia melakukan percepatan di dunia pendidikan. Bila tidak, kita akan tertinggal jauh dari negara-negara lain. Rakyat sudah bosan dengan bermacam intrik politik yang dilakukan pemerintah, baik Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Apalagi kalau Lembaga Pemberantas Korupsi, Media Massa, serta Organisasi Mahasiswa maupun Masyarakat, sudah dicandui kepentingan politik. Jangan biarkan rakyat terlalu lama hidup dalam kecemasan, menunggu, bahkan akhirnya pasrah pada keterpurukan bangsanya. Sejarah masih ada, jangan sekali-kali lupakan sejarah!

0 komentar:

Posting Komentar