Senin, 02 Mei 2011

Tukang Rongsok Menyelamatkanku


Pagi baru menjelang, pikirku, setengah tidur setengah sadar. Aku membuka mata, ternyata memang langit masih agak gelap, berarti siang memang belum datang. Kuambil hanphone di samping tubuhku, “Wah, ini sudah jam 12 siang,” aku ingin beranjak bangun. Tetapi, perut serasa melilit, badan serasa limbung. “Ah, aku lapar, semalam tak makan malam.”

Akhirnya aku bangun, kurogoh saku celanaku barangkali masih ada uang di dalamnya. Tidak ada! Ai, mungkin abangku meninggalkan uang sebelum ia berangkat bekerja. Memang beberapa waktu ini aku tak pergi kuliah, lagi cuti. Untuk mengisi kegiatan, kulakukan apa saja asal bisa bermanfaat—membaca, bersih-bersih, menulis, kliping koran. Nah, ini dia, kegiatan yang menggelitik aku.

Mengkliping koran memang menjadi kesukaan aku baru-baru ini. Itu timbul karena aku gemar membaca koran, lantas timbul pikiran untuk menggunting tulisan-tulisan yang aku rasa penting. Tulisan yang paling aku suka adalah tentang kekayaan nusantara, tempat-tempat penuh sejarah—menurutku tulisan itu sungguh berharga.

Balik lagi ke badanku yang oleng tadi karena belum makan, aku bergegas ke ruang tengah, kali saja abangku meninggalkan uang di meja. Tak ada! Ah, aku sudah cari kemana-mana—ruang depan, almari buku—tetapi memang tak ada. Sementara perutku tak mau diajak kompromi, ia terus menuntut hak-haknya yang dari semalam belum juga terpenuhi.

Kali ini aku mendapat ide yang sedikit kreatif, aku percaya jika seseorang dalam keadaan terhimpit, ia bisa menghasilkan ide-ide bernas. Ini dia, kemeja-kemeja dan celana-celana yang bergelantungan di paku yang tertancap pada tembok, menjadi obyek kegilaanku. Kurogoh saku celana dan kemeja-kemeja yang bergelantungan itu satu persatu, tetapi, memang nasib tak ada padaku, tak ada uang yang terselip di dalamnya. Sudah kucari sampai pakaian kotor di bak, namun hasilnya tetap mengecewakan.

Aku tertunduk lesu, kupandangi langit-langit rumahku. Membosankan, kualihkan pandang pada buku di almari, tambah memusingkan. Tinggal satu lagi tempat strategis yang belum aku tatapi, tumpukan koran! Memang rumah kontrakanku ini sangat kecil, sehingga selain obyek-obyek itu, hanyalah tembok-tembok beku yang angkuh.

Kliping! Kliping! Kliping! Ada dorongan dari dalam batinku, juga pikiran logisku. Dan mulailah aku sisir satu persatu koran bekas tersebut, sekaligus melupakan rasa lapar yang tak karuan hebatnya. Namun, belum lama aku lakukan pekerjaan ini, di luar terdengar tabuhan seng yang cukup mengganggu pendengaranku, atau mungkin mengganggu siapa saja. “Barang bekas, barang bekas, koran, besi, apa saja boleh…,” teriak seorang lelaki.

Jual koran! Satu ide lagi muncul, ini bakal menyelamatkanku dari penderitaan. “Koran Bang,,,” teriakku. “Ya,..” aku membuka pintu depan rumah. Kujual satu tumpuk koran bekas, lumayan, aku dapat uang sepuluh ribu, aku bisa makan siang. Sebenarnya masih banyak koran bekas lainnya, tapi sengaja kusisakan untuk menghadapi penderitaan-penderitaan selanjutnya.

Sejenak, setelah menerima uang, aku lantas berpikir keras karena aku rasa ada yang janggal dalam peristiwa konyol ini. Tukang rongsok itu, dengan pakaian dekil dan sandal jepit bejat, telah menolongku dari bahaya kelaparan. Padahal di hari-hari yang lalu, ketika aku masih pegang banyak uang, aku sangat meremehkan kehadiran mereka. Bahkan, sering terlintas dalam pikiranku bahwa sepatu dan sandalku yang hilang dulu digondol para tukang rongsok.

1 komentar:

masbhay mengatakan...

mas respati, ijin copy foto grobaknya ya. makasih.

Posting Komentar