Senin, 30 Mei 2011

Arok Dedes


"Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu, tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu."

Manusia bisa menjadi apa saja, sang sudra pun boleh jadi brahmana. Maklumat Triwangsa yang digagas oleh Sri Erlangga merupakan manifesto kemanusiaan, ia membebaskan umat manusia dari kasta: tak ada lagi penghambaan manusia terhadap sesamanya. Namun diam-diam para brahmana, wakil para dewa, merasa gusar. Bila benar si sudra bisa naik tingkat menjadi brahmana, lalu di manakah kedudukan brahmana? Menjadi dewa tidak mungkin, sebab para dewa sendiri pun bakal menolak berdiri sejajar bersama manusia.

Waktu bergulir, Erlangga mangkat ke peraduan Tuhan. Setelah itu perbudakan kembali berdiri. Sudra boleh jadi satria, satria boleh jadi brahmana, dan si budak akan langgeng jadi budak buat dihisap sebagai mesin penggerak ekonomi. Sri erlangga pada akhirnya, tanpa kemauan sendiri, didewakan oleh keturunan dan rakyatnya. Dewa kaum petani, Wiysnu, begitu diagungkan. Sedang Syiwa diabaikan.

Para bramana penganut Syiwa marah, keturunan Erlangga dituding sebagai penghancur ajaran suci. Namun dua ratus tahun lamanya kaum brahmana Syiwa hanya pandai bersua, sedikit pun keberanian untuk menggulingkan kekuasan Kediri juga Tumapel sebagai bawahan Kediri, tak kunjung muncul. Kawula makin banyak terhisap jadi budak. Baik Kediri ataupun Tumapel, sama-sama penindas kawula.

Puncaknya, seorang brahmani bernama Dedes, diculik dan dinikahi oleh Raja Tumapel, Tunggul Ametung. Dedes adalah anak dari Mpu Parwa, brahmana Syiwa yang masyhur. Pada suatu ketika diadakan sebuah pertemuan para Brahmana Syiwa, sebuah keputusan diambil: Tunggul Ametung harus digulingkan. Arok muncul sebagai garuda yang mengemban mandat mengudeta Tunggul Ametung dan mengembalikan Dewa Syiwa pada cakrawatinya di Tumapel.

Arok
Ia tidak tahu dirinya sendiri, dari mana datangnya, dan siapa orangtuanya. Yang ia tahu ketika bayi ia ditemukan di depan pintu seorang warga, Ki lembung namanya. Dan ia dinamai Temu. Sejak itu ia menjadi anak yang gesit, pintar, juga pemberani. Hingga usia belasan, ia sudah terbiasa menggembala dan bertani. Ki lembung dan istrinya, Nyi lembung, sangat kasih padanya. Mereka tak punya anak.

Temu dicintai banyak kawannya. Di usia yang muda itu ia telah menjadi pemimpin bagi kawan-kawannya. Setiap menggembala kerbau di hutan ia menitipkan pada temannya untuk dijaga kerbau itu, ia sendiri mengembara menyusuri hutan-hutan.

Dalam pengembaraan untuk pertama kalinya ia melihat prajurit Tumapel memasuki rumah warga dan merampas kambing. Seorang bocah kecil menangisi kambingnya, tetapi prajurit itu tak menghiraukan. Hati Temu berontak melihat pemandangan itu.

Ia dekati bocah kecil itu, ia menghiburnya dan berjanji bakal membawakan kambing untuknya. Maka ia mencuri kambing untuk bocah itu. Sejak pertama mencuri, selanjutnya ia sering mencuri. Kebenciannya terhadap Tumapel semakin menjadi-jadi. Setiap kali prajurit Tumapel memasuki desanya, ia dan temannya selalu mengganggu.


Suatu ketika seekor macan menerkam kerbaunya yang ia titipkan pada temannya untuk dijaga. Saat pulang, Ki Lembung mengetahui bahwa kerbaunya kurang satu. Temu mendapat murka. Ia dianggap tidak patuh menjalani tugas. Karena malu dan beban moral, ia pun pergi dari rumah Ki lembung untuk selamanya.

Di jalanan ia dan teman-temannya kembali merampok prajurit Tumapel. Dan dari begitu banyak teman-temannya, ialah yang ditunjuk sebagai pemimpin. Pada saat ia dan teman-temannya dikejar oleh prajurit Tumapel, ia lari dan berlindung pada seorang petani bernama Bango Samparan. Ia diangkat menjadi anaknya.

Bango Samparan memiliki lima anak lelaki dan satu perempuan, Umang. Namun dari keenam anaknya, hanya yang perempuan saja yang baik pada Temu. Ki Bango dan Nyi Bango begitu menyayangi Temu. Setiap Ki Bango menang judi, Temu selalu diberi uang. Tetapi uang itu tidak digunakan olehnya, ia berikan pada anak perempuan Ki bango, Umang, untuk disimpan.

Kebencian anak-anak Ki Bango pada Temu semakin jadi. Temu mohon pamit pada orangtua tirinya. Umang tak mau. Temu coba meyakinkannya. Saat hendak pergi, Ki bango hanya berpesan padanya: temui Bapa Tantripala, seorang guru dari kaum brahmana.

Pada Tantripala ia dan temannya, Tanca, belajar sansakerta. Temu bisa dengan mudah menghafal pelajaran yang diberikan gurunya. Hingga pada praktik yang serius, ia bisa menguasai ilmu yang menurut Tantripala, “tiga tahun aku baru bisa menguasai”. Dalam tiga kali latihan, Temu sudah menguasai darana (konsentrasi), pratyahara (bebas pengaruh), pranayama (nafas), dan ekagrata (memfokuskan satu titik pandang).
Tantripala menganggap Temu sudah lulus sebagai muridnya. Ia tak berani mengajarkan ilmu lebih lanjut padanya karena tanggung jawab yang dipikul Tantripala akan lebih berat. Ia diserahkan pada seorang brahmana Syiwa, Lohgawe, agar Temu menjadi Mahasiddha (orang yang memiliki kesaktian).

Lohgawe terkejut, murid yang dihadapannya sangat cerdas, pandangan matanya seperti pandangan mata dewa. Ia uji muridnya dengan berbagai pertanyaan, Temu dapat menjawabnya. Ia suruh muridnya membaca rontal berbahasa Sansakerta, Temu pun dengan lancar dapat menjabarkan isi lontar itu. Dan yang membuat Lohgawe kagum, Temu dapat membaca pikiran Lohgawe ketika ia diperintah olehnya, “Coba sebutkan apa yang ada dalam pikiranku.”

Ia tahu, Lohgawe tidak suka pada Raja Kediri, Kretajaya, juga kepada raja Tumapel, Tunggul Ametung. Mereka dianggap telah menghancurkan Dewa Syiwa di Kediri, juga di Tumapel. Dan sejak itu Lohgawe memberikan nama baru padanya, Arok, yang berarti pembangun. Ia diberi kebebasan penuh oleh Lohgawe: boleh tidak mengukuti pelajarannya.

Arok memanfaatkan kesempatan itu untuk menemui teman-temannya. Ia mengorganisir teman-temannya yang di bawah untuk melakukan pemberontakan di Tumapel. Kerusuhan demi kerusuhan mulai terjadi, dan pasukan Arok semakin bertambah.

Pada gilirannya, kaum brahmana Syiwa menjadi penyokong terhebat pemberontakan Arok yang sudah diorganisir sejak lama. Pada pertemuan Para brahmana Syiwa, termasuk Lohgawe dan Mpu Parwa, ayah Dedes, menyimpulkan tujuan bersama: Untuk Dewa Syiwa, kejadian yang dialami anak Mpu Parwa jangan sampai terulang. Menjatuhkan Kediri, berarti Tumapel harus dikuasai. Dengan begitu Tunggul Ametung mesti digulingkan.

Perlawanan terhadap Tumapel
Arok bergerak di bawah sangat cepat. Ia mulai memetakan kekuatan-kekuatan yang potensial bagi Tumapel, sembari pemberontakkan di berbagai titik ia ledakkan. Pada saatnya nanti, anak buah Arok yang ditaruh di berbagai tempat, akan menggalang masa sangat banyak. Modalnya sudah ada, yaitu kebencian rakyat terhadap Tunggul Ametung.

Setelah berpikir keras, Arok mulai memasang strategi perang yang lebih gemilang. Pertama-tama yang ia lakukan adalah menemui Empu Gandring, pembuat senjata untuk Tumapel. Sedangkan untuk pemberontakan, ia akan potong jalur air dan darat antara Tumapel dengan Kediri. Dengan begitu tidak ada bala bantuan dari Kediri untuk Tumapel, sebab upeti dari Tumapel ke Kediri dirampas oleh kelompok Arok. Hanya satu yang belum ia ketahui: sumber kekayaan Tumapel.

Arok telah mendatangi Empu Gandring, ia minta dibuatkan senjata: seribu pedang dan tiga ribu tombak lempar. Padanya telah ia berikan uang, dan bahan untuk pembuatannya akan segera dikirim. Mpu Gandring menolak. Arok mengancamnya: semua bahan pembuatan senjata Tumapel Arok telah kuasai, bila Gandring tidak mau, Gandring tak akan bisa membuat senjata dan Dewa Pancagina akan murka pada Gandring karena tak ada persembahan untuknya. Gandring menerima, enam bulan ke depan Arok akan ambil senjata itu.

Biara dan Biarawati telah bergabung dengan pasukan Arok, juga warga yang melarikan diri dari Tumapel. Pada saat perjalanan mencari sumber kekayaan Tumapel, pasukan Arok bertemu dengan pasukan temannya, Tanca. Salah satu dari anggota pasukan itu ialah Umang: anak Ki Bango Samparan. Kekuatan Arok sudah sangat besar, kali ini yang harus ia temukan adalah pendulangan emas Tumapel.

Tak lama, utusan Arok untuk mencari sumber Emas Tumapel telah menemukan. Tempat itu adalah Kali Kanta, di dalamnya para budak bekerja untuk mendulang emas. Tak ada yang bisa masuk atau melarikan diri dari hutan di Kali Kanta. Hutan itu dijaga oleh jajaro: pasukan yang sangat kuat, tersembunyi, dan siap membunuh siapa saja yang hendak masuk hutan itu.

Pasukan Arok siap. Segala peralatan perang telah disiapkan. Pasukannya, para petani, biarawan dan biara wati, anak buah Umang, anak buah Tanca, dan semua warga yang menentang Tunggul Ametung siap mengepung pendulangan Emas Kali Kanta.

Penyerbuan dilakukan. Penjagaan jajaro telah ditembus. Rombongan besar jajaro itu tewas, yang selamat melarikan diri. Semenjak itu budak di Kali Kanta telah bebas, mereka ada di bawah pimpinan Arok. Mereka bekerja untuk Arok, bukan lagi sebagai budak, tetapi bekerja bersama-sama untuk kemenangan bersama. Dalam rombongan itu ia juga temui bapak angkatnya, Bango Samparan: orang yang sangat berjasa baginya.
Dengan dikuasainya Kali Kanta dan jalur darat-air antara Tumapel-Kediri, kemenangan sudah berada dalam genggaman Arok.

Perang Semu
Tunggul Ametung gamang. Pemberontakan belum juga padam. Tumapel masih dikawal oleh Kediri. Penasihat Tunggul Ametung, Belakangka, ialah utusan dari Kediri. Sementara istrinya, Dedes, yang dulunya hanya membisu, lambat laun mulai berani bicara bahkan memegang Tumapel saat Tunggul Ametung sewaktu-waktu pergi, dan ia dicintai rakyatnya ketimbang tunggul Ametung. Celakanya, Dedes adalah brahmani Syiwa.

Dengan macetnya upeti Tumapel ke Kediri membuat raja Kretajaya marah besar pada Tunggul Ametung. Sedangkan Kediri tidak tahu bahwa Tumapel punya pendulangan emas. Belakangka di satu sisi sebagai mata-mata Kediri, tapi ia juga bekerjasama dengan Tunggul Ametung dalam perbudakan di Kali Kanta. Belakangka tidak akan membocorkan itu, namun dengan segala cara ia mencoba menggulingkan Tunggul Ametung.

Di saat-saat kebingungan seperti itu, Belakangka mengingatkan Tunggul Ametung agar ia mengundang Lohgawe. Cukup beralasan anjuran Belakangka, sebab hanya Lohgawelah yang bisa meredakan pemberontakkan di berbagai tempat. Mereka yang memberontak adalah orang-orang Syiwa.

Ketika Lohgawe dihadapkan, justru Tunggul Ametung menuduh lelaki tua itu yang memimpin pemberontakan. Akhirnya, setelah Belakangka mendesak, Lohgawe mau mempersembahkan seseorang kepada Tumapel untuk memadamkan pemberontalkkan di berbagai tempat. Dedes, yang kenal dengan Lohgawe, menyetujui saran Belakangka. Orang yang akan ditempatkan di Tumapel ialah Arok.

Kegentaran dan keragu-raguan dirasakan Tunggul Ametung. Ketika bertatap muka dengan Arok, Tunggul ametung agak gentar: ia pernah melihat mata dewa itu, seorang pemberontak bernama Borang yang pernah menantang Tunggul Ametung. Tapi Dedes meyakinkan Tunggul Ametung. Dedes sendiri sebenarnya ragu terhadap Arok, sebab Arok mengaku hanyalah sudra.

Namun saat Dedes bertemu Arok, berdua di Taman Larangan, di belakang Pakuwuan, ia begitu gentar pada mata dewa itu, seperti suaminya gentar pada musuhnya. Yang lebih mengejutkan, ketika Dedes bertanya tentang lontar pemberian ayahnya yang berbahasa Sansakerta, Arok bisa lebih menguasai ketimbang dirinya yang mengaku brahmani.

Dalam hatinya ia berkata: Arok, semuda itu, bisa fasih dalam Sansakerta yang aku sendiri tak begitu menguasainya. Jagad Dewa! Jagad Pramudita!

Tak disadarinya ia telah jatuh cinta pada pemuda sudra itu. Ia akhirnya menginsyafi keraguannya, sebab tak mungkin Lohgawe menempatkan seorang biasa untuk memadamkan pemberontakkan. Ia tahu, di belakang Arok ada para Brahmana Syiwa, juga ayahnya.
Maka diam-diam ia bersekutu dengan Arok untuk menggulingkan suaminya, Tunggul Ametung. Dedes mempunyai senjata yang ampuh: suaminya begitu cinta padanya, dan segala permintaan bakal dikabulkan Tunggul Ametung. Ia akan dengan mudah melakukan penyerangan diam-diam.

Sejak Arok medapat mandat meredakan pemberontakan, ia mulai berpikir bagaimana caranya menghancurkan pasukan Tumapel. Di Pakuwuan, Arok membawa lima puluh anak buahnya untuk mengawal. Pada saat perang, prajurit inilah yang bakal digunakan Arok.

Ide cerdik Arok mulai digunakan. Saat bertempur melawan pemberontak, yang sebenarnya pasukannya sendiri, ia membawa prajurit Tumapel. Di medan perang justru prajurit tumapel yang dihancurkan, dan i pasukannya sendiri dimasukkan dalam barisan pasukan Tumapel. Dengan begitu, Arok terlihat berhasil melawan pemberontak. Pada gilirannya, di Pakuwuan yang ada hanyalah pasukan Arok yang siap menumbangkan Tunggul Ametung.

Tunggul Ametung tak punya pasukan lagi. Ia hanya memiliki para tamtama, dan mereka para tamtama, telah dikuasai oleh seseorang yang punya maksud-maksud tertentu. Para tamtama dan pasukan kuda Tumapel dipimpin oleh Kebo Ijo. Mereka tunduk pada Empu Gandring. Kebo Ijo hanyalah boneka Gandring untuk merebut Tumapel.

Gerakan Gandring
Kesehatan tunggul Ametung semakin memburuk. Apalagi setelah ia tahu bahwa para perwiranya, anak dari selir-selirnya, satu-persatu dibunuh oleh pasukannya sendiri. Tunggul Ametung mengetahui, Kebo Ijo hendak menggulingkan Tunggul Ametung: di belakangnya ada Gandring sang pembuat senjata. Arok tak begitu dicurigai, Dedes terus membujuk suaminya agar pengawalan Pakuwuan dipegang Arok.

Belakangka berusaha menyebarkan syak wasangka terhadap kawula Tumapel. Maka di mata rakyat, Tunggul ametung sengaja membunuh para anak selirnya agar anak yang dikandung Dedes menjadi pewaris tahta. Sedangkan Kebo Ijo ada di bawah kendali Gandring.

Arok membaca situasi ini. Maka ia panggil Kebo Ijo menghadapnya. Di tempat Arok telah tersandra delapan anak buah kebo Ijo yang akan menjadi saksi bahwa terbunuhnya perwira Tumapel adalah ulah Kebo Ijo. Ia membuka segala ulah Kebo Ijo kepada Tunggul Ametung. Dengan begitu Tunggul Ametung menganggap musuh terbesarnya adalah Kebo Ijo dan Gandring.

Gandring marah besar ketika Kebo Ijo mengaku telah melakukan pembunuhan, dan nama Gandring disebut-sebut dalam pembunuhan itu. Kebo Ijo sadar, ia tak berarti apa-apa tanpa Gandring. Dialah yang memegang senjata, para tamtama, pemuda, dan petani Tumapel. Semuanya ada di bawah kekuasaan Gandring. Yang kebo Ijo punya hanyalah pasukan kuda Tumapel, jumlahnya tidak terlalu banyak, cuma ratusan.

Arok juga memanggil Gandring, ia habis-habisan mengungkap rencana busuk Gandring. Dengan menguasai senjata, tamtama, pemuda, petani, Gandring akan memanfaatkan Kebo Ijo merebut Tumapel. Setelah Kebo Ijo naik tahta, Gandring akan menggerakan tamtama lainnya untuk saling membunuh berebut tahta. Mereka tewas, dan Gandring maju sebagai raja Tumapel.

Gandring kecut, gerakannya diketahui Arok. Akhirnya ia mengaku, penyerangan akan dilakukan Kebo Ijo pada malam hari, lusa nanti. Gandring tak dibiarkan pulang, dan Arok mengatakan kepada anak buah Kebo Ijo bahwa Gandring telah ia bunuh.

Belakangka mengikuti perkembangan ini. Maka, ia membiayai dan terus menyokong Kebo Ijo agar penumbangan Tunggul Ametung segera dilakukan. Belakangka bakal mempunyai pemimpin Tumapel, Kebo Ijo, yang tinggal takluk padanya.

Gandring sudah ditakhlukkan Arok. Tinggal bagaimana ia harus menghadapi Belakangka. Maka sebelum penyerangan dilakukan, ia telah berkompromi dengan Dedes: pada waktu pasukan Kebo Ijo datang menyerang, Dedes harus menyambutnya dan bermanis-manis di hadapan Kebo Ijo. Kepada Kebo Ijo, ia akan mengatakan, “Pulanglah, besok kau datang dengan pasukan kudamu untuk merebut Tumapel dengan acara yang lebih layak. Ajaklah anak buahmu berpesta sampai datang kemenanganmu.”

Walau bagaimana pun, Kebo Ijo menginginkan Dedes sebagai Istrinya kelak. Sehingga wajar bila Kebo Ijo menuruti perintah Dedes. Kebo Ijo dan pasukannya akhirnya pulang. Tak ada sedikit pun kecurigaan kepada Arok. Sedanng Belakangka sengaja disekap oleh Arok agar tak banyak berbuat.

Jatuhnya Tunggul Ametung
Arus pasukan bergelombang mengepung Tumapel. Mereka adalah pasukan Arok. Beberapa orang yang berjasa pada Arok ada dalam rombongan itu: Nyi Lembung, Ki Bango Samparan, Lohgawe, Tantripala. Sebelum sampai di Pakuwuan Tumapel, pasukan Arok telah menjarah senjata di pabrik Gandring. Senjata itu ialah pesanan Arok enam bulan lampau.

Sesampainya di Pakuwuan Tumapel, kebo ijo dan tamtamanya sebanyak 140 orang telah memasuki Pakuwuan dengan pakaian kebesarannya. Pasukan Arok tidak menyerang, mereka tinggal diam di halaman Pakuwuan.

Pakuwuan kosong. Para pembantu dan selir-selir, juga anaknya, diperintahkan pergi oleh Arok lewat balakang Pakuwuan. Ini untuk menghindari penjarahan besar-besaran saat penyerangan pertama Kebo Ijo.

Arok dan anak buah resminya menyambut kedatangan Kebo Ijo. Arok mempersilakan Kebo Ijo naik ke pendopo, sedangkan Arok pergi memanggil Dedes. “Keluarlah kau, Tunggul Ametung,” perintah Kebo Ijo. Tak lama kemudian terdengar suara parau dari dalam. Tunggul Ametung keluar dari Bilik Agung dalam keadaan mabuk berat.

Dalam keadaan penuh nafsu, kebo ijo membantai Tunggul Ametung seorang diri. Tunggul Ametung tewas dalam keadaan mengenaskan.

Kebo Ijo dan Belakangka diadili di hadapan orang banyak. Dengan serentak rakyat menyuarakan satu tujuan: Arok adalah pemimpin Tumapel.

Atas restu Lohgawe, Dedes dan Umang menjadi pendamping Arok. Keduanya telah mengandung Anak Arok.

Lohgawe mendesak Arok untuk berbicara:
“Dengarkanlah aku berjanji, sebagai Akuwu Tumapel perbudakan tidak akan diadakan lagi, aku lawan dan aku hapuskan. Dengan bantuan semua kalian akan kutumpas kejahatan dalam bentuk dan cara apa pun. Aku tak akan menghaki milik kalian, juga tidak akan merampas apa pun dari siapa pun. Dua wanita ini saja yang akan meyertai hidupku sebagai istri. Dan akan aku pimpin kalian menghadapi dan melawan kejahatan dari luar Tumapel, dari siapa pun datangnya.”

Kembali orang bersemangat perang. Dan orang mengerti kata-kata itu ditujukan pada Kediri./respati

Catatan: Pada sinopsis (Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer) ini hanya ditampilkan tokoh protagonis saja. Sebenarnya masih banyak lagi tokoh yang mewarnai dalam cerita ini.

0 komentar:

Posting Komentar