Minggu, 17 Juli 2011

Pemberontakan dalam Sebuah Roman


Dia tersentak saat membaca surat dari Blora itu—surat dari ayahnya. Dan yang lebih mengiris hati, sebelumnya, setelah ia bebas dari penjara Belanda, ia pernah mengirim surat untuk ayahnya dengan nada tinggi menyangka sang ayah tak mengurusi adiknya yang sedang sakit keras. Tapi dalam surat itu, tokoh aku, mengetahui bahwa ayahnya pernah dipenjarakan dalam kasus pemberontakan Pesindo. Ia merasa berdosa menyurati seperti itu.

“Aku dapat menggambarkan penderitaanmu dalam ruang yang sangat terbatas, karena aku pernah mengalaminya sendiri ketika pemberontakan P... Penyakit itu diperoleh adikmu waktu dia turut terkurung bersamaku oleh pasukan merah di daerah rawa, di daerah malaria,” tulis ayahnya dalam surat.

Enam bulan berikutnya, seorang paman mengirim surat: “Ayahmu sakit keras, ia dirawat di rumah sakit. Mulanya malaria dan batuk-batuk, ambeien, kemudian ketahuan Tbc.Telah empat kali ayahmu memuntahkan darah. Kalau bisa, pulanglah,”

Pram melukiskan “Bukan Pasar Malam” dengan nada yang tak ambisius, tak seperti roman-romannya yang lain. Kalimat-kalimatnya jujur dan gugup. Polos, bahkan serasa membaca buku harian saja. Tapi dari tulisannya itu ia berhasil memainkan emosi, mengalun deras, juga mengejutkan. Tokoh aku, Pram sendiri, agaknya terkungkung duka mendalam ketika menuliskan karya ini.

Setelah membaca surat dari pamannya, ia lantas berpikir keras agar dapat pulang ke Blora: Pulang—uang—ayah. Keadaan keuangannya saat itu sedang terguncang, ia harus bersepeda menemui kawan-kawannya untuk berhutang. Hatinya berontak melihat mobil-mobil mewah meluncuri jalan, kedengkian membuncah saat dia melewati kantor-kantor pemerintah. Mereka yang berhubungan dengan mobil dan kantor itu hidup penuh kemudahan. Tokoh “aku” mengerdilkan pikirannya sendiri.

“Dan untuk ke Blora ini, aku harus pergi mengelilingi Jakarta dulu dan mendapatkan hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu.”


Kemunduran ekonomi membuat dia dan istrinya kerap berseteru. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Blora dia banyak diam. Sesekali bila dia ingin mengungkapkan sesuatu, istrinya tidak mengacuhkan. Dan dalam kegundahan hati seorang anak yang mencemaskan ayahnya, istrinya seolah tak peduli.

”Kita jangan lama-lama di sana. Ingat keuangan kita,” kata sang istri.


Tokoh “aku” mengerti, tali pernikahannya kian rantas. Sikap istrinya berubah drastis. Dia merasa bersalah tak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keduanya. Tapi dia, yang saat itu hanya mengandalkan uang dari menulis, hanya bisa menerima pemberontakan batin istrinya.

“Dulu—dulu sebelum bertunangan—matanya amat bagus dalam perasaanku. Tapi kebagusan itu telah lenyap sekarang," ucapnya.

Tanah kelahiran yang dia tinggalkan berpuluh tahun itu tidak banyak berubah. Yang berubah hanyalah waktu, dan waktu telah menuakan usia: usia dia, adiknya, ayahnya. Semangat keperwiraannya dalam revolusi akhirnya luruh ketika dihadapkan pada kenyataan baru: Ia menemukan ayahnya tergolek sakit digerogoti Tbc, adik perempuannya sakit, anggota keluarganya banyak tapi miskin, rumah tuanya yang tak kuat lagi menahan arus waktu. Peperangan telah memisahkan mereka begitu lama, juga telah memisahkan dia dan ibunya untuk selamanya. Sebagai anak sulung, ia terpukul.

“Perang memang kutukan untuk manusia, Adikku. Ia menyuruh manusia mendekati dirinya sendiri. Karena, Adikku, dalam sendiri itu terletak segala-galanya yang ada di dunia, yang dirasakan juga oleh setiap orang.”

Dia tak sanggup menahan haru saat bertemu dengan ayahnya di rumahsakit. Ada semacam kekuatan batin yang saling berpautan. Badan ayahnya begitu kurus menyerupai sebilah papan. Matanya telah cekung dan kebiru-biruan. Tangis dua manusia itu pecah. Tokoh aku menggambarkan dalam tulisannya, “Aku tahu: ayah menangis, dan tangis itu tiada bertenaga.”

Seminggu dia di sana, kesehatan sang ayah tak kunjung membaik. Istri dia kembali mendesak agar keduanya pulang karena ekonomi tak memungkinkan. Ucapan itu dibenarkan olehnya, dan dia mengucapkan pada sang ayah. Mendengar ucapan itu, ayahnya nampak sedih.

“Nanti dulu ya? Seminggu lagi,” ucap ayahnya. Dan dia menyesal mengucapkan itu pada ayahnya.

Pramoedya tetap kritikus yang masyhur. Dia mengungkapkan kekecewaannya ketika sang ayah ditelantarkan oleh pihak rumah sakit, seorang pegawai rumahsakit hanya peduli dengan uang, dan bagaimana perawat-perawat muda membiarkan ayahnya ketika mengerang minta tolong. Hingga akhirnya ia memutuskan sang ayah dibawa pulang dan meninggal beberapa hari kemudian.

Namun dalam rentetan peristiwa itu, Pram menuliskan sesuatu yang agak menjauhi realisme tanpa kehilangan identitasnya sebagai realis. Dia banyak bercerita mistik Jawa. Dituliskannya, “aku” dan sang paman mencari dukun barangkali mampu menyembuhkan penyakit ayahnya yang tak sembuh-sembuh. Tapi Pram juga mementahkan mitos tersebut.

“Air yang yang telah dicampur dupa dari sang dukun itu tak membuahkan hasil apa pun.”

Menuliskan “Bukan Pasar Malam”, Pram tidak menelan bulat-bulat aliran mistik Jawa ini. Dia menggabungkan antara metafisis dengan permenungan religius. Pram menuliskan sang ayah yang berkata:

“Di dinding itu ada sembilanpuluh sembilan butir jagung yang ditembakkan ke sini, mereka saling bersayembara. Tidak ada yang kena. Ini berkat lindungan-Nya.”

“Bukan Pasar Malam” sarat dengan penuturan yang gamang. Goenawan Mohamad menyebutnya (tokoh aku) sebagai “orang yang memiliki optimisme tanpa harapan”. Selalu berubah-ubah, seperti kehilangan semangat—putus asa. Tidak menggebu-gebu, tapi dinamika cerita begitu kental. Pada akhirnya Pramoedya tetap bersimpul pada realisme. Seperti yang tergambar dalam ucapan sang ayah waktu menjelang ajal :

“Aku ini anak ulama. Tapi aku tak mau jadi ketib. Aku tak mau jadi naib. Aku tak mau jadi penghulu. Aku mau jadi nasionalis. Karena itu aku jadi guru, membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman patriotisme. Berat, tapi aku rela jadi seorang nasionalis. Aku rela jadi kurban semua ini.


Ayahnya gugur di lapangan politik. Dia dilupakan dari sejarah. Dia dicibir banyak orang karena dianggap bersekutu dengan Belanda. Perjuangan sang ayah berpuluh-puluh tahun untuk masyarakat sia-sia belaka. Para jenderal yang dulu bergerilya bersama saling berebut tahta, buah revolusi hanya jadi jembatan menaiki jabatan. Sang ayah tak mau itu, dia tetap menjadi guru. Dan seperti yang dikatakan sang ayah, tugas seorang guru adalah menjadi pendidik yang sebaik-baiknya.

Di penghujung cerita, Pramoedya seolah-oleh tengah memetik pelajaran dari peristiwa duka itu dan menjadikannya pesan tentang kematian.

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir ke dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang..seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang...dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

Resensi Roman Bukan Pasar Malam Pramoedya ini pernah dipublikasikan di bekasiterkini.com

0 komentar:

Posting Komentar