Selasa, 18 Oktober 2011

Pertemuan Singkat


I
Di suatu senja di musim kemarau aku datang ke Desa Pesalakan, sebuah desa di Kota Pemalang Jawa Tengah—rumah nenek buyutku. Desa ini selalu memikat, terutama perbedaannya dengan daerah lain yang nampak pada semua unsurnya: alamnya, masyarakatnya, juga cara hidupnya. Aku menemukan keajaiban yang tak pernah terpikirkan dalam otak seorang intelektual. Sebuah alam impian yang menakjubkan.

Aku masih satu kota dengan Uyut, begitu aku kerap menyebut. Tak jauh, hanya 10 Kilometer dari rumahku . Tapi untuk menuju ke rumah Uyut, aku mesti menerobos lebatnya hutan. Perkampungan itu terletak di tengah-tengah belantara. Kira-kira, hutan di bagian selatan kotaku terus membentang hingga Purwokerto, Cilacap, lalu Nusa Kambangan dan berakhir di Pantai Selatan.

Tetapi ketika aku datang ke sana setelah beberapa tahun menempuh studi di Jakarta dan meninggalkannya, keasrian itu memudar. Di pinggiran gapura desa terdapat tempat pembuangan akhir sampah yang kian menggunung. Sampah itu datang dari seluruh penjuru kotaku, lalu ditumpuklah di Pesalakan.

Selepas matahari tenggelam aku sampai di sebuah rumah papan tanpa listrik, rumah Uyut. Seperti rumah lainnya, beranda rumah Uyut cukup luas dan dihiasi balai-balai. Halamannya sangat lapang, biasanya di siang hari digunakan untuk menjemur hasil tanam. Suasana desa sepi.

Ketika aku mengetuk pintu, seorang wanita ringkih muncul di hadapanku. Tangannya memegang kayu untuk menopang tubuh yang bungkuk. Dan untuk melihatku saja dia mesti menengadahkan kepalanya ke atas, mengamati, lalu tersenyum. Itu Uyut.

“Mari-mari masuk, Nak,” kata Uyut dengan suara parau.

Aku mengiringi Uyut dan menuntun. Aku memasuki ruang yang luas, beralas tanah, dan bertiang kayu jati kokoh. Kami menduduki bangku kayu panjang. Di depan kursi ada meja. Kosong, tak ada sesuatu terletak di atasnya.

Uyut meletakkan tongkatnya. Tangan Uyut mulai bergerilya menggapai punggungku. Menepuk dan mengusap-usap. Lalu dia berkata:

“Kau sudah besar. Kemarin aku lihat kau kurus,” ingatannya sungguh bagus.

“Masih sama, Yut. Tak ada yang berubah,” kataku.

Uyut sibuk dengan senyumnya sendiri, mengamati cicitnya yang sudah dewasa ini. Terus tersenyum bangga sambil mengunyah-ngunyah sirih.

“Duh, kau ini. Aku senang punya keturunan sepertimu. Paras bagus, perbawa ada. Apalagi? Ah, kau hendak jadi orang, Nak!” Sambil terbatuk-batuk, dia melanjutkan,

”Percaya pada Gusti, pasti kau besar.”

“Mudah-mudahan, Yut, Doakan saja.”

“Oh, itu tentu. Bagaimana mungkin Uyutmu ini tak mendoakanmu,” Uyut terlihat semangat berbicara, agak terhuyung dan tangannya memegangi meja. Uyut menemukan kepribadianya sendiri, dan,

“Sebentar, aku ambilkan minum.”

“Ndak usah, Yut. Biar sahaya ambil sendiri saja,”


II

Senja berganti malam. Keluarga besar kami berkumpul: anak, cucu, dan cicit Uyut yang tinggal di Pesalakan. Satu demi satu makanan keluar. Teh panas yang masih mengepul dituangkan. Meja kosong itu sekarang sesak makanan. Kami duduk-duduk, tersenyum-senyum, dan mengagumi sepetak rumah reot penangkal panas-hujan.

Di samping Uyut ada seorang gadis kecil. Dia memandangiku curiga. Bila aku menatap dia, disembunyikanlah wajahnya di punggung bungkuk Uyut. Aku meriut, aku terkejut, dan aku merasa dianggap asing. Mungkin aku harus pandai menyesuaikan diri. Baiklah. Kali ini aku dekati gadis kecil itu dengan senyum ramah.

“Siapa nama kau?” tanyaku.

Dia masih menyembunyikan wajah.

“Siapa nama kau?”

Masih tidak berjawab. Seorang yang lain menimpali:

“Namanya Wilujeng, Mas” jawab bocah belasan tahun.

Aku jadi gugup. Semua pandangan terpusat padaku. Dan mengapa sedari tadi aku tidak sadar bahwa mereka berkumpul di sini karena aku datang? Duh, aku terlampau bodoh. Pikirku. Berarti, aku harus mengenalnya satu-persatu. Dulu padahal tak sebanyak ini. Ah, aku tidak tahu.

Tiba-tiba Uyut angkat bicara:

“Nah, cicit-cicitku. Ini saudara kalian. Namanya Dewandaru, nama buah Dewa! Dia datang jauh-jauh dari Jakarta. Dewandaru itu anak Ningsih, cucuku. Sekarang dia, suami, dan anaknya tinggal di Jakarta,” Uyut berdiam sebentar. Lalu,

”Dewandaru sengaja datang ke sini karena ingin bertemu dengan kita semua.”

Tak lama kemudian mereka saling berpandang-pandangan. Di antara keluargaku itu aku hanya mengenal bebarapa orang saja. Ada Lek Udin dan istrinya, Yu Yati dan suaminya, dan Yu Sri. Bocah-bocah kecil itu saling bergantain menyalamiku. Aku pun jadi tahu nama-namanya, dan, yang paling kuingat, adalah si bocah ingusan itu: Wilujeng.

Di usianya yang se-abad lebih, Uyut masih bisa berkomunikasi dengan baik. Dia masih dapat menikmati hari tuanya penuh kebahagiaan. Nenekku, anak Uyut satu-satunya, meninggal lima tahun lalu. Dan Ibuku adalah anak sulung Nenek. Setelah nenek tiada kami pindah ke Jakarta. Sedangkan saudara Ibu yang lain tinggal bersama Uyut di Pesalakan. Aku sendiri tak punya adik maupun kakak.

“Kalian baik-baiklah pada Uyut. Dia satu-satunya sesepuh kita. Kau, Damar, jaga adik-adikmu baik-baik,” kataku sebagai cicit tertua, juga pada Damar yang usianya sedikit di bawahku.

“Iya, Mas. Kami akan jaga selalu Uyut baik-baik di sini,” jawab Damar.

Uyut menganguk-anggukkan kepalanya. Berkata:

“Sudah malam. Mari, cicit-cicitku, tidurlah.”

III

Malam semakin pekat. Aku tidur satu kamar bersama Uyut. Selembar kain aku lilitkan pada tubuhnya. Uyut nampak menggigil kedinginan. Kuambil sebuah jaket hangat yang terbuat dari kain wholl, khusus aku bawakan untuk Uyut. Setelah meneguk teh panas, Uyut mulai merasa hangat.

“Aku tak bisa tidur, Nak,” katanya

“Iya Yut, akan sahaya temani,” jawabku.

Uyut meletakkan kepalanya di atas bantal. Kakinya diluruskan pelan-pelan, tapi matanya belum terpejam. Sementara, aku duduk saja di dekat Uyut.

“Bagaimana kesehatan Uyut?”

“Syukur. Baik Nak.”

“Uyut senang di sini?”

Uyut berdiam sebentar. Dia menatap hampa.

“Sekarang desa kami tak ramah lagi.”

“Mengapa?”

“Di depan. Di dekat gapura itu, Nak. Sekarang sampah kian menggunung. Itu sampah dari seluruh pelosok kota tumpah di situ,” Uyut terbatuk-batuk. Melanjutkan,

“Padahal dulu sampah tidak dibuang di desa ini. Dulu nyaman. Sekarang penduduk banyak yang pindah ke desa lain. Tak kuat Nak. Sudah puluhan orang yang meninggal terkena penyakit.”

Aku kaget. Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku. Juga kekecewaan atas pemerintah yang begitu tak memperhatikan masyarakatnya. Sebagai seorang mahasiswa, kecurigaan pun berhamburan. Memang ini sudah kuduga sejak aku melihat sampah tadi menggunung. Dulu tidak sebanyak itu.

“Tidak adakah uang santunan buat warga, Yut? tanyaku.
“Tidak ada.”

Aku berdiam. Lalu menerakan yang aku tahu kepadanya.

“Seharusnya ada semacam tunjangan buat warga sekitar yang desanya dipakai tempat pembuangan sampah. Seharusnya ada jaminan kesehatan, Yut. Warga tidak boleh ada yang sakit, apalagi hingga meninggal terserang penyakit.”

“Duh, cicitku. Mana tahu Uyutmu soal begituan. Warga ya ndak pada ngerti urusan pemerintah. Yang penting kita asal manut saja sama Kades. Jangankan kok dapat santunan, untuk berobat saja ya mereka bayar sendiri-sendiri. Harus keluar desa pula.”

“Uyut pernah sakit?”

“Alhamdulillah, Ndak pernah,” diam sebentar, kemudian, “Untung aku ndak pernah sakit. Mereka pada kesusahan berobat. Kalau ke kota katanya ndak diperhatikan, mentang-mentang orang desa. Yah, beginilah, rasa-rasanya orang-orang sekarang sudah mirip seperti Londo,”

Aku tak mau ketenangan Uyut terganggu dengan pembicaraan yang cukup menyebalkan itu. Dan aku tahu, orang tua selalu mengikuti arah pembicaraan kita. Maka, aku mesti pandai-pandai mengarahkan pembicaraan. Aku cukup tahu saja, tak perlu terlalu dalam menanyakan hal yang membuat Uyut gusar.

“Wilujeng itu anak siapa, Yut?” aku mengalihkan pembicaraan.

Wajah Uyut masih merah. Nampaknya ia terbawa amarah. Aku memegang tangannya erat-erat. Uyut mulai tersenyum lagi.

“Wilujeng anak siapa, Yut?” kataku menegaskan.

Tak disadari aku mengucapkan pertanyaan yang bodoh. Mengapa harus bocah itu? Pikirku. Mata Uyut membeliak mendengar pertanyaanku. Aku tahu aku salah. Itu pertanyaan yang sungguh tak perlu dijawab.

“Wilujeng.” kata Uyut.

“Iya, Yut. Wilujeng.” tanggapku.

“Dia anak khayangan.”

Aku menggaruki kepala. Tersentak. Bingung.

“Maksud Uyut?”

“Pemanmu menemukan dia saat bulan menjadi purna. Ketika itu pamanmu tengah menunggui ladang di seberang sungai sana, di sebelah timur desa, Kali Waluh. Terdengarlah suara bayi di sekitar ladang. Dia mencarinya, tapi tak ada. Setelah beberapa saat, suaranya kian nyata di sungai. Pamanmu datang ke sana.” nenek terdiam.

“Lalu?”

“Lalu pamanmu turun ke sungai mencari suara itu. Suaranya hilang. Dan, mata pamanmu tersilaukan oleh semburat cahaya di sebuah kotak yang mengalir dari arah Selatan ke Utara. Pamanmu menggigil ketakutan. Kotak itu diam di antara empat penjuru sungai yang saling memalang. Sampai di situ, kotak tetap diam, suara bayi kembali merengek. Pamanmu tak tega, dia beranikan mencelupkan kakinya ke sungai untuk mengambil bayi itu. Tapi, Nak..”

“Tapi apa Yut?”

“Tapi sungai yang dalam itu tiba-tiba hanya membasahi tumit pamanmu saja. Selebihnya tidak basah. Diambillah kotak itu. Seorang bayi cantik terbalut kain sutra berada dalam kotak itu. Pamanmu membawanya pulang ke rumah ini dan menyerahkan padaku,”

“Dan?” kataku penasaran.

“Bayi yang suci. Selendang sutra yang bagus. Dan sebilah cudrik yang sempurna. Cudrik itu, Nak, pasti dibuat oleh Maha Empu puluhan abad yang lampau. Tanganya terhias gelang-gelang emas yang menyilaukan. Perhisan menyelubungi seluruh tubuhnya! Ah, dia Dewi!”

Uyut tak kuasa menahan nafsu bicaranya. Ia amat menggebu. Aku diam memperhatikan.

“Dia aku namai Wilujeng. Keselamatan, Nak, itu artinya. Keselamatan bagi kita, bagi desa ini juga. Dan barangkali keselamatan kota ini. Tidak ada yang tahu perihal ini. Pamanmu memasrahkan itu semua padaku, karena, aku dianggap yang sepuh dan mampu menimangnya.”

Sampai di situ uyut memelankan suaranya. Wajahnya berubah layu. Dia gemetar. Seperti seorang dalang, Uyut mengeluarkan suaranya yang berbeda-beda.

“Sekian tahun aku merawatnya. Bibimu yang menyusui dia, aku yang mengeloninya. Tapi ketika usia dia menginjak tahun ke-5 di pangkuanku, perilaku aneh hinggap padanya. Aku melihatnya sendiri dia tengah makan sepotong tahah. Mengerikan.”

Keringat bermanik-manik membasahi dahi Uyut. Aku menggenggam tangannya erat-erat. Uyut mengusap keringatnya dengan setangan, dan, melanjutkan:

“Untuk pertama kalinya aku menampar seseorang. Dia aku tampar mulutnya hingga berdarah. Kuseret ia ke dalam kamar. Kutanyai dia. Kumurkai dia. Kukutuk dia. Dan, di mulutnya, mengalir darah.

Aku mendekapnya. Dia lalu berkata:

'Maafkan aku Bunda, aku hanya ingin menikmati sari emas dalam tanah itu. Kalau Bunda marah, aku tak akan mengulangi ini lagi. Maafkan aku Bunda, maafkan anakmu ini yang berdosa.'

Aku menjawab lemah dan kuciumi pipinya, Nak,

'Bunda tidak marah, Anakku sayang, anak para Dewi. Hanya, pintaku, jadilah kau manusia sewajarnya manusia.'

Setelah kejadian itu dia tak pernah melakukan hal-hal aneh lagi. Dia selalu berada di dekatku. Dia menjadi manusia sewajarnya manusia.”

Uyut tersenyum. Aku tersenyum. Ada pancaran sinar kebesaran yang menyelubungi wajahnya. Uyutku, tak pernah kuduga bila kasihnya mengalir deras, meski untuk seorang manusia yang masih dipertanyakan keasliannya sebagai manusia. Ah, gadis ingusan itu memang berbeda. Wilujeng! Dewi!

“Menurut Uyut, apa yang terkandung dalam diri Wilujeng dan perangkat Dewi yang dibawanya itu?” tanyaku tak puas.

Uyut mendeham. Ia membenarkan letak selimutnya. Lalu menjawab tenang.

“Dia adalah sejarah. Dia adalah jalan yang membentangkan antara masa lalu dan masa sekarang,”

“Maksud Uyut?” tanyaku.

“Kisah para Dewa dan Dewi selalu sama, Nak. Kau ingat cerita Mahabaratha? Karna, saudara Pandawa yang tak diaku. Dia ditemukan oleh sais kereta dalam sebuah keranjang yang mengalir di sungai. Pasti Nak, Wilujeng bukan anak sembarangan. Dan, sungai yang memalang, cudrik, perhiasan, serta kain sutra, itu adalah perlambang kejayaan sejarah. Kejayaan masa silam! Ingat-ingatlah itu, cicitku.”

“Tetapi, bila Uyut tiada, bagaimana nasib Wilujeng, cudrik, sutra, dan perhiasannya?”

“Segala yang ada di dunia ini adalah titipan. Segalanya tumbuh dan mati silih berganti. Tapi jejak masih ada, bekas masih ada, dan sejarah tak pernah mati. Barangkali Gusti menitipkan Wilujeng padaku sebagi pesan. Bila aku mati, dia pun mungkin ikut mati. Sang Gusti mengingatkan kita untuk selalu berbagi. Sebab Nak, manusia, harus pula bersikap sebagai manusia. Kita mesti menghargai sesama, sekali pun dia tak jelas asal dan usulnya. Yang penting bagiku, aku telah melakukan tugas kemanusiaan. Bukannya ini tentang kegaiban, tapi tentang kemanusiaan. Mengerti?”

Akhirnya aku jawab mengerti. Padahal aku belum juga mengerti maksud Uyut.

“Cudrik, sutra, dan perhiasan akan hilang sendiri. Tapi kita manusia ini pun tahu bahwa masa silam itu ada. Sungai memalang, itulah pangkal kota ini,” lanjut Uyut.

Tak terasa malam telah berganti pagi. Suara kokok ayam riuh penuh di desa kami.

“Tidurlah Nak, sudah pagi,” pesan Uyut.

Kami pun tertidur.

IV

Aku terbagung dari tidur. Di hadapanku, komputer masih manyala—aku ketiduran. Sederet tulisan panjang yang belum rampung terpampang membuat kepalaku berat. Bahan buat skripsiku untuk syarat menjadi sarjana sejarah masih sedikit sekali. Dan untuk membuat prasyarat itu, aku harus menelusuri jejak sejarah kota ini yang masih samar dan mengaitkan benang-benang merahnya.

Seketika, perbincanganku semalam dengan Uyut mengilhami tugas ini. Uyutku, wanita yang hanya kureka sosoknya dari cerita keluarga. Uyut menuntunku mencari empat penjuru sungai yang memalang, barangkali ini pulalah pangkal dari Pemalang.

Dan bocah ingusan itu, Wilujeng, aku jatuh cinta padanya. Meski lewat pertemuan singkat: mimpi.

Pemalang, 2011.

0 komentar:

Posting Komentar