Kamis, 20 Oktober 2011

Jalanan


Tulisan dulu, sudah lama sekali.

Bentangan jalan raya ibarat panggung kehidupan. Ada kejahatan, keceriaan, atau keberuntungan. Namun agaknya orang lupa sejarah pembuatan dan fungsi jalan raya yang, kebanyakan, dikembangkan pada masa penjajahan.

Jalan Deandles (Anyer-Panarukan) misalnya, merenggut nyawa pribumi dalam proses pembuatannya. Keringat tak terupah, mereka dipaksa kerja serupa kerbau. Konon bila ada kuli kedapatan tidak bekerja, Deandles menggantungnya hidup-hidup di pepohonan pinggir jalan. Namun sejak dapat dipergunakan, jalan raya pos kemudian menjadi bagian infrastruktur penting, dan untuk selamanya dinikmati tanpa banyak orang yang mengetahui sejarah pembuatannya.

Jika ditelisik dari nama-nama jalan raya di Indonesia, maka orang juga tidak asing lagi mendengar nama pahlawan. Kita diajak bertamasya ke masa lalu mengenang cerita heroik para pejuang. Akhirnya kita merasakan betapa kuatnya semangat mereka, seandainya.

Namun ternyata, banyak orang tidak tahu sejarah nama jalan atau tokoh itu. Sehingga tak jarang tindak yang sangat bertentangan dengan kepahlawanan itu terjadi di jalan raya, bahkan “penjajahan” kecil-kecilan seringkali dilakukan oknum polisi. Banyak masyarakat yang mengaku mendapatkan “pemerasan” ketika sengaja atau tidak sengaja dianggap melanggar peraturan lalu-lintas. Bahkan sebagian masyarakat mengaku “berdamai”; mengeluarkan sebagian uang agar urusannya tidak sampai ke persidangan.

Selain itu, pengguna jalan raya pun kerap merasa bebas di atas aspal jalanan. Ketidakteraturan para pengemudi cukup membuat dampak serius. Kemacetan yang terjadi di ibu kota tak bisa dihindari, umpatan-umpatan pun jamak terdengar. Dan jalan raya seakan menjadi dunia lepas dan bebas.


Pada saatnya, jalan raya menjadi surga kemaksiatan. Kawasan lokalisasi tersebar di berbagai sisi kota pantura, di sanalah tempat remang-remang menawarkan pesona dunia malam. Barangkali di jalanan kota besar, perempuan di jalan raya berarti milik orang banyak. Mereka, di dalam bus kota misalnya, sering mendapat perlakuan amoral laki-laki.

Jalan raya juga menjadi wajah kemiskinan yang melanda bangsa ini. Antrean pengemis dan bocah-bocah jalanan cukup mengoyak nurani. Selain mengganggu ketertiban, hal itu juga berdampak buruk bagi mereka yang hidup di jalanan; kesehatan, mental, moralitas yang terabaikan. Padahal mereka adalah warga negara yang berhak mendapat kehidupan yang layak dan bermartabat.

Di jalanan terselip kemarahan. Mereka yang memberontak bersuara di jalanan. Oia, saya juga mau mengutip lirik lagu, “di jalanan banyak orang mengadu pada Tuhan.”

0 komentar:

Posting Komentar