Rabu, 26 Oktober 2011

Janji yang Terlupa


Oleh Saraswati Hiendarani
Untuk yang terkasih dalam hidupku

Alunan lagu yang mengalir syahdu malam ini tengah mengingatkanku pada seseorang yang waktu itu memberikan banyak sekali cinta. “Sssstttt….cinta-cinta ini kuberikan hanya untuk kau!” Kurasai bahwa cinta itu merupakan suatu hal yang indah, sangat indah. Tapi aku menjadi ingat dan tersadar, cinta bisa mengunyah, melumat kesetiaan. Ingatan itu kemudian menjadikanku lebih hati-hati ketika akan mengecup nikmatnya, cinta.

Kehati-hatianku ini membuat lubang kesendirian, yang ketika kau lemparkan batu ke dalamnya, kau tak akan mendengarkan bunyi “pluk”. Termenung sendiri tanpa ada hadirnya teman bercinta.

Belum ada setitik putih pun muncul dalam hitam pekat lamunanku. Diam menunggu dengan ketenangan. Degupan jantung masih terdengar. Aku masih hidup, bernapas dengan lega. Beberapa menit berlalu, enggan menunggu bersama. Kemudian jam mendekatiku, menawarkan perpindahan waktu. Aku terima dengan senang. Lama kelamaan jam menjadi bosan, ia juga pergi bersama menit, bergandengan tangan dengan mesra. Detik tersenyum. Dengan sabarnya terus berputar mengelilingiku dengan perlahan. Ia setia menemaniku, untuk menunggu. Detik memperlihatkan gigi-giginya yang terdiri dari baut-baut karatan padaku, ia mulai tertawa riang. Aku merasa senang dekat dengannya.

Aku menghampirinya, dan menggandeng tiap second-nya. Berputar riang tanpa kenal waktu. Detik jadi tak menghiraukan segalanya. Ia terus saja berputar dengan melingkarkan jarum detiknya pada lingkar pinggulku. Padahal udara di sekeliling kami sudah berteriak “Cukup!” Aku pusing. Detik juga tak menghiraukannya. Aku mual. Detik makin mempercepat gerakannya, mengocok-ngocok isi perutku. Anehnya, aku semakin merasa bebas. Aku senang.

Dalam diamku itu, aku menemukan titik putih berjalan menghampiri. Ia tak terlihat membawa kehidupan. Semakin dekat, semakin besar bentuk rupanya. Aku menembus melewati tubuhnya yang perkasa. Bagai seekor semut, aku diangkatnya, dimasukkannya dalam pusaka rahimnya.

Aku merayap perlahan dalam kenistaan? Kabut mulai menyusup melalui pori-pori kulit, lubang hidung, telinga, mata, dan semua lubang yang ada di bagian tubuhku ini. Aku merasa menjadi molekul-molekul kabut. Ringan. Terbang melayang. Berenang dalam keputihan wewangian jejampian. Aku memanfaatkan situasi ini. Kuhirup dengan rakusnya hidup awan itu. Kukunyah dan kutelan bulat-bulat. Ia belum datang. Dan lelaki itu tak benar-benar tahu, atau bodoh? Aku selalu menunggumu sayang!

Kubuka mata, dan ternyata pemandangan pasar segera menyadarkanku untuk berdiri dengan tegak. Ku sudah mengenakan sepatu bot sedengkul. Pasar becek. Tadi malam hujan. Bau sayu-sayur busuk menusuk penciumanku. Ikan yang akan segera dipotong tukang jagal itu memandangku dengan benci. Melotot marah. Berteriak minta tolong. Aku diam. Aku tertawa. Ia akan segera dipenggal, dibersihkan, dibumbui, digoreng, dan dikunyah.

Ikan itu teriak. Teriakkannya memekakkan telinga. Aku berputar terjengkang dalam ruang waktu. Warna-warna cerah datang untuk mendekapku, menyelimuti, melindungiku dari dingin rintikan hujan. Seorang lelaki berbadan tegap berenang dalam kolam buaian rindu tubuhku. Ia memiliki mata cinta, bola mata kerinduan. Rindu yang kunantikan sepanjang hidup. Ia mengenakan celana renang ketat hitam. Telanjang dada. Kekar. Bulu dadanya yang halus tak menjadikanku bernafsu untuk mengendus, mengecup, dan menjilatnya. Nafsuku memuncak kala ia membisikkan cinta di telinga kananku. Lelaki tampan itu menyentuh pipi kiri. Pipi kanan menjadi protes. Kemudian ia mendapat layangan cium lembut dan manis dari si bibir merah muda laki-laki itu. Hatiku bergejolak, berjingkrakan riang. Aku tersenyum. Kuberikan senyum manis padanya. Ia erat mendekapku.

Lamunan masuk dalam sukma semakin dalam. Ia terlihat manis dengan sampur oranye pinjamannya. Beberapa hari yang lalu kulihat lamunanku itu kebimbangan meminjam dengan permohonan pada kenyataan, hanya beberapa hari saja, pintanya. Kemudian ia terengah-engah berlari memasuki pekarangan rumahku. Menyeruak, merebahkan badannya di atas tubuhku dan masuk ke pikiran liar hidupku.

Ia mulai berlarian mencari di mana aku berada. Ia berteriak-teriak seperti seekor anjing gila. Doggie, anjing tetanggaku. Celingak-celinguk mencari di mana kebenaran berada, bersembunyi. Ia menemukanku setelah berkompromi dengan sang detik. Ia menyembunyikanku dalam ketiak waktunya. Ia menarik dengan kasar lengan musim jiwaku. Aku bergerak dengan gemulainya. Dengan sampur oranye pinjaman kenistaan. Tak peduli sekitar, tak peduli dengan kebaikan hati detik yang telah susah payah menjumput kekesalan sang lelaki. Aku tertawa bergembira. Mengebiri ketaklukan hati. Mengembara sepanjang pusaka nadi, telah lama ia terbaring tak sadarkan diri. Aku sebenar-benarnya merasa sedih. Tapi aku tahu, sedih tak dapat menyertakan lelaki yang kucinta untuk dapat ikut bermain dengan sampur oranye, yang sekarang menjadi teman sejawat dalam hidupku. Sampur itu berbau sperma, bau kehidupan. Aku semakin senang. Tertawa dalam bayangan badai.

Aku sendiri ketika aku berlari menapaki pasir putih. Laut biru membentang, bak permadani yang terbuai lamunan, begitu panjang. Tenggelam dalam kebimbangan. Aku rasai lembutnya pasir, hangatnya si kuning, penguasa langit memanaskan pasir yang saat ini sedang kuinjak. Aku duduk tersipuh. Kugenggam pasir. Kucium, kuhirup butiran-butirannya. Kurasakan pasir merangkak menapaki tenggorokan. Berjejalan, tak ada yang mau mengalah. Mereka bergerombol, berebutan untuk sampai jatuh masuk lubang perut usus keindahan Tuhanku. Sepoinya angin membuatku ingat akan adanya kedamaian. Aku terus berjalan. Masih ada satu kemungkinan bagiku untuk dapat menyertai kecintaannya dengan hidupku. Ia masih juga belum datang.

Aku sudah tak sabar. Aku cekoki diri laki-laki itu dengan cinta. Ia muntah. Banyak sekali yang keluar dari perutnya. Namun tak kudapati cinta padanya. Frustasi mulai menggerayangiku. Ia bersorban kekacauan. Hitam legam. Lelaki itu bingung. Khawatir. Takut nanti ketika terbangun, ia berada dalam sangkar kebetinaanku. Aku memang jelas sekali untuk memaksakannya membentuk sebongkah cinta dalam relung abstraksinya. Dan ketika itu sudah terbentuk, aku mengharap agar ia mampu dan mau untuk memetik dan memberikan padaku semuanya. Kujahit keliling kedua bola matanya. Ia diam dalam kesakitan.

Aku melanjutkannya dengan mengumandangkan dendangan lagu kita berdua. Ia jadi teringat dengan janjinya akan menyuapiku cinta, dan menunggu dengan keperkasaannya. Namun ia telah lalai. Dan membuatku terhempas, jatuh terkulai.

0 komentar:

Posting Komentar