Minggu, 30 Oktober 2011

Untuk Secangkir Kopi di Taman Ismail Marzuki


Seperti biasa, bila bosan, aku dan temanku, Sumitro, pergi menjelajah Jakarta. Siang tadi kami pergi ke Taman Ismail Marzuki. Tak ada rencana sebenarnya. Tapi kami tahu, setiap Sabtu, aktivitas lengang. Sumitro meluncur dari Depok ke Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan. “Aku tunggu di halte depan stasiun,” kataku. Aku segera angkat kaki dari kampus.

Lama aku menunggu, kira-kira setengah jam lebih. Jalanan macet. Parade kendaraan, bunyi klakson, kepul asap. Baragkali ada demonstrasi di perempatan jalan sana, aksi Sumpah Pemuda. Aku tak peduli. Seorang lelaki berbadan kurus kecil dan rambut keriting panjang terurai terlihat turun dari angkot. Itu Sumitro. Aku sudah di muka stasiun, ia di seberang jalan, melambaikan tangan. Aku membalas. “Ya..!” teriaknya.

Kereta ekonomi jurusan Jakarta Kota melintas setengah jam lagi. Kereta AC sepuluh menit lagi. Biarlah, kami pilih yang ekonomis saja. Kami duduk di bangku tunggu, sulut rokok, ngobrol ngalor-ngidul. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya menghampiri dan menengadahkan tangan. Kutatap mata si Ibu itu, masih sehat. Kuberi dua keping uang lima ratusan.

“Aku sering kepergok orang semacam ini. Ngomongnya kesasar, ujung-ujungnya minta duit. Bukan aku pelit, bila dibiarkan jadi kebiasaan. Tak ada pekerjaan yang hina, mengemis bukan pekerjaan. Itu menghinakan diri,” kata Sumitro.

“Aku ingat Ibuku. Semoga jangan sampai kita menelantarkan orangtua,” timpalku.

Sumitro menatapku dengan agak kecut. Ia seolah memendam cerita buruk yang serupa adegan tadi. Rokok diisap dalam-dalam dan diembuskannya dengan tidak teratur. Ia kembali bicara.

“Kemarin di bus aku hampir kecopetan. Telepon genggam sudah setengah terangkat di saku celana. Tangan itu milik pemuda gagah, rapi, berkemeja. Kudekati dia, kubisikkan kata di dekat telinganya, ‘tangannya hati-hati, Mas’. Si pencopet ganteng itu lekas turun. Ada-ada saja!”

Itu cerita klasik di ibukota ini. Perampokan secara terang-terangan pun kian marak. Kadang pelakunya TNI, membawa senjata api, dan korban banyak yang mati. Kemarin beredar kabar seorang sopir memerkosa penumpang perempuan, dibunuh, dikuras barang-barangnya pula. Gubernur mengelurkan suara kontroversial “makanya perempuan jangan mengenakan pakaian seksi”. Banyak pihak yang memprotes pernyataan itu lewat media, Gubernur dianggap tidak paham persoalan. Tapi bagiku itu wajar, sebab budaya buka-bukaan di Indonesia memang belum lazim.

Aku pun mengatakan pada Sumitro tentang pemberitaan media massa yang terlampau berlebih. Masyarakat dibuat bodoh, keblinger, dan akhirnya mengikuti suara sumbang.
“Kemarin aksi Sumpah Pemuda dikerubuti wartawan, padahal jumlahnya sedikit,” ucap Sumitro mengalihkan pembicaraan.

“Itu pun cuma diliput dampak macetnya saja, Tro. Tuntutannya tidak dimuat.”
“Matinya Khadafi juga beritanya tragis. Semua media menyerang dia. Itu menyedihkan. Padahal Khadafi sudah minta jangan ditembak, kok malah dihabisi. NATO jelas melanggar hukum internasional.”

“Ya, Tro. Media bisa memanipulasi fakta. Tergantung kepentingan.”

Perang di Libya penuh tanda tanya. AS dituding terlalu jauh mengintervensi. Bisa saja kepentingannya karena minyak dan kekayaan lain. Bisa juga karena ideologi. Khadafi dianggap terlalu keras menentang AS. Seharusnya, dalam situasi konflik seperti ini, media mesti hati-hati meliput. Jangan sampai ada kesan memihak salah satu kubu. Di Indonesia, berita di beberapa koran menukik tajam menyerang Khadafi.

Namun ada koran yang justru condong pada Khadafi. Koran Tempo menulis, pascapemberontakan di Libya, proyek pembangunan pesantren/ universitas bantuan, masjid, dan pusat kesehatan masyarakat dari World Islamic Call Society (WICS) di Indonesia terhenti. WICS merupakan perkumpulan lebih dari 250 organisasi Islam yang didirikan dan didanai Libya pada pemerintahan Khadafi. Di berita itu disebutkan pula syarat dari pemerintah Libya: “ jangan gunakan fasilitas itu untuk kepentingan kelompok radikal.”

“Kalau Indonesia bandel pada AS, bisa jadi SBY dijewer juga,” seloroh Mitro.
Setengah jam tak terasa terlewati. Petugas stasiun memberitahu kereta hampir tiba. Sebentar kemudian kereta itu benar datang. Sesak. Penumpang ada pula yang nekat duduk di atas. Kami menuju perron.

“Mari naik!”

***

Tak ada yang berbeda suasana di kereta ekonomi. Tetap riuh-kumuh dan berdesakan. Pedagang lalu lalang, tunanetra bertembang, si pincang mengangkat tangan dengan tenang. Menyedihkan. Tapi apa boleh buat, pemerintah kita ‘kan’ tidak bisa melihat.
“Sssssttt...depan jam 12. Angka 3,” kataku.

Sumitro paham dan tertawa. Di sebelah kanan kami ada gadis berambut panjang. Pakaiannya ketat serupa ketupat. Kami sengaja menggunakan sandi ‘jarum jam’ setiap di dalam gerbong kereta. Angka jarum jam itu petunjuk arah. Bila kami menyebut angka, berarti ada seseorang luar-biasa. Ini cukup mengusir kebosanan kami selama perjalanan. Kami juga kerap bercanda menyaksikan macetnya Jakarta.

“Kalau macet harus dinikmati. Siapa tahu besok tak ada macet lagi. Bisa jadi kenangan,” ucap Mitro polos.

Stasiun Cikini. Kami turun. Stasiun ini memang agak besar, untuk keluar penumpang harus melewati terowongan dan menuruni tangga. Kami dikejutkan dengan minimarket Indomart di dekat pintu masuk. Indomart PT KAI. Tanpa basa-basi tiba-tiba Sumitro masuk, membeli minuman, dan menyodorkan padaku. Aku melihat raut muka pedagang kecil di sekitar pintu stasiun murung. Dagangan mereka tidak laku.

“Harusnya aku tidak beli minuman di situ,” Mitro menyesal.

Keadaan pedagang ini mengingatkanku pada film berjudul American Gangster. Film ini diawali potret Amerika era 60-an. Bumpy, pejuang rakyat jelata yang akhirnya meninggal, melakukan adegan membagi sembako pada warga miskin. Ia terkejut ketika kapitalisme bangkit. Minimarket-minimarket dibagun di mana-mana. Tempat nyaman, harga murah. Ia berkata, “kalau terus seperti ini, warga AS banyak yang menganggur. Toko modern itu langsung dikirimi dagangan dari produsen, distribusi semakin pendek, tidak butuh banyak tangan. Pedagang kelontong bisa gulung tikar.”

Kami menginjak Jalan Pegangsaan Timur, meninggalkan pedagang-pedagang kecil itu dengan melas. Kaki ini melangkah ke arah kanan stasiun. Tak jauh, terlihat gedung kampus kedokteran UI. Aku berceloteh serupa pendongeng pada sahabatku ini, bahwa jaman Belanda gedung itu bernama STOVIA. Bapak Pers Nasional, RM Djokomono Adhi Soerjo, pernah sekolah di sini. Ia dikeluarkan pihak sekolah tanpa alasan, ia pun akhirnya mendirikan koran Melayu pertama bernama Medan Prijaji.

“Daerah di sekitar sini sering disinggung pengarang-pengarang besar dalam karyanya, seperti Abdoel Moeis dan Pramoedya,” kataku menggurui.

Setelah berjalan cukup lama, kami tak menemukan TIM. Aku agak bingung (mungkin karena aku belum pernah masuk, hanya lewat saja). Saat bertanya pada penyapu jalan, TIM ada di arah sebelah kiri stasiun. Kami balik arah.

“Lumayan bikin pegel kaki,” canda Sumitro.

***

Sebuah patung menyambut kami, itu dia Ismail Marzuki. Pelataran TIM dipenuhi mobil dan bendera merek rokok. Kami memasuki daerah yang dikenal sebagai ‘sarang’ seniman. Tapi aku tak menyerap energi seni di sini. Hanya terpampang tulisan Graha Bhakti Budaya dan Pds. Hb. Jassin, itu pun sekadar terkesan tua. Kami mulai mendekat.

Orang bergerombol menatap papan pengumuman. Kami turut nimbrung, papan itu berisi pengumuman jadwal pentas. Tiketnya cukup mahal, Rp 75 ribu di balkon. Di samping gedung itu ada gedung bioskop: aku merasakan aroma hedonisme sangat kuat di sini. Di sampingnya lagi ada toko buku, menjual buku lawas tentang seni-budaya.

“Kita lihat-lihat buku saja” Mitro bersemangat.

Ada paradoks di TIM. Di satu sisi ia menawarkan nilai-nilai kebudayaan berupa pentas teater atau pentas seni lainnya, tetapi di sisi lain ada kapitalisme: bioskop, cafe, dll. Aku tak menemui sosok yang ‘nyeni’, justru kebanyakan dari mereka ‘modis’.

Kami memasuki toko buku. Mataku ‘jelalatan’ memandang ke sana- ke mari. Toko buku ini seperti toko buku emperan di Pondok Cina Depok dan Kwitang Pasar Senen. Tapi meskipun bekas, harganya cukup mahal: mungkin karena langka. Aku sibuk mencari buku berjudul ‘Prahara Budaya’ yang disusun Taufiq Ismail & D.S. Moeljanto, tidak ketemu. Akhirnya, setelah minta tolong, seorang penjaga yang baik hati mau menunjukkan letak buku itu.

Lembar demi lembar aku baca secara acak. Sementara Sumitro masih asyik membaca majalah. Di daftar isi, terdapat beberapa ‘nama’ seperti Manikebu, Lekra, PKI. Tentu saja ada nama sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Buku ini menceritakan perang ideologi para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan anti-Lekra. Anggota Lekra, seperti Pram, menginginkan kebudayaan nasional mesti dikembangkan—termasuk dengan menutup rapat-rapat celah budaya luar masuk. Tetapi para pelajar atau cendekia menentang itu. Mereka berpendapat, kebudayaan adalah sesuatu yang bukan hanya berkaitan dengan memberi, tetapi juga menerima: tidak mengutamakan salah satu sektor budaya. Beberapa penandatangan Manifes Kebudayaan ialah Goenawan Mohamad Arif Budiman, Toufik Ismail, Hb. Jassin, dll.

Beberapa saat, aku memukan pidato Pram pada sidang Pleno Lekra di Palembang. Pidato itu kurang lebih ditutup dengan paragraf ini:

Saya menyampaikan sekali lagi pada kawan-kawan sekalian, bahwa tak mungkin kita membangun kebudayaan nasional pada satu pihak tanpa menjebol kebudayaan imperialis Amerika Serikat pada lain pihak. Mungkin ada yang bertanya, mengapa imperialis Amerika Serikat, mengapa bukan hanya Inggris dengan proyek neokolonialisnya yang bernama'Malaysia?' Karena kita tahu betul, kawan-kawan, bahwa tanpa imperialisme Amerika Serikat, imperialisme-imperialisme lain itu akan rontok tanpa daya, juga imperialisme Inggris plus proyek neokolonialismenya baik di 'Malaysia'maupun Rhodesia.
Maka yang paling tepat kita serukan sekarang ini ialah:
Ganyang imperialisme Amerika Serikat!
Ganyang kebudayaan imperialisme Amerika Serikat!
Ganyang kebudayaan komprador Amerika Serikat di Indonesia!
Ganyang AMPAI!


Aku panggil Sumitro, ia ikut membaca. Namun harus kutaruh kembali buku itu di raknya. Duitku tak cukup membelinya.

“Ayo ngopi,” ajak Sumitro.

Dari pelataran, kami mengamati kembali gedung Graha Budaya yang bersanding dengan gedung XXI, sepaket cafenya. Barangkali isi Manifes Kebudayaan benar-benar berhasil diterapkan di TIM: kebudayaan yang memberi dan saling menerima. Tapi kami merasa budaya asing lebih kuat melingkupi tempat ini.

“Kita ngopi di cafe?” kataku.

“Jangan, di depan sana saja, di pinggir jalan.”

2 komentar:

ari sumitro mengatakan...

enak, renyah, bagus dan mantab
tapi apakah baiknya tidak samarkan saja untuk nama?

Respati Wasesa Affandi mengatakan...

Terimakasih Bung Mitro.
Barangkali ini hanya catatan kecil saja, buat mengarsip pengalaman kita.

"Kita nikmati macet. Mungkin esok tak ada macet. Kita bisa kangen macet nanti." hahaha

Posting Komentar