Rabu, 02 November 2011

Bulan Seperempat Purnama


Oleh Ari Sumitro

Cerita ini aku mulai dari Jakarta. Aku tahu ini akan terjadi. Sebuah kebetulan yang sudah kurencanakan bersama temanku, salah satu mahasiswi Universitas Pancasila fakultas filsafat semester dua. Aku ingin merebut sedikit kebahagiaan darinya dengan menjadi bagian dari dirinya, lagi.

Tapi dengan apa aku membahagiakannya? Untuk mengarahkan masa depan saja aku bingung, sebab sejak dari taman kanak-kanak hingga sekarang, aku selalu menutup mata atau menundukkan kepala jika kudengar perkataan “apa cita-citamu?” atau “kalau besar nanti kau ingin jadi apa?”

Tapi itu pertanyaan dulu, waktu masih banyak anak-anak kecil telanjang: bukan karena malas memakai baju, tapi karena memang tak punya apa yang harus dipakai untuk menutupi aurat si kecil, buat makan saja kurang apalagi beli baju. Sekarang pertanyaan itu berbeda kalimat, “Mau melanjutkan kejurusan apa?” Terkadang pertanyaan itu keluar bersama tusukan sikut sebayaku. Sebenarnya aku juga masih ingat betul bahwa aku pernah mengingikan menjadi seorang dalang wayang kulit karena ayah dan kakek (dari pihak ayah), seorang dalang.

Aku juga sering mendengar percakapan seorang ibu dengan anaknya yang masih balita sambil mengayun-ayun menidurkan dalam peluknya, “anakku kalau besar jadi presiden” atau “anakku kalau besar jadi pilot” walaupun mereka dari keluarga tukang becak atau buruh miskin. Monolog itu terdengar seperti tembang pengantar tidur, lebih romantis dari melodi Mozart atau Beethoven, lebih indah dari melodi kontrapun Bach, bahkan lebih merdu dari walsa Strauss. Barangkali setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya, sekalipun harus menjilat pantat orang.

Lima belas menit lagi dia berjanji datang ke tempat yang kami janjikan, membawakanku buah tangan dari Jogja. Mungkin ia mampir dulu di kantin kampusnya, membeli minuman dan makanan kecil. Hari ini matahari galak. Aku tahu, dia sangat menjaga kebersihan tapi ia juga lebih mengutamakan menggunakan produk dalam negeri, lantas ia mesti membelinya entah di mana. Aku lebih suka makan, minum, atau sekadar melepas penat di warung rokok pinggir jalan—ini lebih ‘ke-Indonesiaan’ ketimbang di KFC atau mcDonald’s—de ngan ekspansi agresifnya ke seluruh penjuru dunia, McDonald's dijadikan sebagai simbol globalisasi dan penyebar gaya hidup orang Amerika. Tak tahu kenapa aku sangat membenci Negara adidaya itu. Mereka mencekoki kita dengan budayanya, tapi toh nyatanya kita tak muntah-muntah. Ah sudahlah, aku mual memikirkan kebinalan mereka.

Aku mulai gelisah karena Hawa memuaikan jam besi hingga menjelma karet, padahal ia berjanji datang pukul lima sore. Senja sudah jauh melipat kebarat, menyimpan cahayanya untuk kehidupan esok. Aku meraba-raba kantong celana, mengambil handphone yang kuharap berdering dan mendamaikan kegelisahan. Ah, tak ada kabar juga. Kuputuskan memencet nomor teleponya. Tak ada jawaban. Ini membuatku semakin gusar. Aku buka halaman buku yang kutandai dengan selipan daun, daun yang aku tak tahu namanya, yang jelas jika daun itu kering menebarkan aroma kedamaian dan uratnya tampak menjulur-julur indah. Aku menikmatinya. Tak berselang lama terasa tepukan lembut menjatuhi pundakku.

“Sori aku tadi terjebak macet, sedikit menahan kesabaran tak apa, kan?”
“Oke, tak masalah,” jawabku gugup menatap sorot matanya.
“Jadi dari mana bisa kita mulai percakapan yang hari ini, heee?” katanya, sambil menyodorkan sebungkus kado berbungkus kertas warna biru bertabur bunga mawar. Hanya kujawab dengan senyum tipis saat kulihat gingsul indah pada giginya.

“Kemarin aku sempat lihat aksi di HI, mereka menggunakan almamater warna biru, hijau, merah dan kuning. Aku rasa itu dari beberapa kampus. Aku hampiri salah satu yang berdiri paling belakang, ia mengatakan aksi kali ini memeringati tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998,” Hawa bercericau, aku hanya melihat bibirnya yang terus bergoyang memberi penjelasan, seolah menjadi pendengar yang baik. Andai saat aksi itu aku di belakang, mungkin orang yang dihampirinya aku.

Itu rangkaian aksi yang diadakan beberapa kampus di Jakarta, mengingatkan pemerintah pada peristiwa Semanggi: dua aksi protes yang berujung tewasnya mahasiswa dan sipil. Kejadian pertama dikenal dengan “Tragedi Semanggi I ” pada 11-13 November 1998 pada pemerintahan transisi Indonesia. Mahasiswa bergolak karena mereka tidak mengakui pemerintahan B.J. Habibie dan tidak percaya kepada para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru. Kejadian kedua dikenal “Tragedi Semanggi II” pada 24 September 1999 yang menewaskan seorang mahasiswa dan 11 di seluruh Jakarta, serta melukai 217 orang.

Tiba-tiba, dengan gemas, Hawa menarik lenganku untuk segera naik minibus berwarna ungu yang setiap hari mondar-mandir Depok-Lebak Bulus. Sikapnya memang selalu begitu sejak pertama aku mengenal.

“Kita ke Margo,” katanya, menjawab kebingunganku.

Kami duduk di bangku deret ketiga, berjarak kira-kira dua bangku dari pak sopir. Di depan kami ada seorang kakek bersama gadis kecil yang asyik menikmati es krim.
“Kek, kok mobil bisa jalan sih?” ia berhenti mengulum es krim cokelatnya.
“Iya dong, kan ada mesinnya.”
“Mobil punya kaki kayak kita yah kek?”
“Tidak. Namanya bukan kaki, tapi roda.”
“Kata Ibu yang bisa jalan cuma yang punya kaki, berati mobil kan punya?”
“Roda itu kakinya mobil buat jalan.”
“Oh…eh, Kek Kek, kok Nenek punya kaki tidak bisa jalan, malah naik kursi roda?”
Gadis kecil itu menunggu dengan bingung jawaban dari kakeknya. Aku lihat si kakek merapikan topi kodok yang agak miring ke kanan, dibarengi senyum kesabaran.
“Sudah, lanjutkan makan es krimnya!”

Tak terasa sepuluh menit berlalu, minibus berhenti di depan Margocity Kota Depok. Suara riuh calo, kernet dan klakson mobil terdengar seperti bunyi hujan ketika kita menutup kedua kuping. Dari pinggir jalan ini pikiranku melayang pada sebuah café ─The Old House Cofee─. Pasti ada band yang tampil membawakan tembang pengantar malam. Tanpa ragu hawa menyetujui menyempatkan singgah sebentar di café itu sekadar minum kopi, nanti. Bangunan kuno berwarna putih berarsitektur khas Belanda. Menurut catatan sejarah, bangunan tersebut dimiliki dan didirikan oleh seorang arsitek Belanda, tetapi dibeli totok Cina Lauw Tek Lock pada pertengahan abad 19 dan diwariskan kepada puteranya, Kapitan Der Chineezen Lauw Tjeng Shiang. Rumah ini sempat menjadi tempat persinggahan seorang tuan tanah Depok jaman VOC, Cornelis Chastelein, atau akrab dikenal ‘Belanda Depok’ karena menguasai tanah swasta di Depok.

Pada Maret 1714, tanah itu diserahkan pada keturunan dan budak beliannya yang beragama Kristen, dengan syarat tidak boleh dijual untuk selama-lamanya. Budak yang dibebaskannya itu berjumlah kira-kira 200 orang dari Bali, Sulawesi, Timor, dll. Hingga tahun 1915, mereka berjumlah 748 orang. Mereka menjadi masyarakat tersendiri di tengah-tengah mayoritas muslim di kawasan Batavia. Namun, ketika Jepang masuk, disusul revolusi, kekristenan Depok mengendur dan status tanah mereka juga tidak bisa dipertahankan. Kini, Depok menjadi Kota plural dengan penduduk dari berbagai penjuru daerah. Barangkali The Old House Cofee satu-satunya pintu menuju Depok masa silam.

“Sabit, tuh kayaknya band sudah mulai. Ayo ke sana!”

Alunan lagu “Takkan Terganti” Marcell Siahaan menyambut kami, aku gamit jari lentik Hawa. Kami ambil meja paling kiri agar suasana lebih terasa romantis, capucino kami pesan. Aku menikmati lagu ini, hingga tanpa sadar bibirku terbuka-bergerak pelan: aku bernyanyi lirih.

─Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan
Semua tak 'kan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti─


Walau bukan dinyanyikan langsung Marcell, tapi cukup membuat pengunjung melupakan beban hidup, termasuk aku. Kulihat Hawa juga menyimak bait-bait itu selaras dengan gerak bibir dan ketuk jariku di meja. Ah, aku jadi semakin gemas, semakin jatuhkan cinta ini padanya, lalu secara diam-diam aku sunting Hawa menjadi pacarku, aku ungkapkan perasaan ini. Namun ia diam, dan kebisuannya membuatku kikuk, seolah ia serahkan jawabnya pada lirih tiupan angin.

“Kita harus lebih sering bertemu,” kalimat yang lebih dulu ia ucapkan dan aku mengiyai. Sebelum kami mencukupi keintiman itu, sebenarnya aku agak kecewa karena Hawa tak menjawab pernyataanku. Kami pun beranjak dari rumah sang tuan tanah.

Saat suasana hati ini seumpama pohon pisang yang dibeli lewat kantor pos, kubuka pintu kamar, dan kantongku bergetar.
“ Sabit, sebelum tidur sempatkan buka e-mail dariku,” menerima satu pesan dari Hawa ibarat memakan sambal saat kantuk.

JAKARTA, 19 September 2010
Sabit Purnama yang mulai kucinta
Mungkin aku adalah orang paling bisu di antara tunawicara. Tapi tak ada kata bisu lagi untuk ini, apalagi pada dunia maya. Karena aku bisa pinjam mulutnya tanpa ada orang lain yang tahu kecuali Tuhan. Seharusnya kukatakan ini tepat di hadapanmu. Bahwa kuterima pinang cintamu untuk menjajahi hatiku yang sebenarnya sejak lama aku menanti. Aku juga suka kamu. Love U…

JAKARTA, 20 September 2010
Hawa Indahjiwa tercinta
Terima kasih atas sambutan hangat cintamu, sudah satu setengah tahun aku tahan kata-kata itu, hanya untuk menyakinkanku bahwa aku cinta kamu dan yang lebih penting untuk meyakinkanmu akan cintaku. Aku kangen kamu Hawaku. Kangen bau tubuhmu dan nafasmu.
Love U.


Esok dan hari-hari selanjutnya (setiap libur dan sepulang kuliah) kami habiskan bersama, membuat alenia-alenia baru dalam menyusun dunia. Walau kutahu ada yang aneh dengannya. Dua bulan selanjutnya aku mulai dikejutkan kejadian-kejadian yang membuatku gugup dan kacau. Kupandangi mataku pada kaca, hati ini seperti bawang merah: ketika kebohongan telah terkelupas seperti kulit ari yang mengering, maka terbukalah lapisan kulit di bawahnya yang panas memerahkan mata. Membuat mataku seperti ingin menangis. Aku pernah lihat dia menggamit tangan seorang pejantan, aku harus berulang mengucek mata. Dia tinggi, kokoh dan kelihatanya ramah, lalu aku mulai curiga dan cemburu. Dan kini mulai kucari informasi itu, jika kutulis mungkin bisa dua puluh halaman. Sangat meyakinkan, karena sebagian besar kudapat dari teman dekat Hawa dan Dia. Aku tak mau menyebut nama lelaki yang tinggi, kokoh dan kelihantanya ramah itu, karena aku takut membenci dia dan aku sendiri. Sebab aku datang belakangan dan menjadi orang yang patut dipersalahkan karena membuat cinta Hawa bercabang.

Sejak itu jarang kutemui dan ditemui Hawa. Salah satu informasi yang kudapat langsung dari percakapan mereka adalah, Hawa mengakui bahwa dua bulan lalu ia membagi hatinya untukku, hati yang bukan seharusnya untukku.Ia hanya diam, tersenyum tipis. Kulihat binar mata hawa dan perlahan menetes. Kudengar suara lembut seorang hawa yang terbatah-batah dan sesenggukan bahwa ia mengaku bersalah padaku dan dia. Karena menghianatinya dan memberiku harapan cinta.

JAKARTA, 30 September 2010
Untuk Sabit
Aku tak tahu lagi apakah aku masih punya cinta, karena cinta yang bercabang. Bersamamu terlalu indah, barang kali karena Tuhan cemburu pada wanita sehingga mengharamkanya bersuamikan lebih dari satu: poliandri. Tapi apakah itu berlaku pada sebuah cinta? Aku mencintaimu juga Herman, tapi kamu sudah jauh terlambat sebelum akhirnya aku menerima Herman setahun lalu dan sudah terlalu baik denganku. Bahkan untuk berkata dengan nada keraspun ia belum pernah. Mungkin memang harus kuhentikan cinta kita karena aku mulai kasihan kalau lelaki sebaik Herman terluka. Dan maafkanku karena aku tak jujur padamu. Kuharap kamu tahu dan mengerti posisiku. APAKAH AKU BERDOSA? MINIMAL DENGAN HERMAN.


JAKARTA, 1 Oktober 2010
Aku tak tahu lagi apakah masih ada dosa
Cinta terlalu indah walau terlahir dari penghianatan. Barangkali karena itu Tuhan melarang sebuah perselingkuhan. Aku tak ingin kamu kehilangan semua, jadi kupikir kamu pantas mempertahankan yang lebih dulu. Dan aku juga memintakan maaf atas diriku ini yang menggodamu. Kuharap kamu bahagia dan kita bisa saling bertukar pikiran juga dengan Herman (sebenarnya aku takut menyebut nama itu, aku takut membenci dia dan aku).


Kutulis email itu penuh dengan rasa bersalah dan luka. Aku merasa tubuh ini gemetar dan lemas. Kuajak tubuh ini untuk tidur dengan boneka buah jambuku yang berwarna hijau sambil memegang handphone dan kutulis sebuah pesan untuk lelaki tinggi, kokoh dan ramah.


“Hay lelaki yang tinggi, kokoh dan ramah maafin gue yang….. lo sudah pasti tahu masalahnya. Gue dateng terlambat, jadi gue yang harus mundur dari ranah percintaan lo, gue dan Hawa. Sekali lagi gue minta maaf karena memang gue ga pernah tau kalau Hawa udah jadi milik lo. Gue percaya lo bisa jaga Hawa”

To: +628571227XXX
Message Delivered
02-10-2010 01:05
Sender: +6285742742XXX

***

Selagi Sabit malas untuk bercerita tentang dirinya, mungkin sekarang giliranku untuk menceritakan hari esok yang ia lalui. Tapi alangkah baiknya kuceritakan yang malam saja, biar yang pagi siang sore menjadi rahasianya. Seperti ini:

Sabit memperhatikan titik embun pada kaca jendela dengan senyum kecut sebelum ia melempar handphone di kasur karena ia mengharap sms atau telfon untuk sekadar menghibur. Menutup kembali rekahan jendela setelah angin mulai meniup kencang. Embun itu masih ada. Sabit mengecupkan bibir pada kaca, ia merasakan dingin malam sambil mengosok-gosok kedua telapak tangan. Mengharap kehangatan. Menajamkan bola matanya pada embun di kaca yang kini terlukis cupang bibirnya. Keheningan lantas menyergapnya. Menggoda pada bayang-bayang sesosok perempuan yang kini masih ia kenang. Lalu angin menghantarkan lagi nyanyian binatang malam yang sempat permisi karena suara dari batu yang ia lempar ke semak halaman rumah. Titik embun perlahan menutup kecupan bibir pada kaca. Terdengar semakin keras tiupan angin menampar daun-daunan di luar, membuat hawa dingin makin menusuk tulang. Sabit melipat kaki ke dalam dada dan mengikat tanganya. Kegelisahan kini menghantarkan ia pada keraguan akan keberuntungan menemukan cinta lain.

Perlahan ia buka lebar-lebar daun pintu itu. Seolah tak peduli galaknya angin malam. Ia ambil pot bunga pada tubir jendela yang lembab. Kulihat ia bicara di depan bunga yang baru merekah.

“Hai, siapa namamu perempuan, bukankah aku pernah mengenalmu?”
“Aku bukan perempuan.”
“Baiklah gadis.”
“Bukan juga.” Ia mengerutkan kening
“Lalu kamu siapa?”
“Aku bukan siapa-siapa.”
Dulu aku sangat menyukai bunga mawar sepertimu. Jadi siapa kau ini?
Ia menguncang-guncang pot itu meminta jawaban dari pertanyaanya.

Setiap kali ia merasakan kepahitan hatinya Sabit mengumpat gelas-gelas kaca lalu membantingnya. Berharap memberi ketenangan. Sabit merasa bahwa kerinduan itu menyengat lagi belakangan ini. Kadang-kadang rindu itu seperti pecahan beling yang mengiris di ujung jejari.

0 komentar:

Posting Komentar