Selasa, 08 November 2011

Media di Ujung Konflik


Saya cemas terhadap Pers Indonesia. Idealisme media terkungkung, para wartawan dipaksa mengikuti misi perusahaannya. Saya yakin, tidak semua wartawan keblinger. Masih banyak dari mereka yang punya tekad kuat menjunjung tanggung jawab pers. Konflik yang terjadi beberapa hari ini, baik di luar maupun dalam negeri, menunjukkan bahwa media ceroboh menyajikan informasi. Sekali lagi, saya tidak menunjuk hidung wartawan, tetapi lembaga.

Media kita, satu sama lain seolah memegang ‘kartu’. Sama-sama tahu. Sama-sama paham pemiliknya juga punya agenda, baik politik, sosial, budaya, maupun agama. Memprihatinkan, ketika pemodal media ialah politikus. Media A menutupi kasus ini, media B menutupi kasus itu. Atau saling buka-bukaan masalah. Masyarakat akhirnya bingung.

Kasus Lapindo di Porong Sidoarjo misalnya, sama sekali tidak dikupas TV-One. Masyarakat tahu, pemilik Lapindo dan Tv-One ialah Aburizal Bakrie. Namun ketika ada kasus yang tidak ada sangkut paut pemiliknya, media ini beringas serupa banteng ketaton. Begitu juga Metro-TV dan Media Indonesia milik Surya Paloh. Di kedua media Paloh, berita dimuat amat tajam, terkesan tendensius. Saya tentu terkejut waktu membaca Media Indonesia, dan menemui komentar-komentar orang di Facebok yang terpampang jelas di bawah halaman berita politik. Komentar itu berupa kalimat kasar yang menurut saya bernada melecehkan.

Baru-baru ini saya pun kecewa pada Grup Tempo. Mereka, lewat beritanya, sangat mencolok mendukung figur baru Sri Mulyani. Bahkan kerap disebutkan (dipamerkan), pendukung Partai Sri para wartawan, politikus PSI jaman Soekarno, dan cendekiawan yang selama ini dianggap idealis. Padahal sebelumnya Sri Mulyani ramai disebut dalam Kasus Bank Century. Itu sah saja. Tapi bukankah media milik rakyat? Ketika sebuah media massa hadir, ia mesti berpihak sebaik-baiknya untuk rakyat. Bukan kepentingan golongan tertentu. Media harus menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan.

Kemarin, kematian Khadafi juga diberitakan secara subjektif. Pers Indonesia bergerombol mengeroyok berita miring tewasnya pemimpin Libya itu. Pers mengamini, bahkan sangat yakin Khadafi seorang otoriteris. Di media lokal Radar Bekasi, Grup Jawa Pos, saya baca judul “Khadafi Modar”. Judul tersebut memvonis, secara teknis salah. Apakah Pers bertugas menghakimi?

Harian Kompas, yang sangat teliti terhadap teknis pemberitaan, pun melakukan agenda setting menyerang Khadafi. Sudut pandang berita diambil dari sudut pandang kelompok oposisi, maka seolah-olah Khadafi manusia paling keji di dunia. Sedangkan di sisi lain, Khadafi sebenarnya ikut andil dalam pembangunan dunia, seperti pembangunan rumah sakit dan sekolah di kawasan Asia Pasifik. Kita tak tahu seberapa besar kepentingan Barat terhadap Timur Tengah. Kompas pernah memberitakan, IMF ikut campur ekonomi Libya. Namun saya tak pernah dengar lagi.

Kadang-kadang saya marah bila pertentangan prinsip jurnalistik terjadi di lapangan. Medan konflik merupakan ranah rawan dan berbahaya bagi wartawan. Bukan bahaya secara fisik, tapi pemberitaan. Peliputan konflik kerap memengaruhi emosi wartawan, sehingga yang terjadi adalah subjektifitas penulis. Tak mengejutkan jika pengamat media mengatakan, peliputan konflik membutuhkan kecermatan dan kehati -hatian.

Beberapa hari ke depan, kita akan dihujani berita perang Israel dan Iran. Israel dan Barat menganggap Iran memproduksi bom nuklir. Iran membantah itu, ia menanggapi tantangan perang tersebut. Kita tahu, Ahmadinajed sangat keras menentang Barat. Dan kita tahu, Barat tidak suka. Media luar menyebutkan, target Barat yaitu menggulingkan kepemimpinan Ahmadinajed, seperti revolusi di negara Timur Tengah belakangan.

Baik Iran maupun Barat sudah mempersiapkan pertempuran, termasuk pertempuran informasi. Iran, belum lama, mengumpulkan media Islam seluruh dunia dan menggalang kekuatan untuk menghadapi gempuran media yang dianggap terlalu banyak memanipulasi fakta. Islam diserang media, kata Ahmadinajed. Sedangkan Barat tak diragukan lagi dengan perang media, operasi intelejen dilakukan di mana-mana.

Bagaimana Pers Indonesia memandang ini? Apakah kita akan tetap terjebak pada subjektifitas? Saya berharap Pers Indonesia mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Memberitakan secara proporsional, independen, dan tidak membodohi/memprovokasi rakyat. Sebab, kita tahu, teori jarum suntik masih relevan di negara ini. Rakyat terpedaya tanpa bisa apa-apa menerima badai informasi media massa.

0 komentar:

Posting Komentar