Rabu, 09 November 2011

Anggrek Kuburan


Aku ingin menulis tentangmu. Kamu bukan siapa-siapa, bagiku. Kerena memang aku tak mengenal jauh, dekat, dalam, atau detail. Aku mengenalmu cukup dari sudut matamu. Aku meraba pikiranmu cukup dari bicaramu. Aku tahu suka-senang hidupmu, keluh-kesahmu, cukup lewat syairmu. Aku merasakan getar tangan dan hatimu.

Tapi kamu memang bukan siapa-siapa bagiku. Kamu juga pernah bilang, aku mengenalmu belum lama. Aku tak berani menduga, diam. Kamu mengelak membuka siapa kamu, aku tahu. Seperti seorang jago mabuk, kau meniriskan tetes demi tetes airmu dalam sloki, aku meneguknya. Aku terbang dengan caramu yang tenang, teratur, tidak terputus. Aku mabuk.

Kini, seperti aku katakan tadi, aku mulai mampu merangkai sosokmu. Tapi aku masih mabuk karenamu, aku mengejar kamu menghindar, aku berlari kamu sembunyi. Dalam keadaan seperti ini, kamu ajak aku bicara apa saja, kau ajak aku menulis apa saja. Kata dan makna terhambur. Semuanya melebur campur. Kamu aduk, kamu kacaukan, hiraukan. Aku mabuk. Aku ambruk.

Kemarin kamu perempuan biasa saja. Kemarin kamu seuntai bunga, mekar lalu layu. Kamu hilang aku tak peduli, kamu hadir aku tak gugup. Kamu gerimis di kota gersang, sesekali datang setiap hari hilang. Ada atau tidak sama saja keadaannya. Tak berpengaruh. Tak bergemuruh. Namun kini kamu datang membawa kekerasan yang sangat santun dan bisu.

Namamu Anggrek, menjalar di pohon kamboja. Di kuburan, mengembang mewangi dalam sepi. Barangkali memang kamu liar, gemar menyendiri di rerimbunan kematian. Bila manusia datang, sekadar menyentuhmu pun tak mau. Kamu mengerikan. Memetikmu sama saja menimbun kematian.

Kamu merindui ketiadaan. Mati muda menjadi impian. Entah apa kamu renungkan, lamat-lamat wajahmu sungguh menakutkan. Setiap saat, di mana pun aku, bayanganmu datang membawa aku ke alam hayalan. Kamu tetap mengikutiku. Kadang-kadang kamu tersenyum hambar, atau memelotot dengan tangan berkacak pinggang. Aku meringkuk, tapi kamu terus mendekat menyekat ruang gerak. Dalam keadaanku yang mengenaskan ini kamu lantas tertawa menang.

Anggrek, tak bisakah kamu lebih lembut mengoyak perasaanku? Kamu terlalu kasar, Anggrek. Kamu membuatku takut. Kau mencanduiku misteri. Sungguh bila keberanian ini terkumpul, kau akan kupetik kubawa pulang. Aku tak ingin kamu di kuburan tanpa teman. Aku tak percaya kamu bisa bicara dengan mayat-mayat. Bukankah jika aku taruh kamu di dinding rumahku, kengerianmu akan hilang? Mari, bunga kuburan. Mari ke rumahku.

Kamu menolak. Kamu lebih suka melekat di pohon kamboja. Ini duniaku, katamu.

Baiklah, Anggekku. Dunia kita memang berbeda. Lagi pula kamu juga takut masuk ke duniaku. Duniaku yang mungkin aneh bagimu. Aku suka keramaian, tapi aku rindu kesepian. Kamu cinta kesendirian, tapi kamu pasti butuh suasana kegaduhan. Dunia ini seimbang, bungaku. Kamu tak bisa menolak segala kericuhan ini, kamu mesti hadapi. Tak bisakah kamu ikut merasakan kekacauanku agar aku merasakan keteduhanmu?

Anggrek, aku lelah pada keras hatimu. Jika begitu, lepaskan lilit akarmu di kaki-tanganku. Aku akan tinggalkan sajalah kamu di tempat terakhir manusia ini. Bukankah perjumpaan kita karena aku telah mengunjungi tanah mayat ini tanpa sengaja? Ah, Anggek, kamu memang bukan siapa-siapaku.

0 komentar:

Posting Komentar