Jumat, 18 November 2011

Aku


Kata Sokretes, kenalilah dirimu. Kalimat itu sangat bijaksana, Sokrates tidak menambahkan kalimat lain seperti Sun Zu yang mengatakan: “kenali dirimu, kenali musuhmu, maka kau akan menang tanpa cacat”. Seperti mereka, aku ingin mengenali diriku. Melihat ke dalam jiwa, mengapa aku lahir di dunia, dan apa yang bisa aku lakukan.

Seorang teman mengatakan, anak tidak harus berbakti pada orang tua, toh anak tidak minta dilahirkan. Temanku menggugat kebenaran, menenggelamkan hakikat. Dia memandang ‘kelahiran’ sebagai materialisme semata—menghilangkan metaphisik, rohani, atau transenden. Tapi akhirnya, bila segala hanya dipandang sebab-akibat, menjunjung tinggi benda, maka ia mengalami krisis kemanusiaan.

Dalam filsafat, setidaknya aku mengenal dua aliran: idealisme dan materialisme. Menjunjung ide di atas segalanya dan membatalkan adanya benda, itu idealis. Sedangkan mengagungkan benda lalu mengerdilkan ide sebagai bangunan awal, itu materialis. Orang idealis, di masyarakat, percaya ide mereka bisa memengaruhi keadaan sosial. Sedangkan orang materialis mengatakan, keadaan sosial itu yang memengaruhi ide seseorang.

Pertanyaan berbakti pada orang tua tidak bisa dijawab dengan logika ‘ya’ atau ‘tidak’. Temanku melihat kelahirannya sendiri merupakan buah keinginan orangtua, dia tidak menginginkan. Itu sangat badani, ia berarti membatalkan proses. Dalam proses mengandung, melahirkan, membesarkan, tentu saja ada interaksi, humanisasi, juga titik-titik tertentu di mana orangtua menjalankan laku budaya—demi keselamatan si jabang bayi. Ada zat lain dari luar diri manusia yang dianggap suci, menyatukan antara jiwa ayah, ibu, dan anak. Jiwa mereka terikat. Bukankah kita kerap mengenal firasat orangtua pada anak atau sebaliknya?

Jadi, si teman tadi, menganggap kelahirannya hanya dipengaruhi orangtua—material. Keinginan orangtua yang menentukan lahirnya si jabang bayi, bukan bayi yang menentukan ingin lahir. Namun, sekali lagi, polah bayi (ide) juga menentukan sikap orangtua: harus mengasuh, memberi susu, juga menafkahi. Keadaannya tentu berubah sebelum dan sesudah bayi lahir. Bila teman tadi berkata ‘tidak ingin dilahirkan’, orangtua semestinya juga bisa bilang ‘tidak ingin direpotkan dengan perilaku aneh’ anaknya.

Baiklah, aku tak ingin banyak membahas filsafat itu. Kata orang Jawa jelimet, ruwet, ribet atau rumit. Aku hanya ingin menceritai diri sendiri dalam garis budayaku. Ayah Ibuku menikah karena cinta, perasaan murni manusia. Mereka menghidupi keluarga dengan keringat kerja keras. Selama Ibu mengandung, orang Jawa selalu menjalani adat yang mereka yakini agung. Tentu saja ayahku tidak berani berbuat buruk. Sembilan bulan ia prihatin: memerih hati.

Aku yakin Ibu pasti kerepotan saat mengandung. Bukan saja harus menjalani pantangan ini-itu, tetapi setiap hari ia berdoa, memohon agar bila aku lahir nanti, tiada cacat sedikit pun pada tubuhku. Ibu mungkin mengasup makanan bergizi, bagaimana pun caranya, sebab ia tahu tengah dititipi roh dari Maha Pencipta. Singkatnya, aku lahir di dunia ini memang tidak minta dilahirkan, tetapi ketika aku hidup bersama orangtua, aku sudah menjadi bagian mereka. Sebagai manusia, aku tak bisa menafikkan kasih sayangnya.

Hal pertama yang dilakukan orangtua, setelah melahirkan, ialah memberi nama. Biar anaknya puluhan, tetap saja anak mesti dikasih nama. Tidak mungkin juga mereka yang punya anak puluhan hanya menandai badan si anak dengan tato angka. Setidaknya, nama berfungsi buat memanggil dan menandai identitas. Tetapi aku pernah pula dengar orang mengubah namanya, atau menyembunyikan, gara-gara nama itu memalukan atau membahayakan.

Dosen psikologisku menceritakan, teman jaman kuliahnya dulu tidak berani menyebutkan nama panjang. Waktu itu era Soeharto. Teman dosenku bernama G. Soeharto, huruf ‘G’ tak pernah dijabarkan. Ketika Soeharto tumbang, ‘G’ itu baru diketahui, yaitu ‘Gempur’, lengkapnya Gempur Soeharto. Konyol, bukan? Wajar waktu itu Gempur takut.

Di Balik Namaku

Namaku Respati Wasesa Affandi. Beberapa orang yang pernah kecewa atas kelakuanku selalu berkata, “kelakuanmu tidak sesuai dengan namamu, Nak. Sayang sekali. Namamu itu besar!” Ada apa dengan namaku? Apakah ayah-ibuku mengambil bahasa Jawa Kuno untuk mempercantik namaku saja? Tidak.

Respati artinya Kamis, gagah, dan pantas. Wasesa artiya Maha menguasai. Nama itu kuketahui ketika membaca ajaran aliran Islam kejawen: Sapta Darma. Dalam salah satu dari tujuh ajarannya, ada ‘Maha Wasesa’. Aku tidak tahu mengapa ayahku bisa memberikan ‘Wasesa’ padaku. Kemungkinannya sangat beragam. Bisa jadi karena ayahku berjiwa Jawa. Ia memang terlahir dari darah santri, kemudian mengental menjadi priyayi ketika Kakek menjabat sebagai lurah. Namun selain itu, kuketahui bahwa Ayah kerap membaca primbon. Ayah menggabungkan antara mistik Jawa dengan ajaran Islam. Belakangan ini kuketahui ia mengagumi Syekh Siti Djenar. Agak rumit memang mengupas sosok Ayah, aku menyebutnya figur yang serba paradoks. Tapi mungkin sudah sedikit terjawab pertanyaan mengapa namaku nama Jawa.

Bagaimana dengan ‘Affandi’? seorang teman di Jakarta pernah menduga aku anak seorang seniman. Ia menangkap dua huruf ‘f’ dalam Affandi. Itu tidak biasa, sebab kebanyakan nama serupa hanya mempunyai ‘f’satu. Perupa terkenal namanya persis dengan nama belakangku: Affandi dua ‘f’. Ayahku memang seorang seniman. Tetapi seniman Bonsai. Barangkali temanku tadi tak tahu banyak tentang seni Bonsai ini. Jadi tidak ada sangkut paut dengan Affandi perupa. Nama Affandi ialah nama Kakek. Ayah menyematkannya sebagai nama belakang untuk semua anaknya. Tujuannya, tentu saja, memperkukuh keluarga kami. Kebetulan Ayah adalah anak tunggal, wajarlah jika ia ingin melestarikan nama ‘Affandi’ ini.

Menurut cerita yang kuhimpun dari beberapa orang, termasuk ayahku, kakek adalah figur teladan bagi masyarakat Desa Paduraksa: daerah yang dipimpinnya ejak tahun 60an. Ini cocok dengan arti Affandi, yaitu gelar kemuliaan. Selain karena lurah, kakek dikenal santri. Masa itu santri bukan hanya dipandang sebagai orang yang pintar agama, tetapi juga punya ‘linuwih’: kelebihan. Maka tak heran jika nama Kakek selalu harum hingga kini. Hal itu bisa dibuktikan saat keluarga kami sowan ke makam. Tempat singgah terakhir Kakek selalu bersih dan rapi. Orang-orang desa dengan sendirinya ikut merawat makam itu. Jika begini adanya berarti Kakek memang masih dihargai, atau setidaknya dikenang masyarakat. Aku bangga nama kakek melekat pada namaku.

“Apalah arti sebuah nama,” kata William Shakespeare, penulis besar Inggris itu. Barangkali kutipan ini ingin menegaskan: jangan kau berhebat-hebat dengan nama, gelar, pangkat, atau sejenisnya. Tetapi buktikan apa yang bisa kau perbuat untuk kemanusiaan. Apalah arti ‘nama’ jika kelakuanmu tak segaris dengan makna namamu. Makna di sini, aku sebut sebagai doa atau pengharapan. Bila benar nama adalah doa, berarti orangtua sangat berharap agar si anak mampu mengemban doa itu.Maka, namaku yang bermakna baik ini, yang di dalamnya terkandung doa, tak akan aku menodainya.

(bersambung.....)

0 komentar:

Posting Komentar