Sabtu, 12 November 2011

Perempuan dan Dunianya

Oleh Diah Ayuningtyas


Tuhan menciptakan makhlukNya yang paling sempurna menjadi dua gender berbeda. Laki-laki dan Perempuan. Lebih dari separuh manusia di bumi adalah perempuan. Mereka diciptakan dari tulang rusuk sang laki-laki. Selama ribuan tahun, apakah sudah sempurna perlakuan yang diterima kaum perempuan?

Sebagai perempuan, saya merasa perlakuan terhadap kaum saya masih jauh dari kesempurnaan. Mengapa demikian? Perempuan kadang dianggap makhluk lemah. Selalu berada di bawah naungan laki-laki. Atau mungkin perempuan dinilai sekadar pelengkap sempurnanya hidup seorang laki-laki. Sudah banyak kasus di Indonesia, bahkan di dunia, yang melibatkan perempuan sebagai korbannya. Seperti diberitakan dewasa ini. Perempuan dirampas paksa kehormatannya di angkutan umum, dianggap tabu jika membicarakan perihal seks, menjadi korban penganiayaan, kekerasan atau sebagai pelaku utama penyebaran penyakit HIV/AIDS.

Diskriminasi terhadap perempuan semakin terlihat jelas saat beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan, pemerkosaan yang dilakukan sopir angkot kepada perempuan muda dikarenakan cara berpakaian perempuan terlalu minim. Padahal jika ditelaah secara adil, pihak laki-laki (re: sopir angkot) terbukti bersalah karena tidak mampu menghilangkan niat jahatnya terhadap penumpangnya, perempuan. Selain itu, seperti dilansir Jurnal Perempuan, nampak permasalahan perempuan yang terjangkit HIV/AIDS kental dengan diskriminasi gender. Kasus perempuan yang terjangkit HIV/AIDS ialah karena lelaki lebih mendominasi, perempuan dan anak-anaklah yang akhirnya menjadi korban, menyandang stigma seumur hidup terutama dari lingkungannya, kehilangan masa depan, dan kehilangan hak bereprpduksi. Sebab, terinfeksinya perempuan bukan hanya karena kurangnya pemahaman tentang penyakit tersebut, melainkan karena perempuan tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi, serta posisi tawar yang memadai untuk melindungi diri mereka.

Lalu ada hal lain yang membuat diri seorang perempuan menjadi beda dari laki-laki. Perempuan lebih dianggap tabu dalam pembahasan mengenai seks. Padahal, di Indonesia sendiri, ada beberapa kaum perempuan yang ahli di bidang seksologi. Salah satunya Zoya Dianaesthika Amirin. Beliau yang merupakan lulusan dari Universitas Indonesia jurusan Psikologi, kini menjadi seorang Psikolog Seksual. Kepedulian Zoya terhadap kaumnya, membuat ia bertekad memilih profesi sebagai Psikolog Seksual dan memberikan pendidikan kepada kaumnya agar tidak dimanfaatkan orang lain, menjadi korban pelecehan seksual, atau pemerkosaan (Kompas edisi Minggu, 2 Oktober 2011). Perempuan kelahiran Jakarta ini kerap berada di tengah pusaran kontroversi. Tapi hal tersebut tidak membuatnya berhenti untuk tetap berani membela kaumnya dan menyamaratakan kedudukannya dengan kaum lawan jenis.

Selain peningkatan pemahaman akan kesetaraan gender dalam masyarakat perlu ditingkatkan, ketahanan perempuan dalam melawan diskriminasi bagi diri perempuan itu sendiri juga perlu dukungan lebih dari berbagai pihak. Yang saya ketahui dari berbagi sumber, para perempuan muda sering tidak kuasa menolak permintaan pacarnya untuk berhubungan seks sebagai bukti cinta, atau perempuan muda juga tidak memiliki kekuatan bernegosiasi dalam pemakaian alat kontrasepsi. Maka penyebaran virus HIV/AIDS dengan mudahnya terjadi.

Tidak mudah menjadi seorang perempuan. Mengatasi masalah dalam diri sendiri atau masalah yang bersumber dari luar dirinya. Perempuan terbiasa dengan kucuran air mata jika sesuatu menimpanya. Tapi tidak menutup kemungkinan, ada rasa syukur terpatri dalam tiap diri perempuan. Mendapatkan hak absolut untuk dilindungi, diberi kasih sayang lebih, dan diperlakukan lebih lembut dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun hal tersebut belum sepenuhnya sempurna dalam kehidupan nyata seorang perempuan. Lihatlah perempuan-perempuan hebat di luar sana, Mother Theresa, Ibu Kartini, Fatimah Az Zahra, Ibu yang melahirkan kita, dan pembaca perempuan. Perlulah kita memahami lebih bentuk-bentuk diskriminasi gender dan kekerasan serta bagaimana mengatasinya seorang diri atau menjadi perempuan yang mampu bertahan dan bisa menularkan kesadaran tersebut kepada perempuan lain juga untuk saling menguatkan rasa kepedulian sesama perempuan.

0 komentar:

Posting Komentar