Jumat, 11 November 2011

Baik/Buruk Ini Bangsaku


Untuk Indonesia, saya hanya ingin bercerita.

Di pagi hari sebelum memulai aktifitas, saya selalu menyempatkan baca koran pagi. Awalnya saya begitu antusias mengamati rubrik politik dan hukum, tetapi saya jadi bosan dan meninggalkan rubrik itu di hari selanjutnya. Alasannya, pertama, rubrik itu memerlihatkan cerita karut-marut negara ini. Sementara berita pengangguran, kemiskinan, kerusakan lingkungan, bencana alam, krisis moril, hingga ketegangan sosial, memadati hampir setiap lembar koran. Kedua, jangan-jangan ada motif kepentingan dari pemberitaan tersebut, sebab beberapa media massa di Indonesia milik tokoh politik. Saya sulit meraba kekuatan karakter Negara ini: sejarah seolah kehilangan pesan. Ada pesimisme sekaligus kejengkelan yang sebenarnya ingin saya luapkan. Namun saya berpikir, saya mesti bagaimana?

Begitulah, semakin saya tahu semakin resah. Mungkin hal serupa dirasakan orang lain. Permasalahan yang dihadapi selalu pada bagaimana kita bertindak: kita jengah dengan diskusi-diskusi politik yang juntrungnya agitasi-propaganda. Saling menyalahkan, namun tidak ada solusi yang ditawarkan. Saya jadi ingat tentang kehadiran saya di kantor pusat sebuah partai besar di Jakarta pada acara peringatan Hari Pahlawan tahun lalu. Saya tertarik mengikuti: paling tidak ada wawasan baru tentang patriotisme yang saya dapat. Beberapa tokoh terkenal partai yang namanya kerap muncul di media massa hadir sebagai pembicara. Tetapi waktu materi pertama diterangkan, saya tersentak—saya salah tempat. Hujatan demi hujatan terlontar, tanpa risih, tanpa “tedeng aling-aling”. Mereka asyik mengeluarkan kalimat-kalimat yang menurut saya tidak pantas diungkapkan kaum cerdik pandai.

Mungkin kita patut marah jika di Negara ini para elite politik, yang mestinya menyambung lidah rakyat, malah saling serang dan tuduh. Sedangkan di luar sana rakyat Indonesia dirampas haknya. Banyak anak bangsa tidak sekolah, mereka rela bekerja banting-tulang meski umur belum cukup melakukan itu. Banyak rakyat miskin yang terpaksa tersiksa penyakit lalu meninggal lantaran biaya berobat di rumah sakit mahal. Dan banyak pula pemuda menganggur: dari desa mereka ke kota, tapi di kota jutru hidup semakin kacau—mereka ambruk ditelan gelombang ketidakpastian. Saya sangat beruntung bisa menjadi mahasiswa walau sebenarnya saya iri dengan mahasiswa di Negara lain.

Lalu apakah benar pemerintah gagal menjalankan tugas seperti yang digambarkan di koran? Memang bila dilihat dari indikator kegagalan pemerintah, Indonesia mendekati itu. Dari mulai Ekonomi, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, infrastuktur, hingga pemerataan dan perencanaan pembangunan, semua berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Di sisi lain korupsi merajai, penegakan hukum seolah tebang-pilih, serta payung kebhinekaan yang gencar digaungkan gagal meneduhi antargolongan: agama, suku dan ras.

Masih Terjajah

Selain politik yang tidak santun di internal, Indonesia dalam dunia global juga berada di titik lemah. Pasar bebas mencengkram semua lini dengan kedok modernisme, yang secara tidak langsung pesannya terus diselipkan lewat media massa. Barang produksi dari luar membajiri Indonesia, padahal ekspor Indonesia tidak seberapa bila dibandingkan impor yang masuk (tentu saja ini mendukung perusakan alam). Anak muda dijajah gaya hidup, dan, mereka pun mengenal budaya baru berupa hidup konsumtif. Modernisme tidak bisa disalahkan, tetapi pemaknaan modernisme itu sendiri yang “salah kaprah”. Kemajuan semacam ini bukanlah kemajuan yang sesungguhnya, ia hanya bersifat fisik dan material. Tetapi perilaku dan pola pikir masyarakat, justru mengalami kemunduran. Semestinya modernisme bisa diterima baik bila filter kebudayaan kita benar-benar kukuh.

Saat saya masih di desa, di Pemalang Jawa Tengah, gejala itu mulai terlihat. Banyak tetangga saya yang rela menjual sawah pada pengusaha agro buat beli sepeda motor untuk anaknya (saya pikir anak-anak itu tidak/belum membutuhkan sepeda motor). Akhirnya petani-petani itu beralih profesi—jadi apa saja. Saat menyadari mereka tidak punya keahlian selain bercocok tanam, mereka kembali lagi menjadi tani, tetapi kali ini jadi buruh tani, yang tentu, penghasilannya jauh lebih sedikit dibanding menggarap sawah sendiri. Buruh-buruh tani itu pun hidup dalam kondisi yang tidak lebih: cukup untuk hidup saja, bahkan sebagian besar dari mereka terjerat lintah darat. Lambat laun, pekerjaan bertani jadi semacam peringatan bahwa menjadi petani tidak akan bisa kaya. Maka anak-anak mereka dianjurkan mencari kerja di kota: jadi buruh pabrik. Setiap tahun anak muda yang tidak bisa kuliah berbondong-bondong datang ke kota, urbanisasi meningkat, ibukota semrawut. Saya kira itu juga terjadi di kalangan nelayan. Bukankah sektor pertanian dan kelautan merupakan tulang punggung negeri ini?

Gejala yang lain ialah terkikisnya budaya-budaya daerah . Waktu saya kecil banyak sekali permainan tradisional yang turut mengisi hari-hari kami sebagai anak desa. Semua permainan itu selalu menjunjung tinggi kekreatifan, sama sekali tidak butuh biaya besar. Juga tontonan seperti teater, wayang, tari-tarian, gending, dll. Tetapi waktu menginjak remaja, permainan dan tontonan tradisional itu semakin hilang digantikan permainan baru yang serba elektronik dan berbau modern. Bila yang tradisional mengunggulkan kepiawaian bermain, yang modern justru mengunggulkan “kepunyaan”. Setiap malam Minggu anak muda berparade motor ke keramaian kota, desa pun sepi. Sikap individual lamat-lamat menjangkiti kami.

Kini, setelah saya hidup di ibukota, saya ingin hidup di desa lagi. Betapa penat merasakan kekacauan lalu-lintas, gerah merasakan panas luar biasa, pusing melihat gedung dan pabrik berdiri: saya rindu hijaunya desa. Saya ingin rasakan lagi jernih dan segarnya air, dan di kota besar ini air semakin sulit, untuk mendapatkannya mesti beli. Tetapi desa tak menjajikan apa-apa, otonomi daerah jadi ladang untuk mengeruk keuntungan bagi para “penguasa kecil”: ujung-ujungnya saya kesal pada pemerintah yang gagal mengaitkan antara tujuan nasional dan daerah. Dari koran, saya dengar pula bahaya mengancam daerah di luar Jawa. Eksploitasi sumber daya alam menggila, aset penting Negara untuk hajat rakyat banyak dikuasai asing. Anak Papua sulit bersekolah, sementara setiap hari uang perusahaan asing di tanah moyangnya terus bergerak. Kekayaan dan letak strategis Indonesia yang tercatat di buku-buku sekolah mendadak seperti dongeng, pemangku kebijakan pun jadi tokoh-tokoh lucu di dalamnya.

Agustus kemarin rakyat Indonesia mencoba menyemangati diri, bendera berkibar di mana-mana. Rakyat tahu, para elite politik tengah menjalani drama tahunan yang seolah-olah kaku dan serius. Tetapi bagi kami ini protes, kami buka lagi buku catatan utang pemerintah pada rakyat yang tidak lunas-lunas (kebetulan saya ikut diskusi pada forum mahasiswa di Bekasi pada malam 17 Agustus). Tetapi kemudian saya merenung, apakah saudara kita yang lain juga menagih janji? Malam itu juga pertanyaan tersebut terjawab. Saat pulang, di jalan saya bertemu pemulung, saya tanya, “Apakah Bapak memperingati hari kemerdekaan? Kenapa malah memulung?” Dia menjawab, “Saya tidak memperingati, percuma Mas. Saya pilih memulung. Biasanya banyak barang pulungan.”

Tidak bisa dipungkiri, banyak rakyat Indonesia yang masih terpenjara kebodohan, kemiskinan, dan diskriminasi. Padahal kita dilahirkan dari akar dan nasib yang sama. Tentu, dengan tidak pedulinya pemerintah terhadap rakyat, rakyat akan semakin apatis. Mungkin itu berdampak pula pada mata saya yang hingga kini enggan melirik berita politik dan hukum di koran pagi.

Reorientasi Menjadi Indonesia

Bila ditanya bagaimana saya mesti bangga menjadi manusia Indonesia, pertama kali yang saya lakukan mungkin mengaca diri, menggali, dan merenungi betapa berat bangsa ini mengangkat kepala untuk merdeka (meskipun ini dirasa terlalu klise). Coba tanyakan diri kita, seperti apakah Indonesia? Sebenarnya di sana kita akan temui sepercik optimisme: kita adalah bangsa yang ramah-menerima (plural) dan berbudaya tinggi—persatuan dan gotong royong identitas kita—sebuah bentuk pengejawantahan Pancasila. Saya sedih ketika orang mengatakan “lebih baik tidak menjadi Indonesia”. Saya prihatin bila Indonesia hanya di-seolah-kan dan disamakan dengan Indonesia yang ada di televisi atau di Taman Mini Indonesia Indah. Perlu dicatat, Indonesia lahir lebih dulu sebagai bangsa daripada Negara.

Dalam kondisi bagaimana pun, bangsa ini ditautkan oleh ciri dan tujuan yang sama: Bhineka Tunggal Ika. Dari Sabang hingga Merauke, dari pulau ke pulau, dari suku ke suku, saudara kita yang hidup jauh dari modernisme (masyarakat adat/pedalaman) justru menjunjung tinggi nilai-nilai luhur peradaban besar. Mereka memerhatikan benar keselarasan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan (hampir semua dalam pelaksanaannya selalu dipadu dengan unsur seni: semacam tradisi). Semua kental dengan identitas itu. Mungkin itulah mengapa ungkapan “tanpa pemerintah rakyat Indonesia dapat hidup” dirasa cukup relevan.

Dewasa ini, misalnya, Negara maju di dunia tengah bergerak ke arah idealisme. Mereka “menyadari” bahwa di balik kemajuan pembangunan yang dicapai ternyata melupakan kearifan budi sebagai manusia. Tehknologi yang mereka buat membawa dampak baik sekaligus buruk bagi bumi seisinya. Ketika alam mulai bergejolak, mereka kualahan mengatasinya: perubahan iklim, kerusakan alam, bencana, kekurangan pangan dan energi, hingga pergeseran nilai-nilai budaya. Mereka insyaf, hakikatnya manusia mahkluk tukang: selalu membuat dan membuat. Tetapi semakin manusia merekayasa, alam semakin murka. Memang jalan yang mesti ditempuh adalah naturalisasi alam. Negara maju mulai melakukan, seperti penghijauan, pengurangan emisi karbon, dan pembudayaan hidup bersih (lalu kegiatan industri mereka bergeser ke negara berkembang seperti Indonesia, sepaket dengan dampaknya?). Kesadaran ini sejatinya hanya buatan untuk mengatasi gejolak alam tadi, namun sampai kapan pun negara maju khususnya Barat, tetap dihantui krisis kebudayaan. Sedangkan suku adat di seluruh Nusantara mampu merawat pedoman menghormati alam, manusia, dan Tuhannya hingga kini. Bahkan banyak pula dari mereka yang menolak modernisme karena dianggap merusak tatanan kehidupan mereka.

Tetapi bahaya saat ini di Indonesia adalah, masyarakat adat (agraris) tidak diberdayakan secara benar. Mereka tidak diberi hak penuh untuk menjaga alam, justru dilarang, seperti yang terjadi di perkebunan di luar Jawa. Tanah adat mereka diambilalih Negara untuk perkebunan dan pertambangan. Atau seperti yang terjadi di Papua, pemerintah hendak menjadikan kawasan hutan adat sebagai hutan lindung, tetapi suku adat sendiri dilarang memasuki hutan itu. Kalau toh pun itu atas kesepakatan negara-negara dunia, bukankah yang membuat alam rusak adalah negara industri?(Kompas.com, 20/05/2011). Ini dapat menjadi potensi konflik pemisahan diri seperti di Aceh bila pemerintah memarjinalkan mereka, apalagi bila tanah moyang mereka dieksploitasi terus-menerus. Bagi masyarakat adat, hutan tidak hanya tempat hidup, namun hutan memiliki nilai historis suku-suku tersebut. Mereka paham benar ketika hutan turun-temurun mereka dirusak, mereka akan terkena bencana dan hidup miskin. Tanpa dijadikan hutan lindung pun mereka akan melindungi hutan itu.

Kearifan semacam itu dapat kita temui di semua suku adat di Nusantara dengan penalaran yang berbeda-beda. Dan suku-suku adat yang tersebar di seluruh Nusantara ialah representasi manusia Indonesia. Di sinilah seharusnya kita bisa berkata “ Aku bangga menjadi manusia Indonesia”.

"Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian,Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta . Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi.”

Pesan Bung Hatta itu selalu membikin saya bergetar setiap mengingat Indonesia. Saya sadar, baik maupun buruk inilah bangsa dan Negara saya. Dengan kepedulian, setidaknya kita telah berusaha untuk tak lupa pada mandat sejarah. Sebab, sejarah adalah lonceng yang membuat kita selalu waspada.***

1 komentar:

Infojatim mengatakan...

makasih...pencerahannya, semoga bermanfaat

Posting Komentar