Jumat, 11 November 2011

Mahasiswa dan Pers


Akhir-akhir ini saya dibuat terkejut surat kabar kita. Rubrik yang berkaitan dengan anak muda semakin banyak, bahkan dikemas dalam bentuk yang sangat menarik. Harian Kompas misalnya, ia membuat halaman Kompas Muda, Kompas Kampus, dll. Surat kabar lain mengikuti, tetapi kebanyakan hanya menerima opini mahasiswa. Ini merupakan perkembangan yang luar biasa di jagad jurnalistik kita. Namun, saya cemas, jangan-jangan anak muda/ mahasiswa yang dikenal kreatif, telah disetir surat kabar. Ada dua kemungkinan: mahasiswa dipandang sebagai golongan aktif, atau mungkin juga sebagai golongan pasif. Lantas apa motif surat kabar melakukan ini? Apakah surat kabar menganggap mahasiswa tidak mampu menyuarakan gagasannya secara mandiri, lantas mereka mesti difasilitasi?

Banyak alasan yang melatarbekalangi fenomena ini. Pertama, perkembangan teknologi internet semakin canggih, mahasiswa (mewakili anak muda) bisa mendapat atau membuat informasi melalui jejaring sosial dengan cakupan waktu dan ruang yang tidak terbatas. Artinya, bila kita bisa membaca informasi di internet, kenapa kita mesti baca surat kabar? Toh di televisi pun kita mendapat banyak informasi. Tetapi para pakar komunikasi dan linguistik khawatir, sebab informasi yang tersebar di jejaring sosial, media online, dan televisi hanya menitikberatkan pada sensasionalitas berita, tidak mengindahkan kaidah jurnalistik dan bahasa Indonesia. Maka surat kabar sebagai representasi jurnalistik Indonesia, ingin mengajak mahasiswa ke lintasan jurnalistik yang benar, salah satunya melalui rubrik anak muda.

Namun alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Masih banyak surat kabar yang kaidah pemberitaan dan bahasanya rancu. Seorang ahli bahasa yang saya kenal, kerap mengkritik kecerobohan wartawan dalam menulis berita. Bahkan, setiap hari, di Facebook, ia gemar menulis status yang isinya ajakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dosen jurnalistik saya juga sering mencemooh surat kabar nasional yang tidak becus membuat karya jurnalistik, misalnya tidak berimbang, mengangkat dan menjatuhkan salah satu pihak, atau menulis berita dengan opini bertaburan di mana-mana. Nah, jadi bila surat kabar dianggap penghasil karya jurnalistik terbaik, saya belum bisa mengiyakan.

Terlepas dari segi teknis pembuatan karya jurnalistik, surat kabar didirikan atas dasar tujuan yang berbeda-beda. Sebagai perusahaan bisnis, surat kabar bertahan hidup dari sirkulasi oplah dan iklan. Mau tidak mau surat kabar mesti bersaing dengan jurnalisme elektronik seperti televisi dan internet. Surat kabar dituntut untuk berimprovisasi seiring dengan perubahan jaman. Bila tidak, boleh jadi usia surat kabar tinggal menunggu waktu. Mungkin itu menjadi alasan mengapa surat kabar membuka halaman khusus dengan tema yang lebih segar dan inovatif. Dengan begitu, surat kabar tidak akan kehilangan kebaruannya di mata pembaca. Keberhasilan cara ini dapat dilihat dari kebanggaan mahasiswa ketika tulisannya dimuat di surat kabar (surat kabar berhasil meningkatkan gengsi).

Selain itu, surat kabar juga mengusung misi idealisme yang mesti disebarkan pada masyarakat, sebagai usaha untuk mencerahkan. Namun, menjumpai surat kabar semacam ini sangat sulit di masa sekarang. Arah penyebaran ide tersebut tidak jelas, bahkan kadang-kadang malah terkesan usang. Beberapa media massa (tidak hanya suratkabar) yang di mata saya mempunyai kekuatan idealisme ialah Harian Kompas dengan budayanya, Harian Republika dengan religinya, Majalah Tempo dengan seninya, dan National Geographik dengan ekologinya. Lewat berbagai cara, mereka terus menyelipkan pandangan tadi pada pembaca, termasuk mahasiswa.

Namun yang membahayakan ialah, bila surat kabar digunakan sebagai alat politik. Lewat surat kabar, mereka melakukan pencitraan dan menyudutkan lawan politknya. Tujuan yang sangat kentara berupa pembentukan opini publik. Contoh sederhana, surat kabar ini menerima opini dari mahasiswa, tetapi tema tulisan tersebut ditentukan. Biasanya berupa tema-tema politis, sehingga, mahasiswa kerap terjebak untuk mengkritik politikus atau kinerja instansi yang bersangkutan, tanpa disadari mereka sedang ditunggangi kepentingan. Hal ini terjadi di surat kabar nasional maupun lokal dengan ciri khas milik tokoh politik. Surat kabar yang sarat kepentingan ini kadang malah disebut media yang kritis, padahal tidak berimbang.

Pada dasarnya, setiap informasi yang disebarkan lewat surat kabar membawa dampak di masyarakat. Bila penyampaian informasi itu tidak sehat, pikiran masyarakat pun tidak jernih. Padahal, surat kabar atau media massa lainnya di masa lalu merupakan alat perjuangan menyuarakan kebenaran atas kekuasaan penjajah. Mahasiswa yang pada waktu itu dianggap golongan intelektual paling depan, menjadi ancaman bagi penjajah. Namun sekarang keadaan berubah, mahasiswa tinggal slogan sebagai agen perubahan. Mahasiswa dijadikan target kepentingan media, dan, kita tak bisa berkutik apa-apa. Bahkan sebagian besar aktivis mahasiswa justru sering membuat analisa berdasarkan wacana di surat kabar. Apakah kita sebagai mahasiswa hanya dijadikan pemanis bisnis dan politik? Di sinilah kemandirian dan independensi mahasiswa mendapat tantangan.


Pers Perjuangan

Membaca roman Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya, saya mendapat pelajaran banyak tentang nasionalisme. Nilai kemanusiaan dan patriotisme diceritakan sangat cerdas dan menarik. Beberapa kawan saya memandang roman ini dengan sudut yang berbeda-beda, mulai dari hukum, organisasi, budaya, sosio-kultur, sastra, dan barang tentu jurnalistik. Mungkin saya tidak punya gambaran kuat sosok R.M. Djokomono Titro Adhi Soerjo bila Pramoedya tidak membuat tetralogi ini. Tirto Adhi Soerjo kemudian baru-baru ini saya kenal sebagai Bapak Pers Nasional: Pemerintah menyematkan gelar Pahlawan Nasional pada 2006 lalu. Ia mahasiswa kedokteran STOVIA (kini menjadi kedoteran Universitas Indonesia).

Pada Januari 1907 di Bandung, terbit sebuah surat kabar pribumi berbahasa Melayu pertama bernama Medan Prijaji, didirikan Tirto Adhi Soerjo. Medan mempunyai motto:“Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O (Hindia Olanda). Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia". Ini adalah pertanda di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 kaum muda terpelajar mulai bangkit melawan, tidak menggunakan senjata, tapi melalui mulut dan pena.

Surat kabar pada waktu itu mampu memantik semangat pribumi. Beberapa mahasiswa mulai terang-terangan bersuara. Menariknya, mereka mengelola surat kabar secara mandiri. Perkembangan itu pun dibarengi tumbuhnya organisasi pribumi. Antara organisasi dan surat kabar mampu sinergis, ia saling berpadu untuk kepentingan yang sama: merdeka. Lamat-lamat, misi organisasi, Serikat Dagang Islam (SDI) misalnya, bisa dijangkau dan dipahami masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya pedagang yang tergabung dalam SDI. Pada akhirnya di masyarakat terjadi pencerahan pandangan, dan, motif surat kabar pun tersalurkan.

Selain sebagai alat konsolidasi organisasi, surat kabar juga berperan di bidang bahasa. Penggunaan bahaya Melayu dalam Medan turut membangun kesamaan bahasa bagi pembacanya. Kesamaan bahasa ini menjadi titik awal adanya rasa kebersamaan di pelosok Nusantara. Pascatutupnya Medan telah merangsang terpelajar lainnya membikin surat kabar berbahasa Melayu. Pada saatnya, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, bahasa Melayu menjadi bahasa pemersatu bangsa: bahasa Indonesia.

Pesatnya perkembangan bahasa Indonesia juga memengaruhi kemampuan masyarakat dalam menerima informasi secara nasional. Bahasa Indonesia melepaskan batasan kasta bahasa daerah, sentimen antar-golongan kasta pun semakin hilang. Misalnya, sebelum mengenal bahasa Indonesia, masyarakat jelata di Jawa mesti menggunakan krama inggil pada priyayi, sedangkan priyayi menjawabnya dengan bahasa Jawa kasar. Tentu, bahasa Indonesia bukan hanya sebagai pemersatu, tetapi ia berhasil menghilangkan batasan klas sosial. Akhirnya dengan bahasa yang sama, surat kabar mampu menyatukan persepsi kolektif pada suatu permasalahan. Di sinilah surat kabar dapat mengejawantahkan persamaan nasib.

Dari jejak tersebut sangat jelas bahwa kaum terpelajar sebenarnya mampu mencerdaskan masyarakat lewat media massa. Bila sekarang kita mesti berkaca lagi, barangkali jurang perbedaan itu semakin lebar. Motif surat kabar kebanyakan bukan untuk kemajuan bangsa, melainkan untuk kepentingan golongan tertentu. Mahasiswa kehilangan alat bersuara, kita pun hanya bisa menunggu fasilitas dari kapital media dan para politikus. Lalu kita mesti berbuat apa?

Menghidupkan Pers Mahasiswa (Persma)

Beberapa bulan lalu saya menulis berita di persma di kampus saya, kebetulan saya tergabung dalam organisasi independen ini (bukan UKM). Epicentrum namanya. Saya mengangkat topik tentang fasilitas kegiatan mahasiswa yang tidak diperhatikan kampus. Beberapa kali mahasiswa menuntut, tapi tidak ditanggapi. Sehari setelah berita terbit, saya mendapat informasi dari pemred bahwa kami dipanggil rektor terkait pemberitaan tersebut. Hari itu juga kami (pemred, redaktur, dan saya sebagai reporter) menghadap. Di sana ada sejumlah dosen jurnalistik. Pertemuan ini membuat kami agak kecewa: kampus tidak suka dengan media kami.

Ada pelajaran penting dari insiden kecil ini. Pertama, seorang dosen jurnalistik mengkritik tulisan saya yang terlalu banyak dibumbui opini. Ia juga mengomentari bentuk fisik media kami yang hanya memuat 16 halaman dan menggunakan kertas ukuran folio, fotocopy pula. Saat mengetahui kami mencetak 100 eksemplar sekali terbit dalam seminggu, ia tertawa. “Ini selebaran, bukan media massa,” katanya. Secara tidak langsung itu cukup jadi gambaran permasalahan yang dihadapi sebagian besar persma di kampus Indonesia saat ini.

Kemarin, di warung kopi pinggir kampus, seorang teman juga menyuguhi pembicaraan tentang pers mahasiswa. Anak-anak di tempat ini hendak membikin pers kampus. Mereka begitu menggebu memaknai kata ‘idealisme’. Saat kudengar konsepnya, ternyata mereka abai pada kaidah pemberintaan dan penulisan (aku juga melihat kerangka medianya). Berat, pikirku dalam hati yang pernah mengalami interogasi pihak kampus. Ini akan menjerumuskan mereka ke ranah agitasi.


Terlepas dari hal tadi, mengapa kita mesti membuat pers mahasiswa?

Kita tentu tak mau dianggap sebagai golongan pasif yang difasilitasi kaum kapital media dan politikus. Pada dasarnya, mahasiswa memang butuh alat untuk bicara, berekspresi, dan menuangkan gagasan. Surat kabar umum, meskipun telah merambah dunia mahasiswa, ia tetap tidak mampu memahami masalah mahasiswa yang begitu kompleks. Misalnya, bila mahasiswa mengeluhkan fasilitas kampus tapi dia tidak bisa menyuarakannya, persma bisa memediasi keluhan itu. Atau bila ada komunitas mahasiswa yang memiliki talenta dalam bidang tertentu, sedangkan khalayak tidak tahu, persma bisa memberitakan potensi tersembunyi tersebut. Tidak mungkin surat kabar umum menampung aspirasi mahasiswa di setiap kampus, bukan?

Lantas bagaimana membuat pers mahasiswa yang baik?

Pertama sekali, pelaku media mesti bersikap profesional. Persma juga harus memerhatikan kaidah pemberitaan dan bahasa Indonesia dengan baik: persma bisa mengundang praktisi media untuk memberi pelatihan jurnalistik. Selain itu, persma mampu menjaga kontinuitas (periode waktu) tersiarnya berita, baik media cetak, online, atau radio mahasiswa. Terbatasnya sumber dana justru merupakan tantangan mahasiswa untuk mengubah sumber daya menjadi sumber dana yang manfaat. Di era teknologi ini, mahasiswa bisa membuat media online sederhana, dengan begitu, informasi antarkampus dapat diakses tanpa batas: ini memungkinkan adanya isu nasional dari berbagai kampus di seluruh Nusantara dengan sudut pandang murni mahasiswa.

Dalam membuat karya jurnalistik, kekreatifan adalah unsur terpenting. Isu yang segar dan inovatif akan membuat pembaca tertarik. Selain itu, berita harus punya unsur kedekatan dengan pembaca: persma mewakili suara setiap mahasiswa. Mahasiswa sebagai tokoh sentral bisa dikaitkan dengan perkembangan global, nasional, maupun antarkampus. Namun yang paling penting, persma menjunjung tinggi idealisme dan independensi sebagai representasi kaum terdidik. Fungsi mengubah budaya buruk dengan yang baik merupakan tugas yang tidak bisa ditawar.

Kesimpulannya, prinsip-prinsip jurnalistik yang menjadi tanggung jawab persma ialah: mengusung kebenaran, loyalitas utama persma adalah pada mahasiswa, disiplin verifikasi, menjaga independensi pada sumber berita, memantau kekuasaan kampus, menyediakan forum mahasiswa untuk kritik dan dukungan, membuat berita penting yang menarik dan relevan, menjaga agar berita tetap komprehensif dan proporsional, serta memperbolehkan praktisinya mengikuti nurani mereka .

Pada akhirnya, diharapkan persma mampu merawat semangat jurnalistik sebagai corong perjuangan dan obor nasionalisme kaum muda. Dari kampus, mari kita bangun Indonesia!

0 komentar:

Posting Komentar