Minggu, 27 November 2011

Pigura

“Barangkali memang aku bukan bagian dari sejarah. Atau mungkin mereka menghapusku dari masa silam. Wanita seperti kami tak pantas menyebut-nyebut kenangan. Tidak ada ruang lagi bagi kami berkeluh. Dan kami tak ubahnya wanita bejat-moral.”

Suara itu masih terdengar jelas di telinga ini. Itu sepotong percakapan Ibu denganku yang masih aku ingat-ingat. Sorot matanya tajam, menyala kebencian mendalam. Pipinya dilelehi air mata. Ia tak sanggup menceritakan lebih jauh, berhenti, lalu menangis terisak-isak.

Sekarang ia hanya tergeletak di amben. Ada guratan lembut di tampuk matanya. Seluruh kulitnya mengeriput membungkus tulang-tulang kecil. Ia semakin melemah dan tak berdaya. Mungkin kekuatannya dulu tersimpan di bola mata dan rambutnya yang hitam. Tapi sekarang ia tak memiliki warna hitam itu. Mata sudah menyipit, rambut pun memutih.

Sebuah foto tergantung di dinding, terbingkai rapi dalam pigura persegi panjang. Seorang wanita ayu duduk tenang di kursi, tubuh dibalut jarik batik, rambut rapi dikonde. Di belakangnya berdiri seorang lelaki penuh perbawa dengan blangkon tertancap di kepala. Itu foto Ayah dan Ibu ketika muda.

Seumur hidup aku tak pernah melihat Ayah, hanya lewat foto itu aku meraba-raba masa silam. Ayah meninggal sewaktu aku dalam kandungan, kata Ibu. Aku rasai wajah Ayah berbeda dengan wajahku. Hidungnya mancung khas seorang priayi. Sedang hidungku? Ya, aku lebih mirip Ibu. Orang bilang, fisik anak sering diwariskan ibunya, sifat-sifatnya diturunkan sang ayah.

Usiaku kian menua, suatu saat aku pasti seperti Ibu juga. Dua puluh lima tahun! Ah, aku bakal jadi olok-olokan segenap warga. “Hei, Perawan Tua!” Aku bayangkan mereka mencibirku. Tapi apa gunanya menyesal, toh aku bahagia berdua dengan Ibu.

Memang benar perkataan Ibu: kami bukan bagian dari sejarah. Kalau pun aku memiliki suami dan dikaruniai buah hati, anakku pasti kecewa menghadapi kenyataan. Ibunya bodoh seperti ini. Juga ia akan ikut dihujat orang-orang.

Semenjak Ibu sakit-sakitan, aku mulai bekerja di perkebunan teh Wonosari, sebuah perkebunan teh di Purwodadi. Temanku hamparan dedaunan hijau. Biarlah upahku tidak seberapa, yang penting kami bisa makan setiap hari.

Di kampung ini, jangan harap perempuan bisa melejit meraih mimpi. Jangankan kaumku, lelaki kami banyak yang tidak berani bermimpi. Kami akan tenggelam tergerus arus jaman. Keturunan kami nanti, paling banter mungkin hanya bisa menganal celurit untuk mengarit, palu untuk menukang. Bila ada yang berhasil, aku hanya berharap ia mau membagi ilmu pada saudara sekampung, melepaskan belenggu nista, dan mengangkat martabat kami sebagai manusia seutuhnya.

***
Purwodadi, 1979.
Sekian tahun lamanya, lebih tepatnya seiring laju umurku, kami tak mendapat hak sebagai warga negara. Aku tahu, mungkin keadaan ini lebih baik daripada cerita orang tua tentang perawan-perawan di jaman Jepang. Dari cerita itu aku dengar, mereka diperkosa di tempat-tempat penjagaan, atau di pos pengerjaan jalan. Jerit mereka didengar kaum lelaki, tapi mulut pendengar seolah bisu. Tidak ada keberanian menghadapi serdadu-serdadu Jepang, sebab pemuda tanggung mati digantung pun bukan hal mengejutkan. Maka, sampai kapan pun perawan desa tak bisa berkutik apa-apa. Biasanya mereka yang berparas cantik akan dengan sengaja mukanya diperburuk, dibikin cerumut, jorok, dan menjijikan. Anugerah Tuhan bagi mereka adalah kutukan.

Kadang-kadang aku merenungi nasib buruk yang menimpa mereka di jaman itu. Bagaimana dengan hubungan cinta perjaka dan perawan? Ah, bukan saja mereka tersiksa secara fisik, juga batin. Mereka dipaksa memupuskan bunga cintanya. Para perjaka bisa gila menonton si kekasih ditelanjangi, dijamah, lalu dirampas kesuciannya. Konon, seorang pemuda bernama Daslan pernah menebas kepala serdadu hingga putus dengan golok. Ia mendapati kekasihnya, Laksmi, tengah diperkosa. Namun kepala mesti dibayar kepala, serdadu lainya balas menggorok leher Daslan. Kisah ini kudengar sayup-sayup dari obrolan pemetik daun teh, tetapi setiap manusia waras akan ikut tertindas perasaannya.

Kini, di alam merdeka ini, nasib kami tak beda dengan nasib nenek-moyang kami. Pascapemberontakan komunis masih membayang jelas. Hampir semua warga di kampung kami anggota partai komunis. Tetapi mereka kebanyakan hanya simpatisan. Mereka buruh yang dengan sengaja atau tidak terdaftar namanya menjadi anggota partai komunis.

Seorang buruh yang bekerja di sebuah pabrik (atau instansi lain) jika tidak masuk SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) akan ditekan—kalau grup Sobsi kuat. Ketika ia menerima gaji, sudah dipotong untuk iuran, dan namanya secara otomatis masuk buku 'merah' dan terdaftar menjadi anggota partai komunis.

Namun cahaya cerah masih mencoba menjebol kegelapan kami.Seorang pemuda desa berhasil meraih gelar sarjana. Ia mendirikan sekolah gratis untuk orang-orang kampung yang buta huruf. Kebanyakan dari mereka pemuda-pemudi. Bahkan ada juga orang tua yang ikut belajar. Sekolah itu tak sama dengan sekolah pada umumnya—lebih tepatnya tempat belajar darurat. Yang terpenting mereka bisa menghitung, membaca, dan menulis.

Pemuda itu Dewandaru, teman kecilku. Setiap hari ia rela membuang waktunya buat warga kampung, juga aku ikut belajar di sana. Kedua orangtuanya mendukung. Terkadang mereka ikut mengajar, walau hanya sekadar bercerita dan menyemangati kami.

Kami sangat beruntung, ada keluarga yang masih baik kepada kami. Pak Affandi, ayah Dewandaru, tak pernah lelah mendorong kami agar tetap semangat. Meski ada juga orang yang terus mengolok-olok kami. Mereka dengan bengis ingin menenggelamkan kami, menghapus manusia sebangsanya dari sejarahnya sendiri.

Suatu hari, ketika aku belajar, Dewa menatapku tak biasa. Aku tak kuasa menahan gemuruh kagum padanya. Wajah Dewa memancarkan kesegaran. Ia memang orang baik, orang semacam dia seharusnya sudah hidup enak, bekerja di kantor-kantor, atau menjadi guru di sekolah pemerintah.
“Hei, kenapa melamun?” Ia menegurku dari jauh.

Aku tak menjawab. Orang-orang serentak memusatkan pandang padaku. Aku tersipu malu. Aku rasai darah ini membeku di wajah. Degub jantungku melonjak-lonjak tak teratur. Aku gugup.

“Kenapa?” Ia mendesak, kemudian tersenyum. Orang-orang riuh menertawaiku. Kemudian tenang kembali.

Tidak berselang lama pelajaran siang itu diusaikan. Pemuda-pemudi desa menyebar ke ladang masing-masing, atau ke perkebunan untuk memetik daun teh. Namun, saat aku hendak pulang, Dewa menghampiriku. Ia genggam jari-jemariku erat-erat. Sorot matanya mengisyaratkan ia ingin berbincang denganku.

“Kau hebat, Dewa,” aku memulai. Aku beranikan menatap mata tajam itu.
“Ya, aku beruntung.” jawab Dewa.
“Apa kau tak takut jika tentara tahu semua ini?”
“Mungkin ini memang menjadi tugasku, tugas kemanusiaan. Aku tak takut pada siapa pun. Kau tentu tahu, berapa banyak penduduk di kampung ini meninggal karena dibunuh. Juga banyak teman-teman kita yang yatim-piatu.”

“Aku tahu, Dewa. Ibu telah menceritakan. Tapi ia selalu menangis, aku tak tega. Ayahku meninggal, ia dibunuh dan tak seorang pun tahu di mana jasadnya. Kau tentu tahu dari dulu aku yatim.”

“Bagaimana keadaan ibumu?”
“Kondisinya semakin memburuk.”

Kami terdiam. Dewa melepaskan genggaman tangannya. Air mukanya mendadak muram. Aku tahu ia simpati dengan keadaan Ibu.

“Mari masuk ke dalam,” ajak Dewa masuk ke rumahnya.

Kedua orangtuanya masih duduk berdua. Kami menghampirinya. Aku membungkuk dan mencium tangan mereka. Ibunya memelukku, kemudian tangannya mengangkat kedua pipiku. Ia menatapku. Aku menatapnya juga. Kulit wajahnya nampak keriput. Juga rambutnya memutih seperti rambut iIbu. Ayahnya hanya mengusap-usap rambutku.

“Kau kurus, Nduk,” ujar ibunya begitu lembut. Aku hanya tersenyum.
“Ibumu sudah sehat?” Sekarang ayahnya yang bertanya.
“Masih lemah, Pak.”
“Kasihan dia. Wanita luar biasa!” Mulutnya berdecak-decak.
“Memang kenapa?” tanyaku.
“Ibumu belum pernah cerita?”
“Pernah, Pak.” Aku menunduk. Ayah Dewa tidak melanjutkan.

Aku ingat-ingat cerita Ibu. Ah, lagi-lagi aku dengar suara itu “Barangkali aku memang bukan bagian dari sejarah.” Aku tak pernah malu menjadi anak seorang komunis, aku tak pernah takut orang-orang menghujatku. Bila Ibu Pertiwi tak mengakuiku, aku masih punya ibu yang menyayangiku. Mereka yang terus menghina sebenarnyalah pendusta berkedok.

Ibu pemimpin Gerwani di kampung kami. Semua buruh tani wanita hormat belaka padanya. Sikapnya sopan, tutur katanya selalu dijaganya baik-baik. Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka, membangunkan semangat kaum wanita.

Setelah peristiwa September meledak, banyak warga desa yang hilang dan tak pernah balik lagi ke rumah. Mereka yang diketahui keberadaannya, mendekam di kamp-kamp tahanan Purwodadi. Korban yang mati di kota kami sangat banyak. Ribuan! Wanita-wanita juga ikut dijebloskan dalam jeruji besi. Memang akhirnya di kampung kami yang ada hanya para janda dan anak-anak yang tak berbapak sepertiku, juga banyak yang tak berbapak dan beribu.

Tidak hanya itu, wanita-wanita seperti Ibu, yang ingin memajukan wanita sebangsanya, pun menjadi bahan pergunjingan luar-biasa. Di pelbagai pemberitaan seperti radio dan koran, mereka dianggap sebagai wanita yang bejat moralnya, disamakan dengan para “perek-perek” yang tak tahu malu. Puh! Perek pun aku rasa terpaksa menjual tubuhnya. Kematian para jenderal dikaitkan dengan Gerwani, mereka dituduh memotong-motong anggota tubuh para jenderal. Ya, menari-nari telanjang di depannya.

Lalu ayahku? Dia pun tidak terkecuali. Ia hilang dan hingga kini tak pernah ditemukan jasadnya. Biar saja aku menanggung derita; tidak mendapat hak-hak sebagai anak bangsa selayaknya. Tapi bagaimana dengan Ibu? Ia hanya bisa mengenang wajah suaminya dalam pigura itu, tidak lebih! Jika ia berkeluh, ia pun bakal tak sanggup. Mengeluh pun tak sanggup!

***
Ibu masih sakit, penyakit tua yang tak bisa dihindari, semua orang pasti kelak merasakannya. Aku mengamatinya dari balik pintu kamar, mengamatinya dengan hati berdesir melas. Aku bisa merasakan deritanya, desau suaranya mengisyaratkan penyesalan. Lebih baik aku kubur masa lalu itu, aku tak mampu membayangkan bagaimana orang-orang di kampung ini dibantai. Siapa yang membantai? Ah, bias jadi setan-setan yang cemburu pada manusia, kemudian memaksa mereka hidup dengannya.

Tubuhnya bergerak-gerak kepayahan, tangannya merangkak pelan di amben, mulai diangkatnya tangan itu untuk menggapai meja. Ada segelas air putih di sana yang sengaja aku sediakan untuknya. juga semangkuk bubur, aku tak mungkin memberinya nasi biasa, giginya sudah melompong di sana sini.
“Hati-hati, Mak.” Aku menghampiri dan membantunya.

“Darimana, Nduk?” tanyanya pelan, sambil terbatuk-batuk.
“Dari rumah Pak Affandi, Mak. Si Dewa sekarang sudah sarjana. Dia mengajar anak-anak muda yang ndak bisa baca.”
“Di mana dia? Aku ingin melihatnya.”
“Sebentar lagi dia datang.”

Aku tak tahu, mengapa ibu begitu mengasihi Dewandaru. Ketika kami kecil dan bermain bersama, juga waktu ibu masih sehat, Dewandaru diperlakukannya seperti anak sendiri. Kami semakin tumbuh dewasa, Dewa melanjutkan sekolahnya di Semarang hingga sekarang menjadi sarjana. Ia benar-benar harapan para pemuda kampung ini. Siapa lagi jika bukan ia yang memberi pencerahan kepada teman-temannya, pemuda di sini kebanyakan tidak bersekolah karena memang tak ada sekolah buat mereka.

“Assalamualaikum.” Ada tamu datang, pasti Dewa.

“Tunggu sebentar,” jawabku keras.

Dewandaru benar datang. Aku menyambutnya. Ia membawa bermacam oleh-oleh. Sebuah becak sesak penuh dengan karung-karung, mungkin beras, mungkin juga kebutuhan pokok lainnya. Tangannya menjinjing kantung plastik berisi buah-buahan untuk Ibu. Kami pun masuk ke kamar Ibu.
Dewandaru membungkukkan badannya ke arah Ibu, mengangkat tangannya kemudian mencium hangat—tanda hormatnya pada Ibu. Dewandaru meletakkan kedua tanganya pelan-pelan di punggung dan menarik pelan juga, kemudian memeluknya erat-erat, perlakuannya seperti dengan orangtua sendiri. Aku lihat mata Ibu yang sudah sipit itu membasah, aku rasai rindu yang mendalam di antara mereka. Sudah lama mereka tidak bertemu, sepuluh tahun!

“Mak, sakit?” tanya Dewa.
“Iya, Le. Mak sudah tua, jadi ya lemah begini.” Tidak biasanya Ibu bergairah bicara.
“Dewa bawakan buah, Mak. Biar Mak cepat sembuh.”

Ada sesuatu yang ganjil ketika aku melihatnya. Mereka hanyut dalam pembicaraan panjang. Dan pertemuan pertama itu menjadi awal hubungan kami. Hubungan cinta, betapa bahagianya diri ini bisa punya kasih semacam Dewandaru. Sebentar lagi Dewa akan melamarku, pasti orangtua kami sangat senang.

***
Ibu menolak lamaran Dewandaru. Juga kedua orangtua Dewa tak merestui hubungan kami. Tak kusangka akhirnya jadi seperti ini. Aku tak tahu mengapa Ibu begitu marah ketika Dewa mengatakan padanya hendak melamarku. Kami saling mencintai, Dewa menerima semua masa kelam keluargaku.

“Tidak. Kalian tidak boleh menikah!” Ibu menjadi murka.

“Kami saling mengasihi, Mak. Kenapa Emak melarang kami?” Aku dan Dewa membantah.

Ada percikan kegelisahan yang mendera Ibu. Belum pernah aku melihat ia seperti ini. Cinta kami tak bisa merobohkan benteng-benteng keteguhannya. Tubuhnya bergetar hebat ketika aku dan Dewa berpagutan tangan di hadapannya. Apalagi ketika aku menyandarkan kepala di tubuh Dewa. Lamat-lamat kemarahannya menjadi kelemahan. Dan kelemahan itu membuatnya membisu.

Sikap orangtua Dewa pun tak berbeda dengan sikap Ibu. Mereka yang biasanya baik dan ramah, seketika amarahnya meledak-ledak.

“Kenapa Bapak Ibu tidak merestui hubungan kami? Apa salah kami!” desak Dewa pada kedua orangtuanya.

“Jangan! Apa kata orang nanti?” Ayahnya begitu marah mendengar perlawanan Dewa. Ibunya hanya bisa menangis tersedan, ada kecemasan yang berlebihan. Aku mengerti, Dewa anak satu-satunya yang mereka miliki. Mereka sudah menyekolahkannya tingggi-tinggi. Tak mungkin mereka menerimaku sebagai menantu. Menerima perempuan desa yang tak tahu adat istiadat. Paling tidak mereka menginginkan menantu yang sepadan dengan Dewa.

Akhirnya kami putuskan saling menjauh. Orangtua kami sudah sama-sama tua. Jika kami keras kepala mempertahankan keinginan kami, berarti sama saja menyiksa pelan-pelan orangtua kami. Ibu sudah cukup menderita. Aku hanya ingin membahagiakannya di sisa-sisa hidupnya. Tapi ini, hubunganku dengan Dewa, orang yang sangat Ibu sayang ditolaknya juga menjadi menantu. Apakah Ibu sudah menemukan jodoh buatku? Atau aku memang tak pantas untuk Dewa?

***
Suatu hari orangtua Dewa datang ke rumah. Aku melihat dari kejauhan mereka naik becak. Aku bergegas menata diri, merapikan rambut dan mengganti bajuku yang kumal. Di kamar terdengar Ibu terbatuk-batuk. Aku membiarkannya sendiri dulu, nanti kami yang akan datang ke kamarnya.

“Dewa!” pekik orangtuanya gugup. Aku belum sempat menyilakan mereka duduk.
“Kenapa Dewa?” Aku cemas.
“Dewa hilang!! Sudah seminggu tak pulang.”

Mendadak sekujur tubuh ini lemas. Kurasakan keringat dingin mengalir deras di sudut-sudut tulangku. Kepala ini bagai dijatuhi bongkahan batu besar. Sangat berat! Aku mengerang. Aku …..
Dan tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca di kamar Ibu. Kami segera lari ke dalam. Ibu Dewa tergopoh-gopoh menyingkap jarik yang melilitnya.

“Masyaallah!” teriak ayah Dewa.

Ibu tergeletak di lantai. Pigura itu, yang berisi foto ayah dan ibu, terjatuh dan pecah. Kami memapahnya ke atas ranjang. Ibu merintih, terus mengerang. Mulutnya bergumam menyebut-nyebut nama Dewa. Orangtua Dewa mencoba menenangkannya. Memijit-mijit kaki dan tangannya.

Kudapati sebuah kotak kecil di atas meja. Aku mengambilnya. Kotak itu sangat indah, berwarna coklat pekat khas kayu jati. Samping-menyampingnya tertoreh ukiran lembut. Aku buka kotak itu. Selembar kertas lusuh terlipat rapi di dalamnya. Kemudian aku membuka dan membacanya, mengejanya pelan-pelan. Ibu dan orangtua Dewa terperangah melihat aku membaca kertas itu.

“Untuk anak-anakku; Dewandaru dan Sruti,
Maafkan orangtuamu ini yang begitu kejam terhadap kalian. Hanya lewat tulisan ini aku bisa mengungkapkan, hingga kalian mengetahui semua yang terjadi. Mungkin kalian menemukan kotak ini jika aku sudah mati. Aku terlampau berdosa terhadap kalian.

Dewandaru, putraku. Kau darah dagingku. Kedua orangtuamu ada di pigura itu. Kami menitipkanmu pada Pak Affandi saat pemberontakan berkecamuk. Umurmu empat tahun waktu itu.

Dan kepada Sruti, putriku. Kau adalah kebisuan semesta. Kau adalah ketiadaan. Aku dijadikan budak nafsu setan-setan terkutuk. Maafkan, Nak. Maafkan ibumu. Lelaki yang selalu kau kagumi dan kau tanyakan itu bukan ayahmu.”

Tanganku gemetar. Lelaki dalam pigura itu, ayahku yang selalu aku kagumi, yang setiap malam aku belai, aku ajak bicara, dia bukan ayahku? Penderitaanku belum juga berakhir, juga penderitaan Ibu. Aku bukanlah buah penghianatan Ibu, aku hanyalah ketidaksengajaan. Aku tak boleh lemah.

Aku lihat ibu membisu, namun mata terus mencucurkan air mata.

Tak lama kemudian seorang pemuda desa datang ke rumah dengan nafas terengah-engah.

“Jasad Dewandaru ditemukan di sungai!”

Ah, kekasihku, betapa murah harga nyawamu.

***
Catatan ini kutulis 17 tahun yang lalu, namun baru sekarang bisa kaubaca. Bukan saja biar kau tahu betapa sepi rasa kemanusiaan datang padaku, tetapi juga biar kau mampu menghargai sesama manusia. Kisah ini kualami sebelum ibuku gila dan akhirnya meninggal. Juga sebelum Arya, seorang tentara, menikahiku. Tentu kau akan berpikir keras untuk mengerti mengapa tentara itu bisa menjadi suamiku, rabalah sendiri. Kini, di usia yang sangat tua, aku hidup sebatang kara, tanpa siapa-siapa.

Bekasi, September 2010

0 komentar:

Posting Komentar