Minggu, 04 Desember 2011

Perjalanan Kawarang-Bekasi


Jangan remehkan manusia. Begitulah kiranya maksud tulisanku ini. Terkadang sesama manusia terlalu mudah meninggikan atau menjatuhkan sesamanya. Kita silau dengan nama-nama, kagum dengan benda-benda, tapi kita lupa dengan sikap. Sederhana, sebab prinsip bisa dilihat dari sikap.

Matahari mulai tenggelam. Aku duduk menunggu kereta di stasiun Klari, Karawang. Tujuanku Bekasi. Petugas berkali-kali mengingatkan bahwa kereta ekonomi tengah melaju dari Cikampek. Itu artinya kereta sebentar lagi datang. Setiap dari saudara di Karawang, memang aku pulang naik kereta.

“Tunggu di jalur tiga,” kata petugas.

Aku duduk-duduk di peron. Sebatang rokok kusulut, asap membumbung menantang mendung. Penumpang dari Klari sedikit, tak mencapai lima puluh. Mereka kebanyakan mengenakan seragam biru muda lengan panjang. Sudah kutebak: buruh pabrik. Kenapa naik kereta? Ya, lebih murah dan tidak repot.Meskipun kumuh. Naik bus tak cukup sepuluh ribu.

Dari arah timur terlihat cahaya lampu berpendaran. Disusul bunyi terompet dan desis mesin. Kereta behenti. Aku melompat naik mencangking beban. Aku mendapat tempat duduk jok tiga yang saling berhadapan. Sisanya telah penuh penumpang. Di hadapanku ada seorang lelaki muda berpenampilan dekil, mukanya menunjukkan ketidaksukaan padaku. Juga dua wanita di sampingnya. Aku dingin saja. Yang sederet denganku tak kuhiraukan.

Kereta melaju. Kuperkirakan satu jam sampai di Stasiun Bekasi. Layaknya kereta ekonomi, pedagang lalu-lalang, juga rombongan pengamen bermuka sangar tak hentinya bernyanyi, sayang suaranya sumbang. Sesekali ada orang cacat meminta-minta, atau orang tua renta menuntut belas kasihan. Untuk menghadapi ini, aku sudah menyiapkan beberapa uang receh.

Suasana cukup tersejukkan ketika kulihat seorang gadis seumuranku duduk di samping depan dari tempatku. Ia menghadap ke arahku. Aku tebak ia bukan buruh pabrik, mungkin pelajar. Ia mengenakan kaos oblong dan celana pendek setinggi lutut. Rambutnya hitam, sebahu dan berponi. Gadis ini memiliki kulit kuning langsat, tubuh bersih gemulai, serta mata sipit. Mata itu beberapa kali bertemu dengan mataku. Agaknya ia menikmati ketidaksengajaan ini.

“Turun di mana, Dik?” Penumpang di sampingku menegur. Aku baru lihat wajahnya. Sudah tua. Di sampingnya lagi wanita paruh baya, namun wajahnya hanya di arahkan ke luar kaca.

“Bekasi. Bapak?”
“Tambun.”

Aku diam sejenak. Gadis mata sipit aku lupakan. Tiba gilirannya kakek ini menyelinap ke pikiranku. Lelaki dekil dan dua wanita di depanku nampaknya sibuk sendiri dengan obrolannya. Sedangkan si kakek hanya diam. Mau tak mau aku harus mengajaknya ngobrol.

“Kakek asli Bekasi?” tanyaku.
“Bukan. Saya Padang. Anda asli mana?”
“Saya Jawa. Sempat ikut peristiwa revolusi, Kek?

Aku sengaja menanyakan revolusi. Dari cerita, aku dengar sepanjang Karawang-Bekasi pernah terjadi pertempuran dahsyat. Waktu itu Ibu Kota pindah ke Yogya. Chairil Anwar mengabadikannya ke dalam puisi. Peristiwa Rawagede dan pembantaian tentara Jepang di Kali Bekasi adalah potret nyata yang terus membekas.

“Ya, waktu itu saya masih muda. Tapi belum ke Bekasi.”
“Katanya sepanjang Karawang-Bekasi revolusi sangat membara. Ada tokoh K.H. Noer Ali.”
“Betul. Jangan lupa pula, Tan Malaka.”

Air muka kakek tua tiba-tiba berubah. Aku menatap wajahnya yang mulai memerah. Kini ia sangat terlihat berwibawa. Aku tahu, ia bukan orang biasa.

“Kakek satu daerah dengan Tan? Bagaimana orang Padang menilai?”

“Tidak. Dia di Pandan Gadang. Saya Bukit Tinggi. Tan itu Bapak Republik. Sebelum Bapak Bangsa lainnya merumuskan NKRI, Tan sudah punya konsep Republik. Pernah suatu ketika orang-orang melihat Tan salat Jumat di masjid. Orang Belanda dengar dan mengepung dia. Tetapi tak tertangkap, ia seperti menghilang.”

Tan Malaka memang dimitoskan banyak orang. Mereka mengira Tan sakti dan bisa menghilang. Apalagi, sebagai buronan internasional, ia sulit ditangkap. Apakah kakek tua ikut memitoskan? Belum jelas. Aku semakin penasaran dengan kakek tua, kugali terus.

“Bung Hatta dari Bukit Tinggi juga, Kek,” aku memancingnya.
“Oh, itu ponakan Bung Hatta dulu satu kelas dengan saya di Bukit Tinggi. Tingkat SMA kalau sekarang.”
“Bung Hatta luar biasa. Saya mengagumi beliau, Kek.”

“Dia sangat jujur. Bung Karno tidak bisa dilepaskan dengan dia. Ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatannya, Bung Karno mulai goyah, akhirnya jatuh. Bung Karno, Hatta, Sjahrir dan Tan adalah Bapak Republik. Mereka orang-orang pilihan.”

Nada bicara kakek tua kian meninggi. Matanya tajam menusuk bola mataku. Pipinya dipenuhi julur keriput. Rambutnya memutih belaka. Sesekali tangannya diangkat, menunjuk-nunjuk, atau bergerak kaku mengiringi ucapan.

“Bung Karno menurut Kakek seperti apa?” aku memulai lagi.
“Sekarang saya tanya dulu pada Anda, siapa orangtua Bung Karno?”
“Raden Soekemi dan Ibu Ida Ayu, Kek.”

“Betul. Tetapi entah boleh dipercaya atau tidak, ada yang berpendapat begini: Bapaknya Soekarno itu orang Belanda, ibundanya pribumi. Ketika baru lahir, bayi itu di letakkan di depan pintu Ibu Ida dan Raden Soekemi. Mereka kebetulan tidak punya anak. Kenapa dinamai ‘Karno’? Karno atau Karna adalah tokoh pewayangan, saudara Pandawa, anaknya Ibu Kunti. Ayah Karna ialah Batara Surya. Kunti kemudian mengalirkan bayi itu ke sungai, dan ditemukan sais kereta. Hampir sama.” Kakek 72 tahun ini tersenyum.

“Masa Kek?”
“Yah..itu rumor saja. Tetapi secara fisik, Soekarno memang mirip orang luar.”
“Lalu sepak terjang Bung Karno?”

“Dia pantas memimpin Republik. Bung Karno mampu membangkitkan spirit rakyat Indonesia. Ia mampu menaungi berbagai ideologi di Indonesia. Dulu tidak ada negara lain macam-macam sama kita. Malaysia suruh ganyang. Bahkan Bung Karno berani keluar dari PBB. Ia tidak pernah menghendaki rakyat jadi budak. Rakyat mesti Berdikari. Tapi sekarang kita seperti hidup dalam penjara saja.”

Kami diam sejenak. Ia duduk tenang sambil memandangi pepohonan di balik kaca. Sedangkan aku mencuri-curi pandang si gadis sipit. Mata kami bertemu lagi. Ia nampak tersipu malu. Ah, betapa menggemaskan otot-otot pipi itu terangkat. Namun aku hanya dapat mengagumi dari tempat duduk saja. Aku harap ia akan turun bersamaan denganku.

“Kakek percaya kalau suatu saat nanti Indonesia maju? Atau kata orang, ada ‘satria piningit’,” tanyaku.

“Ya, itu sudah diramalkan Jayabaya. Tetapi saya sangat yakin Indonesia jaya kembali. Orang-orang pendusta mesti disingkirkan dari pemerintahan. Anak muda harus pintar, mampu bersaing dengan dunia luar. Sekarang ini asing mencengkeram bumi kita begitu hebatnya. Kita tak bisa apa-apa. Kalianlah penerus bangsa ini. Bekerjalan buat Republik.”

Kereta berjalan lambat-lambat, akhirnya berhenti di Stasiun Tambun. Lelaki dekil dan dua wanita minta diri, mereka ternyata menutup pertemuan singkat ini dengan santun. Juga kakek tua, menatapku dan meminta diri. Ia membawa tas jinjing hitam, mengenakan kemeja biru lusuh dan celana panjang kain berwarna hitam. Melewati batas gerbong, ia hilang dari pemandangan. Lelaki tua itu, yang awalnya aku anggap remeh, ternyata menyimpan banyak cerita. Dia pasti bukan orang sembarangan. Paling tidak, ia berpendidikan dan berpengalaman. Dari cara bicara, tatapan mata, serta air mukanya, sungguh menggetarkan. Tentu, bukan hanya obrolan itu saja. Masih banyak lagi cerita darinya yang tak mungkin aku ceritakan semua, juga karena perkataan kakek tua cukup mengejutkan, agak menyimpang dari cerita pada umumnya. Harus kurenungkan lebih lanjut. Aku berharap suatu saat bisa berjumpa dengannya lagi.

Lalu gadis mata sipit? Ya, aku meninggalkannya ketika kereta sampai Stasiun Bekasi. Mungkin ia turun di Kranji atau Jatinegara. Ia menerbangkan senyum manis padaku. Aku membalasnya, ia mengangguk manja.




0 komentar:

Posting Komentar