Selasa, 06 Desember 2011

Air Mata Kemarau


Ini sebuah desa kecil di pinggiran kota industri, Kuli namanya. Tak perlu kiranya menyebutkan nama kota itu. Yang jelas, sejak pertengahan abad ke-20, lahan-lahan di daerah itu mulai disisir untuk tempat dibuatnya pabrik. Sebagai ancang-ancang, kota ini terletak di pinggiran ibu kota.

Tahun demi tahun pabrik semakin banyak, lahan-lahan tandus sudah ditindihi bangunan-bangunan angkuh, tanah-tanah subur milik petani pun akhirnya dibuat pabrik, juga pemukiman penduduk yang usianya jelas lebih lama dari rencana pembuatan pabrik ikut tergusur. Para petani dan warga desa hanya bisa pasrah, pemberontakan mereka terhadap pabrik atas sengketa tanah mudah benar dipadamkan.

Kini jalan-jalan besar dibuat. Ruas-ruas jalan tertata apik dan bersih, pohon-pohon besar nan rindang mengiringi sepanjang deretan pabrik. Jalan tol mulai melewati pabrik untuk memudahkan distribusi barang-barang antarkota.

Kota industri menjelma kota multinasional; sebagian besar pemilik modal pabrik-pabrik itu orang asing. Segala yang ada di dalam kawasan seperti mesin dan gaya arsitektur bangunan diimpor dari luar, kecuali para pekerja lapangannya. Mungkin karena pekerja pribumi lebih murah upahnya sehingga pabrik-pabrik itu akan meraup bergunung-gunung laba.

Desa Kuli ada jauh sebelum kota industri ada. Syahdan, Desa Kuli dulu merupakan tempat peristirahatan pasukan Mataram yang hendak menyerang tempat pusat kekuasaan Belanda. Mereka membuat sebuah pemukiman untuk dijadikan tempat menyimpan dan meyediakan logistik perang. Akhirnya, lama- kelamaan mereka menetap dan beranak-pinak; mereka orang-orang yang bertugas menyediakan logistik perang. Cara bertani orang Jawa pun berkembang, mereka memanfaatkan lahan-lahan subur di daerah itu.

Di dalam bahasa Jawa ada kata “kuli”, artinya pekerja. Memang pada akhirnya terbukti benar bahwa mereka merupakan orang-orang pekerja keras. Mereka adalah prajurit yang mengabdi pada Mataram, orang-orang yang setia pada kerajaannya, orang-orang yang tak pernah mau dijajah. Peperangan itulah yang mengajarkan pasukan Mataram tentang arti penghianatan dan kesetiaan. Tetapi kini, makna kuli sama artinya dengan budak.

Desa Kuli berdekatan dengan sebuah sungai besar, yang mengalir dari pegunungan, melewati kota industri, Desa Kuli, dan berakhir di Pantai Utara Jawa. Di kaki gunung terdapat sebuah telaga yang menampung tujuh mata air keramat. Masyarakat percaya bahwa telaga itu adalah petilasan seorang Adipati Mataram, semasa hidupnya ia selalu bermeditasi di tempat itu.

Sepanjang sungai, warga yang desanya berdekatan memanfaatkan air sungai untuk persawahan. Pada jaman kerajaan sungai itu juga merupakan jalur perdagangan besar antarkerajaan. Desa yang berdekatannya, diyakini cenderung maju dalam pertanian.

Namun sejak kota industri berdiri air sungai mulai tercemari limbah. Air yang tadinya bersih menjadi kotor. Warnanya tidak lagi jernih, tetapi mulai kehitam-hitaman. Sampah-sampah menari bebas melewati sungai, semua itu berasal dari kota industi.

Anak-anak Desa Kuli tak lagi bermain dan berenang, perawan desa pun enggan mencuci pakaian di sungai. Para penjala ikan tak menjala lagi, ikan-ikan jarang didapati oleh mereka. Mahkluk-mahkluk air itu sudah eksodus besar-besaran atau bahkan punah. Sungai itu, tempat penghidupan warga Desa Kuli, lamat-lamat ditinggalkan.

Belum lama, di dekat kota industri dibangun sebuah waduk besar. Sebelumnya warga Desa Kuli tak pernah tahu ada apa di balik rencana itu. Namun akhirnya seorang kepala desa, saat hendak dibangun waduk, mengatakan pada warga bahwa waduk itu dibangun untuk menyaring air sehingga bisa dimanfaatkan segenap warga di kota-kota sekitar.

“Saya mendapat pemberitahuan, waduk di selatan desa kita, di dekat kota industri, dibuat untuk kepentingan bersama. Dengan waduk itu air sungai akan jernih lagi, saudara-saudara nanti bisa memanfaatkan kembali,” tutur kepala desa di hadapan warga sambil tersungut-sungut.

“Dimanfaatkan bersama maksudnya apa? Dari dulu kami memanfaatkan sungai itu secukupnya. Tapi semenjak kota industri ada sungai menjadi rusak. Ada kejahatan apa lagi ini?” seorang warga mendesak.

“Jangan gusar saudara-saudara. Kalau mereka berniat baik, kita terima saja. Bendungan itu nantinya ada yang di belokkan ke arah barat, dimanfaatkan untuk sumber air bersih di kota-kota dekat sungai itu, juga untuk desa kita,” jawab kepala desa terbata-bata.

“Tidak ada sejarahnya sungai itu belok ke arah barat, yang ada dari pegunungan langsung mengalir ke laut, termasuk melewati desa ini,” bantah warga lainnya.

Hari demi hari pembangunan waduk berjalan lancar, tak ada yang membantah perihal ini. Warga Desa Kuli tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya menunggu hasil itu, menunggu janji manis para penguasa modal.

Waktu pun berjalan tanpa kompromi, terus menderu dan tambah menggebu-gebu. Bila musim penghujan datang sungai itu meluap dan membanjiri antero Desa Kuli. Semua tanaman rusak, penyakit pun di mana-mana. Bila musim kemarau datang, Desa Kuli juga akan terkena bencana kekeringan. Sumur-sumur kering, ladang kering, hingga keuangan pun kering. Sungai itu surut, menjelma serupa selokan berbau busuk.

Warga tak pernah mengira jika akhirnya waduk itu, ketika musim hujan, dibuka dan dialirkan ke arah Desa Kuli sehingga menyebabkan banjir. Dan bila musim kemarau, air yang mengalir ke Desa Kuli ditutup, lalu dialirkan ke arah barat sehingga warga desa hanya menjumpai sungai itu kering.

***
Tatapan matanya sayu, tanpa harapan, penuh keluhan. Ia pandangi bintang yang bertaburan di antariksa. Dalam hati ia berkata, “ Andai aku bisa semandiri dia, mengeluarkan cahaya, menerangi gegap gempita dunia.” Lalu ia palingkan pandang ke bulan, kemudian ia kembali bercericau, “Kau memang indah, Rembulan. Tubuhmu sempurna dan bercahaya, tapi sayang kau akan sirna tanpa matahari.”

Ia julurkan tangannya ke meja, diangkatnya segelas kopi buatan sang istri. Bibir tebalnya mulai bergeliat, pipi kempotnya bergerak, dan akhirnya ia berdecak kenikmatan setelah meyeruput kopi itu. Ia nyalakan sebatang rokok yang dililit sendiri, ia hisap perlahan, “Huh…..,” nafasnya melenguh panjang, ia mencoba menghembuskan segala beban. Tetapi beban itu tak mau hilang dari peredaran otaknya, pada akhirnya ia pun mengelus dada, “Astagfirullah..,” bisiknya hati-hati.

“Pakai bajumu, Pak. Nanti kau masuk angin. Tidak baik malam-malam telanjang dada,” tegur istrinya dari dalam rumah, sementara ia duduk di balai-balai di beranda. “Kamu tidur dulu, Bu. Sudah malam, besok pagi kau harus jual daun ke pasar,” ia berbalik menegur istrinya. Besok pagi sang istri harus menjual dedaunan—singkong, ubi, pisang—apa saja yang bisa dijual dari hasil bercocok tanam ia dan sang istri. Namun ini yang terakhir, sebelum tanaman-tanaman itu mati kekeringan.

Mereka adalah pasangan suami istri yang tinggal di Desa Kuli. Mereka sudah renta, usianya hampir 80 tahun. Meski selama hidupnya tak pernah dikaruniai anak, mereka masih bisa berbahagia, paling tidak berbahagia dengan ketuaannya sendiri. Terkadang terlintas dalam benaknya, kalaupun punya buah hati ia pun bakal ikut sengsara. Pernah suatu kali ada seorang bayi lahir di desanya hendak dipungut sebagai anak, ibunya meninggal sewaktu melahirkan sang bayi dan tak ada yang mengakui sebagai ayahnya. Tetapi orangtua dari perempuan itu justru mencibir, “ Aku tak rela cucuku hidup nelangsa.”

Setiap kemarau datang, desa tempat tinggalnya akan dilanda kekeringan. Semua tanaman mati sendiri akibat tak ada air yang tersentuh akar-akar tanaman, kecuali pepohonan yang mampu bertahan hidup tanpa air, itu pun bakal rontok seluruh dedaunannya. Tanah-tanah di ladang akan retak, merongga lebar-lebar, tanaman pun rusak. Bila sudah begitu, berarti warga yang sebagian besar adalah petani juga mengalami krisis keuangan. Untuk menghadapi kemarau biasanya pemuda desa merantau ke kota mencari pundi rupiah.

Sumur-sumur warga menjadi kering, mereka harus membeli air bersih dalam jerigen pada pedagang air bersih keliling musiman. Bila uang sedikit berarti mereka harus merelakan tubuhnya dilekati debu. Air yang mereka beli benar-benar dihemat buat masak dan minum saja.

***
Pintu depan rumah berderit, ia menoleh ke arah pintu, bola matanya menemukan istrinya tengah berdiri. Ia tatap mata istrinya, istrinya juga menatapnya. Pandangan mereka penuh kelembutan, polos, dan jernih. Beberapa saat berpaut pandang, akhirnya mereka tersenyum.

“Kenapa kau tak tidur, Bu?” tanya ia pada istrinya. Tangannya kembali menjumput tembakau, diletakkan di atas daun jagung kemudian dipilin pelan-pelan.
“Saya tak bisa tidur, Pak. Ndak ngantuk,” jawab sang istri agak gusar. Istrinya menarik nafas dalam-dalam lalu berkata lirih , “Kalau kita meninggal, kita tak punya keturunan ya, Pak. Umur kita sudah tua begini, sudah bau tanah,” istinya melangkah menghampiri. Tangannya merambat ke punggung suaminya, lalu dengan lembut ia memijit-mijit sang suami.

“Tak usah mengeluh, Bu. Ini memang sudah digariskan olehNya,” tanggapnya menenangkan hati istrinya. Ia ambil gelas kopi lagi dan mencicipnya sedikit.

Malam yang dingin menemani mereka. Tak ada suara manusia selain suara mereka. Tak ada suara hewan selain suara mereka. Sinar rembulan dan bintang mulai meredup, barangkali sudah bosan mendengar keluh kesah pasangan tua itu setiap malam.

“Pak, sudah seminggu kita tak mandi. Air tinggal sedikit, buat makan dan minum kita besok. Kita sudah tak punya uang buat beli air,” keluh istrinya.
“Sabar, Bu. Besok kan kau jual daun itu, nanti buat beli air.”
“Tapi, Pak. Sudah dua hari ini air tak ada. Agen tutup, katanya ndak ada pasokan. Orang-orang juga pada kehabisan air.”

Malam ini dirasainya sebagai malam paling kelam dan purba. Segala perasaannya seolah diaduk-aduk, segala pikirannya berkecamuk. Akhirnya ia dan sang istri diam, seisi desa diam, semuanya diam.
****
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya ia membuka pembicaraan, “Mari tidur, Bu. Sudah larut malam,” hari sudah sangat larut, baru kali ini jam dua pagi ia dan istrinya belum tidur. “Aku tak ingin tidur, Pak. Aku masih ingin melek,” jawab istrinya lembut.

Mereka kembali diam. Dipandanginya langit-langit tanpa bintang itu. Dalam hati mereka selalu berharap semoga lekas turun hujan. Tetapi malam-malam serupa sudah biasa ia temui, toh akhirnya hujan tak turun juga dan kemarau tak berkesudahan. “Kalau kau ngantuk tidurlah dulu, Pak,” istrinya tetap tak ingin tidur. Padahal pagi benar ia harus pergi ke pasar menjual daun dan membeli air di agen.

“Biar kutemani kau, Isriku. Walau hidup semakin mencekik, aku akan selalu senang bila di sampingmu,” ia menghibur istrinya, meski sebenarnya ia tengah menghibur dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi, malam ini ia merasa sangat galau. “Tidur saja, Pak. Matamu sudah lelah,” istrinya berbisik pelan sembari mengumbar senyum.

Mereka nampak sudah tua. Kulitnya mengeriput di sana-sini. Tubuhnya kian hari kian bungkuk. Hayalnya, bila saja mereka punya keturunan mungkin mereka akan dirawat baik-baik oleh anaknya di usianya yang lanjut. Mereka akan segera punah, putus sudah mereka punya keturunan.

“Kita tidur bersama, Bu. Aku rindu lantunan tembang-tembang dari suaramu. Aku ingin di dekatmu, Bu. Kalau nanti kita meninggal, aku ingin tetap bersebelahan denganmu.” Ia genggam jemari istrinya erat-erat. Ia sadar tenaganya tak sekuat dulu, tangannya tak berotot lagi.

“Husyi, jangan bicara begitu, Pak. Baiklah, kau tidur saja dulu, nanti aku nyusul. Aku masih ingin melek, Pak.”
“Ya sudah, aku tidur dulu, Bu.” Ia meninggalkan wanita tua itu di luar. Tak lama kemudian istrinya tidur juga di sampingnya.

***
Fajar menjelang, suara kokok ayam terdengar di berbagai penjuru Desa Kuli. Ia buka matanya yang nanar, ia kepayahan mengangkat tubuhnya. Ia memandang istrinya, memandang tubuhnya yang melengkung.

Ia ingat, pagi ini istrinya harus membawa daun-daun ke pasar. Maka, tangan kering penuh tulang itu dijulurkan ke tubuh sang istri. “Bangun, Bu. Sudah pagi. Bangun,” tubuh istrinya diguncang-gunjangkan. Tubuh ringkih sang istri pun dengan mudah tergolek. Ia raba pipi istrinya, wajah istrinya pucat dan dingin. Diguncangnya sekali lagi, istrinya tetap tak bergerak. Tanpa disadari, pelupuk matanya membasah. Air mata itu meleleh di pipinya, kemudian menetes di wajah istrinya.

Hari itu, hatinya bagai diterpa badai. Pikirannya bagai dibenturkan batu besar. Wanita tunggal penyemangat hidup yang ia agungkan itu kini tiada. Siang itu juga, jenazah dikuburkan tanpa dimandikan. Barangkali hanya setetes air mata suaminya yang mengiringi.
Bekasi, 2010.

0 komentar:

Posting Komentar