Senin, 12 Desember 2011

Sastra Kebebasan


Mungkin kau pernah dengar: sastra hanya milik mereka. Ya, sastra punya jarak dengan kita. Aku sebut ‘kita’, orang-orang yang baru mencintai atau merabai sastra. Lalu ‘mereka’ ialah para sastrawan yang, entah bagaimana mulanya, menyandang identitas itu. Tentu saja ini membuat kita gamang menyetubuhi sastra, bahkan kerap minder.

Mengutip teman yang biasa singgah di Bekasi, Bang Irmansyah, sastrawan adalah seorang linguis cermat. Sebab, merekalah yang mampu menguraikan pikiran ke dalam analisis bunyi, sintaksis, dan pragmatis.Sastrawan juga dibebani tanggung jawab sosial dan sejarah yang tidak ringan. Sebab, melalui karya dan totalitas kediriannya, sastrawan adalah arsitektur kemanusiaan.

Kita memandang sastrawan secara utuh dengan tanda-tanda, seperti menilai si cantik dengan ukuran tubuh molek dan paras menggiurkan. Memang, identitas sastrawan dengan sendirinya akan melekat pada mereka yang fokus di dunia sastra. Tetapi, akhir-akhir ini aku melihat sikap ke-aku-an menjadi sastrawan kian semarak. Kita sering menyebutnya ‘narsisme’.

Belum lama, kita digaduhkan dengan koin sastra peduli PDS HB Jassin. Orang berlomba-lomba tampil sebagai pahlawan kesiangan. Publik figur turut hadir, bersuara lantang ‘peduli sastra’ hingga semua orang tahu. Tak lama kemudian bermunculan buku-buku mereka secara ujug-ujug. Si publik figur dilabeli sastrawan. Aku tidak tahu mengapa para jurnalis masih memegang prinsip sensasional berita pada hal prinsipil semacam ini.

Karya sastra sendiri, baik buruknya sengaja dibentuk dengan kriteria tertentu. Siapa pembentuknya? Mereka yang punya modal dan mendominasi dunia sastra. Dalam hal ini, aku beri perhatian khusus pada surat kabar yang di dalamnya dihuni sastrawan ‘populis’. Penulis dituntut menyesuaikan selera surat kabar, bukan surat kabar menampung perbedaan gaya penulisan. Ini dapat mengacaukan para penulis muda yang belum memiliki kekuatan karakter.


Dominasi Seni Sastra
Jika sastra telah didominasi kubu-kubu tertentu, sastra semakin sulit dimiliki masyarakat. Sastra seolah-olah dunia sendiri bagi sastrawan dan tidak berkait dengan orang kebanyakan. Orang akan merasa lebih gampang melepas tanggung jawab kesusastraan. Padahal, kesusastraan merupakan tugas nasional yang harus kita pikul bersama.

Sastra adalah penyemangat hidup, ia menyimpan energi dahsyat. Bahkan, seperti dialami Ibu Kartini, melampaui batas kemampuan manusia sebenarnya. Kita harus percaya bahwa kata-kata dapat menjadi pembangkit. Tidak cukup kita mengatakan sastra hanya digerakkan, tetapi sastra mesti menggerakkan. Konon, karya-karya penulis besar Pramoedya dilarang rezim Orba karena diyakini mampu menggerakkan keberanian membela kemanusiaan.

Secara sosiopsikologis, karya sastra akan dipersepsikan berbeda-beda oleh pembacanya. Komunikasi terjadi antara penulis dan pembaca melalui medium sastra. Keduanya memiliki perbedaan latar budaya, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan kebudayaan.

Karya sastra unik karena di tubuhnya mengalir darah kebebasan. Komunikasi tulis lebih terbuka ketimbang audiovisual yang mencoba sekuat tenaga menyamakan persepsi penonton. Ini bisa kita cermati ketika karya sastra divisualisasikan ke bentuk film. Audiens yang aktif cenderung kritis jika esensi pesan tidak terpenuhi lewat film.

Setiap orang tentu bebas menulis sastra, tanpa memenjarakan nilainya dengan ‘gambaran ideal’ ciptaan penguasa modal. Sastra bukan sekadar onani intelektual para sastrawan, tetapi sastra mesti menjadi candu bagi masyarakat. Manusia pada dasarnya membutuhkan estetika hidup. Bagaimana cara mengungkapkan kegelisahan, kegembiraan, dan kekecewaan, merupakan cermin sederhana atas adab-budaya individu maupun masyarakat.

Aku ingin tegaskan sekali lagi: kesusastraan tanggung jawab bersama!

1 komentar:

IRMAN SYAH mengatakan...

kalau ada ranting yang patah,
kuncup puisi kan jadi buah..

salam..

kemana lagi?
terus!

Posting Komentar