Senin, 12 Maret 2012

Mengembalikan Sastra untuk Masyarakat


Anak-anak berlarian dari arah perempatan lampu merah jalan Cut Mutia-Chairil Anwar Kota Bekasi menuju ke sebuah jalan kecil, sebelah Utara Kampus Universitas Islam ‘45’ (Unisma). Mereka membawa seperangkat alat musik seperti ukulele, bongol dan kecrek. “Mari naik,” kata seorang gadis kecil bernama Raina (12) pada teman-temannya.

Pengamen-pengamen itu masuk ke Perpustakaan Pinggir Kali: sebuah taman bacaan yang sengaja dibangun Komunitas Sastra Kalimalang. Saung sastra, begitu orang menyebut, tak seberapa luas. Bangunannya pun tak seperti perpustakaan di sekolah-sekolah, hanya terbuat dari rakitan bambu. Buku-buku sengaja digantung dengan menggunakan tali dan jepitan. Sekilas, bila memasukinya, kita serasa dihujani buku-buku yang kadang kerap menabrak kepala. Konsep ini sengaja dibuat untuk, salah satunya, mengingatkan pengunjung bahwa manusia tak boleh sombong akan ilmu. Tamparan buku adalah peringatan agar kita mesti rajin membaca.

Selain pengamen, mahasiswa, anggota satpam, tukang ojek, pedagang sekitar atau orang umum bebas membaca di saung sastra. Buku-buku bertema sastra dan budaya di sini ialah sumbangan masyarakat serta para pecinta sastra. Hingga kini, telah terkumpul sedikitnya sekitar 400 buku yang terdaftar dalam katalog. Setiap hari tercatat rata-rata ada 50 pengunjung. Untuk menarik minat baca, Sastra Kalimalang menyediakan beberapa surat kabar dan majalah lokal maupun nasional.

Niat mencerdaskan masyarakat

Sastra Kalimalang awalnya hanyalah sebuah komunitas di jejaring sosial Facebook yang digerakkan kelompok teater Unisma. Mereka rutin menerbitkan puisi, esai, cerpen dan karya rupa di halaman Facebook. Siapa pun boleh menulis, seperti mahasiswa, anggota satpam, dosen, penjaga kantin, hingga tukang ojek di depan kampus. Pengelola (admin) sengaja mendatangi mereka dan mengajak untuk menulis, lalu dikurasi. Terkadang saat menunggu tukang ojek menulis puisi misalnya, pena dan kertas mesti ditinggal lantaran ada orang hendak naik ojek.

Melihat aktifitas tersebut, surat kabar lokal di Bekasi menawari sebuah halaman untuk diisi Sastra Kalimalang setiap Jumat. Dari situlah, mereka mulai berani melegitimasi sebagai komunitas seni. Kedekatan dengan para seniman, seperti Komunitas Musikalisasi Puisi yang dimotori Anne Matahari (Sanggar Matahari), membuat mereka semakin aktif di luar.

Pada 30 Oktober 2011, mereka mengadakan Workshop Apresiasi Sastra Musikalisasi Puisi selama dua hari di Gedung Juang Tambun, diikuti 250 guru bahasa dari seluruh sekolah se-Kabupaten Bekasi. Acara tersebut menghadirkan beberapa sastrawan terkemuka, seperti Jose Rizal Manua yang membawakan materi penciptaan puisi, Helvi Tiana Rosa menyampaikan materi pengajaran dongeng dan sastra untuk siswa, dan Guntur El Mogas membawakan Puisi dan Pantun Khas Bekasi.

Setelah mendapat sambutan baik, Sastra Kalimalang pun mengadakan lomba baca puisi bertema “Spirit Of Heroisme” di Kota Bekasi. Lomba tersebut menegaskan bahwa Sastra Kalimalang peduli terhadap jasa-jasa para pahlawan, terlebih kota ini mendapat julukan Kota Patriot. Pada 27 Desember 2011, Sastra Kalimalang menggelar Panggung Terapung dan Pentas Pinggir Kali di bantaran Kalimalang, tepatnya di samping kampus Unisma atau seberang Jalan Chairil Anwar Kota Bekasi. Ratusan penonton menikmati penampilan teater, musik dan pembacaan puisi dari pinggiran ditemani redup lilin, sebab panggung diapungkan di tengah sungai. Acara puncaknya ialah pembacaan puisi penyair Sutardji Coulzum Bachri dan Irman Syah. Pengendara motor bahkan rela berhenti di pinggir jalan dan macet gara-gara penampilan kedua penyair ternama itu.

Merindukan ruang kultural


Menciptakan lingkungan bersih, apalagi sungai, tidak sekadar dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat kaku. Masyarakat mesti mendapat pencerdasan akan pentingnya sungai sebagai kebutuhan hidup, serta keindahan dalam tata ruang kota. Untuk itu, setelah Pentas Panggung terapung, Sastra Kalimalang mendirikan taman bacaan.

Dengan sumber daya yang ada, mereka rela membersihkan tepian sungai. Setiap sore, akhirnya banyak orang duduk santai di pinggir kali. Ada yang membaca buku, diskusi, bermain musik atau sekadar diskusi ringan sambil menikmati secangkir kopi. Tak jarang anak Mapala Unisma melakukan kegiatan mendayung sambil membersihkan sampah. Tanpa disadari, meskipun baru di area kecil, sungai telah menjadi ruang kultural masyarakat Bekasi dan memunculkan suasana tersendiri.

Sastra Kalimalang setiap Jumat malam mengadakan diskusi publik di saung sastra dengan peserta dari berbagai kalangan. Butir-butir pikiran mereka tentang sastra dan kebudayaan dituliskan dalam bentuk rangkuman, kemudian diterbitkan di koran lokal maupun blog komunitas. Setidaknya, Sastra Kalimalang turut menginspirasi Dewan Kesenian Bekasi (DKB) melalui kegiatan dan wacana-wacana, DKB lalu mengaktualkan dalam bentuk kebijakan perihal seni di Bekasi. Misalnya, Sastra Kalimalang mencoba membuat semacam ruang kreatif: menghasilkan karya berupa kaus dan pernak-pernik. Hasil karya mereka dipajang di saung, sehingga pengunjung menikmati, komunitas pun mendapatkan profit. Anak-anak jalanan juga dilibatkan, mereka kerap latihan di saung dan membuat lagu-lagu dengan lirik puisi. Gerakan kemandirian ini merupakan salah satu penolakan terhadap anggapan bahwa dunia seni ialah dunia tidak jelas. Sastra Kalimalang ingin mengembalikan sastra pada masyarakat.

(Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas edisi 21 Februari 2012, halaman 35, rubrik Kompas Kampus)

0 komentar:

Posting Komentar