Senin, 12 Maret 2012

Menimbang Karya Intelektual lewat Berkesenian


KESENIAN pada dasarnya adalah karya intelektual. Siapa pun pelakunya tetap saja sebuah hasil pemikiran. Karena seni erat berhubungan dengan rasa maka fantasi dan budi berbaur menjadi gagasan, kemudian dikongkritkan lewat lambang-lambang komunikasi.

Seorang pelukis akan mengkongkritkan gagasannya melalui gambar, pemusik dengan nada, penari lewat gerak, dan penulis menyusun makna lewat aksara. Karya seni kian menjadi penting karena ada pesan yang dikandungnya dan subyektifitas pelaku terasa sangat kental: artinya, bukan seniman yang mengikuti audiens, tetapi audiens-lah yang berusaha menemukan pesan tersebut berdasarkan persepsi masing-masing.
Dewasa ini, orang-orang mengungkapkan rasa mereka dalam berbagai bentuk. Mahasiswa, misalnya, terkadang cenderung melakukan demonstrasi di jalan untuk menyuarakan unek-uneknya: tapi apakah itu mampu memenuhi hasrat intelektualitas? Hal semacam itu bisa saja runtuh kalau aktivitas ini merupakan ‘pesanan’ dari pihak tertentu. Walaupun demikian, mahasiswa tetap berhasil melakukan komunikasi massa dan diketahui oleh banyak orang.

Seni sebagai karya intelektual menjadi pilihan bagi mereka yang tidak mau menampilkan gagasannya secara vulgar. Begitulah sastra, ia ditulis dari ruang yang sempit dan sunyi berupa puisi, cerpen atau pun catatan harian dengan harapan agar dibaca banyak orang, namun tidak memiliki banyak ruang. Untuk menerbitkan tulisan di media massa akan menempuh seleksi yang ketat dengan berbagai standarisasi: sedang jejaring sosial -- meskipun memiliki audiens -- belum bisa dianggap mampu sebagai ukuran, karena validitas data tentang berapa banyak khalayak yang membaca link tersebut sulit untuk dapat dipastikan.

Adanya ‘Sastra Kalimalang’ yang terbit setiap Jumat di Radar Bekasi telah menjadi wadah dan memudahkan masyarakat berekspresi. Tulisan mereka dibaca ribuan orang. Artinya, ide yang bukan cuma sebatas ide, tapi melalui ‘rasa dan periksa’ yang menjadikan karya itu lebih bertanggung jawab. Jika halaman sastra di media umum lainnya selalu memuat tulisan sastrawan, tapi ‘Sastra Kalimalang’ malah memuat tulisan yang datang dari berbagai kalangan: sebuah sikap yang mengarah pada penolakan dominasi seni dari seniman yang selalu kembali ke seniman.

Di sinilah letak perbedaannya, Sastra Kalimalang berupaya untuk melibatkan masyarakat agar menulis dan kemudian mengembalikannya lagi kepada masyarakat yang lebih luas. Begitu pula halnya dengan sastra lokal seperti ‘puisi pantun’ Guntur El-Mogas, bisa diapresiasi terus-menerus. Bahkan tidak hanya itu, puisi dari masyarakat pun diapresiasikan lagi dalam bentuk pementasan yang dilakukan setiap tiga bulan sekali di atas Panggung Terapung. Ini pun salah satu upaya kesenian dalam usaha pencerdasan masyarakat terhadap pembangunan Kota Bekasi.

Persoalan di atas begitu saja mengemuka dalam diskusi mingguan Komunitas Sastra Kalimalang, Jumat (21/01/2011) di Perpustakaan Pinggir Kali. Bincang-bincang santai ini sengaja diprogram untuk menampung gagasan masyarakat Kota Bekasi perihal kesenian. Beberapa praktisi seni hadir dan memunculkan butir-butir pikirannya, seperti Deddy Putra Matahari (dramawan), Irman Syah (penyair) dan akademisi Harun Alrasyid dari Unisma. Deddy sempat mengungkapkan, bahwa “geliat kesenian di Bekasi tidak begitu tertangkap oleh Dewan Kesenian. Lembaga ini terlihat serupa sanggar saja yang kesannya cuma sebagai kompetitor.”

Kritik dari dalam

Pasar untuk karya seni selalu menjadi permasalahan yang belum usai bagi sebagian kalangan, termasuk komunitas seni. Sebagai pondasi pemikiran, idealisme malah sering menutup peluang ekonomi karena dianggap ‘mencemari’ kesenian, sehingga tak sedikit komunitas seni yang muncul dan hilang oleh persoalan finasial. Seiring perjalanan waktu, para pemodal mengambil peran dalam komunitas seni yang notabene menjadi penaung para seniman: ketika pemodal mulai menyusup, seni malah berubah arah dan berorientasi pada keinginan pasar.

Kemandirian ekonomi ternyata begitu penting dalam mewujudkan eksistensi komunitas. Hal tersebut terbaca oleh beberapa komunitas seni di Yogyakarta. Mereka kemudian berinisiatif untuk membuat ruang-ruang kreatif seperti penerbitan buku, pembuatan kaos, kriya dan pernak-penik lainnya . Dengan begitu komunitas seni tidak akan kehilangan idealismenya: ruang kreatif justru mempertajam gerakan manajemen secara tepat. Dengan cara seperti itu sebenarnya komunitas telah mengantisipasi keseragaman bentuk dari industrialisasi seni yang dikuasai oleh para pemodal.

Sastra Kalimalang setidaknya diharapkan mampu membaca dan menyiasati bangunan manajemen yang tepat itu. Gagasan Sastra Kalimalang yang menempatkan kesusastraan secara ideal seharusnya ditopang pula oleh ruang kerja yang mendukung agar dapat menghasilkan karya kreatif lainnya dalam memperkokoh bangunan ruang cipta. Pola kerja Sastra Kalimalang jangan pula sampai terimbas oleh pola gerakan yang lebih dominan mengandalkan ‘proposal’.

0 komentar:

Posting Komentar