Selasa, 17 April 2012

Titanic


Perkenalan saya dengan Titanic mungkin tidak menimbulkan empati mendalam. Saya mengetahui lewat film garapan James Cameron, kira-kira ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Dulu, bagi saya Titanic hanyalah sebuah kisah romantis di atas kapal raksasa. Jika anak-anak Eropa merasakannya sebagai tragedi, bagi saya Titanic tak lebih dari cerita seks Jack dan Rose.

Kakak saya selalu melarang saya ikut menonton film Titanic. Katanya belum cukup umur. Namun karena saya melawan dengan menangis, ia akhirnya membiarkan. Pada salah satu adegan bahkan saya disuruh menutup mata. Begitulah cara orang-orang dewasa di sekeliling saya mengenalkan Titanic. Kini saya bukan anak kecil, sudah tumbuh dewasa dan dapat menentukan mana baik mana buruk.

15 April kemarin tepat satu abad Titanic tenggelam. Hampir semua surat kabar menyiarkan berita tentang Titanic. Di Eropa, anak-anak kecil dengan serius dan sedih menaburkan bunga di monumen-monumen musibah Titanic. Saya pun mesti mengakui: orang Eropa menghargai sejarah dan tak mau menodainya sekalipun terhadap anak kecil.

Pada beranda Twitter, New York Times (NYT) juga tidak henti-hentinya mengabarkan berita tentang Titanic. Tadinya saya menganggap biasa saja dan berpikir bahwa itu bukan urusan saya sebagai warga negara Indonesia. Suatu ketika,NYT menyajikan gambar yang menampilkan seorang gadis cilik tengah memegang karangan bunga di depan patung perempuan korban karamnya Titanic. Gambar ini berhasil menggugah perasaan saya. Ya, anak sekecil itu memang sudah diajarkan bagaimana mengenang masa silam.

Tiba-tiba muncul keinginan saya untuk menonton kembali film Titanic garapan James Cameron. Saya mencari informasi di internet dan entah kebetulan dugaan saya ternyata benar: film Titanic ditayangkan lagi di bioskop, kali ini dengan versi tiga dimensi. Niat menonton ini tidak hanya untuk turut berkabung satu abad peristiwa di gunung es Samudera Atlantic Utara, tetapi ingin meyakinkan diri bahwa Titanic yang saya kenal dulu bukan sekadar cerita persetubuhan Jack dan Rose di gudang barang kapal itu.

Kita tak memiliki apa-apa, kita tak kehilangan apa-papa. Begitulah film Titanic kali ini menasehati saya dengan sangat berbeda. Kapal raksasa dengan teknologi yang malampaui zamannya itu sekejap saja bisa hancur-lebur. Ribuan manusia menutup matanya bersama-sama dalam dingin lautan es. Kelas sosial awak yang tadinya menonjol sedemikian rupa, pada akhirnya mesti kembali pada hakikat kita sebagai manusia biasa.

Dalam ketakutan menghadapi kenyataan kematian, sifat manusia secara ‘telanjang’ begitu terlihat. Serakah, egois dan buas merupakan ciri dominan. Namun banyak pula dari mereka yang memilih menolong orang lain tanpa peduli dengan keselamatan diri. Ada pula yang pasrah terhadap sang pencipta. Keadaan seperti itu membuat mereka hanya bisa menunggu dan berharap: menunggu hidup atau menunggu mati.

Percintaan Jack dan Rose adalah potret ketulusan seorang manusia dalam memaknai arti pertemuan dan perpisahan. “Tuhanlah yang menghadirkan saya di sini. Kemarin saya sedang bermain kartu dan mendapat kupon pergi ke Amerika naik kapal ini. Saya akan tetap bangun pagi tanpa mengerti apa yang akan saya lakukan esok hari. Begitulah hidup!” kata Jack.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

keren..

Posting Komentar