Untuk yang dilupakan dan terlupakan..
‘Kalau kalian berhasil
kuliah di Kuba, apa akan menikah di sana?’ tanya seorang tante kepada
kemenakannya. ‘Tidaklah Tante, kami mau menyelesaikan kuliah dulu. Soal nikah,
soal nanti kalau sudah kembali ke tanah air. Revolusi belum selesai, Tante,”
jawab sang kemenakan yang datang bersama kekasihnya dari Yogya ke Jakarta untuk
mengikuti kongres CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) di Gelora Bung
Karno.
Itu nukilan dialog di
novel ‘Istana Jiwa’ karya Putu Oka Sukanta. Novel ini mengungkap gerakan
mahasiswa pasca-peristiwa G30S. Mahasiswa di jalur kiri menerima kenyataan
pahit ketika Bung Karno tumbang, termasuk mahasiswa nasionalis. Anggota CGMI
dan GMNI menjadi bulan-bulanan. Mereka dikeluarkan dari bangku kuliah,
bergerilya di jalan tak pasti atau menghilang ditelan bumi. Meskipun didominasi
tokoh perempuan, penulis tidak terjebak pada pesimisme. Istri dan anak tapol
justru tampil elegan dengan daya tahan luar biasa.
Kepiawaian Angkatan
Darat menghembuskan isu lewat media massa telah menyulut kobaran emosi
masyarakat. Kematian para jenderal di Lubang Buaya menjadi pusaka ampuh
untuk menumbangkan PKI. Fitnah menjadi bara pembumihangusan rakyat yang tidak
tahu apa-apa, panasnya menyengat sampai ke pelosok negeri nun jauh dari Jakarta.
Penulis dengan amat lincah menggiring pembaca Istana Jiwa masuk pada
pertanyaan: mungkinkah intelejen tidak tahu jika akan terjadi tragedi? Atau ada
persekongkolan jahat di dalam tubuh Angkatan Darat?
Selain cibiran
mahasiswa di kampus, para aktivis kiri juga disudutkan dengan adanya gerakan
baru organ kontra-revolusi. Pada 25 Oktober 1966, beberapa mahasiswa membentuk
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), merupakan kesepakatan sejumlah
organisasi yang berhasil dipertemukan PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pendidikan) oleh Mayjen dr. Syarief Thayeb. KAMI, antara lain terdiri
dari: HMI, PMII, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), SOMAL (Sekretariat
Bersama Organisas-organisasi Lokal), Mapancas (Mahasiswa Pancasila) dan IPMI
(Ikatan Pers Kampus Indonesia). Kemudian disusul kesatuan aksi mahasiswa
lainnya. Tujuannya, terutama, agar perlawanan terhadap PKI lebih terkoordinasi.
“Kok masih bebas ke
kampus, belum ditangkap ya? Tunggu saja waktunya. Nanti kupinjami sarung. Kan
Aidit menyuruh kamu pakai sarung,” kata seorang mahasiswa sambil
mengenakan peci HMI di kepala. Maria, aktivis CGMI, hanya bisa terdiam dengan
debar jantung semakin menguat.
Putu Oka Sukanta
sangat pandai menangkap suasana seperti itu. Mungkin banyak sekali karya sastra
yang mengangkat tragedi G30S, tetapi selalu saja terjebak pada polemik
berkepanjangan. Maria adalah tokoh sentral dalam novel Istana Jiwa. Mahasiswa
jurusan kedokteran itu harus meninggalkan kampus, diburu dan hidup
terlunta-lunta dengan sang ibu. Perasaan seorang mahasiswa kiri inilah yang
menjadi ruang ekspolarasi penulis.
“Maria sedih karena
partai mendadak hancur, Bu. Partai yang kupercaya akan memperbaiki kehidupan
rakyat. Aku sedih sekali, aku kehilangan. Sepertinya, keluarga kita akan
menjadi buronan. Penghinaan, penistaan dan fitnah sedemikian kejam diteriakkan
di mana-mana,” ucap Maria pada ibunya.
Kini, ideologi gerakan
mahasiswa pascareformasi mungkin sudah samar-samar. Bahkan, partai politik kian
menjauh dari visi dan misinya. Putu Oka Sukanta di novel ini seolah-olah ingin
mengajak kita menengok kembali energi intelektual mahasiswa pasca-jatuhnya Bung
Karno. Ideologi bagi mereka bukan sekadar bunga-bunga pergerakan, namun
tertancap kuat hingga kehidupan sehari-hari. Penulis, misalnya, membenturkan
pandangan agama dan organisasi—barangkali menyerupai jaman pencerahan di Eropa
ketika agama dianggap tidak bisa bersanding dengan rasionalitas ilmu
pengetahuan.
“Mengapa aku tidak
memberi kesempatan padanya? Mengapa aku begitu kejam memutuskan dia? Apakah
agama lebih penting dari keyakinan politik? Bukankah ia sahabat dalam bidang
politik, sesuai ajaran yang pernah diterima? Orang nasionalis, kan sekutu
komunis dalam revolusi melawan revolusi dan tuan tanah,” bisik Maria dalam hati
setelah memutus kekasihnya, Lasono, aktivis GMNI. Hubungan asmara mereka
terpaksa berakhir karena perbedaan agama.
Di sisi lain, tragedi
G30S juga membuka kesempatan pemerintah Orde Baru untuk menentukan sejarah.
Anak-anak kecil diceritai para gurunya bagaimana orang komunis sangat kejam dan
tidak berprikemanusiaan. Mereka diajarkan membenci orangtuanya sendiri. Anak
cucu mereka meski tidak tahu apa-apa akhirnya harus putus sekolah, menjalani
kemiskinan yang mungkin bukan keinginan mereka. Anak-anak tahanan politik,
melalui media massa, demontrasi atau perilaku kejam militer, menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal.
“Mudah-mudahan ayahku
tidak disiksa. Aku benci tentara!!!” begitulah seorang gadis kecil menorehkan
tulisannya di buku harian sehabis diajak ibunya pergi ke Kodim. Setiap hari
para perempuan dan anaknya pergi ke Kodim menanyakan perihal suami serta
ayahnya yang menghilang.
Penangkapan terus
berlangsung sepanjang jaman, di kota dan di desa, di setiap jengkal nusantara.
Seseorang bisa ditahan dengan alasan apa saja. Hanya sedikit orang saja yang
bisa aman. Mahasiswa baru menjalani indoktrinasi, cuci otak. Sebagian besar
koran menjadi corong pemerintah menebarkan isu-isu menggelisahkan. Mana yang
fiksi, mana yang fitnah, dan mana yang realita tidak bisa dibedakan. Maka,
jalan untuk berbohong terbuka lebar, berbohong demi keselamatan.
Aktivis kiri melakukan
perlawanan meskipun lewat bawah tanah. Di balik kejatuhan rezim otoriter
Soeharto, mereka tersenyum menyambut awal kemenangan, baik secara langsung
maupun lewat layar kaca. Langkah kaki-kaki kiri di celah aniaya itu terus
bergerak, termasuk Maria.
0 komentar:
Posting Komentar