Senin, 01 Oktober 2012

Aktivis Kiri di Celah Aniaya


Lukisan 'Istana Jiwa' karya Ki Joko Wasis. Dilukis di acara bedah novel Istana Jiwa karya Putu Oka Sukanta di Unisma Kota Bekasi, Juni lalu, dalam waktu tak lebih satu jam. Kini lukisan tersebut berada di tagan sang penulis, Putu Oka Sukanta.
Untuk yang dilupakan dan terlupakan.. 
‘Kalau kalian berhasil kuliah di Kuba, apa akan menikah di sana?’ tanya seorang tante kepada kemenakannya. ‘Tidaklah Tante, kami mau menyelesaikan kuliah dulu. Soal nikah, soal nanti kalau sudah kembali ke tanah air. Revolusi belum selesai, Tante,” jawab sang kemenakan yang datang bersama kekasihnya dari Yogya ke Jakarta untuk mengikuti kongres CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) di Gelora Bung Karno. 

Itu nukilan dialog di novel ‘Istana Jiwa’ karya Putu Oka Sukanta. Novel ini mengungkap gerakan mahasiswa pasca-peristiwa G30S. Mahasiswa di jalur kiri menerima kenyataan pahit ketika Bung Karno tumbang, termasuk mahasiswa nasionalis. Anggota CGMI dan GMNI menjadi bulan-bulanan. Mereka dikeluarkan dari bangku kuliah, bergerilya di jalan tak pasti atau menghilang ditelan bumi. Meskipun didominasi tokoh perempuan, penulis tidak terjebak pada pesimisme. Istri dan anak tapol justru tampil elegan dengan daya tahan luar biasa.

Kepiawaian Angkatan Darat menghembuskan isu lewat media massa telah menyulut kobaran emosi masyarakat. Kematian para jenderal di Lubang Buaya menjadi pusaka  ampuh untuk menumbangkan PKI. Fitnah menjadi bara pembumihangusan rakyat yang tidak tahu apa-apa, panasnya menyengat sampai ke pelosok negeri nun jauh dari Jakarta. Penulis dengan amat lincah menggiring pembaca Istana Jiwa masuk pada pertanyaan: mungkinkah intelejen tidak tahu jika akan terjadi tragedi? Atau ada persekongkolan jahat di dalam tubuh Angkatan Darat?

Selain cibiran mahasiswa di kampus, para aktivis kiri juga disudutkan dengan adanya gerakan baru organ kontra-revolusi. Pada 25 Oktober 1966, beberapa mahasiswa membentuk KAMI (Kesatuan  Aksi Mahasiswa Indonesia), merupakan kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan  PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan)  oleh Mayjen dr. Syarief Thayeb. KAMI, antara lain terdiri dari: HMI, PMII, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), SOMAL (Sekretariat Bersama Organisas-organisasi Lokal), Mapancas (Mahasiswa Pancasila) dan IPMI (Ikatan Pers Kampus Indonesia). Kemudian disusul kesatuan aksi mahasiswa lainnya. Tujuannya, terutama, agar perlawanan terhadap PKI lebih terkoordinasi.

“Kok masih bebas ke kampus, belum ditangkap ya? Tunggu saja waktunya. Nanti kupinjami sarung. Kan Aidit  menyuruh kamu pakai sarung,” kata seorang mahasiswa sambil mengenakan peci HMI di kepala. Maria, aktivis CGMI, hanya bisa terdiam dengan debar jantung semakin menguat.

Putu Oka Sukanta sangat pandai menangkap suasana seperti itu. Mungkin banyak sekali karya sastra yang mengangkat tragedi G30S, tetapi selalu saja terjebak pada polemik berkepanjangan. Maria adalah tokoh sentral dalam novel Istana Jiwa. Mahasiswa jurusan kedokteran itu harus meninggalkan kampus, diburu dan hidup terlunta-lunta dengan sang ibu. Perasaan seorang mahasiswa kiri inilah yang menjadi ruang ekspolarasi penulis.

“Maria sedih karena partai mendadak hancur, Bu. Partai yang kupercaya akan memperbaiki kehidupan rakyat. Aku sedih sekali, aku kehilangan. Sepertinya, keluarga kita akan menjadi buronan. Penghinaan, penistaan dan fitnah sedemikian kejam diteriakkan di mana-mana,” ucap Maria pada ibunya.

Kini, ideologi gerakan mahasiswa pascareformasi mungkin sudah samar-samar. Bahkan, partai politik kian menjauh dari visi dan misinya. Putu Oka Sukanta di novel ini seolah-olah ingin mengajak kita menengok kembali energi intelektual mahasiswa pasca-jatuhnya Bung Karno. Ideologi bagi mereka bukan sekadar bunga-bunga pergerakan, namun tertancap kuat hingga kehidupan sehari-hari. Penulis, misalnya, membenturkan pandangan agama dan organisasi—barangkali menyerupai jaman pencerahan di Eropa ketika agama dianggap tidak bisa bersanding dengan rasionalitas ilmu pengetahuan. 

“Mengapa aku tidak memberi kesempatan padanya? Mengapa aku begitu kejam memutuskan dia? Apakah agama lebih penting dari keyakinan politik? Bukankah ia sahabat dalam bidang politik, sesuai ajaran yang pernah diterima? Orang nasionalis, kan sekutu komunis dalam revolusi melawan revolusi dan tuan tanah,” bisik Maria dalam hati setelah memutus kekasihnya, Lasono, aktivis GMNI. Hubungan asmara mereka terpaksa berakhir karena perbedaan agama. 

Di sisi lain, tragedi G30S juga membuka kesempatan pemerintah Orde Baru untuk menentukan sejarah. Anak-anak kecil diceritai para gurunya bagaimana orang komunis sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan. Mereka diajarkan membenci orangtuanya sendiri. Anak cucu mereka meski tidak tahu apa-apa akhirnya harus putus sekolah, menjalani kemiskinan yang mungkin bukan keinginan mereka. Anak-anak tahanan politik, melalui media massa, demontrasi atau perilaku kejam militer, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal.

“Mudah-mudahan ayahku tidak disiksa. Aku benci tentara!!!” begitulah seorang gadis kecil menorehkan tulisannya di buku harian sehabis diajak ibunya pergi ke Kodim. Setiap hari para perempuan dan anaknya pergi ke Kodim menanyakan perihal suami serta ayahnya yang menghilang. 

Penangkapan terus berlangsung sepanjang jaman, di kota dan di desa, di setiap jengkal nusantara. Seseorang bisa ditahan dengan alasan apa saja. Hanya sedikit orang saja yang bisa aman. Mahasiswa baru menjalani indoktrinasi, cuci otak. Sebagian besar koran menjadi corong pemerintah menebarkan isu-isu menggelisahkan. Mana yang fiksi, mana yang fitnah, dan mana yang realita tidak bisa dibedakan. Maka, jalan untuk berbohong terbuka lebar, berbohong demi keselamatan. 

Aktivis kiri melakukan perlawanan meskipun lewat bawah tanah. Di balik kejatuhan rezim otoriter Soeharto, mereka tersenyum menyambut awal kemenangan, baik secara langsung maupun lewat layar kaca. Langkah kaki-kaki kiri di celah aniaya itu terus bergerak, termasuk Maria.

0 komentar:

Posting Komentar