Selasa, 17 Agustus 2010

Peristiwa Tambun Berdarah 1869

Sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan tuan tanah. Di Bekasi, tuan tanah mendapatkan perlawanan dari para petani bahkan sampai menimbulkan korban seorang pejabat Hindia Belanda. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Petani Tambun 1869.

Kondisi tanah Bekasi yang subur dan memberikan harapan yang besar telah menarik minat para pendatang yang berasal dari berbagai etnis. Kebanyakan berasal dari etnis Sunda dan Melayu-Betawi. Mobilitas penduduk dari luar Bekasi semakin banyak saat dua orang tuan tanah Cina membuka pabrik gula di daerah Tambun.


Kebanyakan lahan pertanian di Bekasi dikuasai oleh tuan tanah (kaum partikelir), yaitu sejumlah pengusaha Eropa dan saudagar Cina. Tanah partikelir ini timbul sebagai akibat dari praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda dimulai sejak VOC berkuasa. Praktek penjualan tanah ini lebih banyak merugikan bangsa pribumi. Pengalihan kepemilikan tanah lebih banyak dilakukan dengan cara perampasan atau diintimidasi agar pribumi menjual tanah dengan harga yang sangat murah.


Di Bekasi, kebanyakan tuan tanah berasal dari etnis Tionghoa, yang diberi hak istimewa berupa hak Erfack untuk melakukan pengelolaan wilayah termasuk menetapkan aturan yang diberikan oleh pemerintahan Kolonial. Setiap tuan tanah, berhak mengelola selama 75 tahun dengan mendapatkan satu perlima keuntungan hasil panen. Tuan tanah dan para anteknya juga kerap merampas harta benda rakyat yang tidak mampu membayar pajak atau hutang.
Praktik tuan tanah yang bertindak sewenang-wenang menimbulkan benih kebencian dan perlawanan di kalangan petani.

Salah satu tokoh yang menjadi motor gerakan perlawanan petani adalah Pangeran Alibasah atau biasa dipanggil Bapak Rama, pria asal Cirebon yang tinggal di Leuwicatang Depok. Bapak Rama mengorganisir para petani di sepanjang aliran sungai Ciliwung dan Cisadane mulai dari Citayem Depok, Bekasi hingga Batavia.


Bapak Rama memandang, bahwa tanah-tanah partikelir adalah milik rakyat yang dirampas secara sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Gagasan perlawanannya muncul saat ia bertemu dengan seorang petani yang memiliki tanah di daerah Cipamingkis. Berawal dari situ, Bapak Rama mulai menggalang kekuatan di kalangan para petani untuk merebut kembali tanah-tanah yang menjadi hak mereka.


Tidak tanggung-tanggung, Bapak Rama bahkan sempat menghadap ke Sultan Solo tahun 1863 untuk mengetahui sejarah kepemilikan tanah partikelir itu. Sepulang dari Solo, Bapak Rama mengumpulkan para petani di pesta perkawinan putrinya di Ratujaya Depok. Bapak Rama menyampaikan gagasannya untuk merebut tanah-tanah partikelir dari tangan para tuan tanah, bahkan pada saat itu sudah dilakukan pembagian tanah. Sejak saat itu, Bapak Rama mulai sering mengumpulkan para pengikutnya di rumahnya.


Pada tanggal 16 Maret 1986, di pesta perkawinan adik iparnya, Bapak Rama kembali mengundang para pengikutnya dari berbagai daerah, mulai dari Parung, Cibarusah, Tambun, Bekasi, Cikarang dan Kranggan. Tamu yang hadir dalam acara tersebut mencapai 500 orang, menunjukan betapa luasnya pengaruh Bapak Rama.


Pada Pada saat pesta (upacara perkawinan) Bapak Rama mengumumkan rencana untuk merebut tanah-tanah partikelir antara Citarum - Cisadane. Dia mengatakan bahwa tanah-tanah itu milik nenek moyang mereka dan hanya disewa oleh Belanda, dan sudah seharusnya mereka merebut tanah terebut. Para petani sudah lama hidup menderita di bahwa tekanan tuan tanah menyatakan kesetiannya untuk membantu pemimpin mereka.


Bapak Rama menentukan penyerangan pada tanggal 20 Bulan Haji atau 3 April 1869, bertepatan dengan gerhana bulan. Berdasarkan ramalan Bapak Rama, pada tanggal tersebut pasukan Belanda tidak bisa melihat mereka. Bapak Rama kemudian memimpin doa bersama setelah memutuskan penyerangan merebut Depok, Bogor, Bekasi dan Batavia.
Namun rencana penyerangan tersebut terendus oleh Polisi Hindia yang telah menyiapkan para pasukannya di berbagai tempat. Kendati begitu, Bapak Rama tetap melakukan serangan pada tanggal 05 April 1869, yang diramalkan akan terjadi gerhana bulan. Hanya sasaran pemberontakan dipersempit, ke Tambun Bekasi.


Pagi hari, Pangeran Alibasah memimpin 100 orang pasukan dari Depok menuju Bekasi . Dalam perjalanan, jumlah pasukannya bertambah menjadi 300 orang. Sebelum mencapai Tambun, rombongan Bapak Rama dicegat oleh pasukan Belanda yang dipimpin Asisten Residen De Kuiper dan Kepala Polisi Maayer yang berupaya melakukan perundingan.


Namun kedua rombongan tidak bisa menahan diri, dan peperanganpun pecah. Dalam pertempuran tersebut Asisten Residen dan seorang dokter Jawa yang kebetulan bertugas di Tambun terbunuh bersama tujuh orang lainnya.
Peristiwa tersebut membuat Pemerintah berang dan menetapkan Pangeran Alibasah sebagai buronan yang paling dicari berserta para pengikutnya.


Setelah sempat lolos dalam beberapa kali penyergapan, Bapak Rama akhirnya tertangkap pada 17 Juni 1869. Tidak kurang dari 302 orang pengikutnya juga ditangkap. Setelah dilakukan penyelidikan, 243 orang dilepas kembali karena dipaksa ikut menyerang Tambun. Dua hari jelang persidangan, Pangeran Alibasah meninggal. Hasil persidangan 29 September 1869 adalah, dua orang dijatuhi hukuman mati dan 19 orang hukuman kerja paksa selama 15 tahun.


Peristiwa penyerangan Pangeran Alibasah tersebut kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Petani Tambun. (Dirangkum dari Berbagai Sumber)klikM.net

1 komentar:

edicahy mengatakan...

Sepertinya ini bukan penulisan sejarah...

Posting Komentar