Kamis, 21 Oktober 2010

Sore di bumi Jakarta

Hujan mengguyur bumi Jakarta, suara petir menggelegar, sesekali terdengar seperti bom. Sedang suasana kelas, nampaknya tak kalah seru dengan kilat yang menyambar-nyambar, masih saja gaduh seperti biasanya. Tapi hal itu tak berlangsung lama, mata kuliah Dasar Logika pun diakhiri oleh dosen, mahasiswa menjadi girang dan ingin segera pulang.

Para mahasiswa keluar dari ruangan, berjalan menuruni jenjang, kemudian pada belokan hilang di tengah kerumunan. Aku pun sama halnya mereka, dengan segera kuturuni tangga yang cukup membuat nafas terengah-engah. Sampai di bawah, kuayunkan kaki keluar kampus meski hujan masih rintik-rintik.

Tak lama, angkutan umum telah berhenti di depan halte. Agak sesak—memang seperti itulah keadaan angkutan umum—kalau belum penuh belum juga berjalan. Tapi hari ini aku sial, mendapat tempat duduk yang mengahadap ke belakang. Tentu hal ni sangat tidak mengasyikkan, kepalaku menjadi pusing—mungkin karena tak terbiasa menghadap ke belakang ketika naik kendaraan.

Awalnya, mobil berjalan lancar menyusuri jalan raya Lenteng Agung Jakarta, jadi bagiku tak ada masalah. Tapi, ketika hampir sampai perempatan jalan, macet pun tak terelakkan lagi. Suara klakson seakan mewakili mulut para pengendara yang terpancing emosi. Aku sebenarnya gusar, selain pusing, banyak pengendara yang seenaknya saja meyerobot.

Beberapa waktu aku sabar, tapi nampaknya jalanan masih saja lumpuh. Suara sirine—pengingat bahwa kereta akan datang—berdengung kencang di telinga, mungkin hampir 10 menit sirine itu berbunyi. Aku tak tahu kenapa bisa sampai begitu lama, mungkin karena hati-hatinya petugas yang takut akan kecelakaan, sehingga harus mengorbankan macet.

Anehnya, sebelum dan sesudah rel kereta, masih ada lampu merah hijau, sehingga ketika sirine berhenti telah dilanjutkan lampu merah yang menyala lama. Terkadang, belum sampai lampu hijau menyala, sirine kereta berbunyi kembali. Sial, aku terjebak dalam suasana itu—sirine yang menyala kembali membuat kepala ini semakin pusing.

Keadaan seperti itulah yang paling aku benci. Selain pusing dan lelah, polusi udara juga sangat terasa di ujung hidung ini. Kendaraan yang sebenarnya sudah tak layak pakai pun masih juga turun ke jalan, sehingga asap yang keluar terlihat mengepul tebal. Kadang aku berpikir, kenapa pemerintah tidak memperhatikan hal-hal seperti ini? Sedang di luar sana terdengar wacana tentang pemanasan global. Bukankah ini merupakan penyebab yang sangat nyata di ibukota?

Yang membuat hati ini bertambah geli, ketika aku melihat barisan mobil mewah yang terlihat tak berdaya di aspal jalanan. Sesekali pandangan kuarahkan ke mobil-mobil mewah itu, sekedar untuk memalingkan wajah agar tak jenuh. Tapi yang aku dapat adalah keheranan yang terus menggelitik otakku. Sebab, mobil mewah yang berbaris panjang tak berdaya itu hanya ditunggangi oleh satu orang saja dalam mobil. Aku bergumam nakal “pantas saja macet”.

Kepalaku rasanya semakin pusing saja, perjalanan belum juga sampai, padahal sudah satu jam—biasanya hanya 20 menit sudah sampai kalau tak macet. Tapi akhirnya “perjuangan” yang tak masuk akal itu berakhir sementara,aku telah turun dari angkutan dan setelah itu menunggu bus arah Bekasi. Kusambangi penjual gorengan, kudapan itu terasa begitu nikmat—mungkin karena lapar dan dingin pula. Setelah itu bus pun datang.

Kunaiki jenjang bus itu, sambil melihat-lihat tempat duduk yang masih kosong. Dari arah depan aku terus melangkah ke belakang mencari tempat duduk. Akhirnya ada satu tempat—walaupun harus diapit dua orang berbadan gendut. Bus berjalan lambat-lambat, menunggu penumpang sampai tak menyisakan ruang di dalam bus. Suasana menjadi gerah, bau parfum yang bercampur keringat pun begitu menyengat. Kemudian suasana menjadi sayup, bus telah memasuki jalan tol, melaju dengan cepat tanpa memperdulikan suasana hati penumpangnya.

0 komentar:

Posting Komentar